Sabtu, 06 Juli 2013

Indri, Aku Dibuahi Suami Temanku


Indri

“Bagaimana?” Mas Danu bertanya.


Aku menggeleng sendu, ”Negatif, Mas.” air mata mengalir dipelupuk mataku. Aku mulai terisak.


“Oh, sudahlah.” bibir Mas Danu kembali bergerak, menghiburku. “Kita berusaha lagi lebih keras, ok?” dia mengecup keningku. Tangannya melingkar, merengkuh tubuh montokku dalam satu pelukan, dan merangkulku erat.


Aku mengangguk, tapi tetap terisak. Kusandarkan kepalaku di dadanya yang bidang. Kukecup mesra bibir mas Danu sebagai rasa terima kasihku karena dia sudah sabar, sangat sabar malah, karena di usia perkawinan kami yang menginjak 2 tahun, aku masih belum bisa memberinya keturunan.




***


“Siap?” aku bertanya.


Mas Danu mengangguk. Wajahnya tak bisa ditebak. Tapi antusiasku tidak lama, sebab mendadak suamiku menundukkan wajahnya dan menggeleng, bibirnya kembali terkatup rapat setelah sesaat tadi sempat bergerak-gerak. Kebisuan yang ganjil dengan cepat beredar diantara kami.


“Ayo, katanya udah siap?” tagihku melihat kediamannya.


Bibir mas Danu kembali bergerak-gerak... lalu lagi-lagi terdiam. Aku jadi geregetan melihatnya.


“A-aku nggak bisa,” dia menggeleng.


“Kenapa?” suaraku gemas.


“Nggak fokus.” kilahnya pendek.


“Nggak fokus apa nggak bisa?”


Mas Danu diam lagi. Lalu, “Nggak bisa fokus.”


Hah?


“Coba dulu, mas. Satu-satu.” Aku sedikit memaksa.


Mulut mas Danu kembali terbuka. Dengan penasaran aku mananti kalimat apa yang akan keluar dari sana. Satu detik... dua... tiga... empat... bahkan hingga 1 menit berlalu, aku tidak mendengar apa-apa.


Ugh!


“Maaf, sayang. Mungkin lain kali.” dia menghindar.


Aku menghela nafas panjang. Sulit sekali bersabar dari rahasia yang ingin diungkapkan mas Danu. Rahasia yang katanya disimpannya cukup lama. Aku baru mengetahuinya 3 minggu yang lalu, saat tiba-tiba dia mengatakannya kepadaku selepas kami bercinta dengan panas. Dan setiap kutanyakan kembali, ia hanya bilang: ‘kapan-kapan aja, tunggu tanggal mainnya. Membuat aku makin penasaran. Beberapa kali, seperti barusan, ia terlihat siap mengungkapkan rahasianya. Tapi lagi-lagi batal.


“Mau kemana, sayang?” kejar lelaki itu saat melihatku bangun dari ranjang.


“Ke belakang. Mau mandi!”


Mas Danu diam, mungkin dia menyadari kekesalan dalam kalimatku yang agak galak.


***


Rahasia itu terus menggelitikku, menggoda saraf-sarafku. Entah kenapa pula, mas Danu selalu gugup dan akhirnya gagal untuk memberitahuku. Awalnya aku mencoba untuk bersabar, berusaha tenang, dan terus memberinya waktu. Hanya saja, setelah hari-hari berlalu tanpa ada hasil, belakangan aku mulai cemas. Jangan-jangan... lalu serentetan pertanyaan bernada khawatir seorang istri keluar tanpa bisa ditahan.


“Mas melakukan kejahatan? Merampok atau membunuh untuk biaya kawin?”


Mas Danu tertawa dan mencubit pipiku. “Tidak, Sayang. Bukan itu.”


“Mas pernah tunangan sebelumnya?”


Dia kembali tertawa dan menggeleng cepat. “Tidak.”


“Lalu apa, mas?” aku mulai kehilangan kesabaran.


“Kamu nggak marah kalau mas terus terang.” Mas Danu menundukkan wajah, menekuri payudara bulatku yang terpampang jelas di depannya. Kami memang baru mandi bareng saat itu, tubuh kami masih sama-sama telanjang.


“Mas punya istri lain sebelum aku?” aku berkata lirih, takut mendengar jawaban ‘iya’ dari mulutnya.


“Tidak.”


Ah, aku bernafas lega. “Mas selingkuh?” aku bertanya lagi.


Dia mendelik. “Aku mencintaimu, sayang. Aku tidak mungkin melakukannya.” Nadanya tegas dan serius.


“AH, iya, maaf.” potongku cepat. Suasana mulai tak enak. Aku kembali mengelus-elus penis hitam mas Danu yang sedari tadi berada dalam genggamanku, berharap benda panjang itu bisa mencairkan kekakuan diantara kami berdua.


“Euhhh,” lenguh mas Danu lirih.


Dia sudah akan mencium bibirku ketika aku melontarkan pertanyaan itu, “Mas kawin lagi?”


Cukup 3 kata, dan kemarahannya langsung memuncak. Dia bangkit dan berlalu tanpa kata-kata. Meninggalkanku dengan segudang pertanyaan tambahan, kenapa dia pergi setelah pertanyaanku barusan? Benarkah itu rahasia suamiku?


“Mungkin karena kamu belum punya anak, In!” tegas Sita, wanita cantik berbadan subur yang menjadi tetangga sekaligus teman pertamaku kala pindah ke perumahan elit ini.


“Segampang itu kah?” aku tak mau percaya begitu saja.
Sita tertawa, membuat payudaranya yang besar bergoyang-goyang indah kesana-kemari. “Malah ada yang lebih gampang,” sahutnya. “Sudah punya anak selusin masih mau kawin lagi.”


“Tapi...” aku tidak bisa meneruskan kalimatku. Aku mencoba memikirkan sikap-sikap mas Danu akhir-akhir ini, mungkinkah ada perubahan yang luput dari pandangan mataku?


Sikap diamku membuat Sita bertanya, “Kenapa, In?”


Aku menggeleng, “Mas Danu sudah memendam rahasia ini sejak dua bulan pernikahan.” lirihku.


“Nah lho!” Sita menjerit kecil, tapi buru-buru meralat begitu melihat kegelisahanku. “Tapi sepertinya suamimu bukan tipe seperti itu deh. Dia kelihatan baik. Selalu pulang kan tiap malam?”


Aduh, aku memukuil dahiku sendiri. Kenapa selama ini aku tidak curiga. “D-dia sering keluar kota bersama bosnya.”


“Cewek apa cowok?” Sita bertanya.


“Apanya?” aku tak mengerti.


“Bosnya itu?” sahut Sita.


“C-cewek.” suaraku bergetar. “Dan cukup cantik.” aku manambahkan.


“Wah, gawat kalau begitu.” Sita bergidik. “Harus diselidiki beneran keluar kota apa nggak?” Air mata sudah menggenang di pelupuk mataku saat Sita buru-buru menambahkan, ”Tapi aku bisa membantumu.”


“Bagaimana caranya?” aku bertanya bingung, pasrah saja dengan apa yang akan dia katakan selanjutnya.


“Begini...” Sita berbisik di telingaku.


“Ah, masa harus begitu. Nggak mau ah!” aku menggeleng, menolak ide Sita yang ngawur.


“Hanya ini satu-satunya cara agar kamu hamil.” Sita meyakinkan.


“Ah, nggak ah.” aku masih tetap keberatan.


“Pikirkan aja dulu.” Sita berdiri. “Siapa tahu, sebelum ini dilaksanakan, kamu sudah hamil duluan.”


“Iya, aku lebih suka seperti itu.” kuantar dia yang berjalan keluar ruangan.


“Berusaha terus ya, jangan menyerah!” pesennya sebelum pergi.


“Oke.” aku mengedipkan mata sebagai tanda mengerti.


***


Tapi sampai 2 bulan berlalu, masih belum ada tanda-tanda janin akan bersemayam di rahimku. Aku sedih dan terpuruk. Apalagi setelah mengetahui mas Danu yang akhir-akhir ini semakin sering tugas ke luar kota. Dia lebih banyak menemani bosnya daripada istrinya sendiri. Kalau begini terus, mana mungkin aku bisa hamil. Kembali kutemui Sita untuk mengeluhkan masalahku.


“Kalau begini terus, aku tidak akan pernah bisa hamil, Sit. Ketemu aja cuma 3 kali sebulan.”


“Biar 3 kali, tapi kalau diintensifkan, mungkin bisa juga. Kalian sama-sama subur kan?” dia bertanya.


Aku mengangguk mengiyakan. “Tapi mas Danu biasanya sudah lelah duluan.”


“Maksudmu?” Sita tertarik.


“Ya gitu deh.” aku berterus terang. “Bahkan sekarang, sudah 2 minggu aku tidak dapat jatah.”


“Hah! Ya mana bisa hamil kalau gitu.” Sita mencemooh. “Harusnya kalian memanfaatkan setiap hari libur itu dengan baik.”


“Aku pengennya juga begitu, Sit. Tapi mas Danu-nya yang sulit.” bahuku merosot lemas. 


“Tawaranku yang kemarin masih berlaku lho.” dia berbisik.


“Yang mana?” aku bertanya, entah kenapa, ikutan berbisik.


“Yang bercanda itu!” sahutnya sambil nyengir.


“Gila kamu.” kucubit hidungnya. “Kukira cuma bercanda.”


“Lho, emang kamu mau kalau beneran?” dia memasang wajah bloon.


“Ooo, dasar bocah gila!” kulempar bantal yang dari tadi kupeluk ke mukanya.


***


“Gimana, Nduk, masih belum isi juga?”


Mertuaku datang berkunjung, dan seperti biasa, dia langsung menerorku dengan pertanyaan yang dia sendiri tahu jawabannya.


“Masih usaha, Ma.” aku berkelit.


“Dari dulu usaha-usaha nggak ada hasilnya. Mbok ya diganti dengan cara yang lain.” dia mencibir. “ke dukun kek, atau ikutan bayi tabung. Mama ini sudah tua, Nduk, sudah pengen gendong cucu.”


Aku mendesah mengelus dada, selalu alasan yang sama, dan selalu bisa membuatku menangis dalam hati. “Mungkin memang belum rejekinya, Ma.” lirihku.


“Lha terus kapan, mau nunggu Mama mati baru punya anak?” potongnya cepat.


Untuk yang ini, aku tidak bisa menjawab.


“Ya udah, Mama pulang dulu. Sampaikan salamku pada suamimu.” dia berdiri dan beranjak meninggalkan rumahku.


Kuantar wanita tua itu sampai ke pintu depan. “Hati-hati, Ma.” kucium pipinya kutunggu sampai mobilnya hilang di ujung gang.


Di dalam kamar, aku menangis sesenggukan. Kusesali nasibku yang malang ini, sampai 2 tahun pernikahan, masih belum dikaruniai anak. Bukan dia saja yang menginginkan seorang bayi. “Aku juga menginginkannya, Ma.” teriakku pelan pada bantal yang sudah separuh basah.


***


Dengan mata sembab, kuangkat telepon yang berdering kencang di ruang tengah. Sudah jam 10 malam, tapi mas Danu belum pulang juga. Sepertinya malam ini, aku harus tidur sendirian lagi.


“Halo?”


Ternyata dari Sita, “Lagi apa, In?” terdengar suara cempreng bocah itu di seberang sana.


“Lagi di rumah. Lagi bengong-bengong habis nangis.” sahutku dengan suara serak.


“Hah?” Sita langsung kaget. “Emang ada apa?”


Aku pun bercerita panjang lebar tentang kunjungan mertuaku barusan, juga kata-katanya yang pedas, “Setelah kupertimbangkan, sepertinya, aku harus menerima tawaranmu, Sit.” lirihku.


“Hah, benarkah?” Sita terdengar bersemangat, tidak bisa menutupi kegembiraanya.


“Iya,” aku mengiyakan. “Aku sudah pengen punya anak banget, Sit. Aku sudah bingung harus gimana lagi.”


“Aku ngerti, In. Terus suamimu gimana, apa nanti dia nggak curiga?” tanya Sita.


”Biarin aja,” aku mangkel juga kalau ingat mas Danu yang akhir-akhir ini semakin jarang pulang. ”Itung-itung sebagai bukti kalau aku bisa hamil.”


Sita tertawa. ”Okelah kalau begitu. Aku jamin deh, selain dapat anak, kamu juga bakal enak.” promosinya.


”Heh, enak aja.” potongku cepat. ”Sapa bilang aku mau ML? Aku kan cuma butuh sperma aja. Nggak berarti harus main sex.” protesku.


”Hah, jadi nggak nge-sex?” Sita terdengar kebingungan. ”Lha terus gimana, emang spermanya mau kamu minum?” dia bertanya.


”Dituangin kan bisa,” aku berkata. ”Atau dikocrotin di depan memek aku.”


”Hush, porno ah omongan lu.” Sita tertawa lagi.


“Ayo, Sit. Gimana, bisa nggak?” aku sedikit memaksa.


”Emm, gimana ya?”dia tampak berpikir. ”Tapi kamu tetep telanjang kan?” tanyanya kemudian.


Nah lo! Sekarang ganti aku yang berpikir.


”Minimal kamu masih mau dipegang-pegang, gitu.” Sita memberi syarat.


Menghela nafas berat, aku akhirnya mengiyakan tawarannya. ”Iya deh. Asal nggak ada penetrasi, semua boleh.” Tapi dia memang benar, kalau nggak telanjang atau bersentuhan, mana bisa aku nanti dapat sperma. Minimal aku harus menggoda laki-laki itu dengan tubuhku yang sintal ini.


”Okelah kalau begitu. Kukabari lagi besok pagi, bisa apa nggaknya. Oke, In?” tanya Sita sebelum menutup teleponnya.


”Usahakan ya, soalnya aku sudah nggak betah dengar omelan mertuaku.”


Sita tersenyum menyanggupi dan menutup teleponnya, meninggalkan aku sendirian di malam yang gelap dan dingin ini.


***.


“Aku nanti menginap di rumah Sita, mas.” ujarku sambil membersihkan lelehan sperma mas Danu yang menempel di selangkanganku.


“Kenapa?” dia bertanya tanpa menoleh, tampak sibuk membenahi pakaiannya yang sedikit acak-acakan. Sementara burungnya yang terkulai lemas, menggantung menyedihkan di luar celananya.


Aku meraih benda keriput itu dan mengelus-elusnya pelan. Kubersihkan sisa-sisa spermanya yang masih menetes-netes dengan menjilatinya lembut.


“Jangan!” mas Danu melarang saat aku ingin mengulumnya.


“Sebentar lagi aja, mas.” aku merajuk dan mencaplok penis itu.


Tapi mas Danu menarik cepat penisnya, “Aku sudah terlambat, sayang.” dan buru-buru memasukkannya kembali ke dalam celananya. “Mas berangkat dulu ya.” Dia mengecup pelan keningku dan segera berlalu ke taxi langganan yang sudah menunggu di depan rumah.


Huh! Aku mendengus kesal. Lagi-lagi begini. Mana bisa aku hamil kalau begini terus. Mas Danu baru pulang dini hari tadi, dan langsung tidur. Sekarang dia sudah berangkat lagi. Katanya 3 hari baru balik. Kalau tidak kupaksa, mungkin sehabis sarapan tadi dia juga tidak akan menyentuhku. Gimana bisa spermanya bertemu dengan sel telurku, kalau bercinta aja Patas, paket kilat 2 menit. Aku belum apa-apa, dia sudah moncrot duluan. Alasannya, karena diburu waktu, pesawatnya yang ditumpanginya akan terbang sebentar lagi. Huh dasar! Bikin gondok aja. Dengan kecewa, aku pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri.


***


Jam 8 malam...


“Mama ada, Dek?” aku bertanya pada remaja tanggung yang sedang asyik mempreteli motor di garasi rumah Sita.


“Di dalam, Tante.” jawab anak itu tanpa menoleh.


Tante! Emang aku sudah setua itu ya? Punya anak aja belum, sudah dipanggil Tante.


“Kata mama, Tante langsung disuruh masuk aja. Sudah ditunggu dari tadi.” lanjut anak itu dengan kepala tetap menunduk menekuri mesin motornya.


Tante lagi! Bikin aku keki aja. Apalagi dia tidak mau memandangku sama sekali. Awas ya, akan kuberi kamu pelajaran! Batinku dalam hati. Aku mencolek bahu anak itu dan memanggilnya, “Hei, lihat sini bentar, Dek”


“Apaan sih? Ganggu aja.” dia menepis tanganku.


“Lihat sini. Bentaaaar aja.” aku kembali mencolek tubuhnya.


Meraung marah karena aku sudah mengganggu ketenangannya, bocah itu menoleh dan berteriak, “Ganggu aj...” tapi teriakannya langsung terhenti begitu melihat apa yang kulakukan.


Disini, di depan anak itu, kusingkap kaos tipis yang kukenakan. Kupamerkan payudaraku yang bulat membusung pada anak itu. Dan sebelum dia sempat tersadar, aku segera menyambar dan melumat bibirnya dengan rakus. Kuberi dia ciuman panas yang tidak akan pernah dia lupakan seumur hidupnya.


“Hmpph! Hah... hah...” bocah itu langsung terengah-engah saat aku melepaskan bibirnya.


“Jangan panggil aku Tante lagi. Paham?!” gertakku sambil berlalu meninggalkannya.


Bocah itu mengangguk dengan linglung. Dia menatap kepergianku sambil mengusap-usap bibirnya yang berdarah karena gigitanku. Berjalan santai memasuki ruang tamu, aku tersenyum penuh kemenangan.


Kamar Sita ada di lantai atas. Dengan berdebar-debar aku menuju kesana. Pintunya tampak tertutup rapat. Hampir beberapa menit aku berdiri di depannya, menebak-nebak kalau saat ini mungkin sahabatku itu sedang bercinta dengan suaminya. Bukankah itu yang dibilang Sita di telepon tadi? Anehnya, bayangan itu justru membuat gairah di dalam diriku semakin bergejolak. Tak terasa vaginaku terasa berdenyut-denyut dan payudaraku semakin mengeras. Aku jadi ingin mengintip mereka.


Menarik nafas panjang dan berdiam diri sesaat, aku pun berjalan mengendap-endap dan mengintip dari jendela. Aku mencoba mencari celah yang terbuka diantara tirai kamar Sita yang tertutup. Memang ada sedikit celah yang tersisa, namun tidak cukup lebar untuk bisa melihat apa yang terjadi di dalam sana. Meski samar-samar, bisa kudengar lenguhan panjang dan suara desahan manja yang dikeluarkan oleh Sita. Penasaran, akupun berusaha mendongakkan kepala untuk melihat lebih jelas lagi.


Saat itulah, terdengar seruan Sita dari dalam kamar. ”Nagapain pake ngintip-ngintip segala, In? Masuk aja langsung. Pintunya tidak kukunci kok.”


Duaar!!! Bagai disambar petir, aku pun terdiam dan terpaku karena sudah ketahuan.


Terdengar langkah kaki turun dari ranjang, dan pintu kamar pun terbuka. Sita berdiri disana hanya dengan berbalutkan handuk hijau yang sangat tipis dan minim. Wanita itu tidak berusaha menutupi payudaranya yang terbuka, dia membiarkan bulatan daging yang besar dan bulat miliknya itu menggantung bebas di dadanya.


“Buat apa ngintip-ngintip gitu? Ayo masuk, aku sudah menunggumu dari tadi.” undangnya manja.


Aku hanya bisa menelan ludah menatapnya. ”Ah, nggak! Jangan, Sit! Aku malu!” aku berusaha bertahan ketika Sita menarik tangan kananku untuk mengajak masuk ke dalam kamar.


“Udah, hayo! Ini kan demi kebaikanmu juga.” dia berusaha meyakinkanku.


“Nggak, Sit! Aku malu sama suamimu.”


”Kenapa harus malu? Suamiku malah senang kok bisa membantumu.”


”Ah, tapi...” entahlah, setelah sedekat ini, aku malah jadi ragu. Aku tidak tega mengkhianati suamiku.


“Ayolah…!” Sita terus memaksa.


Setelah cukup lama saling menarik tangan masing-masing, akhirnya aku pun mengalah. Apalagi Sita mengingatkanku tentang ancaman ibu mertua tentang kehadiran seorang cucu. Mendengarnya, aku jadi tidak melawan saat Sita menarikku masuk ke dalam kamar.


“Aaakkhh…!” disana, aku langsung melenguh dan menutup mata dengan telapak tangan. Bagaimana tidak, di atas ranjang, kulihat seorang laki-laki paro baya sedang duduk santai dengan hanya mengenakan kaos tanpa tambahan apapun lagi sebagai penutup bagian bawah tubuhnya. Di bagian selangkangannya, tampak mengacung tegak sebuah batang yang berukuran cukup besar.


“Halah, gaya lu, In. Kayak baru pertama kali melihat kontol aja, hehehe…” Sita dengan santainya mengejekku sambil menutup pintu kamar.


Wajahku semakin memerah mendengar kata-katanya. Tapi memang benar apa yang dikatakan sahabatku itu. Aku sudah sering melihat penis karena aku sudah menikah. Namun yang berbeda adalah, penis yang berada di depanku sekarang berukuran sangat besar, beda dengan punya suamiku yang cuma standart saja ukurannya. Lagian, ini juga untuk kali pertama aku melihat kontol bang Irul, suami Sita, jadi tidak aneh kalau aku agak sedikit kaget dan berteriak.


Sita dengan santainya berjalan mendekati ranjang kemudian naik ke atasnya. Ia lalu mencium bibir suaminya sambil memeluknya. ”Ini Indri, Pa. Yang kuceritakan tempo hari.”


Bang Irul hanya tersenyum kecil, “Ayo sini, mbak Indri. Nggak usah malu.”


Sita membalas dengan senyuman pula. Dikecupnya sekali lagi bibir sang suami, sebelum beranjak turun dari ranjang dan kembali mendekatiku yang masih berdiri mematung dengan ekspresi penuh kehampaan. “Ayo dong!” kembali Sita menyeret tanganku, mengajak mendekat menuju ranjang.


“Ehm, Sit, haruskah...” aku masih ragu. Terbayang kalau aku akan disetubuhi oleh laki-laki lain selain suamiku.


”Ingat, cuma dengan cara ini kamu bisa dapat anak, In.” Sita mengingatkan. Aku memang sudah bersepakat dengannya akan meminjam bang Irul, suaminya, agar membuahiku. Dengan begitu aku berharap akan segera hamil agar rumah tangga yang baru kubina tidak hancur. Tapi sekarang, aku malah jadi ragu. Selingkuh ternyata sangat berat rasanya.


“Ayo, In, jangan malu-malu gitu. Kita biasa aja kok…” Sita terus mendorong.


“Tapi, Sit...” aku masih berat. Malu sekali rasanya. Bayangkan, aku harus main dengan bang Irul, dengan ditonton oleh Sita.


Sita menghela nafas dan melepaskan tanganku. ”Gimana kalo gini aja. Kamu duduk disini,” dia menunjuk kursi di sisi ranjang. ”dan lihat bagaimana kita main. Kalau sudah terangsang, siapa tahu kamu nanti mau.”


Sebelum aku sempat menjawab, Sita sudah kembali berjalan menuju ranjang. Sebelum naik, ia melepaskan handuk yang melilit bagian bawah tubuh sintalnya. Terlihatlah kini tubuh montok Sita yang hanya terbalut celana dalam putih berenda kembang-kembang pink. Wanita cantik itu lalu merangkak naik ke atas ranjang dan kembali memeluk tubuh suaminya.


“Lanjut, yuk!” bisik Sita manja.


Mereka berdua pun berciuman panas sambil beradu lidah. Tangan bang Irul dengan gemas meremas-remas payudara Sita yang montok. Keduanya tampak begitu menikmati percumbuan itu seolah-olah di dalam kamar hanya ada mereka berdua, tanpa memperdulikan kehadiranku disana. Tak hanya meremas, kini puting payudara kanan Sita sudah berada sepenuhnya di dalam kuluman sang suami.


Sita juga tak tinggal diam, ia raih batang besar bang Irul dan segera dikocoknya dengan cepat, secepat tangan sang suami yang sibuk mengobok-obok vaginanya yang masih tertutupi celana dalam. Selangkangan Sita yang sebelumnya telah basah, kini nampak semakin basah.


“Aaahh… Ooooh…” Sita sengaja mendesah sekeras mungkin sambil menatap ke arahku yang masih berdiri di dekat pintu. “Ooohh… Aaaah…” kini dia memasang ekspresi wajah penuh kenikmatan seolah-olah menikmati betul kuluman bang Irul di payudaranya dan permainan tangan laki-laki itu di selangkangannya. Sita tersenyum kecil ketika melihatku yang sudah mulai nampak berdiri gelisah sambil menggesek-gesekkan kedua pahaku.


“Sebentar, Pa. Saya lepas CD ini dulu.” Sita mendorong tubuh sang suami. Bang Irul pun menghentikan remasan tangannya, namun tidak kuluman mulutnya. “Udah dong, Pa. Berhenti bentar aja,” Sita kembali mendorong, berusaha melepas kuluman sang suami di puncak payudaranya yang sudah terlihat dipenuhi beberapa bercak merah muda.


Bang Irul pun menurut, namun bukan berarti payudara montok itu bisa terbebas begitu saja. Di saat Sita berusaha memelorotkan celana dalam yang dikenakannya, remasan tangan kanan laki-laki itu masih tetap bertengger di gundukan daging kenyal wanita tersebut.


“Ih, papi nakal,” ucap Sita setelah melemparkan kain mungil penutup selangkannya itu ke kakiku. Sekarang ganti dia yang agresif memeluk tubuh sang suami dan mencium bibir laki-laki itu dengan ganas. Tak hanya itu, kini jari-jari mungil Sita juga secara bersamaan dan telaten mengocok-ocok batang penis bang Irul yang semakin menegang dahsyat.


Sita seperti sengaja mengatur posisi tubuhnya agar menghadap ke arahku. Sambil berciuman dan bermain lidah, wanita itu tetap intens sesekali melirik ke arahku. Kini, aku sudah tidak mampu lagi menutupi gairah birahi yang menyerang akibat melihat live show yang terjadi di hadapanku. Rasa sungkan dan malu yang tadi masih menggelayuti hatiku, kini hilang sudah. Tergantikan oleh gairah dan nafsu yang amat sangat. Tanganku mulai bergerak meraba-raba payudaraku sendiri, sambil tetap menggesek-gesekkan kedua pahaku pelan-pelan. Senyum Sita tampak makin lebar karena berhasil memancing gairahku.


“Pa, kamu main sama Indri dulu ya, nanti baru sama aku,” bisiknya di telinga sang suami.


“Dia kan tadi sudah nggak mau, Ma.” sahut bang Irul di tengah remasan tangannya pada payudara sang istri.


“Itu kan tadi, kalo sekarang...” Indri melirik ke arahku. Bang Irul juga melihatku dan tersenyum.


“OK deh, terserah mami aja.” kata laki-laki itu pada akhirnya.


Sita pun membantu sang suami membuka kaosnya sehingga kini mereka berdua telah sama-sama telanjang. Kemudian setelah mencium bibir laki-laki tersebut, Sita beranjak turun dari ranjang dan kembali menghampiriku. Bang Irul sendiri terlihat mengambil posisi berbaring santai di atas ranjang sambil mengocok penisnya sendiri.


“Ayo, In, tuh suamiku sudah siap.” rayu Sita lagi.


“Nggak ah, Sit.” kembali aku menolak, meski itu cuma di bibir saja.


“Ayo dong, jangan membohongi diri. Aku tahu kamu sekarang sudah horny banget.” desak Sita.


“Aku malu sama kamu, Sit.” lirihku, dengan mata tak berkedip menatap kontol besar bang Irul.


“Kenapa musti malu? Kan aku yang mengusulkan ini.”


“Iya sih, tapi…”


“Halah, kamu nggak enak sama aku ya? Tenang saja, suamiku asyik-asyik aja kok, bahkan dia mau banget melakukan ini. Sudah lama dia pengen merasakan tubuhmu!” Sita tertawa.


Aku jadi tidak tahu harus berkata apa lagi. Apa yang dikatakan Sita tadi memang benar adanya. Hanya dengan bantuan bang Irul lah aku berharap bisa punya keturunan. Apalagi kini sudah mendekati tanggal-tanggal krusial menjelang menstruasi, dimana aku dituntut oleh mertua agar segera hamil. Tapi kalau harus melakukannya dengan bersetubuh bersama suami Sita, sahabat baikku sendiri, hal ini tentu sesuatu yang benar-benar di luar akal sehat. Namun begitulah adanya, bahkan justru Sita lah yang memintanya. Jadi, kenapa aku harus menolak?


“Ayo, In.” Sita menarik tanganku, dan kali ini aku sudah tidak melakukan perlawanan lagi.


Ketika kami sudah berdiri di pinggir ranjang, bang Irul hanya tersenyum kecil ke arahku. Terlihat kalau dia sangat mengagumi kecantikan dan keindahan tubuhku.


“Pa, rangsang Indri sebentar ya!” ucap Sita.


Bang Irul pun berdiri dan mendekatiku. Aku sedikit gemetar saat melihatnya, ketika seorang laki-laki dalam keadaan telanjang bulat, perlahan mendekatiku. Tapi anehnya, aku sempat melirik nakal ke arah batang penis laki-laki itu dan menyunggingkan senyum. Batang itu terlihat begitu besar dan tegang, cukup untuk membuatku bergidik dan membikin selangkanganku terasa senut-senut. Aku tidak bisa membayangkan rasa sakit seperti apa yang akan menyerangku saat batang besar itu masuk mengaduk memekku?


“Sit,” kupegang tangan Sita ketika bang Irul semakin mendekat.


“Sudah, tenang saja. Anggap saja bang Irul itu suami kamu.” Sita meremas tanganku.


“Tapi, Sit…” belum sempat aku melanjutkan kata-kata, bang Irul sudah keburu memeluk tubuhku dan mencium bibirku. Aku sampai gelagapan dibuatnya, tapi aku juga tidak menolak bibirnya yang terus menyerang bibirku.


Awalnya aku memang sedikit kikuk, namun beberapa saat kemudian, setelah beberapa detik berlalu, aku pun mulai membalas pagutan bibir bang Irul. Apalagi ketika kemudian kurasakan sentuhan lembut jemari Sita di pundakku, untuk memberikan dukungan, aku pun jadi tidak malu lagi untuk membalas permainan lidah suaminya di mulutku. Aku yang memang sejak semula telah terbakar nafsu birahi, membuat bang Irul tidak perlu terlalu bekerja keras untuk membangkitkan sisi liarku.


Sita yang berdiri di belakangku, kini juga mulai meremas-remas payudaraku yang membusung. Kemudian dengan cekatan, kedua tangannya masuk ke dalam kaosku dan perlahan-lahan jarinya bergerak membuka kaitan braku yang berwarna putih. Dia kemudian menyelipkan tangannya dan remasannya pun dapat langsung bersentuhan dengan kelembutan dan kekenyalan kulit payudaraku.


Diserang dari dua arah seperti itu membuatku kian melambung. “Aaah… Ooooh…!” tapi aku cuma bisa melenguh dan mendesah, tanpa memiliki cara untuk membalas.


Saking terbelenggunya oleh nafsu, membuatku sama sekali tidak melawan ketika bang Irul menggiringku naik ke atas ranjang. Bahkan saking terbuainya oleh cumbuan lak-laki itu, aku sama sekali tidak menyadari kalau kini tubuh bagian atasku sudah tidak berpenutup lagi. Sita melepas kaos berikut BH-ku dan melemparkannya begitu saja di lantai, menumpuk dengan baju-baju miliknya yang sudah terlepas sejak tadi. Hal ini membuat bang Irul jadi lebih leluasa mengulum dan menghisap kedua payudaraku. Meski ukurannya tidak sebesar milik istrinya, tapi dia terlihat sangat menikmatinya.


Ketika kedua payudaraku sudah sepenuhnya berada di dalam ’kekuasaan’ bang Irul, bibir lembut Sita kurasakan perlahan mengecup bibirku. Kami pun segera terlibat dalam ciuman panas yang ganas dan basah. Dengan begitu eksotis kami saling mengulum, menjilat dan bertukar air liur. Aku dan Sita sebenarnya bukanlah lesbian, namun desakan birahi yang kini menguasai, membuat kami jadi lupa diri kalau sesungguhnya kami adalah makhluk sejenis.


Ketika aku dan istrinya terlihat asyik saling kulum dan saling jilat, di bawah sana, ciuman bang Irul sudah merambat turun sampai ke perutku yang langsing tanpa lemak. Sambil menciumi pusarku, kedua tangan laki-laki itu perlahan memegang ujung celana panjangku dan memelorotkannya turun hingga terlepas. Bang Irul kemudian menciumi kedua paha mulusku dengan penuh nafsu. Ciumannya terasa menggelitik, apalagi setelah bermuara di depan celana dalam putih yang kukenakan. Kain mungil tipis menerawang itulah yang kini hanya menjadi pembatas antara lidah bang Irul dengan vaginaku.


“Hhhmm… Hhhmm…!” hanya itu yang keluar dari mulutku yang kini sedang dicumbui oleh Sita. Aku harus beberapa kali menggerakkan pantatku menahan geli akibat permainan lidah bang Irul yang beberapa kali menyentuh klitorisku. Ini berarti celana dalamku sudah berhasil dienyahkan oleh laki-laki itu.


Aku benar-benar merasakan kenikmatan yang luar biasa. Bibir dan payudaraku terus menerus dipermainkan oleh Sita, sementara di saat yang bersamaan, vagina dan klitorisku juga terus dipermainkan oleh sang suami. Terasa sekali kalau di bawah sana sudah semakin basah dan becek, sedangkan payudara dan putingku sendiri terasa sedemikian menegang. Permukaan kasar lidah bang Irul begitu nikmat kurasakan ketika menari-menari bebas diantara bulu-bulu tipis basah yang ada di selangkanganku. Saat ini, aku sudah benar-benar melayang akibat gelora nafsu birahi yang mereka berikan.


Melihatku yang sudah siap tempur, bang Irul lalu menghentikan jilatannya. Dia beranjak dari posisinya samping mengocok-ngocok batang penisnya sendiri yang sudah semakin menegang. Laki-laki itu merasa batang penisnya belum cukup tegang untuk memberikan kenikmatan kepada dua orang wanita yang bersamanya saat ini. Ia pun menyuruh Sita menghentika ciuman bibirnya dan lalu mengarahkan batang penis itu ke dalam mulutku yang masih terbaring pasrah. Aku sedikit gelagapan menerima kocokan penis besar bang Irul di dalam mulutku. Ujung penis laki-laki itu terasa beberapa kali menyentuh ujung kerongkonganku. Karena takut tersedak, aku pun memilih untuk mengganti posisi menjadi duduk.


Posisi kami pun berganti. Kini bang Irul duduk di ujung ranjang, dimana batang penisnya dijilati oleh aku dan Sita secara bergantian. Dia nampak seperti seorang raja yang sedang dilayani dengan penuh cinta oleh dua orang selirnya. Ketika giliranku mengoral, Sita bangkit dan mencium bibir sang suami sambil merabai dada bidang laki-laki itu. Cukup lama keduanya saling lumat, sebelum akhirnya Sita menyorongkan payudara kanannya ke mulut laki-laki itu, meminta untuk dihisap dan dilumat. Bang Irul pun dengan senang hati melumat dan menjilati payudara montok milik sang istri, yang memang ukurannya lebih besar daripada milikku.


“Aaah…!” Sita mendesah pelan ketika bang Irul sedikit menggigit puting payudaranya, setelah sebelumnya membuat beberapa cupangan dipermukaan daging montok itu.


Kami kemudian berganti posisi. Kini Sita yang mengulum batang penis suaminya sedangkan aku mencumbu bibir dan dada bang Irul. Laki-laki itu terlihat tidak percaya kalau yang awalnya malu-malu ternyata bisa begitu liar ketika terbakar birahi.


“Ooohh… Oooohh…” bang Irul hanya bisa mendesah penuh kenikmatan mendapatkan pelayanan prima dari kami berdua.


“Pa, masukin ya? Sudah tegang banget ini.” Sita menghentikan kulumannya.


“OK deh, siapa yang duluan?” tanya bang Irul.


“Indri aja deh” Sita menunjuk diriku.


Aku sama sekali tidak membantah usulnya, karena saat ini aku memang sangat ingin segera disetubuhi. Sudah tidak sabar rasanya. Memekku terasa gatal sekali.


Bang Irul pun menuruti kata-kata istrinya. Laki-laki itu membaringkan tubuh montokku di ranjang dan kemudian membuka kedua paha mulusku lebar-lebar. Sejenak dia tampak menelan ludah memandangi vaginaku yang terlihat begitu indah dan mempesona. Maklum belum pernah melahirkan. Dipandangi seperti itu membuat wajahku memerah karena malu.


”Sudah, bang. Cepat lakukan!” aku meminta.


Tak sabar merasakan kenikmatan vaginaku, dengan segera bang Irul menghujamkan batang penisnya. “Aaaahhh…!!” baik aku maupun laki-laki itu berteriak berbarengan penuh kenikmatan begitu benda panjang yang kaku dan berotot itu menerjang vaginaku.


Aku yang sudah diamuk birahi, bagaikan mendapat siraman air di tengah padang pasir mendapati kontol bang Irul yang terasa menggesek penuh dan mantab. Laki-laki itu pun juga tidak membuang-buang waktu, merasakan jepitan memekku yang kencang dan kuat, dia segera menggoyangkan pinggulnya untuk menusuk dan menghunjam-hujamkan kontolnya, mengocok dan menjelajahi vaginaku yang sempit dan legit.


”Arghhhhh...” aku mendesah, sangat menikmati persetubuhan itu.


Sita yang sedang menunggu giliran, mencium bibirku yang kini terguncang-guncang hebat untuk menghabiskan waktu. Dia juga meraba-raba payudara bulatku yang juga bergoyang-goyang tak kalah hebatnya.


“Gimana, In, enak?” bisik Sita nakal di telingaku.


“Aaah… e-enak, Sit.” sahutku gemetar.


“Nikmati saja, In. Biar kamu cepet hamil. Hehe..”


“I-iya,”


Sita tersenyum kecil mendengar kata-kataku. Dia lalu kembali melumat payudaraku sambil tangannya meraba klitorisku, membantu suaminya yang semakin gencar menghujam-hujamkan batang penisnya.


“Ma, nunging gih, giliran mama yang aku entot sekarang.” kata bang Irul terengah-engah. Sita pun menurut. Ia segera mengambil posisi nungging di sampingku yang terbaring telentang. Bang Irul kemudian mencabut batang penisnya dari dalam vaginaku dan ganti memasukkannya ke vagina sang istri.


“Aaakkhh…!” Sita melenguh pelan, dia memejamkan matanya sambil meremas erat sprei.


Batang penis sang suami yang menghujam kencang ke dalam vaginanya cukup memberikan rasa nikmat yang luar biasa. Apalagi saat laki-laki itu mulai menggerakkannya maju mundur dengan cepat dan dalam, lubang kenikmatan Sita yang semula sempat mengering, kini menjadi basah kembali dialiri cairan cinta. Ditengah genjotan sang suami, Sita menggigit bibirnya. Benar-benar nikmat rasanya. Bercinta dengan laki-laki itu memang tidak pernah mengecewakan.


Aku yang tidak mau cuma jadi penonton, mulai meraba-raba tubuh mulus Sita. Payudara, paha, pinggang dan bagian-bagian tubuh sensitif lainnya, kuusap dan kubelai dengan penuh nafsu. Bahkan tidak hanya menyentuh, aku juga mulai menciumi dan menjilatinya. Sekujur tubuh Sita kutelusuri untuk membantu sahabatku ini menikmati penuh persetubuhan yang kini ia lakukan bersama suaminya.


“Giliran mbak Indri lagi.” ucap bang Irul ditengah genjotannya.


Seperti layaknya Sita, aku pun menungging di atas ranjang, menyerahkan sepenuhnya vaginaku untuk suami sahabatku itu. Bang Irul meremas-remas pantatku sebentar sebelum menarik penisnya dari dalam vagina sang istri.


“Aaakhh…” aku menjerit saat penis laki-laki itu kembali menghujam kencang ke dalam vaginaku.


Sita kembali menciumi bibirku agar tidak nganggur. Aku jadi harus membagi konsentrasi antara menikmati genjotan bang Irul dengan permainan lidah Sita di dalam mulutku. Keduanya memberikan sensasi kenikmatan tersendiri untukku.


Gaya doggie ini tidak berlangsung lama karena Sita menyuruhku untuk mengambil posisi woman on top. Bang Irul berbaring di atas ranjang, sementara aku di atas menggoyang-goyangkan pinggulku, dengan penis besar bang Irul sebagai pusatnya. Hal ini membuat batang penis bang Irul menancap dalam di liang vaginaku. Posisi seperti ini memudahkan Sita untuk bergantian melumat bibir sang suami maupun bibirku.


“Hhhmm… Hhhmmm… Hhhhmmm…” desahan tertahan keluar dari bibirku yang sedang berciuman panas dengan Sita.


Bang Irul sendiri, ditengah dera rasa nikmat akibat jepitan vaginaku, terlihat begitu terpesona menyaksikan dua wanita cantik yang bercumbu ria tanpa malu-malu di hadapannya. Sungguh pemandangan yang sangat eksotis dan membangkitkan gairah. Apalagi Sita juga beberapa kali menarik keluar kontolnya dari jepitan vaginaku dan mengulumnya, tidak peduli meski cairan cintaku begitu terasa di permukaannya, hingga membuat bang Irul jadi makin menggeram dan bersemangat dibuatnya.


“Oooohh…!!!” aku dan bang Irul mendesah merasakan kelamin kami yang kembali bersatu. Bergantian kami mendesah, berteriak dan melenguh penuh kenikmatan. Kami seakan-akan lupa kalau sedang bercinta di hadapan Sita, istri sah bang Irul yang juga sahabat baikku.


Sita sendiri tampak tidak keberatan melihat ulah kamu berdua. Dia malah sibuk meraba-raba bibir vagina dan klitorisku untuk membantuku cepat memperoleh orgasme. Perbuatannya itu membuatku mendesah-desah kegelian.


Menerima genjotan penis serta permainan jari-jari di klitoris, aku pun menyerah. ”Arghhhhhh...!!!” sambil melenguh kencang, kutumpahkan cairan kewanitaanku. Tubuhku gemetar, sementara kepalaku mendongak ke atas dengan mata terpejam.


Bang Irul yang rupanya juga tak tahan, segera mencabut batang penisnya dan menyuruhku untuk berbaring di ranjang. Sementara aku menikmati sensasi kenikmatan yang baru saja mendera, laki-laki itu kembali menghujamkan batang penisnya ke dalam vaginaku. Dia kembali mengocoknya dengan cepat dan kuat. Dia nampak semakin kesetanan, mungkin karena saking nikmatnya jepitan memekku.


”Aaaahh… Ahhhhhh… In, vaginamu nikmat sekali!” ceracaunya.


“Penis abang juga enak.” balasku, tanpa merasa takut didengar oleh Sita.


Sita yang masih setia menonton, sedikit merasa cemburu mendengar kata-kata kami. Namun dia segera mengusirnya jauh-jauh karena bagaimana pun dia yang mengusulkan persetubuhan ini. Jadi kalau ternyata aku dan suaminya menikmatinya, itu bukan salah kami berdua.


“In, aku keluar… Aaaakkhh…!!!” bang Irul menggeram. Tubuh kurusnya mengejang, dan dari dalam kontolnya menyemprot cairang kental hangat yang langsung memenuhi liang vaginaku. Laki-laki itu menekannya dalam-dalam agar cairan itu masuk seluruhnya, tidak sampai tertumpah keluar.


“Trims ya, Bang.” Kudaratkan ciuman mesra di bibir laki-laki itu.


Sita yang ada di dekatku hanya tersenyum kecil. “Gimana, enak? Hehe…” godanya.


“Enak banget!” ucapku mantap. ”Suamimu memang top markotop.” kuacungkan dua jempol kepadanya. ”Mudah-mudahan dengan begini aku bisa hamil.” aku berharap.


”Kalau masih belum hamil juga, aku mau kok mengulanginya lagi.” sahut Bang Irul.


”Yeee, maunya!” aku dan Sita berteriak berbarengan.


***


”Say, sini deh.” suamiku memanggil. Dari raut mukanya terlihat kalau dia sudah siap memberitahukan rahasianya.


”Mas sudah siap mengatakannya sekarang?” aku bertanya.


Tidak menjawab, suamiku malah memberiku sebuah amplop tebal berwarna coklat. ”Buka, Ma!” bisiknya.


Aku pun membukanya, dan melongo.


“Gimana, indah kan? Itu rumah baru kita.” katanya dengan gembira. Mata bulatnya tampak berbinar-binar.


”Jadi ini yang selama ini mas sembunyikan?” tanyaku kelu memandangi foto-foto sebuah rumah mungil berlantai 2 yang sangat indah.


Suamiku mengangguk. ”Aku sengaja ingin memberi kejutan untukmu, sayang. Kubangun dan kurancang rumah ini pelan-pelan, sejak kita belum menikah dulu. Baru seminggu kemarin selesai dan bisa ditempati. Bulan depan kita pindah ya?”


Aku tidak bisa menjawab. Jadi ini rahasianya selama ini...


”Dan momennya sangat pas sekali.” tambah suamiku. ”Kamu hamil, rumah kita jadi. Kitabenar-benar beruntung!”


Aku tak kuasa untuk membendung air mataku. ”Maafkan aku, mas. Aku sudah mengkhianatimu!” bisikku dalam hati. Kupeluk dia dan tergugu di pundaknya. Mas Danu mengira itu adalah air mata kebahagiaan, padahal...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar