Rabu, 03 Juli 2013

Cinta, Perjalanan Cintaku


Cinta

Cinta adalah nama gadis cantik itu. Gadis yang kini sedang duduk di lobi salah satu hotel berbintang yang berada di pusat kota. Diantara gadis-gadis lain yang kebetulan ada disana, Cinta memang terlihat lebih mencolok. Parasnya yang cantik alami pastilah membuat laki-laki tergoda untuk meliriknya. Termasuk beberapa laki-laki yang kebetulan juga berada disana. Tidak sedikit diantara lirikan tersebut sempat beradu dengan tatapan Cinta. saat itu terjadi diantara mereka ada yang melempar senyuman, ada pula yang langsung tertunduk malu. Sebuah hal yang biasa bagi Cinta, sehingga ia terlihat tidak terlalu terganggu karenanya.

Cinta mengalihkannya pandangan dari layar smart phone yang dipegangnya. Matanya melirik lagi ke arah laki-laki paruh baya yang duduk beberapa meter didepannya. Tatapan laki-laki itu masih ke arah yang sama seperti saat tadi pertama kali ia memergokinya. Tatapan nanar ke arah kedua pahanya. Ekspresi ‘mupeng’ tergambar jelas diwajahnya. Keberadaan sang istri disampingnya seakan dianggapnya tak ada.
“Ppfftt..”.
Cinta merubah posisi duduk dengan menyilangkan kedua kakinya. Mengunakan tas jinjing ia menutup celah diantara rok jeans pendek yang dipakainya. Perhatiannya pun kembali tertuju kepada sosial media yang tadi sempat teralihkan. Sebenarnya Cinta tidak masalah apabila laki-laki paruh baya itu ingin menikmati apa yang ada dibalik roknya, asalkan ada kompensasi yang cocok. Kompensasi? Iya, kompensasi berupa uang. Dibalik profesinya sebagai mahasiswi semester akhir, Cinta juga memiliki profesi lain sebagai wanita penggilan kelas atas alias lady escort. Profesi ini sudah ia jalani cukup lama, hampir sejak awal ia mulai menyandang gelar sebagai mahasiswi. Jika anda ingin saya membuka paha, maka kuraslah isi dompet anda. Itulah persyaratan yang ditetapkan Cinta. Cinta tidaklah kebetulan berada di hotel berbintang itu. Di hotel itu Cinta sedang menunggu laki-laki yang memiliki cukup modal untuk memenuhi persyaratannya. Entah apa yang mendasari ia menjalani profesi ini. Faktor ekonomi? Oh tentu tidak. Cinta bukanlah tergolong gadis yang berasal dari keluarga berkekurangan secara ekonomi. Faktor sosial? Jawabannya tidak juga. Cinta tidak berada dalam lingkungan yang memungkinkan untuk menjerumuskannya kepada profesi tersebut. Mungkin untuk alasannya, biarlah gadis cantik itu saja yang mengetahuinya sendiri.
Beberapa menit menunggu akhirnya ponsel yang dipegangnya berbunyi. Cinta menekan tombol jawab. “Halo”.
“Kamu dimana?”.
“Cinta udah di lobi nih Om”.
“Udah lama nunggu? Maaf tadi Om kejebak macet”.
“Gak apa-apa kok Om”, sahut Cinta.
“Kalo gitu kita ketemu di resepsionis aja, gimana?”.
“Oke Om”.

Cinta menutup ponselnya dan memasukkannya ke dalam tas. Sebelum berdiri, sekali lagi Cinta melirik ke arah laki-laki dihadapannya. Masih dengan tatapan yang sama, masih dengan ekpresi yang sama. Dengan sengaja Cinta membuka sedikit lebar kedua paha saat mengembalikan silangan kakinya. Ia kembali membuka kedua pahanya saat memperbaiki posisi high heel yang dipakainya. Hanya saja kali lebih lebar dari sebelumnya. Semua gerakan itu sengaja ia lakukan dengan pelan dan perlahan. Cinta tahu benar kalau posisi kakinya saat ini membuat apa yang seharusnya tidak terlihat, menjadi terlihat.
Lirikan Cinta berubah menjadi tatapan tepat saat laki-laki itu mengalihkan arah pandangannya. Kedua mata mereka beradu. Ekspresi laki-laki itu mendadak berubah tegang. Oke cukup, pikir Cinta. Diapitkan kembali kedua pahanya, lalu gadis cantik itu berdiri. Laki-laki itu terlihat semakin tegang ketika Cinta berjalan menuju ke arahnya dan melempar senyuman. Laki-laki itu menjadi salah tingkah karena perbuatan nakalnya ketahuan. Melihat Cinta yang tersenyum kepada suaminya, si istri langsung melengos dan mencubit paha suaminya.

“Rasakan itu”, gumam Cinta dalam hati.
Cinta dengan santainya berjalan melewati pasangan tersebut. Sekilas gadis cantik itu bisa mendengar sang istri menghardik suaminya. Guratan kepuasan terpancar di wajah Cinta. Paling tidak disaat yang sama ia mendapat pahala karena menghilangkan rasa penasaran laki-laki itu, sekaligus memberikan sedikit ‘pelajaran’ atas kenakalannya. Ia pun terus melanjutkan langkahnya menuju resepsionis.
“Cinta?”, tanya seorang laki-laki yang berpenampilan necis di depan meja resepsionis.
“Om Rudi?”.
“Wao ternyata benar kata teman Om, kamu cantik sekali”.
“Terima kasih”, ucap Cinta singkat sambil tersenyum. Mungkin pujian seperti ini sudah terlalu sering ia dengar, sehingga bukanlah sesuatu yang luar biasa untuk Cinta.
Laki-laki yang dipanggil Om Rudi itu berperawakan semampai. Agak terlihat pendek dibanding postur tubuh Cinta yang saat itu memakai high heel. Beberapa helai rambutnya sudah nampak memutih menampakkan kematangan usia – kalau tidak boleh disebut tua. Belum lagi kerutan-kerutan di wajahnya menambah kesan ‘tua’ tersebut. Dari segi wajah, Om Rudi ini jauh dari yang dapat didefisikan sebagai tampan. Menurut informasi dari ‘klien’ langganan Cinta yang memperkenalkan mereka, Om Rudi ini adalah seorang pengacara. Ini juga terlihat dari setelan jas hitam yang dipakainya saat itu. Setelan itu jelas terlihat mahal. Tapi wajah dan penampilan bukanlah yang utama. Dimata Cinta yang utama adalah si ‘klien’ bisa memenuhi standar harga yang ditetapkannya, itu saja.
“Kamu tunggu sebentar, biar Om nyelesaiin administrasinya dulu”.
Cinta hanya mengangguk. “Silakan”.
Sambil menunggu Om Rudi menyelesaikan urusannya, Cinta melihat-lihat dan berjalan-jalan ke sekitar. Ada sepasang turis asing disampingnya terlihat sedang menyelesaikan pembayaran untuk check out. Dia mengambil brosur hotel yang disediakan di sudut meja resepsionis. Cinta berdecak kagum dengan harga kamar hotel yang tertera di brosur. Om Rudi ini pastilah berdompet tebal sampai mampu mengajaknya ke hotel dengan tarif setinggi ini. Cinta terkesan.
“Oke sudah, yuk kita ke kamar”.
Cinta meletakkan brosur itu kembali dan mengikuti langkah Om Rudi menuju lift. Tak lama pintu lift terbuka. Keduanya kemudian masuk ke dalam lift yang kebetulan kosong.
“Kamu gak kuliah hari ini?”, tanya Om Rudi.
“Gak Om, Cinta udah gak kuliah tinggal nyusun”.
“Oh dikit lagi wisuda dong?”.
“Iya kalo lancar Om”.
“Sudah bab berapa?”.
“Masih bab dua sih Om”.
Percakapan mereka terhenti ketika pintu lift di depan mereka terbuka. Terkejutlah Cinta ketika melihat seorang laki-laki yang berdiri diluar lift. Laki-laki itu sepertinya hampir sebaya dengan Om Rudi. Saat itu ia terlihat sedang menggandeng seorang gadis. Tidak kalah mengejutkan lagi adalah kalau ternyata Om Rudi juga mengenal laki-laki paruh baya tersebut.
“Hei Ridwan, gila udah keluyuran aja lu jam segini”, sapa Om Rudi menyapa laki-laki itu sambil menepuk pundaknya.
“Eh Rud, lu sendiri ngapain disini?”.
Om Rudi dan laki-laki itu berjabat tangan. Keduanya tertawa bak kenalan lama yang sudah lama tidak berjumpa. Dilain pihak Cinta nampak panik. Ia berusaha memalingkan wajahnya, walaupun ia tahu kalau usahanya itu pastilah sia-sia belaka.
“Biasalah nyalurin ‘hobby’ hahaha”. Om Rudi melepaskan jabatan tangan mereka. “Cewek baru lagi nih? Hahaha”.
“Rekomendasi temen, gak enak kalo gak dicoba hahaha”.
“Sama dong, gue juga habis nyoba rekomendasi temen”.
Detik ketika mata laki-laki itu menatap ke arahnya, ibarat petir di siang bolong bagi Cinta. Keduanya terlihat kaget, sangat kaget. Laki-laki itu nampak kikuk sama halnya dengan yang dirasakan Cinta saat itu. Keduanya ternyata memang saling mengenal.
Laki-laki paruh baya itu adalah Om Ridwansyah atau biasa ia panggil Om Ridwan. Om Ridwan adalah ayah dari Felisia, sahabat karibnya di kampus. Mereka sudah bersahabat karib sejak SMU. Baik Cinta maupun Felisia sudah saling mengenal keluarga masing-masing dengan sangat dekat. Cinta sudah terbiasa menginap di rumah Felisia, demikian pula sebaliknya. Jadi Om Ridwan bukanlah sosok yang asing dimata Cinta. Dimata Cinta, Om Ridwan adalah sosok simpatik dan kebapakan. Jauh sekali dari kesan laki-laki mata keranjang yang suka mencicipi gadis-gadis muda. Kini ia berjumpa Om Ridwan sedang menggandeng seorang gadis muda. Mungkin saja ia baru selesai menikmati kehangatan tubuh gadis yang sedang digandengnya itu.

Tak kalah terkejutnya dengan Cinta, Om Ridwan juga berpikiran yang sama. Dimata Om Ridwan, Cinta adalah sosok gadis muda yang baik dan cerdas. Memang ia dan puterinya sering pergi menghabiskan malam di klub atau sekedar hang out, namun itu dinilainya masih ada pada batas-batas wajar. Hampir tidak ada secuil pun dalam pikirannya kalau Cinta adalah seorang gadis yang bisa di-booking. Memang ia tidak bisa begitu saja menuduh Cinta demikian. Ia cukup tahu tabiat mesum rekannya, Rudi. Apakah Cinta salah satunya? Mungkin ini bukanlah saat yang tepat untuk mencari tahu kebenarannya.
“Eh napa lu? Kayak gak pernah liat cewek cantik aja hahaha”, Om Rudi kembali menepuk pundak Om Ridwan.
Om Ridwan tersadar dari lamunannya. Sambil tergagap ia hanya menjawab singkat, “Gue musti buru-buru nih, gue musti balik lagi ke kantor”.
“Okelah, ntar kabar-kabar kalo ada ‘barang’ baru lagi hahaha”.
Om Ridwan hanya tersenyum kecil. Dengan wajah masih menunjukkan kekikukan, cemas dan khawatir ia menggandeng gadis muda disebelahnya masuk ke dalam lift.

Cinta menghembuskan nafas lega. Paling tidak saat itu baik Om Ridwan maupun dirinya tidak saling membuka identitas, walaupun keduanya sudah jelas tidak bisa mengelak. Keduanya tidak menyangka akan bertemu dalam situasi seperti ini. Untungnya mereka bisa kompak bersandiwara untuk berpura-pura tidak saling mengenal. Dalam hati Cinta terbersit rasa was-was apabila harus bertemu lagi dengan Om Ridwan setelah kejadian ini.
“Yuk..”, Cinta sedikit terkaget namun dengan cepat bisa mengusai diri. Dengan tersenyum, gadis cantik itu menerima rangkulan Om Ridwan dan berjalan menuju kamar.

Pasca masuk ke dalam kamar tak banyak yang bisa diceritakan. Seperti layaknya ‘klien’ berumur lainnya, Om Rudi tidak sejago bicaranya ketika beradu diatas ranjang. Bahkan Cinta harus berusaha ekstra keras untuk membuat ‘senjata’ Om Rudi siap tempur. Untuk pelanggan berusia muda, mungkin hanya dengan membuka pakaian saja sudah mampu membuat mereka tegang. Namun untuk Om Rudi, bahkan kocokan dan kuluman dalam keadaan telanjang bulat ternyata tidak mempan untuk membuatnya ereksi. Sampai akhirnya ketika ‘senjata’ itu berhasil dibangunkan, beberapa goyangan pinggul Cinta dengan cepat membuatnya ‘mati’ kembali.
“Gak apa-apa kok Om, mungkin Om lagi capek”. Akhirnya Cinta harus membesarkan hati sang ‘klien’ ketika ia meminta ronde kedua, namun tak kunjung mampu melakukannya.

Cinta sampai harus memberikan kocokan dan kuluman ekstra atas permintaan Om Rudi, namun semuanya sia-sia. Pemainan birahi itu pun berunjung dengan Cinta yang nampak seperti seperti baby sitter yang sedang meneteki bayi besarnya. Bayi besar bernama Om Rudi.
“Om masih boleh kan nelpon kamu lagi?”.
“Boleh dong Om, boleh banget”, sahut gadis cantik itu begitu selesai memakai kaos ketat model tanktopnya.
“Boleh Om minta cium?”.
Cinta tersenyum dan berjalan mendekati Om Rudi yang masih duduk telanjang di atas ranjang. Diciumnya bibir Om Rudi cukup lama, kemudian diakhiri dengan sapuan lidah. Cinta juga membiarkan sejenak Om Rudi meremas-remas payudaranya sebelum mereka berpisah. Untuk uang sebanyak yang diserahkan Om Rudi, hari ini termasuk kerja mudah baginya. Dengan uang sebanyak itu untuk sementara Cinta dapat melupakan pertemuannya dengan Om Ridwan. Namun itu hanya untuk sementara.

#############
Beberapa hari kemudian.

Di sebuah kamar kosan elit, Cinta duduk lesehan di atas ranjang dan terlihat serius di depan laptopnya. Ia terlihat serius mengulir dan meng-klik mouse, sambil memperhatikan website yang bergantian muncul di layar. Sebagai seorang mahasiswi, Cinta termasuk dalam mahasiswi yang pintar. IPK-nya disetiap semester hampir tak pernah dibawah 3,0. Kesibukan lain diluar jam kampus, seperti organisasi mahasiswa, modeling, SPG dan lain-lain, seakan tidak mengganggu nilai akademisnya. Pun demikian dengan aktifitasnya sebagai lady escort. Khusus untuk ‘aktifitas’ yang satu ini, mungkin tidak satupun dari sahabat Cinta yang akan pernah menyangkanya. Berprofesi sebagai wanita panggilan kelas atas justru menguntungkan bagi Cinta. Menerima ‘klien’ bermodal besar membuat Cinta menjadi banyak memiliki kenalan kelas atas. Dari politisi, akademisi, ahli hukum, sampai jabatan berpangkat lainnya. Tak jarang mereka membantu Cinta untuk hal-hal penting, dengan imbalan beberapa jam kehangatan diatas ranjang. Bagi Cinta, seks adalah kelemahan terbesar dari laki-laki jika bisa dimanfaatkan dengan baik. Profesi lady escort bagi Cinta memang menjadi salah satu cara untuk bergaul di kalangan elit. Tarif tinggi yang dipasang Cinta adalah filter, sehingga tubuhnya tidak sembarangan dijamah oleh laki-laki hidung belang dibawah standar. Begitu pula dengan laki-laki yang menjadi kekasihnya. Status kekasih tidak serta merta membuat seorang laki-laki berhak menjamah tubuh moleknya. Cinta juga menerapkan standar yang tinggi untuk kekasih yang boleh menikmati kehangatan tubuhnya. Salah satu laki-laki yang beruntung adalah Rido, kekasihnya saat ini.
“Serius amat? Lagi bikin apa?”.
Rido keluar dari kamar mandi dengan hanya terbalut handuk.
“Nih lagi iseng browsing sambil nunggu kamu mandi”.
“Hayo pasti browsing situs porno ya? Hehehe”.
Rido naik ke atas ranjang. Laki-laki muda itu lalu memeluk Cinta dari belakang dan mendaratkan ciuman di pipi kekasihnya.
“Enak aja, emang kamu!”, Cinta tersenyum.
Rido memalingkan wajah Cinta, kemudian bibir mereka beradu. Sambil melumat bibir lembut itu, tangan Rido bergerak masuk ke dalam kaos yang dipakai kekasihnya. Dibalik kaos itu Rido bisa dengan bebas merasakan seluruh kelembutan kulit tubuh Cinta. Tidak ada bra ataupun celana dalam yang menghalanginya. Beberapa saat yang lalu Rido telah dua kali merasakan kehangatan tubuh Cinta, namun baginya itu tidak akan pernah cukup. Cinta tahu itu, sehingga selama Rido masih ada di kamar kosnya ia merasa tak ada gunanya memakai pakaian dalam.
“Katanya mau buru-buru meeting?”.
“Ah, mereka bisa nunggu”.
Cinta tidak menolak ketika Rido merebahkan tubuhnya di ranjang.
“Yakin bisa nunggu?”.
Rido mengangguk. Ciuman pun kembali mendarat di bibir Cinta.
Ujung baju kaos Cinta terangkat dan handuk Rido terlepas. Lenguhan panjang keluar dari mulut Cinta ketika batang tegang Rido memasuki dirinya. Lenguhan itu semakin panjang ketika Rido mulai menggerakkan pinggulnya. “AAHH..!!”.
Kocokan Rido itu mendadak berhenti ketika terdengar suara nada ponsel. Suara ponsel miliknya dan milik Cinta berbunyi bersamaan. Keduanya saling memandang. Ekspresi kesal Rido disambut senyuman oleh Cinta. Batang kemaluan Rido seakan ikut menjerit kesal karena harus terlepas dari jepitan lubang hangat milik Cinta. Cinta dan Rido beranjak turun dari ranjang dan mengambil ponsel masing-masing.
Cinta melihat nomor tak terdaftar di layar ponselnya. Mungkin ‘klien’ baru, pikir Cinta. Awalnya ia ingin me-reject panggilan tersebut, namun kemudian membatalkannya.
Ditekannya tombol jawab. “Halo”.
“Cinta?”, terdengar suara laki-laki.
“Iya dengan siapa saya bicara?”.
“Ini Om Ridwan”.
Cinta terkaget mendengar nama itu. Sekilas ia melirik ke arah Rido dan melihat laki-laki itu juga sedang sibuk dengan lawan bicaranya. Bayangan kejadian di hotel mendadak muncul dikepalanya. Insting kewanitaannya langsung bereaksi kalau ini bukanlah sekedar telepon menanyakan kabar. Hal ini dikarenakan, nomor ponsel ini hanya ia gunakan untuk menerima booking-an. Tak mungkin Om Ridwan mendapatkan nomor ini dari Felisia. Ia sama sekali tidak pernah memberitahukan nomor ini selain kepada pelanggannya. Dalam hati ia mencoba berpikir positif terhadap ayah dari sahabat karibnya ini.
“Oh ada apa Om?”.
“Kamu sekarang jarang main ke rumah, lagi sibuk ya?”.
“Hhmm.. Iya Om, Cinta lagi sibuk nyusun skripsi jadi gak sempet main kesana”. Cinta sedikit berbisik, kemudian berjalan menjauhi kekasihnya.
“Iya nih, Feli juga lagi sibuk bimbingan terus”.
“Gitu deh Om, soalnya pembimbing Cinta agak sedikit killer orangnya”.
“Memang siapa pembimbing kamu?”.
“Pak Burhan Om”.
“Oh Pak Burhan, Om kenal baik tuh sama dia nanti Om bantu deh biar kamu bisa cepet bimbingannya”.
Sebagai salah satu pejabat negara di Kementerian Pendidikan, Om Ridwan memang memiliki banyak kenalan dikalangan pimpinan universitas di Indonesia. Cinta tahu benar hal itu. Tapi sebagai gadis yang sudah makan asam garam, ia tahu pembicaraan ini pastilah basa-basi belaka. Pembicaraan awal menuju ke sebuah pembicaraan inti. Kembali ia mencoba untuk berpikiran positif dengan Om Ridwan, namun itu sepertinya sulit. Semenjak pertemuan mereka di hotel beberapa hari lalu, penilaian Cinta terhadap Om Ridwan sudah berubah.
“Wah makasi lo Om”, Cinta berusaha akan kata-katanya terdengar gembira.
“Ya tapi Om juga harus tahu judul dan kerangka skripsi yang kamu susun, biar Om bisa jelasin ke temen Om itu”.
“Terus gimana dong Om?”.
“Kamu ada waktu gak hari ini? Nanti kamu bawa skripsi kamu ntar Om baca dulu deh sekilas…”.
Sejenak Om Ridwan diam. Terdengar desah nafas panjang sebelum laki-laki itu melanjutkan kata-katanya.
“…Om juga sekalian mau ngomongin kejadian di hotel beberapa hari lalu”.

Oh Tuhan akhirnya dirinya harus menghadapi pembicaraan tentang kejadian itu, Cinta membatin. Ucapan terakhir Om Ridwan membuatnya sedikit ragu. Haruskah ia menerima ajakan Om Ridwan ini. Sekilas dilihatnya jam di dinding hampir menunjukkan pukul 1 siang. Sejenak Cinta berpikir. Tak ada salahnya ia bertemu dengan Om Ridwan untuk sekedar ngobrol. Ia sendiri sudah cukup tersiksa apabila kejadian itu tidak segera terselesaikan. Apalagi Om Ridwan sekaligus menawarkan bantuan tentang skripsinya. Om Ridwan sendiri bukanlah orang sembarangan dibidang akademisi. Laki-laki paruh baya itu bergelar doktor lulusan dari salah satu universitas di luar negeri. Apalagi kalau memang benar Om Ridwan kenal dengan pembimbingnya, itu berarti keuntungan baginya.
“Boleh deh Om, Cinta juga gak ada acara kok”.
“Oke kalo gitu kita ketemu di mall *** aja gimana?”.
“Aduh kejauhan Om, rame lagi, gimana kalo cafe *** aja?”.
“Gak masalah, kali gitu Om tunggu jam 6 Oke?”.
“Oke..”.
Cinta mematikan ponselnya. Gadis itu lalu membalikkan tubuhnya dan melihat Rido sudah hampir selesai memakai kembali pakaiannya. Cinta berjalan mendekati kekasihnya tersebut.
“Udah ditunggu?”.
“Iya, sorry musti buru-buru”.
“Gak apa-apa”, Cinta tersenyum.
Rido adalah seorang pengusaha muda. Direktur di sebuah perusahaan ekspor impor milik orang tuanya. Mereka sudah berpacaran hampir setahun lebih. Selain faktor fisik dan materi, Cinta juga melihat Rido sosok yang bertanggung jawab sebagai calon suami. Rido tidak menginggalkannya setelah dua tiga kali menyetubuhinya seperti kekasih-kekasihnya yang lain. Rido pun tidak segan mengelurkan uang banyak guna memenuhi segala kebutuhan hidup Cinta. Laki-laki inilah yang menjadi penyebab selama beberapa bulan ini ia tidak lagi menerima booking-an. Sebagai gadis biasa, dalam hati Cinta berharap Rido adalah pangeran tampan berkuda putih yang selama ini dicarinya.
“Siapa yang nelpon?”.
“I-itu cuma dari saudara mama nanyain nomor telpon papa”. Cinta berbohong.
“Oh gitu, ya udah aku berangkat dulu kalo gitu”.
Cinta mengangguk. Mereka berciuman.
“Gak nganterin sampai mobil nih?”.
Cinta tersenyum. “Boleh aja, kalo kamu gak masalah aku turun ke bawah gak pake celana terus gak pake daleman”.
“Hehehe ya udah gak usah aja kalo gitu”.
Cinta tahu kalau Rido kerap cemburu dengan laki-laki lain yang menatap tubuhnya. Termasuk juga kepada beberapa laki-laki yang berada di kosan tersebut.
“Oke bye”.
“Bye”.
Kembali mereka berciuman. Cinta memandangi Rido sampai laki-laki itu menghilang di tangga. Kemudian ia menutup pintu kamar kosnya. Berjalan menuju ranjang, mematikan laptop dan beranjak ke kamar mandi. Ia ada janji yang harus dipenuhi sore itu.

*************
Cinta turun dari taxi dan berjalan masuk ke dalam cafe. Ia disapa oleh pegawai berpakaian semi formal dan Cinta tersenyum kearahnya. Sesampainya didalam, ia menyapu pandangannya ke sekeliling cafe. Rupanya malam itu suasana cukup ramai, tidak seperti hari-hari biasa. Akhirnya Cinta melihat seorang laki-laki yang melambai ke arahnya. Laki-laki itu duduk di pojokan. Laki-laki itu adalah Om Ridwan. Cinta pun berjalan kearahnya.
“Udah lama Om?”.
Om Ridwan berdiri. “Gak kok baru aja, duduk Ta”.
“Maaf Cinta telat”.
“Gak apa-apa”.
Keduanya kemudian duduk. “Kamu mau makan apa?”.
“Cinta udah makan Om, makasi”.
“Kalo gitu kita minum aja deh, kamu mau apa?”.
Cinta mengambil daftar menu dan sejenak mencermatinya.
“Jus wortel campur tomat aja Om”.
“Hhmm.. healty life?”, Om Ridwan tersenyum.
Cinta membalas senyuman itu. “Ya gitu deh Om”.
Om Ridwan kemudian melambaikan tangan memanggil pelayan untuk mendekat. Tak lama pelayan itu selesai mencatat pesanan mereka berdua.
“So.. mana skripsi kamu?”.
Cinta kemudian mengeluarkan laptop dari dalam tas. Meletakkannya diatas meja dan menyalakannya.
“Ini Om..”, Cinta memutar laptop tersebut sehingga dapat dilihat oleh Om Ridwan.
Sejenak Om Ridwan tenggelam membaca secara serius skripsi tersebut. Cinta sendiri hanya memandang kearah Om Ridwan. Terbersit rasa kagum dalam diri Cinta melihat sosok laki-laki paruh baya itu. Untuk laki-laki berusia diatas kepala lima Om Ridwan mungkin tidaklah tampan, namun berkarisma. Tubuhnya yang sedikit berisi justru membuat karakter kebapakannya terlihat jelas. Rambutnya yang mulai jarang dan sedikit memutih, menunjukkan kalau ia adalah sosok yang intelektual. Paling tidak kesan itulah yang muncul ketika melihat sosok Om Ridwan, selain sosok lain yang baru diketahui Cinta beberapa hari yang lalu tentunya.
“Ini sudah bagus kok, malah bagus banget”, ucapan Om Ridwan menyadarkan lamunan Cinta.
“Serius Om?”.
“Kamu itu selain cantik ternyata juga cerdas ya”.
“Ah Om bisa aja”. Cinta tersipu.
“Kalau seperti ini sih, Om bakal gampang ngomong ke temen Om, gak perlu waktu lama deh kamu buat lulus Ta”.
“Aduh itu mau banget Om, Cinta kan mau lanjut studi ke luar negeri kayak Om”.
“Bener?”.
“Beneran Om..”, Cinta terdengar bersemangat.
“Nah kalo gitu ntar Om bantu juga deh nyariin beasiswa”.
“Wah.. serius Om? Makasi…”, kali ini Cinta semakin bersemangat.
“Sama-sama”, Om Ridwan tersenyum.
Kemudian beberapa saat ekspresi wajah laki-laki itu berubah serius. Keduanya membisu dan terlihat kikuk. Beruntung suasana berubah ketika pelayan datang membawa pesanan. Itu pun tidak lama, karena setelah pelayan pergi suasana kembali seperti semula.
Om Ridwan berdehem. Kebisuan pun pecah. “Oya, soal kejadian di hotel ***”.
Laki-laki itu terdiam sejenak. Menatap tajam ke arah Cinta. Ekspresi wajah gadis cantik itu terlihat berubah tegang.
“Kita sudah sama-sama dewasa Ta, jadi Om bakal cerita terus terang saja…”.
Om Ridwan kemudian bercerita panjang lebar tentang kebiasannya bermain wanita dan gadis-gadis muda. Ia mengaku bahwa dia terpaksa mencari pelarian karena Verayanti – istrinya, sudah semakin jarang memiliki waktu untuk menjalankan kewajibannya sebagai istri. Masuk akal bagi Cinta karena dilihatnya Tante Vera – begitu biasa Cinta memanggilnya, memang terlihat lebih sibuk di luar rumah. Tante Vera lebih mengutamakan bisnis berliannya ketimbang mengurusi keluarga. Itu sebabnya Felisia juga menjadi sedikit agak bebas dan liar dalam bergaul. Akibat pertemuan tak diduga itu ternyata baik Om Ridwan maupun Cinta, nampaknya sama-sama ketakutan kalau rahasia mereka terbongkar. Cinta takut profesinya sebagai lady escort didengar orang tuanya. Om Ridwan pun dilain pihak, takut kalau kebiasaannya bermain perempuan tersebar akan merusak nama baiknya dan mempengaruhi rumah tangganya. Keduanya kini sepertinya ada di dalam posisi yang sama. Sama-sama mengetahui rahasia pribadi satu sama lain. Sama-sama ingin rahasia itu tetap menjadi rahasia. Rahasia penting yang bisa mempengaruhi kehidupan masing-masing.

“Oke itu semua cerita Om…”, ucap Om Ridwan sebagai penutup ceritanya.
Cinta tak tahu harus berkomentar apa. Dia sendiri di hotel itu juga melakukan hal yang sama seperti dilakukan oleh Om Ridwan. Tentunya ia tidak bisa menyalahkan ayah sahabatnya itu.
Lama tidak mendengar komentar dari Cinta, akhirnya Om Ridwan pun melanjutkan kata-katanya. “…Dan soal kamu, Om sudah dengar langsung dari Om Rudi”.
Cinta tersentak. Apakah itu berarti Om Ridwan sudah mengetahui tentang profesi sampingannya? Cinta membatin.
“…Dia cerita semuanya tapi Om gak bilang kalo Om itu kenal sama kamu. Nomor telepon yang tadi Om telpon juga Om dapet dari Om Rudi…”.
Detik itu juga Cinta merasa kalau langit telah runtuh diatas dirinya. Laki-laki yang begitu ia hormati dan telah ia anggap ayah kedua baginya, kini telah mengetahui rahasia terbesarnya. Untuk beberapa saat, kembali baik Cinta maupun Om Ridwan tak mengeluarkan kata-kata. Hanya suara-suara pengunjung cafe yang terdengar riuh disekitar mereka.
Setelah hening beberapa saat lalu Cinta berkata terbata-bata, “Tolong jangan kasi tau orang tua Cinta Om…”.
“Oh tidak, tentu saja tidak”, Om Ridwan langsung menanggapi. “Dan Om juga minta kamu jangan bilang ke Tante Vera”.
Cinta hanya mengangguk. Kini kartu AS mereka berdua sudah saling terbuka. Keduanya pun lalu saling berjanji untuk saling menutup mulut dan tidak akan membuka rahasia masing-masing. Tapi ternyata masalahnya tidak sesederhana itu, ketika Om Ridwan melanjutkan kembali kata-katanya.
“Ta, Om sudah dengar cerita Om Rudi dan juga cerita dia tentang temannya yang pernah, maaf, mem-booking kamu…”. Om Ridwan nampak ragu melanjutkan kata-katanya, namun akhirnya laki-laki paruh baya itu melanjutkannya. “…Om juga pengen booking kamu”.
“Om…!”, ekspresi wajah Cinta bertambah tegang. “…Ja-jadi semua kebaikan yang Om tawarin tadi cuma karena ini?”.
“Bu-bukan gitu Ta, bukan.. Semua yang tadi Om tawarin itu adalah tulus karena kamu adalah sahabat baik anak Om, itu gak akan berubah walau kamu menolak sekalipun…”, Om Ridwan menelan ludah. “Anggap saja sekarang ini Om adalah orang lain yang gak kamu kenal…”.
“Kalau Cinta menolak, semua tawaran itu masih tetap berlaku?”.
Om Ridwan mengangguk.
“Kalau Cinta menolak, Om bakal cerita semua rahasia ke orang tua Cinta?”.
Om Ridwan menggelengkan kepala. “Sekarang ini Om adalah pelanggan kamu dan kamu sepenuhnya berhak menentukan apakah menerima atau menolak tawaran Om”.
Cinta terdiam sejenak untuk berpikir. Om Ridwan pun terlihat tegang menunggu jawaban gadis cantik itu. Setelah lama dalam kebisuan Cinta pun menjawab, “Tapi gak murah lo Om”.
“Sebutin saja harganya…”.
“Cinta gak mau nerima uang Om”.
“Loh terus?”, Om Ridwan terheran.
“Udah lama Cinta pengen punya Tablet PC *** baru, Om bisa beliin?”.
Om Ridwan tersenyum lebar. “Kalo cuma itu sih sekarang juga Om bisa beliin kamu”.
Cinta terkejut kalau Om Ridwan akan menyatakan kesanggupan. Barang yang disebutkan Cinta tadi harganya begitu tinggi. Ia sebenarnya berharap Om Ridwan akan berpikir dua kali untuk menyanggupinya. Dengan demikian hubungan gelap yang mungkin akan terjadi diantara mereka bisa dihindari. Ternyata Cinta salah memprediksi. Uang sebesar itu ternyata tidak menjadi masalah besar untuk Om Ridwan. Jadi kini bola panas kembali berada di pihak Cinta.
“Oke minum dulu jusmu, ntar kita mampir ke *** biar kamu pilih sendiri yang kamu mau”, Om Ridwan menyebut salah satu mall khusus barang-barang elektronik terbesar di kota itu.
Cinta hanya bisa menurut. Paling tidak selama perjalanan nanti ia masih bisa berpikir. Berpikir apakah dirinya cukup gila untuk menjalin sebuah afffair. Sebuah hubungan gelap dengan ayah dari sahabat baiknya sendiri.

*************
Tak lama mereka berdua sudah berpindah dari cafe ke mall yang mereka tuju. Disana Om Ridwan dengan setia menemani Cinta berjalan dari satu counter ke counter lainnya. Cinta terus berusaha mengulur waktu. Sengaja Cinta berbicara cukup lama dengan sales penjaga counter-counter yang dimasukinya. Kembali ia berharap Om Ridwan akan bosan dan tersulut emosinya. Dengan demikian kemungkinan laki-laki paruh baya itu akan ilfilterhadap dirinya. Namun sekali lagi, perkiraan Cinta salah. Om Ridwan terlihat begitu tenang mengikuti segala kemauannya. Tidak ada ekspresi bosan ataupun kesal yang muncul di wajah Om Ridwan, sebagaimana yang ia harapkan.
“Ini aja deh Om…”, Cinta akhirnya menyerah dan menunjuk sebuah tablet PC berukuran 10 inchi merk terkenal.
“Yakin? Gak mau liat-liat yang lain lagi?”.
Cinta menggelengkan kepalanya. “Boleh ya Om?”.
Gadis cantik itu melemparkan senyuman, walaupun jauh di dalam ia sedang gundah. Ini adalah harapan terakhir Cinta. Ia tahu harga tablet PC itu adalah yang paling mahal di kelasnya. Harapan Cinta semoga kali ini bisa membuat Om Ridwan mundur dan membatalkan niatnya. Ternyata kembali Cinta salah. Om Ridwan mengangguk. Habis sudah daya dan upaya Cinta. Mungkin hubungan gelap ini memang harus ditakdirkan terjadi, Cinta membatin.
“Ntar ya Om bayar dulu”, Om Ridwan kemudian berdiri dan menuju kasir.
“Makasi ya Om”, Cinta hanya bisa melempar senyuman.
Beberapa saat kemudian Om Ridwan dan Cinta meninggalkan counter ponsel itu. Tak lama setelahnya mereka berdua sudah berada di dalam mobil dan meninggalkan parkiran.
“Gimana sudah dicoba semua fiturnya?”.
Dibelakang kemudi Om Ridwan melirik ke arah Cinta yang terlihat sibuk mengutak-atik ‘mainan’ barunya.
“Masih belum ngerti sih Om, tapi mirip-mirip kok sama versi lamanya”.
“Udah seneng? Hehehe”.
“Udah Om, makasi sekali lagi”.
“Kalo gitu kasi cium dulu dong hehehe”.
Cinta ingin mengelak dari permintaan itu, namun ia tahu kini semuanya telah terlambat. Ia pun mendekat dan mencium pipi Om Ridwan.
“Loh kok pipi sih? Bibir dong…”.
“Ih Om genit…”, Cinta menyubit pundak laki-laki paruh baya itu.
“Ayo dong, mana ciumnya”, nada suara Om Ridwan terdengar memelas.
“Kan Om masih nyetir, kalo nabrak gimana?”.
“Kalo cium bibir di kasur boleh dong?”.
“Hhhmm… gimana ya?”, ucap Cinta ragu.

Sementara Cinta terlihat berpikir, tangan kiri Om Ridwan mulai bergerak menuju paha sang gadis. Tangan Om Ridwan sedikit kesulitan merasakan mulusnya paha tersebut akibat terhalang tebalnya kain jeans. Cinta membiarkan saja tangan Om Ridwan mengeksplorasi pahanya. Gadis cantik itu tahu kalau Om Ridwan kini memiliki hak untuk melakukannya. Ia sudah mengeluarkan uang dengan nominal yang begitu besar, sehingga tentunya ia menginginkan balasan yang setimpal untuk itu.

“Hayo gimana?”.
“Boleh deh Om”.
“Cium bibir aja atau boleh cium-cium yang lain?”.
Cinta tersenyum. “Cium yang lain-lain juga boleh kok Om”.
“Nah gitu dong hahaha”, kini giliran Om Ridwan yang tertawa sumringah.
Singkat cerita kesepakatan pun tercapai. Om Ridwan pun membawa Cinta ke sebuah bungalow yang berada di dekat pantai. Sebuah bungalow yang biasa ia datangi bersama gadis-gadis muda lainnya. Menjelang mendekati tujuan, Cinta yang sejak semula terlihat tegang kini terlihat semakin tegang. Jantungnya berdetak dengan kencang. Bagaimanapun laki-laki yang sebentar lagi akan menikmati tubuhnya ini adalah ayah kandung dari sahabatnya sendiri. Walaupun mereka tidak memiliki hubungan darah, namun tetap saja semua ini terasa salah.
Dilain pihak, Om Ridwan juga merasakan ketegangan yang sama. Hanya saja bedanya, ketegangan yang dialami laki-laki itu lebih menjurus ke arah birahi. Di dalam dirinya bergolak gairah yang sudah bergolak dasyat. Dalam otaknya sudah terbayang bagaimana tubuh telanjang Cinta akan berguncang-guncang dibawah tubuhnya. Terbayang pula bagaimana hangat dan lembutnya tubuh Cinta saat nanti bersentuhan dengan tubuhnya. Guna mengurangi rasa tegangnya, ia pura-pura sibuk menyetir mobil dan berkonsentasi pada jalan dihadapannya.
“Oke sudah sampai”.
Bungalow yang mereka tuju itu terlihat begitu indah di malam hari. Hembusan angin laut dan temaram lampu-lampu restoran dipinggir pantai menambah kesan elegan. Om Ridwan keluar, kemudian menjemput Cinta turun dari mobil. Mereka kemudian berjalan menuju ke sebuah gedung berukuran lebih besar dari bangunan lain yang ada disana. Terdapat tulisan ‘office’ di depan pintu. Begitu masuk mereka langsung disambut ramah oleh seorang laki-laki dari belakang front desk.
“Kamu duluan aja masuk, ruangan kita ada dibelakang, biar Om bicara sama pengelolanya dulu”, Om Ridwan berkata sambil menyerahkan sebuah kunci.
Cinta mengangguk dan berjalan keluar dari gedung tersebut. Ia berjalan ke belakang gedung dan melihat sebuah bungalow kosong. Nomor yang ada dipintu sama dengan yang tertera di kunci. Tak lama ia pun sudah berada didalamnya. Cinta menyalakan lampu. Suasana di dalam kamar tak kalah indahnya dengan suasana di luar. Terdapat sebuah springbed besar lengkap dengan dua buah meja kecil di sisi kanan dan kirinya. Lampu tidur kecil berada di atas kedua meja tersebut. Terdapat pula sebuah TV berukuran 21 inchi dengan sebuah sofa didepannya, sebuah AC dan sebuah meja rias. Selain itu kamar tersebut juga dilengkapi dengan sebuah kamar mandi dalam. Diletakkannya tas laptop dan tas jinjing di meja kecil dipinggir ranjang.
Selesai menyapu pandangan ke penjuru ruangan, Cinta mengambil remote TV dan duduk di atas sofa. Ia menyalakan TV, kemudian mengganti channel beberapa kali sampai muncul sebuah tayangan konser musik. Tak lama Om Ridwan muncul dari balik pintu.
“Suka dengan suasananya?”.
“Suka Om”.
Om Ridwan kemudian duduk disamping Cinta, diatas tatakan tangan sofa.
“Nonton apa?”.
“Ini tayangan ulang konser musik yang semalem”.
Tangan Om Ridwan bergerak membelai rambut panjang Cinta.
“Kamu cantik sekali Ta”.
“Ah Om bisa aja”. Cinta tersipu.
Mulailah keluar kehandalan Om Ridwan dalam merayu wanita. Pelan-pelan Cinta mampu dibuatnya terlepas dari ketegangan dan berlahan suasana pun menjadi lebih relax. Om Ridwan kini sudah berpindah duduk di samping Cinta. Walaupun selangkangannya sudah berontak, agaknya Om Ridwan masih bisa menjaga emosinya. Ia agaknya tidak ingin terburu-buru dalam menikmati keindahan ciptaan Tuhan yang ada disampingnya.




“Kamu mau minum? Om pesenin ya?”.
“Gak usah Om, tadi kan udah minum”.
Tangan Om Ridwan yang tadi membelai rambut, kini berlahan turun melingkar di pinggang Cinta. Dalam hati Cinta kagum dengan kesabaran yang dimiliki Om Ridwan. Sebenarnya ia sudah menyadari kalau selangkangan Om Ridwan sudah menggunung, bahkan sejak mereka berada di mall. Kalau laki-laki lain mungkin sudah sejak tadi menerkam dan melempar tubuhnya ke ranjang, namun tidak dengan Om Ridwan. Laki-laki itu terlihat sabar membangun suasana santai, walaupun ia tahu kalau semuanya pasti akan berakhir di ranjang.
Sesekali terdengar komentar Om Ridwan mengenai acara yang ada di layar TV. Komentar itu kerap disambut tawa oleh Cinta. Tawa Cinta yang genit dan manja bak jinak-jinak merpati semakin membangkitkan birahi Om Ridwan. Laki-laki itu lalu mendaratkan ciuman di pipi dan leher Cinta, sehingga membuat gadis cantik itu bergelinjang.
“Om ada rokok?”, pinta gadis cantik itu.
Permintaan ini menghentikan gerakan remasan tangan Om Ridwan. Tangan itu kini berada di payudara kanan Cinta. Rupanya Cinta masih terlihat belum cukup siap untuk memulai affair ini.
“Oh kamu ngerokok?”.
“Sesekali sih Om, kalo lagi tegang…”.
Om Ridwan tersenyum. Agaknya ia mengerti dengan maksud yang disampaikan gadis tersebut.
“Iya ada, sini biar Om yang pasangin”.
Om Ridwan mengeluarkan sebungkus rokok dari saku celananya, berikut koreknya. Laki-laki itu mengeluarkan satu batang dari dalam bungkus. Setelah membakarnya, Om Ridwan tidak langsung menyerahkannya kepada Cinta.
“Mana, katanya mau pasangin buat Cinta?”.
“Sebentar, sebelum ngerokok bibirnya Om musti cium dulu…”.
Menutup kalimatnya Om Ridwan langsung menyerobot bibir Cinta. sedetik kemudian ciuman itu berubah menjadi ciuman penuh nafsu. Dibiarkan saja ciuman tersebut oleh Cinta. Hanya saja setelah itu ia menggigit bibirnya malu-malu manja. Om Ridwan pun memasang rokok tersebut dimulut Cinta dan asap pun mulai mengepul.
“Kamu masih tegang ya?”.
Cinta mengangguk dengan ekspresi wajah polos.
“Kok sama ya Om juga tegang, cuma kalo Om tegangnya disini hehehe”. Om Ridwan menggoda Cinta sambil menunjuk ke arah selangkangannya.
Mendengar itu Cinta pun balik menggoda. “Masa udah tegang? Kan belum diapa-apain Om?”, ucapnya dengan nada genit.
“Iya abis bagian yang itu kan agak sedikit nakal dan sensitif hehehe”.
“Ih ‘itu’ Om juga ternyata juga senakal Om ya hehe”.
Cinta menyandarkan kepalanya di dada Om Ridwan.
“Sini Om pijitin biar tegangnya hilang”. Laki-laki itu menegakkan tubuh Cinta.
Tubuh Cinta diposisikan duduk membelakangi dirinya. Jari-jari tangan Om Ridwan bergerak lincah dipundak Cinta. Pijatan itu terasa lembut tetapi kuat. Desahan pelan keluar dari mulut Cinta, menandakan kalau ia menikmati pijatan tersebut.
“Udah enakan?”. Pertanyaan ini dijawab Cinta denggan anggukan.
“Om mau?”. Cinta membalikkan badan dan menyodorkan rokok yang dipegangnya.
Om Ridwan menerimanya dan menghisapnya. Lalu dikembalikannya lagi kepada Cinta. Sambil diselingi hisapan rokok secara bergantian, keduanya kembali bersenda gurau. Pijatan Om Ridwan cukup membantu menenangkan ketegangan syaraf-syaraf tubuh Cinta. Melihat Cinta sudah kembali santai, Om Ridwan pun terlihat mulai berani melancarkan serangannya lagi.
“Bajunya jadi basah gini nih, Om bukain ya biar gak kusut?”, katanya menawarkan.

Berlahan jari-jari tangan itu mulai bergerak melepas kancing baju Cinta. Tidak ada penolakan. Sudah tidak ada lagi rasa canggung dalam diri Cinta. Gadis cantik itu mulai terhanyut dalam suasana yang dibangun oleh Om Ridwan. Dalam benaknya kini, Om Ridwan adalah salah satu ‘klien’ yang harus dilayaninya. Dengan gaya acuh tak acuh sibuk mengisap rokoknya, dia membiarkan tangan Om Ridwan terus bekerja. Ia sendiri malah membantu dengan menegakkan duduknya agar kemejanya dapat diloloskan. Dalam sekejap penutup tubuh atas Cinta kini hanya menyisakan bra saja.
“Wow, naughty colour!”, seru Om Ridwan ketika melihat bra warna merah menyala yang dipakai Cinta.
Cinta tersenyum. Ia bersyukur tadi memilih satu set pakaian dalam yang bagus. Patut disyukuri, karena membuka pakaian tidak ada dalam rencananya ketika akan bertemu Om Ridwan.
“Om suka?”.
“Banget! Hehehe”.
Cinta yang memang sudah terbiasa telanjang di depan lelaki, terlihat santai. Ini adalah kali pertama tubuh bagian atasnya dilihat Om Ridwan, namun Cinta sama sekali tidak terlihat canggung. Tetapi ketika tangan Om Ridwan hendak melanjutkan untuk membuka resleting depan celana jeans-nya, barulah Cinta nampak menggelinjang manja.
“Ngg.. masak Cinta telanjang sendiri sih Om? Om juga buka dulu dong bajunya?”.
“Iya, iya, Om juga buka baju Om..”.
Segera Om Ridwan berdiri dan mulai melucuti pakaiannya satu persatu. Sementara itu Cinta masih duduk di sofa memandangnya. Gerakan Om Ridwan berhenti ketika hanya celana dalam yang tersisa ditubuhnya. Ia pun kembali beralih hendak meneruskan usahanya melepas celana jeans Cinta.
“Ntar dulu Om, Cinta matiin rokoknya dulu”.
Cinta bergeser. Ditekannya batang rokok itu ke asbak diatas meja. Setelahnya Cinta membantu Om Ridwan dengan mengangkat pantatnya, sampai akhirnya celana itu terlepas dari tubuhnya. Kini keduanya sama-sama hanya menyisakan pakaian dalam mereka sebagai penutup tubuh terakhir. Om Ridwan kembali duduk di sofa dan dengan lembut ia menarik Cinta bersandar di dadanya. Di situ dia mulai dengan mengecup pipi sambil mengusap-usap pinggang Cinta. Tangannya lalu bergerak meremas lembut masing-masing pangkal bawah payudara si gadis yang masih tertutup bra.
“Cinta kurus ya Om?”, tanya Cinta sekedar menghilangkan salah tingkah karena payudaranya mulai digerayangi Om Ridwan.
“Ah nggak, kamu malah bodimu bagus sekali Ta”, jawab Om Ridwan memuji Cinta apa adanya karena memang lekuk tubuh gadis itu begitu menggiurkan.
“Tapi pasti Om senengnya sama yang montok kan? Yang waktu ini Cinta liat di hotel ceweknya montok banget..”.
“Iya tapi toketnya gak sepadet kamu. Om kan suka toket yang padet biar enak diremes, kayak toket kamu ini..”, rayu Om Ridwan sambil kali ini mencoba untuk membuka pengait bra Cinta yang kebetulan terletak di bagian depan.
“Om sih jago ngerayu. Buktinya belum ngeliat tapi udah bilang padet aja”.
“Makanya sekarang Om liat, terus Om rasain hehehe”.
Kaitan bra terakhir Cinta berhasil dilepas Om Ridwan. Sepotong pakaian dalam itu pun berhasil dilolosi. Cinta hanya pasrah membiarkan branya terlepas. Gadis cantik itu juga terlihat pasrah membiarkan kedua payudara telanjangnya yang membulat kenyal itu mulai diremas tangan Om Ridwan.
“Biar Om tebak, 34 B kan?”.
“Ih hebat, bener Om”.
Keduanya tertawa. Om Ridwan melanjutkan remasan tangannya.
“Persis seperti yang Om bayangin selama ini”.
“Maksud Om?”.
“Udah lama Om merhatiin juga ngebayangin kalo toket kamu ini pasti kencang banget”.
“Emangnya Om mulai kapan merhatiinnya?”.
“Dari mulai kamu dateng ke rumah sama Feli Om udah tertarik sama kecantikan kamu Ta, cuma gak mungkin dong Om terang-terangan. Tiap kali ngeliat rasanya gemes sama kamu..”. Om Ridwana berkata begitu sambil memilin puting payudara di tangannya membuat si gadis lagi-lagi menggelinjang manja.
“Aaa.. gemes mau diapain Om?”.
“Gemes mau peluk-pelukin Cinta kayak gini, cium-ciumin kayak gini, remes-remesin kayak gini.. sshmm..”, jawab Om Ridwan dengan memperlihatkan contoh cara dia mendekap, mengecup pipi dan meremas payudara Cinta.
“Ih si Om.. Terusnya apalagi?”.
“Terusnya yang terakhir ‘ini’ nya.. Apa sih ini namanya?”, tanya Om Ridwan menggoda. Sementara tangan kanannya turun ke selangkangan Cinta, langsung meremas bukit vagina yang terlihat samar dari balik celana dalam.
“Ini namanya memek Om”, jawab Cinta.
Gadis itu menoleh kesamping lalu menggigit pelan bibir Om Ridwan. Bahasa Cinta yang cenderung vulgar membuat Om Ridwan kian terangsang mendengarnya.
“Iya, kalau memek Cinta ini dimasukin punya Om, boleh kan?”.
Cinta menggoda Om Ridwan. “Dimasukin apa Om..?”.
“Ini, apa ya namanya?”, tanya Om Ridwan lagi. Ia melakukannya sambil membawa tangan Cinta kepada gundukan dibalik celana dalamnya.
“Aaa.. ini namanya kontol Om”. Ucap Cinta dengan nada genit.
“Oh kalo gitu kontol Om mau masuk ke memek Cinta, boleh? Hehehe”
“Kalo dimasukin kontol bisa bahaya loh Om, ntar kalo Cinta hamil gimana?”, Cinta bergaya polos, namun disaat yang sama tangannya malah meremas-remas gundukan besar itu.
“Jangan ambil bahayanya dong, ambil enaknya aja. Om kan selalu sedia kondom”.
“Tapinya sakit gak ya? Abis keliatannya gede banget sih Om”. Cinta terus menggoda birahi Om Ridwan.

Sementara tangan kiri Cinta terus meremasi selangkangan laki-laki itu. Dalam benaknya, Cinta berusaha membayangkan seberapa besar ‘benda’ tersebut.
“Gak dong, kalo udah dimasukin malah enak. Yuk kita pindah ke tempat tidur?”.
Om Ridwan kemudian membopong Cinta pindah ke tempat tidur. Agaknya permainan cinta terlarang ini akan memasuki babak berikutnya. Cinta memasrahkan diri ketika tubuhnya mulai digeluti, dicium dan diraba gemas oleh Om Ridwan. Semua rangsangan ini semakin menaikan birahi nafsunya.
“Oohhh… Aaahh…”.
Cinta memang senang digauli laki-laki yang sudah berumur seperti Om Ridwan. Laki-laki berumur bukan hanya lebih pengalaman, tapi juga lebih teliti saat mengecap tubuh perempuan. Apalagi gadis muda seperti dirinya. Setiap jengkal tubuh Cinta menjadi basah oleh liur Om Ridwan. Getaran hebat menerjang hampir setiap titik syaraf ditubuhnya. Cinta terus mendesah-desah diserbu rangsangan bernafsu yang bertubi-tubi di sekujur tubuhnya.
“Om…sshh.. ssshhh..”. Rancauan mulai terdengar keluar dari mulut Cinta. “Ahahhhh.. gellii Omm.. Sshh.. iihh..”.
Rancauan Cinta itu semakin memancing birahi Om Ridwan kian menjadi. Om Ridwan nampak seperti laki-laki ingusan yang baru kali ini bergelut dengan seorang gadis. Ia terlihat begitu menikmati dan tidak terburu-buru untuk mengecapi sepuas-puasnya tubuh mulus nan indah tersebut. Dari semula saja dia sudah bertekat untuk melupakan bagaimana status hubungannya dengan Cinta, apalagi setelah dilanda nafsu tinggi seperti ini. Anak gadis sahabat dari anaknya ini begitu hebat merangsang gairahnya, sehingga membuatnya melupakan segala-galanya.
“Geli banget Om ooohhh…”.
Kini celana dalam Cinta telah diloloskan oleh Om Ridwan. Tubuh telanjang Cinta pun telah rata mendapat jatah jilatan rakus lidah Om Ridwan. Mulut dan lidah Om Ridwan terlihat sibuk berpindah-pindah menyedot dan menjilati diantara kedua bukit kenyal milik sang gadis cantik. Ketika kuluman mulutnya berada di puting kanan, maka tangan kanan Om Ridwan meremas-remas payudara kiri, demikian sebaliknya.
“Srruupp.. sruuupp..”, suara decakan terdengar ketika dengan rakus Om Ridwan menikmati kedua payudara padat itu.
Sementara Cinta bergelinjang diatas ranjang. “Oohhh Om.. Terus Om…”.
Sedotan dan jilatan Om Ridwan turun menyusuri perut rata Cinta. Turun lagi menuju pusar, sampai di daerah kewanitaan si gadis. Laki-laki itu membuka lebar kedua kaki Cinta. Rupanya Cinta rajin merawat daerah kewanitaannya. Bulu-bulu hitam yang ada disana terlihat tercukur rapi. Bau vagina khas gadis muda membuat Om Ridwan begitu bernafsu melahapnya. Seperti anjing kelaparan ia menyosor, menjilat dan menyedot celah rangsangan itu.
Keduanya tidak peduli lagi dengan masalah kesopanan. Om Ridwan seakan lupa kalau sahabat anak gadisnya yang biasanya sopan datang ke rumahnya, kini sedang menjambak-jambak rambutnya. Itu dilakukan Cinta terdorong naluri akibat rasa nikmat yang melanda sekujur tubuhnya.
“Ssshh.. aahhh.. gelii.. Omm..”.
Om Ridwan tidak mempedulikan rancauan Cinta.
“Srruupp.. sruuupp.. ssruupp..”, hanya itu yang terdengar di antara kedua paha Cinta yang semakin terbuka lebar.
Apalagi ketika cairan kewanitaan mulai mengalir keluar dengan derasnya. Melihat itu Om Ridwan kian bersemangat menyedot-nyedot cairan tersebut. Permainan lidahnya yang liar juga menambah yang basah menjadi semakin basah. Rasa canggung yang semula ada, kini sepertinya hilang entah kemana.
“Omm.. Ssshh.. aahhh.. aaahhh.. “, desahan Cinta berubah menjadi lenguhan.
Terlihat kepala gadis cantik itu menengadah ke langit-langit kamar dalam keadaan terpejam. Guna memberikan sedikit waktu vagina gadis itu beristirahat, Om Ridwan menghentikan jilatannya. Ia beranjak, lalu berjongkok di atas tubuh telanjang Cinta.
“Sepong kontol Om dong Ta”.

Cinta mengangkat tubuhnya. Mereka berganti posisi di ranjang. Cinta memegang ujung celana dalam Om Ridwan dan menariknya turun. Gadis itu bergidik. Perut Om Ridwan yang tambun seakan hendak berlomba mengacung dengan penisnya. Menurut mitos, umumnya laki-laki bertubuh tambun akan memiliki penis yang kecil. Untuk saat ini agaknya mitos tersebut tidak berlaku. Ketika bersimpuh di depannya, Cinta baru secara jelas melihat ukuran penis Om Ridwan. Ukurannya besar, sangat besar.
Melihat keraguan di wajah Cinta, laki-laki itu terlihat heran. “Kenapa Ta?”.
“Gede banget Om”, sahut Cinta pelan.
Masih dengan sedikit keraguan, Cinta menggenggamnya dan mulai mengocok. Om Ridwan tersenyum bangga mendengar hal ini.
“Kamu udah ada pacar Ta?”.
“Udah Om”.
“Gede mana punya Om sama punya pacar kamu?”.
Cinta tahu benar bagaimana harus menjawab pertanyaan seperti ini. Sebagai penyedia jasa, ia harus selalu memuji ‘milik’ pelanggannya. Itu sudah prinsip dagang, walaupun untuk itu ia kerap harus berbohong. Namun untuk kali ini ia sepertinya tidak perlu berbohong.
“Punya Om dong”.
“Hehehe kalo gitu dikulum dong…”.
Cinta menurut. Ia menunduk dan memasukkan penis itu ke dalam mulutnya. Dikulumnya batang milik laki-laki yang hampir seumuran dengan ayahnya tersebut. Dengan telaten Cinta mengulum, menjilati dan balik mengulum batang besar itu. Selain besar, ternyata penis itu cukup panjang. Ketika mengulumnya, Cinta bisa merasakan ujung penis itu sampai menyentuh tenggorokannya. Sesekali Cinta menyelingi dengan jilatan di lubang kencing dan juga buah zakarnya. Om Ridwan terlihat santai menikmati pelayanan yang diberikan sahabat anaknya itu.
“Udah.. udah ntar Om keburu keluar, gak sempet nyicipin memekmu”.
Om Ridwan menghentikan kuluman Cinta. Keduanya kembali berganti posisi. Kini Cinta yang terlentang di ranjang. Om Ridwan menekuk kedua kaki Cinta dan membukanya. Dengan posisi ini, vagina sang gadis menjadi terpampang tanpa halangan. Masih terlihat basah dan licin. Dijilatinya dua jari tangannya, lalu dimasukkannya jari tersebut ke dalam memek si gadis. Dikocoknya lubang basah itu dengan jari agar syaraf-syaraf disana menyesuaikan diri.
“Eeegghh…!”. Cinta menutup matanya.
Merasa kalau lubang kenikmatan itu sudah cukup basah, Om Ridwan mengarahkan batang penisnya yang sudah menegang hebat kesana. Ia usap-usapkan ujungnya dipermukaan vagina Cinta, lalu sedikit menekannya. Gadis cantik itu baru tersadar ketika batang itu sudah hampir setengah terendam di vaginanya. Ia membuka mata dan melirik ke bawah. Cinta mengangkat tubuhnya. Menggunakan kedua tangan sebagai penopang.
“Om, Cinta pakein kondomnya dulu ya”.
“Gak usah pake kondom ya Ta, ntar Om keluarin diluar deh”.
“Tadi katanya mau pake?”.
“Iya itu kan tadi hehehe”.
Cinta mengerutkan dahi.
“Abis pake kondom gak enak rasanya, bole ya gak pake? Bole ya, bole ya?”, ucap Om Ridwan dengan nada memelas.
Cinta menggeleng. “Gak pake kondom gak boleh masuk!”.
Kini giliran Om Ridwan yang mengerutkan dahinya. Ia hanya bisa melongo melihat Cinta turun dari ranjang menuju meja dimana ia meletakkan tasnya. Tubuh telanjang Cinta terlihat benar-benar ranum dari posisi Om Ridwan saat ini. Hitungan detik Cinta sudah naik kembali ke ranjang. Gadis itu duduk dihadapan Om Ridwan sambil merobek sebungkus kondom. Dengan pelan ia memasangkan karet pengaman ini pada batang penis Om Ridwan.

“Udah boleh lanjut? Hehe”.
Gadis cantik itu tersenyum dan mengangguk.
Kemudian ia merebahkan kembali tubuhnya di ranjang. Sekilas dilihatnya wajah Om Ridwan memerah menahan nafsu. Cinta kembali memejamkan matanya. Tak lama ia bisa merasakan ujung penis Om Ridwan menyentuh permukaan vaginanya. Perlahan ujungnya mulai terasa menyeruak masuk ke dalam lubang kenikmatannya. Dan beberapa detik kemudian batang penis itu pun penghujam penuh.
“AAAKKHHHH..!!!”, Cinta berteriak kencang.
Teriakan itu semakin hebat ketika tiba-tiba saja Om Ridwan mengocok penisnya dengan ganas. Cinta tak menyangka akan menerima serangan mendadak seperti itu.
“Sakit Om… SAKIITT…!!”.
Gadis cantik itu terus berteriak, namun Om Ridwan sudah terlanjur dilanda birahi hingga ubun-ubun. Tak peduli dengan teriakan Cinta, ia terus saja menghujam dan terus menghujamkan penisnya. Kelihatannya ukuran penis Om Ridwan terasa merobek dinding vagina Cinta, dan membuatnya berkontraksi hebat.
“OMM… SAKIITT OOMM…!!”.
Cinta berteriak histeris dan terus mengerang. Mendengar teriakan Cinta yang memelas, akhirnya Om Ridwan meredam sedikit emosinya. Dihujamkan penisnya secara lebih pelan. Laki-laki itu menaik-turunkan pantatnya dengan lebih berlahan. Secara perlahan pula penis itu mulai bisa diterima dinding vagina Cinta.
“Memekmu sempit banget Ta, Enaakk..!”. Giliran Om Ridwan yang merancau.
“Iya Om, gitu Om.. Pelan-pelan aja…”.
Puas dengan posisi missionary, Om Ridwan menghendaki perubahan. “Oke sekarang kamu nungging. Om mau nyodok kamu dari belakang”.
Cinta menurut dan berbalik. Diambilnya posisi doggy sesuai permintaan.
“Siap-siap Ta, Om bakal bikin kamu teriak-teriak lagi”.
Selesai berkata seperti itu terdengar kembali teriakan dari mulut Cinta, AAAKKHH.. OOMM..!!”.
Om Ridwan mengocok lagi dengan ganas, tapi kali ini Cinta jauh lebih siap. Vaginanya sudah berkontraksi dengan sempurna. Sodokan Om Ridwan kali ini mampu membuat Cinta langsung terbuai dalam kenikmatan. Kedua tangan Cinta menggenggam erat sprei dengan kencang, seiring kencangnya sodokan Om Ridwan. Sesekali tamparan dilancarkan Om Ridwan kepada bongkahan pantat Cinta.
“Gimana Ta? Enak?”.
“E-enak Om, enak banget…”, Cinta berkata jujur. Dengan posisi ini Om Ridwan mampu menerbangkan Cinta hingga ke langit ke tujuh.
Cukup lama berada dalam posisi ini, Om Ridwan membalik kembali posisi tubuh Cinta. Kembali ia menyodok vagina gadis itu dari depan. Cinta sendiri terlihat asyik menikmati posisi ini. Saking asyiknya kedua tangan dan kakinya naik mencapit tubuh Om Ridwan, seolah-olah menjaga agar kenikmatan itu tidak dicabut lepas. Disambut kehangatan begini Om Ridwan tambah bersemangat memompa. Laki-laki itu menyukai gaya Cinta meliuk-liukan pinggangnya sambil terus berteriak-teriak histeris.
“OOHH TA, MEMEKMU…!!!”, teriak Om Ridwan.
Gaya kembali berganti. Kini Cinta berada di atas tubuh Om Ridwan. Dalam posisi seperti itu, Cinta terlihat seperti seorang koboi yang sedang mengendarai kudanya. Cinta menekan perut laki-laki itu, sementara pinggulnya menggoyang hebat. Payudara Cinta ikut bergoyang hebat, mengundang Om Ridwan meremasnya kuat. Sementara dibawah sana, penisnya juga teremas dengan kuat.

“Agghh.. iyaa gitu Ta.. duhh.. aahh.. gghh..”.
“Aduuhh.. ayoo.. Omm.. ssshh..”.
Suara desahan, lenguhan, dan teriakan keduanya memenuhi seluruh ruangan itu, selain suara TV yang sejak awal tidak mendapat perhatian. Berbagai gaya bersenggama silih berganti dilakukan keduanya. Kadang Om Ridwan berada diatas, kadang Cinta yang memegang kendali. Ranjang yang berguncang-guncang hebat menjadi saksi bagaimana panasnya pergumulan kedua insan manusia berbeda usia tersebut. AC yang memang tidak dihidupkan, semakin membuat hawa panas diruangan itu semakin meningkat.
“Aahh.. aahhh.. aaduhh.. sshh Om..”.
“Hheehh.. mmhhh.. ayoh.. Ta..”.
“AAHHH.. OM HAMPIR SAMPAI…!!”. Laki-laki itu terlihat serius dan tegang seperti hampir mencapai ejakulasinya.
“CINTA JUGA OOMMM..!!”.
Beberapa saat kemudian secara bersamaan keduanya terlihat hampir tiba dalam orgasme. Cinta terlihat memperketat belitan kakinya. Saling menghujam, bergoyang dan berteriak, suara keduanya masing-masing terdengar seperti mengajak untuk melepas seluruh kepuasan dalam sentakan-sentakan erotis. Sama-sama mendapatkan kenikmatan dan kepuasan dalam persetubuhan mereka untuk pertama kali ini.
“OMMM.. CINTA NYAMPE…!!”.
Tubuh Cinta terlihat mengejang hebat. Sementara Om Ridwan terus menghujamkan penisnya dengan ganas.
“AAAKKHHH… OOMM…!!”.
Ketika Cinta berteriak menandakan pencapaian puncaknya, hampir bersamaan Om Ridwan mencabut batang penisnya. Dengan buru-buru laki-laki itu menarik karet kondom dan mulai mengocok penisnya sendiri. Semenit kemudian penis besar itu berkedut beberapa kali.
“CROOTT… CROOOTT.. CROOOTT..”.
CROOTT… CROOOTT.. CROOOTT..”.
Hampir sepuluh kali lebih semprotan menyembur hebat. Cairan putih mendarat di perut dan paha mulus Cinta. Cinta sendiri tak sadar kalau kini tubuhnya belepotan sperma. Ia masih terpejam dengan nafas memburu. Om Ridwan pun kemudian terjatuh terlentang di samping si gadis. Keduanya terlihat ngos-ngosan. Beberapa menit begitu nafasnya mulai tenang, Cinta terlihat hendak beranjak turun dari ranjang. Namun usahanya itu gagal ketika tiba-tiba Om Ridwan memeluk tubuhnya dan menariknya kembali terlentang di ranjang. Om Ridwan menggulingkan tubuhnya sehingga menindih tubuh mulus Cinta.
“Mau kemana cantik? Hehehe”.
“Bersih-bersih Om, lengket nih gara-gara Om”, Cinta merajuk manja.
“Gak boleh, Om mau nyodok kamu lagi sekarang! Hehehe”.
Om Ridwan mengarahkan ujung penisnya dan menekannya masuk kembali. Digoyangkannya berlahan, sambil mengelus rambut Cinta.
“Ih Om bandel nihh.. maen nyodok aja?”, komentar Cinta sambil memukul dada Om Ridwan.
“Abis kamunya juga bikin ketagihan sih?”, balas Om Ridwan dengan tangannya merangkul leher dan bermain lagi di payudara Cinta.
“Om suka layanan Cinta?”.
“Oo.. jelas suka sekali sayang.. Abis, kamu selain cantik memeknya juga enak banget..”, kali ini dagu Cinta diangkat, bibirnya digigit gemas oleh Om Ridwan.
Wajah Cinta terlihat berbinar bangga dengan pujian itu.
“Kalo gitu Cinta bersih-bersih dulu, terus Cinta kasih lagi deh”.
“Bagaimana kalau ronde kedua di kamar mandi aja?”, Om Ridwan mentoel puting payudara kanan Cinta.
“Boleh…”, ucap Cinta sambil tersenyum manis.
“Kalo gitu, let’s the next round begins”.
Om Ridwan mencabut penisnya dari vagina Cinta. Ia menggulingkan tubuhnya dari atas tubuh Cinta. Dibantunya gadis cantik itu untuk berdiri.
Gadis cantik itu merasakan remasan nakal di pantatnya sebelum ia turun dari ranjang. Ia berbalik kemudian kembali tersenyum dan mendaratkan ciuman dibibir Om Ridwan. Keduanya kemudian saling berangkulan masuk ke dalam kamar mandi dalam keadaan telanjang. Tak lama terdengar suara tawa manja Cinta akibat kegelian dari dalam sana. Terdengar juga beberapa kali rayuan Om Ridwan. Sampai akhirnya semuanya kembali berganti menjadi desahan dan teriakan penuh kenikmatan.
Ini adalah pembukaan dari hubungan gelap antara mereka berdua.

*************
Om Ridwan memenuhi janji untuk membantu skripsi Cinta. Sepanjang jangka waktu tersebut beberapa kali hubungan terlarang mereka tetap berlangsung secara sembunyi-sembunyi. Hubungan itu terus berlangsung diantara persetubuhan lain yang dilakukan Cinta dengan pelanggannya, namun dengan intensitas yang mulai jauh berkurang. Walaupun hubungan mereka hanya sebatas ‘bisnis’ semata, rupanya mereka berdua terlihat bisa saling memuaskan satu sama lain. Usia yang terpaut jauh sepertinya tidak menjadi masalah untuk mereka. Baik rahasia Cinta maupun rahasia Om Ridwan pun masih terjaga dengan rapat yang hanya diketahui oleh keduanya. Beberapa hotel dan bungalow di luar kota kerap menjadi saksi persetubuhan panas mereka berdua.
Permainan selalu memilih tempat di luar kota, tapi satu waktu permainan pernah mengambil setting di rumah Om Ridwan. Kejadian yang tidak pernah direncanakan ataupun diduga sebelumnya. Kejadian yang cukup menarik untuk diceritakan.

#############
Suatu hari, beberapa bulan setelahnya.


Cinta sebelum sidang



Hari ini adalah hari dimana Cinta menjalani sidang skripsinya. Setelah berbulan-bulan bekerja keras mencari dan mengolah data, ditambah ‘kerja keras’ di ranjang bersama Om Ridwan, akhirnya hari yang dinanti Cinta datang juga. Siang itu perjuangan Cinta mempertahankan skripsi yang ditulisnya selama berjam-jam di depan penguji berakhir dengan mulus. Hari itu Felisia, sahabat karibnya pun datang untuk memberi semangat bersama beberapa sahabat lainnya. Sorak-sorai kegembiraan langsung memekik keras ketika Cinta keluar dari ruang ujian dan memperlihatkan lembar penilaian bertulis huruf A. Cinta adalah gadis pertama yang lulus diantara sahabat-sahabat karibnya yang ada disana.
“Gila lu Ta, gak nyangka gue diantara kita-kita lu yang bisa lulus duluan”, teriak Felisia.
“Bener tuh, gue juga gak percaya”, sahut gadis lainnya yang bernama Febby.
“Iya dong, Cinta gitu loh”.
Ucapan Cinta itu langsung disambut teriakan “hhhuuu..” dari sahabat-sahabatnya. Dilanjutkan dengan dorongan dan tepukan.
“Ampun.. Ampun.. Udah ah jangan bikin rusuh di kampus”.
“Apa sih rahasia lu Ta?”, tanya Felisia.
“Belajar yang rajin, tidur teratur dan rajin menabung hehehe”.
Kembali teriakan “hhhuuu..” membahana di ruangan itu.
Cinta sendiri hanya tersenyum melihat tingkah sahabat-sahabatnya itu. Hanya saja Cinta senyum itu sedikit tertahan melihat sahabatnya Felisia. Sejak hubungan gelapnya dengan Om Ridwan dimulai, ia kerap merasa kikuk jika berhadapan dengan Felisia. Bagaimana tidak, selama beberapa bulan ini ia sudah beberapa kali berhubungan intim dengan ayah dari sahabat karibnya itu. Persetubuhannya dengan Om Ridwan-lah rahasia kenapa ia bisa mulus menyelesaikan studi secepat ini. Tapi semua sudah terjadi dan tak bisa lagi diputar kembali. Paling tidak selama proses skripsi ia hanya perlu melayani satu laki-laki. Tidak perlu ditambah layanan khusus untuk dosen pembimbing ataupun penguji skripsinya, sebagaimana cerita-cerita panas yang biasa ada di situs-situs dewasa.
“Eh lu inget janji kita kan Fel?”, Cinta langsung menghapus bayangan Om Ridwan dan benaknya.
“Janji apa?”.
“Halah pura-pura lupa segala”, Cinta menepuk pundak Felisia. “Janji nraktir yang lulus pertama dong”.
“Oh iya, lu mau makan dimana?”.
“Elu? Trus kita mau diapain?”, Cindy, salah satu sahabat Cinta yang ada disana langsung mengajukan protes.
“Lulus dulu sebelum gue, baru gue traktir hahaha”.
Lagi-lagi teriakan “hhhuuu..” membahana di ruangan itu.
Setelah segala proses administrasi pasca sidang skripsi selesai, gadis-gadis itu pun berpisah. Sekali lagi sebelum berpisah mereka satu persatu menyalami Cinta, sebagai ucapan selamat. Tak lama Cinta sudah berada di dalam mobil bersama sahabatnya, Felisia.
“Oh ya ampun, gue lupa duit gue cuma sisa goceng nih di dompet, kita mampir dulu ke rumah ya buat ngambil duit”.
“Aduh.. Gak apa-apa, besok-besok aja lu kan bisa traktir gue”, Cinta tergagap mendengar ucapan sahabatnya itu.
Sejak affair dirinya dengan Om Ridwan di mulai, memang Cinta kerap menghindar untuk datang ke rumah Felisia. Bukan karena adanya Om Ridwan disana, namun karena Cinta tidak ingin bertatap muka langsung dengan Tante Vera. Cinta juga kerap terlihat kikuk jika itu terjadi. Bahkan lebih kikuk daripada ketika ia harus berhadapan dengan Felisia. Maka dari itulah ia selalu berusaha agar pertemuan dengan Tante Vera bisa dihindari.
“Mampir bentar aja, Mama juga lagi gak ada kok”.
Mendengar itu Cinta menghela nafas sedikit lega. Namun itu tidak membuat rasa khawatirnya hilang.
“Beneran Fel, besok-besok aja gak apa-apa”.
“Gak ah musti sekarang, mumpung mood gue lagi bagus hehehe”.
Sebagai orang yang tidak berada di belakang kemudi, Cinta pun hanya bisa menurut. Lagian semua ini diawali dari dirinya sendiri. Dirinyalah yang mengingatkan tentang traktiran tersebut, bukan Felisia.

*************
Hanya butuh tiga puluh menit dari kampus menuju rumah Felisia. Cinta sedikit deg-degan ketika kembali harus menginjakkan kaki di rumah sahabatnya tersebut. Sudah hampir sebulan lebih ia tidak bertemu lagi dengan Om Ridwan. Mungkin ini adalah pertama kalinya dalam beberapa bulan terakhir Cinta datang ke rumah Felisia. Kalau pun Felisia mengajaknya bertemu, biasanya sahabat karibnya itu yang menjemputnya ke kosan. Rasa segannya kepada Tante Vera yang sudah baik kepadanya-lah, yang membuat Cinta berusaha sekuat mungkin untuk menghindari datang ke rumah tersebut. Namun kali ini keadaannya berbeda. Felisia yang mengajaknya dan Felisia yang memegang kemudi.
“Oke lu tunggu di mobil aja, gue masuk bentar”.
“Uuuhh”, Cinta menghela nafas panjang. Paling tidak ia tak perlu masuk ke dalam rumah.
Namun sepertinya kelegaan Cinta langsung berakhir ketika ponsel milik Felisia berbunyi.
“Halo..”.
Cinta melirik ke arah sahabatnya.
“Oh udah pulang Ma, musti dijemput sekarang? Iya deh, Feli kesana sekarang”.
Percakapan selesai.
“Sory Ta, gue musti jemput mama di bandara, lu tunggu gue di dalem aja deh”.
“Hhhmm..”. Cinta bingung harus menjawab apa. Kenapa semuanya jadi serba kebetulan begini, ucap Cinta membatin.
“Gue bentar aja kok, lagian kalo mama pulang pasti bawa banyak oleh-oleh, lu pasti kebagian”.
“Gimana kalo gue pulang aja naik taxi, ntar kita keluarnya lain kali aja”.
“Ealah masih aja mau ngeles. Ayo kita masuk dulu”.
Dipaksa seperti itu akhirnya mau tidak mau Cinta harus keluar mobil. Dengan langkah berat ia mengikuti sahabatnya masuk ke dalam pekarangan rumah. Berbagai bayangan berkelebat di kepala Cinta tentang skenario yang mungkin terjadi apabila ia bertemu lagi dengan Om Ridwan. Tanpa adanya Tante Vera dirumah sebagai catatan. Rasa deg-degan Cinta bertambah ketika Felisia mengetuk pintu dan tak lama Om Ridwan-lah yang muncul dari dalam.
“Eh Cinta, apa kabar? Tumben nih main ke rumah?”, Om Ridwan menyapa dengan ramah.
“Baik-baik Om, iya nih Feli yang ngajakin”.
Melihat Cinta yang memakai balutan kemeja putih dan rok pendek berwarna hitam, Om Ridwan langsung teringat cerita anaknya kalau Cinta akan menjalani ujian skripsi. Itu pun setelah ia menelan ludah, melihat kemolekan tubuh Cinta.
“Oya, gimana ujiannya? Lancar?”.
“Iya Om, lancar kok”.
“Ayo-ayo masuk dong, masa diluar aja”, ajak Om Ridwan.
Kemudian Felisia memotong. “Pah, Feli jemput mama dulu ya ke bandara”.
“Mama udah dateng? Kok gak nelpon papa?”.
“Tadi katanya udah nelpon cuma HP papa katanya mati”.
“Oh iya papa tadi charge HP, lupa… Maklum udah tua hehehe”, Om Ridwan terkekeh. “Terus siapa yang jemput? Kamu apa papa aja?”.
“Biar Feli aja, kata mama biar cepet abis papa kalo nyetir suka lama”.
“Oke..”, sahut Om Ridwan singkat.
“Lu diem disini aja ya Ta, serius gue abis dari bandara langsung balik deh”. Felisia tersenyum. “Mama juga pasti seneng ngeliat lu lagi”.
Tak tahu harus menjawab apa, akhirnya Cinta hanya bisa mengangguk pasrah.
“Ya udah gue berangkat dulu, titip Cinta bentar ya pah”.

Cinta & Felisia



Tak lama mobil Felisia sudah menghilang dari pandangan Cinta dan Om Ridwan. Dan sesaat setelah itu, tiba-tiba saja Om Ridwan memegang tangan kanan Sinta dan menarik gadis itu masuk ke dalam rumah. Laki-laki paruh baya itu menempelkan telunjuk di bibir memberi isyarat agar Cinta tidak bersuara.
“Ssssttt… ayo cepet masuk”, bisik Om Ridwan. Kemudian Om Ridwan menutup kembali pintu rumahnya dengan hati-hati.
“Ada apa Om?”, Cinta ikut berbisik.
“Udah jangan ribut, ayo ikut Om”, laki-laki itu terus menggandeng Cinta sampai masuk ke dalam sebuah kamar.
Melihat gelagat ini, Cinta yang semula kaget akhirnya segera mengerti maksud dan tujuan Om Ridwan. Apalagi ketika laki-laki itu langsung memeluk tubuhnya dari belakang dan mendaratkan ciuman di pundak, leher dan pipinya.
“Iddihh Om nekat.. nanti ketauan yang lain gimana Om?”, Cinta membalikkan tubuhnya dan berbisik lagi tapi kali ini dengan nada sedikit terdengar panik.
“Sstt tenang aja.. Kita aman, dirumah cuma ada Denny yang lagi tidur..”, jelas Om Ridwan. Denny adalah adik laki-laki Felisia yang duduk di kelas 12 SMU.
“Iya tapi gimana kalo mendadak dia bangun Om? Belum lagi bahaya kan kalo Bi Ijah sampai denger”.
Bi Ijah adalah pembantu di rumah keluarga Felisia. Wanita tua itu adalah tetangga di desa dimana Om Ridwan berasal. Bi Ijah diajak ke kota saat Tante Vera mulai harus sering keluar kota untuk menjalankan bisnisnya.
“Bi Ijah lagi keluar belanja, pokoknya sekarang situasinya aman! Kita quikybentar yuk?”
“Tapi Om, Cinta takut…”.
“Please Ta… Om mendadak jadi ‘pengen’ waktu ngeliat kamu, kita kan udah lama gak gituan”.

“Tapi Om…”.
Belum lagi sempat Cinta melanjutkan kata-katanya, tiba-tiba terdengar suara pintu kamar terbuka diluar. Suara itu sepertinya terdengar dari kamar Denny di lantai dua. Keduanya pun kompak terdiam.

“Tuh kan Om…”, Cinta berbisik panik.
Om Ridwan kembali meletakkan telunjuk dibibirnya dan kemudian berbisik, “Udah kamu di sini aja dulu, biar Om yang keluar ngeliat situasi”.
Tahu kalau tidak bisa menolak, Cinta hanya bisa mengangguk tanda setuju. Om Ridwan segera keluar kamar meninggalkan Cinta. Gadis cantik itu sedikit menggerutu karena akibat perbuatan Om Ridwan, kini ia harus terpaksa terjebak di dalam kamar. Ditengah posisinya yang terjepit Cinta berusaha menguping dari balik pintu. Ia berusaha mendengarkan situasi di luar dengan hati berdebar tegang.
“Pah, barusan kayaknya ada yang dateng ya? Abis tadi kayaknya kedengeran ada suara orang ngobrol”, terdengar samar-samar suara Denny menanyai ayahnya.
“Ah nggak ada siapa-siapa kok, barusan memang ada orang dateng cuma petugas RT minta sumbangan”.
“Oh ya udah, kirain ada tamu”, Denny kemudian beranjak menuju dapur nampaknya ingin mengambil sebotol air. “Mba Feli belum dateng Pah?”.
“Belum, cuma tadi Feli nelpon katanya pulang dari kampus langsung jemput mama ke bandara”.
“Mama udah balik? Asyik bakal banyak oleh-oleh nih”, suara Denny terdengar sumringah.
“Kamu gak latihan bola hari ini Den?”, tanya Om Ridwan setengah berteriak dari ruang keluarga.
“Gak Pak, lagi males. Libur dulu latihannya”.
“Sialan!”, Om Ridwan meruntuk. Niatnya untuk menyalurkan hasrat bersama Cinta agaknya akan sedikit terganggu. Tapi bagaimana pun nafsunya sudah terlanjur diubun-ubun, maka kini segala resiko pun harus ditanggungnya.
Baru saja percakapan itu terdengar akan berakhir, tiba-tiba terdengar suara pintu gerbang depan terbuka. Itu berarti Bi Ijah sudah pulang dari pasar. Mendengar suara tersebut kembali Om Ridwan meruntuk. Kenapa tiba-tiba semuanya jadi kacau gini, batinnya berucap kesal. Beberapa menit kemudian nampak Bi Ijah masuk ke rumah.
“Kok cepet sih Bi dateng dari belanja?”. Om Ridwan bergumam.
“Lah si Bapak, katanya tadi di suruh cepet-cepet pulang buat masak, eh sekarang malah ditanya kenapa cepet pulangnya”.
Sejenak Om Ridwan terdiam. “Oh ya, Ibu bentar lagi nyampe rumah bibi beliin manisan buah kesukaan Ibu gih”.
“Manisan gitu kan cuma dijual di Pasar **** Pak, jauh dari sini”.
“Iya gak apa-apa, nih duit buat ongkos ojek”, Om Ridwan mengeluarkan beberapa lembar uang dua puluh ribuan dari dalam dompetnya.
Bi Ijah menerima uang yang disodorkan majikannya itu. “Iya Pak, kalo gitu saya taruh belanjaan dulu di dapur”.
“Beli apa aja Bi? Beli jajanan gak?”, terdengar suara Denny dari dapur.
“Ada Dik, cari aja di dalam kresek”.
Tak lama Bi Ijah keluar dari dalam dapur. “Saya berangkat dulu Pak”.
Om Ridwan hanya mengangguk. Selang beberapa menit setelah Bi Ijah menghilang dari balik pintu, menyusul Denny yang keluar dari dapur sambil mengunyah. Sambil menenteng botol air, Denny beranjak naik kembali ke lantai dua. Hening sesaat. Tak lama terdengar suara Om Ridwan yang berpesan kepada Denny agar kalau ada tamu atau telepon bilang saja ayahnya itu sedang tidak ada, dengan alasan kalau hari ini ia sedang agak tidak enak badan dan akan tidur siang.
Permintaan itu hanya dijawab singkat dengan “Oke..” oleh Denny. Sesaat setelah itu Om Ridwan pun masuk kembali ke dalam kamar.
“Benar kan, situasi bisa diamankan hehehe”.
Cinta langsung mencubit gemas lengan laki-laki itu tanpa bersuara. Cinta terkekeh karena geli dengan sandiwara yang barusan didengarnya.

“Om cocok dapet Piala Citra, aktingnya keren hehehe”.
“Ssstt.. ketawanya pelanin, ntar kedengeran”, Om Ridwan mengingatkan.
Dengan segera Cinta menutup mulutnya dengan tangan kiri, kemudian beberapa saat tersenyum simpul. Om Ridwan menggayut pinggang Cinta dan menggandengnya mendekati ranjang. Cinta menurut karena tahu kalau menolak maka Om Ridwan akan membujuknya terus. Pikirnya, daripada berlama-lama lebih baik menuruti apa yang diinginkan oleh Om Ridwan agar semuanya cepat selesai. Namun ketika laki-laki itu hendak melepaskan bajunya, Cinta menghentikannya sejenak.
“Gak usah pake buka baju ya Om, katanya cuma quiky doang”.
“Loh kalo gak pake buka baju mana enak”.
“Tapi waktunya kan mepet banget Om”.
“Gak apa-apa, jarak bandara kan jauh dari sini. Gak mungkin Feli bisa balik secepat itu”, sahut Om Ridwan sambil membuka baju kaosnya. Kemudian menyusul menurunkan celana pendek yang dipakainya.
“Tapi Om…”.
“Ayo dong, anggap aja kita ngerayain kelulusan kamu. Kan Om juga layak dapet hadiah kelulusan…”, kata Om Ridwan langsung memotong.
Cinta tidak berani protes lagi. Apa yang dikatakan Om Ridwan itu memang benar adanya.
Om Ridwan melanjutkan kata-katanya. “…Oh ya, Om ada kejutan buat kamu”.
“Apa Om?”.
“Sebentar…”.
Om Ridwan beranjak menuju lemari pakaian dan membuka pintunya. Laki-laki itu terlihat berusaha mengambil sesuatu dari bawah tumpukan pakaian. Kemudian ia berjalan kembali mendekati Cinta. Dari dekat Cinta bisa melihat kalau benda itu adalah sebuah amplop besar berwarna coklat.
“Ini hadiah buat kelulusan kamu, coba deh kamu buka”.
Cinta mengerutkan keningnya. Ia mengambil amplop tersebut dan membukanya. Didalamnya ada sebuah dokumen berupa lembaran kertas.
“Ini apa sih Om?”.
“Coba deh kamu baca…”.
Cinta membaca pelan-pelan tulisan yang tertera di dokumen tersebut. Selesai membaca ekspresi sumringah langsung terpancar di wajah Cinta. Gadis itu langsung memeluk Om Ridwan dan menghujani laki-laki itu dengan ciuman.
“Makasi Om, makasi.. muaacchh.. muacchh..”.
“Ssstt… Ntar kedengeran”. Om Ridwan langsung memberikan isyarat kepada Cinta untuk mengecilan volume suaranya. Cinta meletakkan dokumen yang dipegangnya di ranjang dan ia memeluk laki-laki paruh baya itu.
“Kok bisa sih Om dapet beasiswa buat Cinta?”.
“Rahasia dong, lagian kan Om udah janji dulu hehehe”.
“Makasi ya Om, makasi banget!”. Hujanan ciuman pun mendarat kembali di pipi dan bibir Om Ridwan.
‘Ayo kalo gitu sekarang mau buka baju gak? Hehehe”.
Cinta tersenyum. “Ih Om genit deh”.
“Ayo dong dibuka, dibuka, dibuka…”.
Cinta tertawa cekikikan melihat gaya alay Om Ridwan saat memintanya membuka pakaian. Dihadapan orang lain mungkin Om Ridwan akan menjaga wibawa, namun ketika bersama Cinta laki-laki itu kerap bersikap manja bak anak-anak. Cinta membuka satu kancing kemejanya.
“Ayo.. ayo satu lagi”.
Cinta tersipu. Dibukanya satu lagi kancing kemejanya.
Ditengah gerakan Cinta, Om Ridwan menyeletuk. “Oya Ta, hari ini kan hari spesial, kasi Om hadiah yang spesial juga ya”.
Cinta menghentikan gerakannya membuka kancing ketiga. Ia mengerutkan kening.
“Maksud Om? Hadiah spesial apa?”.
“Ngentot spesial, gak pake kondom hehe”.
Cinta terdiam. Selama ini Cinta memang agak ketat untuk urusan ‘pelindung’ ketika bersetubuh. Apalagi ketika menjalankan profesinya sebagai lady escort. Hal ini dilakukannya, untuk melindungi dirinya sendiri dan juga pelanggannya. Mungkin tak habis jari tangan kiri Cinta bila digunakan menghitung berapa laki-laki yang bercinta dengannya tanpa pelindung, diluar Rido tentunya. Khusus untuk Rido, ia melakukan persetubuhan didasari atas cinta. Maka dari itu, Cinta tidak berkeberatan apabila benih laki-laki itu berada di dalam dirinya. Permintaan Om Ridwan kali ini agaknya agak sedikit berat untuk dipenuhi.
Kembali Cinta berpikir. Setelah semua yang diberikan Om ridwan, termasuk hadiah yang beasiswa barusan, permintaan Om Ridwan cukup setimpal dengan apa yang diberikannya. Kalau tidak karena Om Ridwan mungkin jalan yang ia tempuh tidak akan bisa semudah ini. Jasa laki-laki paruh baya itu memang sangat besar untuknya. Sehingga setelah beberapa saat Cinta pun mengangguk.

“YESS..!”, Om Ridwan sontak kegirangan. “Ayo kalo gitu lanjut dibuka bajunya hehehe.
Tangan Cinta kembali bergerak membuka seluruh kancing kemejanya. Hanya saja ada satu hal yang masih mengganjal dihatinya sebelum persetubuhan ini terjadi. Bagaimana skenario setelah permainan mereka usai nanti?.
“Tapi nanti Cinta keluar dari sini gimana Om?”, tanyanya.
“Gampang lah nanti Om atur, ayo dong Om udah gak tahan nih”.
Cinta melirik ke arah selangkangan Om Ridwan yang masih tertutup celana dalam. Benar saja, daerah itu memang sudah terlihat menggunung. Apalagi ketika Om Ridwan melepas celana dalamnya, batang besar miliknya langsung mencuat tegang. Meskipun sudah beberapa kali dihujami batang besar itu, namun tetap saja Cinta selalu bergidik melihat ukurannya.
“Om kalo mikirin ngeluarin kamu sih gampang. Yang sekarang bingung Om pikirin itu justru cara ngeluarin isinya ‘barang’ ini yang enak gimana”, timpal Om Ridwan seraya berjalan mendekati Cinta.
Om Ridwan yang sudah bertelanjang bulat mengambil tangan Cinta untuk diletakkan pada penisnya yang sudah mengajung tegang. Cinta terlihat malu-malu manja tapi tangannya langsung menangkap batang itu. Diurut-urutnya dengan perlahan, sampai secara perlahan batang tersebut kian menegang. Tangan Om Ridwan sendiri tidak tinggal diam. Kedua tangan ini meloloskan kemeja putih dari tubuh Cinta. Bra hitam yang semula hanya menerawang dari balik kemeja, kini terlihat lebih jelas ketika terbuka. Bahkan semuanya menjadi lebih jelas lagi ketika bra itu ikut dilolosi.
“Emang cara yang enak kayak apa sih?”, godanya. Cinta mulai bersikap manja-manja genit.
“Yang enaknya.. ya jelas pake ini Ta”, jawab Om Ridwan sambil memasukkan tangannya ke dalam rok pendek yang dipakai Cinta. Entah apa yang dilakukan tangan itu di dalam rok, sehingga mampu membuat desahan kecil dari mulut Cinta.
“Iddihh si Om.. pengennya yang itu aja?”, Cinta pura-pura jual mahal.
“Abisnya barang enak, jelas kepengen Ta..”, kata Om Ridwan sambil mendaratkan ciuman-ciuman ke bibir Cinta.
Beberapa saat berciuman, tiba-tiba Cinta menarik bibirnya. “Pintunya gak dikunci dulu Om?”.
“Gak usah, gak bakal ada yang masuk kok”. Om Ridwan langsung menyahut. Ciuman pun langsung mendarat lagi di bibir Cinta. Kali ini ciuman itu lebih terlihat seperti pagutan yang penuh nafsu.
Selama berciuman tangan Om Ridwan kembali bergerak lincah membuka kaitan dan resleting rok Cinta. Rok itu tak lama berhasil melorot turun. Cinta mengangkat kedua kakinya bergantian agar rok itu terlepas. Pagutan dan kuluman terus mendarat di bibir Cinta. Sambil memainkan lidahnya disana, Om Ridwan mendorong secara perlahan tubuh gadis cantik itu mendekati ranjang. Kedua kaki Cinta bergerak pasrah mengikuti kemauan laki-laki itu. Namun ketika Om Ridwan berbisik guna mengajaknya naik ke atas ranjang, Cinta menolak halus.
“Gak enak ah Om, Cinta sungkan. Itu kan tempat tidurnya Tante…”, ucap Cinta mengutarakan perasaan canggungnya untuk bermain cinta di ranjang keluarga tersebut.
Om Ridwan rupanya bisa mengerti perasaan Cinta dan ia pun tidak memaksa. Laki-laki itu menoleh sekeliling sebentar dan sepertinya menemukan cara yang lain.
“Ya udah kalo gitu kita lakukan sambil berdiri aja. Sini Om yang atur, ya”, katanya sambil membawa Cinta ke ujung ranjang dan menyandarkan tubuh Cinta di palang-palang besi ranjang tersebut.
Ranjang yang ada di kamar tersebut berbentuk besar dengan model kuno. Dari modelnya mengingatkan kita pada film-film yang mengambil setting kerajaan. Terbuat dari teralis besi lengkap dengan tiang-tiang penyangga kelambunya. Di situ pantat Cinta bersandarkan pada teralis di ujung ranjang yang tingginya mencapai pinggulnya. Kedua tangan Cinta diatur Om Ridwan terangkat keatas hingga menyentuh penyangga yang menghubungkan dua tiang kelambu. Cinta yang semula hanya diam, begitu melihat Om Ridwan hendak mengambil seutas selendang terlihat mengerutkan dahinya.

“Om, Cinta mau diapain?”. Nada khawatir terdengar dari suara Cinta.
“Ssstt.. Percaya aja sama Om”.
Cinta pun kembali diam. Om Ridwan kembali melanjutkan aksinya. Kini kedua tangan Cinta disatukan dan diikat dengan menggunakan selendang. Ujung selendang sisanya diikatkan pada tiang penyangga atas ranjang. Posisi tangan yang terikat keatas seperti itu, membuat kedua tangan Cinta sepenuhnya tidak berdaya. Suatu posisi yang unik untuk bersanggama dalam gaya berdiri. Cinta hanya bisa memandangi pasrah sambil menunggu apa yang selanjutnya akan dilakukan Om Ridwan.
Berikutnya barulah Om Ridwan mulai merangsang dengan menciumi dan menggerayangi sekujur tubuh Cinta dari mulai atas hingga ke bawah. Berawal dari mencium bibir, leher dan memainkan lidah pada telinga si gadis. Menyusul Om Ridwan mengerjai ketiak dan kedua payudara Cinta dengan kecupan mulutnya. Dikulumnya bergantian kedua puting payudara kanan dan kiri. Puas di daerah itu, jilatan Om Ridwan beralih ke perut dan pusar Cinta.
“OOHHH..!”. Cinta melenguh.
Ciuman, jilatan serta kuluman terus turun dan berakhir dengan permainan lidah di daerah selangkangan. Jilatan itu terus turun menuju paha, lutut, betis serta jari-jari kaki jenjang Cinta. Tak lama jilatan itu kembali naik dan bermuara tepat didaerah selangkangan. Gadis cantik itu merancau tertahan menahan geli.
“Oohh.. Om, Geli Om, Oohh..”, Cinta terus mendesah tertahan.
Om Ridwan beranjak berdiri, kemudian berbisik di telinga Cinta. “Oh thong untuk ujian skripsi? Mau nakal sama penguji ya? Hehehe”. Rupanya Om Ridwan baru menyadari jenis celana dalam yang dipakai Cinta saat itu.
Cinta tersenyum. Ia memakai celana dalam super sexy itu sebenarnya untuk sang kekasih. Sepulang ujian sebenarnya ia berencana mampir ke apartemen Rido, dan merayakan kelulusannya disana. Felisia membuat rencana itu berubah dan Om Ridwan yang beruntung atas perubahan tersebut.
“Hhmmm… Srruupp.. Srruupp…”, Om Ridwan memasukkan lidahnya ke dalam mulut Cinta. Benda itu menari-nari di dalamnya sebelum berpindah kembali ke bagian dada. Terakhir laki-laki itu kembali berjongkok di depan selangkangan Cinta.
Melihat celana dalam yang menyerupai seutas tali itu telah basah, dengan cekatan Om Ridwan meloloskannya. Jilatan lidah langsung tanpa penghalang itu pun membuat Cinta mulai naik terangsang. Aroma menggoda dari vagina basah milik Cinta baik aroma surgawi di hidung Om Ridwan. Posisi kedua tangan Cinta yang tidak bisa ikut membalas, rupanya menimbulkan daya rangsang yang luar biasa. Apalagi ketika mulut Om Ridwan mulai memberi rasa geli-geli enak di vagina yang tidak bisa ditolak sekujur syaraf-syaraf tubuhnya. Variasi permainan cinta ini benar-benar menimbulkan sensasi yang menakjubkan bagi Cinta.
“Oohh.. Om, ssshhh.. ssshh…”.
“OOHHH..! ssshhh.. ssshh…”.
Ditengah-tengah sensasi yang menyerang tubuhnya, terdengar suara televisi diluar sana. Agaknya diluar sana, Denny sudah tak lagi berada di kamarnya dan kini berada hanya beberapa meter dari kamar itu. Benar-benar situasi yang terasa konyol sekaligus berbahaya. Sementara diluar sana sang anak sedang bersantai, di dalam kamar ada seorang gadis cantik sedang meliuk-liuk keenakan saat vaginanya dikerjai mulut sang ayah. Cinta terlihat berusaha menahan desahannya yang semakin tak kuasa ia tahan untuk berubah menjadi teriakan. Kini vaginanya terasa begitu siap untuk menerima lebih dari sekedar usapan lidah.
“Ayoo Om.. jangan lama-lama.. masukin dulu punya Om..”, bahkan rintih Cinta sudah meminta Om Ridwan segera mulai bersenggama.

Om Ridwan tidak menunggu lebih lama. Dia segera bangun dan membawa penisnya yang hampir menegang maksimal itu menempel di celah vagina Cinta. Membasahi dulu dengan ludahnya, menggosok-gosokan ujung kepala bulatnya di klitoris Cinta agar menjadi lebih kencang lagi, baru setelah itu mulai diusahakan masuk ke dalam lubang vagina di depannya.
“Ayoo Om.. Ayo…!”.
Cinta menyambut seolah tidak sabaran. Ia menjinjitkan kakinya dan mengangkangkan pahanya selebar yang bisa dilakukannya tanpa bisa membantu dengan tangannya. Tangannya yang sedang terikat, terpaksa membuatnya hanya bisa menunggu Om Ridwan bekerja sendiri menguakkan bibir vagina dengan jari-jarinya. Om Ridwan agaknya masih berusaha menyusupkan kepala penisnya agar terjepit lebih dahulu di bibir vagina, baru kemudian ditekan keras dan menghujam masuk.
“NGGHHH…!!!”, Cinta sampai harus menggigit bibir bawahnya dengan keras guna menahan teriakannya tidak keluar.
Beruntung diluar sana suara televisi distel cukup kencang oleh Denny. Alunan musik yang terdengar diluar terdengar senada dengan Cinta yang saat itu juga sedang merintih lirih, mengalunkan tembang nikmat ketika vaginanya mulai disodok dan digesek ke luar masuk penis tegang Om Ridwan. Namun kelihatannya baik Cinta maupun Om Ridwan belum ada yang menyadari suara televisi tersebut. Keduanya sudah terlalu dalam masuk ke alam birahi untuk menyadari kondisi di sekitar mereka.
“Ngghh.. Om.. ssshhh.. ssshh.. addduuh..”
“Sshsmm.. adduhh Om.. ennakk..!!”.
“Sshh.. mmhh.. heehhss.. adduhh..”. Terdengar suara mengaduh-aduh rintih dari mulut Cinta. Bukan suara mengaduh kesakitan melainkan sedang larut dalam kenikmatan.
Bersetubuh dalam posisi berdiri bukanlah hal baru bagi Cinta, namun bersama Om Ridwan variasi ini terasa santai dan mengasyikan sekali baginya. Tidak repot menahan tubuhnya tetap berdiri karena Om Ridwan menumpu tubuhnya. Sesekali Cinta juga bisa mengapit pinggang Om Ridwan dengan dua pahanya, sehingga hujaman penis bisa lebih maksimal. Ditambah lagi rasa nikmat dari meremasan tangan Om Ridwan di kedua payudaranya, diselingi memilin-milin geli putingnya.
Malah tidak berlama-lama lagi, ketika Om Ridwan sudah serius tegang akan tiba dipuncaknya Cinta pun mengisyaratkan tiba secara bersamaan. “Aduuhh.. Omm.. Ayoo.. Sshh.. Duh Cinta mau keluarr.. Sshh.. Gghh.. Omm..”, desah Cinta tertahan.
“Aduhh… Sshh.. Iya ayoo Sin.. Om juga sama-sama.. aahghh..”. Tubuh Om Ridwan terlihat mengejang.
Cinta menyentak-nyentak menjelang orgasme yang hampir dicapainya. Om Ridwan juga terlihat semakin mempercepat frekuensi kocokannya ketika hampir tiba di ejakulasinya.
“CINTAAA..!!”.
“OOMMM..!!”.
Keduanya berteriak tertahan hampir bersamaan. Permainan pun usai dengan kepuasan yang diperoleh keduanya. Cinta terkulai lemas dengan posisi tangan masih terikat. Sekujur tubuhnya merasakan sensasi yang luar biasa, yang tidak pernah dirasakan sebelumnya. Bahkan saat ini sepertinya Cinta juga tidak menyadari, kalau Om Ridwan baru saja orgasme didalam dirinya. Leleran cairan kental merembes sepanjang pahanya ketika laki-laki itu mencabut penisnya. Alunan musik dari televisi diluar kamar kini sayup-sayup terdengar di telinga Cinta. Ia lalu memberi isyarat agar laki-laki itu memfokuskan diri untuk mendengar suara televisi diluar kamar. Baik Cinta maupun Om Ridwan sepertinya sempat beberapa menit kehilangan konsentrasi menjelang klimaks tadi. Kini keduanya mulai menyadari situasi di sekitar mereka. Om Ridwan langsung bergegas membuka ikatan tangan Cinta. Laki-laki itu memberikan isyarat kepada Cinta untuk tetap tenang. Dengan cekatan Om Ridwan memakai kembali pakaiannya, sementara Cinta sendiri terlihat masih dalam keadaan polos.

“Om gimana nih, Denny ada diluar tuh”.
Cinta menyambar kemeja dan menggunakannya untuk menutupi tubuh polosnya.
“Tenang aja, dia ga bakal tau kok, anak itu kalo udah nonton TV lupa segala deh”.
“Tapi Om…”.
Om Ridwan menempelkan jari telunjuknya di bibir Cinta. “Ssstt… Gak apa-apa”.
Cinta pun membisu ketika sebuah ciuman mendarat ke bibirnya. Ciuman itu kemudian berlanjut menjadi kuluman. Sementara dibawah sana, tangan Om Ridwan sibuk merabai bulu-bulu kemaluan Cinta. Kuluman itu baru berhenti ketika Cinta mulai terlihat lebih tenang.
“Makasi Ta, sumpah Om suka banget sama memek kamu hehe”, ucap Om Ridwan begitu bibir mereka terpisah.
“Sama memek Cinta aja? Terus sama Cintanya gak gitu?”, gadis cantik itu memasang senyum masam. Guna menggoda Om Ridwan tentunya.
“Sama dua-duanya dong hehehe”, Om Ridwan tertawa.
Tangan kiri laki-laki paruh baya masih bermain dipermukaan daerah kewanitaan Cinta. Om Ridwan bisa merasakan sperma kental miliknya ada disana. Ia terlihat puas ketika bagian dari dirinya kini berada di dalam tubuh gadis secantik Cinta.
“Geli ih Om”, Cinta merengek manja.
Cinta berjongkok mengambil celana dalamnya. Tangan Om Ridwan yang sempat terlepas, kembali mendarat di selangkangan Cinta begitu ia berdiri. Hal ini membuat Cinta kesulitan ketika hendak memakai celana dalamnya.
“Udah dong Om, Cinta kan jadi gak bisa makenya nih”.
“Kalo gitu mending gak usah dipake aja”, tiba-tiba saja Om Ridwan menarik celana dalam yang dipegang gadis tersebut.
“Om, balikin celana dalem Cinta…”.
“Ntar Om balikin, sekarang Om urus situasi diluar dulu hehehe”.
“Om…!”, kata-kata Cinta kembali harus terhenti untuk kesekian kali. Om Ridwan sudah menghilang dari balik pintu. Kini gadis cantik itu hanya bisa menghela nafas dengan ‘kenakalan’ ayah dari sahabat karibnya tersebut.
Cinta beranjak menuju lemari pakaian dengan cermin cukup besar. Di depan cermin Cinta bisa melihat kondisi dirinya yang terlihat sedikit kacau akibat persetubuhan yang baru saja terjadi. Rambutnya tak lagi tertata rapi. Make up diwajahnya pun luntur. Sisa keringat membuat tubuhnya terlihat licin. Belum lagi ‘benih’ yang mengering menempel di paha dan perutnya, terasa lengket mengganggu. Saat itu barulah Cinta menyadari ada lelehan sperma yang keluar dari dalam vaginanya. Cinta pun meruntuk kesal. Gadis cantik itu segera beranjak menuju ke kamar mandi. Berapa menit berada di dalam kamar mandi, Cinta keluar dalam keadaan lebih segar. Kembali ia berjalan ke arah cermin. Dibukanya balutan handuk di tubuhnya, sehingga kini tubuh molek tersebut kembali terbuka dengan bebas. Dengan memakai handuk Cinta mengelap rambutnya yang sedikit basah. Di depan cermin Cinta menatap ke arah kedua payudaranya. Ia mengangkat-angkat kedua payudaranya, meremas-remasnya sedikit lalu tersenyum kecil. Payudara itu terlihat montok, padat dan berisi. Salah satu bagian tubuh yang dibanggakannya. Bagian yang kerap menjadi primadona bagi laki-laki yang pernah bersamanya. Diambilnya sebuah sisir dan mulai merapikan rambut panjangnya.
Cinta sudah selesai memakai pakaiannya, ketika Om Ridwan muncul dari balik pintu.
“Gimana Om?”, bisik Cinta.
“Udah gak apa-apa, kamu keluar aja terus langsung masuk ke kamar Feli, nanti Om bilang ke Feli kalo Om yang nyuruh kamu nunggu di kamarnya”.
“Terus Denny gimana Om?”.
“Dia lagi di garasi Om suruh beres-beres…”.
Cinta kemudian membuka pintu dan sekilas mengintip keadaan diluar kamar.
“Celana dalem Cinta mana Om?”.
“Oh iya, hampir lupa”, Om Ridwan meroboh kantung celana kanannya. Ekspresi wajah laki-laki itu tiba-tiba berubah cemas. Ia merogoh kantung celananya lebih dalam, kemudian bergantian merogoh saku celana kirinya. “Dimana ya…”.
“Ada apa Om?”.
“Tadi rasanya Om naruh celana dalem kamu di saku celana, kok gak ada ya?”.
“Ya ampun Om, gimana sih…”, Cinta menggerutu.
“Tadi beneran ada disini”.
“Serius Om?”.
“Iya, gak percaya? Coba deh kamu cek sendiri”.
Cinta melengos. Gadis itu memasukkan tangannya ke dalam saku kanan Om Ridwan.
“Aauu… Jangan salah grepe dong, ntar tegang lagi loh hehehe”.
Cinta menyeringai mendengar kata-kata Om Ridwan itu. Tangan Cinta keluar dari saku celana kanan dan beralih ke saku celana kiri. Didalam sana ia merasakan benda kecil bertekstur lembut. Ia menggenggamnya dan menariknya keluar.
“Ini apa?”, protes Cinta.
“Oh tadi kok gak ada disana ya? Hehehe”.
Tiba-tiba Cinta melayangkan tangannya ke arah selangkangan Om Ridwan. Diremasnya gundukan besar yang ada disana.
“Rasain nih, udah boongin Cinta!”.
“Aduh, aduh, aduh… Kurang keras ngeremesnya Ta hehehe”.
“Ppfftt..”. Bukannya kesakitan Om Ridwan justru malah terlihat keenakan. Dengan kesal Cinta melepaskan genggamannya.
“Jangan cemberut gitu dong, ntar cantiknya hilang hehehe”.
“Biarin!”, kembali Cinta menyeringai kesal. Gadis cantik itu kemudian memakai kembali celana dalamnya.
Om Ridwan mendekati Cinta dan mendaratkan ciuman dibibirnya. Cinta pun membalas. Bahkan mereka memainkan lidah untuk beberapa saat setelahnya. Bibir mereka baru berpisah ketika diluar sana terdengar suara mobil dan suara pintu gerbang depan terbuka.
“Itu Tante?”.
“Iya. Ayo cepet buruan kamu naik ke lantai atas”. Cinta menjawab dengan anggukan.
Om Ridwan membuka sedikit pintu kamar. Ia lalu memberi kode memberitahu Cinta sudah aman untuk keluar kamar. Cinta pun lalu bergegas keluar kamar dan berlari menaiki tangga. Sekilas ia bisa mendengar suara Felisia di bawah sana. Dengan segera gadis itu masuk ke dalam kamar dan mendaratkan pantatnya diatas ranjang. Beberapa saat kemudian terdengar suara jejak langkah yang mendekat menaiki tangga. Segera saja Cinta menyambar sebuah majalah remaja dan pura-pura membacanya.
“Hei sory lama Ta, abis jalanan ternyata macet”, Felisia muncul dari balik pintu.
“Gak apa-apa”. Cinta tersenyum.
“Turun yuk, mama bawa oleh-oleh buaanyak banget hehehe”.
Cinta mengangguk, kemudian berdiri. Kedua gadis cantik itu terlihat berjalan menuruni tangga. Sesekali terdengar suara tawa keduanya.
Beberapa saat kemudian suasana diruang tamu terlihat penuh keceriaan. Tak ada seorang pun di ruangan itu, kecuali Cinta dan Om Ridwan, yang tahu tentang kejadian yang baru saja terjadi di dalam kamar. Kebohongan kembali bisa tertutupi dengan memakai topeng yang tepat. Cinta tetap bisa tersenyum di depan Tante Vera dan Felisia, begitupun dengan Om Ridwan di depan keluarganya. Keduanya seakan tahu bagaimana setiap babak dari kisah mereka harus dijalani dan bagaimana seharusnya ditutupi. Rahasia akan tetap menjadi rahasia. Tetapi apakah memang demikian adanya?

*************
Denny masuk ke dalam kamarnya. Ia memastikan kalau pintu kamarnya terkunci. Dihidupkannya DVD player, sehingga alunan musik memenuhi seluruh kamar. Laki-laki muda itu bergegas naik ke ranjang dan mengeluarkan sebuah ponsel dari dalam saku celana. Dicarinya program video player. Dipilihnya salah satu file, kemudian ditekannya tombol ‘play’.
“Sshhh..”. Denny mendesah pelan.
Tangan kiri Denny bergerak cepat menurunkan celana pendek sekaligus boxer yang dipakainya. Kedua pakaian itu melorot turun sampai ke lutut. Tangan itu juga yang kemudian mengurut-ngurut batang penisnya sendiri. Berlahan penis itu menegang seiring bertambahnya durasi video. Adegan di layar ponsel itu berlahan mulai memancing birahi Denny. Adegan sepasang manusia sedang bersenggama.
“AAHH..!”.
Adegan video berhenti bersamaan dengan melelehnya cairan putih dari ujung penis Denny. Tubuh Denny terasa lemas. Ponsel yang dipegangnya di tangan kanan terlepas.
Sebuah nama berbisik lirih keluar dari mulut Denny. “Kak Cinta…”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar