Rabu, 03 Juli 2013

Mei Lin, Penderitaanku Disetubuhi pria Dewasa


Mei Lin

Angin bertiup kencang diiringi suara petir yang menggelegar, yang kemudian diikuti oleh turunnya hujan yang begitu deras. Aku meringkuk di bawah pohon besar sambil menggigil kedinginan. Oh ya, namaku Mei Lin, usia 16 tahun dan aku baru saja mengikuti makrab, ’Malam keakraban’ bersama para guru di sebuah hutan yang berada jauh dari tempat tinggalku. Baru beberapa jam yang lalu aku tertawa riang sambil bernyanyi-nyanyi bersama teman sekolahku, sampai akhirnya musibah itu datang menimpaku. Aku terpisah dari rombongan akibat kesalahanku sendiri, karena kenekatanku untuk melihat lebih jauh keindahan hutan yang memang belum pernah aku nikmati seperti saat ini, membuatku lupa diri hingga akhirnya tersesat.




Penderitaanku terasa semakin bertambah ketika perut ini mulai memberontak, ya… aku baru ingat kalau dari tadi siang hingga larut malam perutku belum terisi apapun. Apakah aku akan mati di sini? Tidak…!! Aku masih ingin hidup, aku tidak ingin mati di sini. Bagaimana kalau mereka tidak menemukan mayatku? Pikiran-pikiran mengerikan itu silih berganti mengisi otak kecilku, membuatku tak bisa berpikir jernih karena rasa takut, lelah dan letih yang aku rasakan, ditambah lagi rasa lapar dan dingin yang menusuk tulangku, membuat tubuhku terasa begitu lemah tak bertenaga.


Tetapi ketika aku hampir putus asa, tiba-tiba saja ada secercah harapan ketika aku mendengar suara deru langkah yang terdengar sayup-sayup diantara suara butiran hujan dan petir yang saling bersahut-sahutan. “Srreetts… Sssrrreett…“ Suara langkah itu terdengar semakin nyata di telingaku.


“Tolooong…!! Tttoolloongg…!!“ Dengan sisa-sisa tenaga yang aku punya, aku berteriak sekencang yang aku bisa, berharap ada yang bisa mendengar teriakanku. Tetapi suara gadis kecil yang sudah kelelahan sepertiku jelas saja tidak mungkin bisa mengalahkan suara hujan dan petir yang saling bersahutan.


Sepertinya memang sudah tidak harapan lagi, tak akan ada satupun orang yang datang menolongku. Aku duduk bersimpuh sambil memeluk lututku untuk mengurangi rasa dingin yang menyiksa tubuhku.


Tidaaak…!! Aku tidak boleh menyerah di sini, aku harus tetap hidup. Masih ada harapan untukku melewati malam yang menyedihkan ini. Suara langkah kaki itu terdengar sangat dekat dan itu berarti ada orang di sekitar sini, kalau mereka tidak bisa menemukanku, aku pasti bisa menemukan mereka. Aku berdiri dengan tekad yang kuat, walaupun tubuhku terasa mulai mati rasa, tetapi aku harus tetap berjuang agar bisa keluar dengan selamat dari hutan ini.


Dengan langkah yang tertatih-tatih, aku menerobos hujan dan angin yang seolah ingin menghempaskan tubuh mungilku. Ternyata tidak percuma aku mengikuti instingku, setelah beberapa menit aku berjalan, aku melihat dari kejauhan sebuah gubuk kecil yang diterangi lampu canting yang menyala terang diantara kegelapan.


Masih dengan langkah yang tertatih, aku mendekati gubuk tersebut, berharap ada orang yang bisa menolongku.


“Jadi… besok lo sama Jhon tunggu di luar, kalian mengerti!!!” ujar seorang pria sambil menunjuk kedua orang yang tampak begitu patuh kepada dirinya, “dan lo harus siap di dalam mobil!!!” katanya lagi, kali ini ditujukan kepada pria berkepala plontos.


“Kita mulai beraksinya jam berapa, Bos?!” tanya seorang pria berambut panjang.


“Tengah malam besok,” jawab pria tersebut tanpa ada ragu sedikitpun.


Harapan dan keyakinanku yang awalnya menggebu-gebu sirna sudah, ketika secara diam-diam aku mengendap, mencoba melihat apa yang sedang dilakukan oleh keenam pria yang berada di dalam gubuk tersebut. Dan apa yang kulihat benar-benar tidak sesuai harapan, bahkan kalau aku berlama-lama di sana, bisa-bisa aku akan mati lebih cepat. Karena aku menyadari keenam pria tersebut ternyata adalah buronan polisi yang beberapa waktu lalu berhasil merampok Bank Mandiri. Wajah mereka sudah tak asing lagi, karena sering menghiasi layar kaca maupun media cetak.


Aku sadar, kalau aku harus segera pergi meninggalkan gubuk tersebut demi kesalamatanku. Walaupun kecewa, dengan perlahan aku kembali melangkahkan kakiku, berniat menjauh dari gubuk tersebut. Sial bagiku, ketika aku baru beberapa langkah menjauh dari gubuk tersebut, tiba-tiba saja kakiku tersangkut di akar pohon, membuat keseimbangan tubuhku tidak stabil dan akhirnya akupun terjatuh. “Aaauww…!!“ aku menjerit cukup keras sambil memegangi pergelangan kakiku yang terasa begitu sakit.


“Siapa di luar?!!” suara yang cukup lantang terdengar dari dalam gubuk tersebut, membuat bulu kudukku terasa berdiri disela-sela tetesan hujan yang tiada henti-hentinya membasuh tubuhku yang sudah basah kuyup.


Aku berusaha bangun, tetapi rasa nyeri di kakiku membuat tubuhku tertahan, sepertinya kaki kananku terkilir akibat terjatuh barusan. Sebelum aku sempat berdiri, tiga orang pria keluar dari dalam gubuk sambil membawa senjata di tangan mereka. Seorang pria bertubuh paling besar dengan otot lengannya yang begitu kokoh, tampak sedang memegang senjata laras panjang, sementara dua rekannya memegang belati yang cukup panjang untuk mengoyak tubuhku.


“Ternyata hanya seorang bocah! Karman, Sigit, kalian tunggu di sini!” ujar pria tersebut memerintahkan kedua temannya, dan kemudian dengan langkahnya yang lebar, ia menghampiriku yang sudah tak berdaya.


Aku tak berani menatapnya saat ia sudah berada di depanku.


“Cantik juga!” gumamnya, yang membuat tubuhku terasa merinding. “Ayo ikut aku, dan jangan coba-coba untuk memberontak, apa lagi berusaha kabur dariku kecuali kamu sudah bosan hidup, kamu mengerti?!!” ia mengancamku dengan tatapan yang sangat mengerikan untukku. Karena rasa takut yang menderaku, sehingga aku hanya mengangguk menuruti semua keinginan pria tersebut.


“Hanya seorang anak gadis, Bos!!” ujar pria tersebut ketika ia telah menyeretku ke dalam gubuk dan kemudian mengikat kedua tanganku.


“Hmm…“ Pria yang dipanggil bos tersebut tersenyum menyeringai ke arahku sambil memainkan belati di dagunya. “Siapa nama kamu, Nona manis?” tanyanya sambil mencengkeram kedua pipiku dengan satu tangan.


“Meee… Mei Liiinn, Pak! Tolong lepasin saya!” jawabku terbata-terbata sambil memohon.


“Ck… Ck… Ckk…“ sang Bos berdecap sambil menggelengkan kepalanya. “Jangan pernah bermimpi, Manis! Sebaiknya kamu jawab pertanyaanku, mengerti?!!” ancamnya sambil menodongkan pisau di depan wajahku. “Atau kamu mau aku cabik-cabik muka kamu yang cantik itu dengan pisau ini?” lanjutnya sambil memainkan belati tersebut di depan wajahku. Tak tahan, akhirnya akupun menangis.


Melihatku menangis, mereka malah tertawa, seolah mereka melihatku sedang menghibur mereka, membuat hati kecilku menjerit meminta tolong. Namun kepada siapa?


“Gimana caranya kamu bisa berada disini? Padahal inikan ada di tengah-tengah hutan, bahkan orang asli daerah sinipun tidak ada yang berani masuk sejauh ini, tetapi kamu ...? Hmm, nyalimu besar juga ternyata!” Entah itu sebagai pujian atau sebagai hinaan karena kebodohanku yang nekad menyelusuri hutan hingga akhirnya berujung seperti saat ini.


“S-saya… terpisah dari rombongan!” kataku memberanikan diri.


“Rombongan?!! Dimana rombongan kamu sekarang?”


“Saya tidak tahu, saya terpisah dari mereka!”


Raut wajah si Bos yang tadinya tenang, kini tampak seperti orang yang sedang kebingungan. Entah apa yang sedang ia pikirkan. Tapi tiba-tiba saja ia mendekati keempat anak buahnya, seolah sedang mengajak mereka berdiskusi.


“Bagaimana menurut kamu, James?” si bos bertanya kepada orang yang tadi menyeretku masuk ke dalam gubuk ini. Pria yang dipanggil James tampak berpikir sejenak sambil menatapku dalam-dalam, seolah ia melihatku sebagai ancaman yang harus segara disingkirkan agar aku tidak membahayakan kelompok mereka.


“Lebih baik kita bunuh dia segera, dan bangkainya kita buang ke sungai biar buaya-buaya muara yang ada di pinggir sungai yang mencabik-mencabik tubuhnya.”


Mendengar ucapan, James tubuhku terasa menggigil, rasanya dunia seperti mau kiamat saja. Apakah aku memang harus mati di tangan mereka dengan cara tragis seperti itu? Kalau seandainya aku lebih dulu menyadarinya, mungkin aku tak akan pernah mau mengejar suara langkah kaki mereka.


“Tidaak…!“ Seseorang langsung memotong ucapan James. “Anak itu tidak boleh kita bunuh, dia tidak berdosa dan dia kesini bukan atas kemauannya. Lebih baik kita lepaskan saja anak itu, karena pastinya rombongan mereka sekarang sedang mencarinya, bisa-bisa persembunyian kita bisa ditemukan.” Seorang pria yang sedari tadi tampak diam mulai mengangkat suaranya, membuatku sedikit bernafas lega, tetapi itu belum selesai.


“Bodoh! Bagaimana kalau dia menceritakan keberadaan kita di sini?”


“Tapi kita bisa menutup matanya dan saya yakin dia tidak mungkin hafal tempat ini, karena lokasi kita berada di tengah hutan, dan siapa juga yang akan percaya dengan perkataan bocah SMA seperti dia.”


“Cukup-cukup!!” bentak si Bos meleraikan pertengkaran anak buahnya. “Kalau menurut kamu apa, Jhon?” ujar si Bos beralih ke anak buahnya yang lain.


“Ehmm…“ Pria bertubuh gemuk yang bernama Jhon menarik nafas sambil memperhatikanku, entah kenapa, aku merasa ia akan semakin mempersulit keadaanku, karena tatapannya yang tajam seolah ingin menelanjangiku. “Alangkah baiknya kalau untuk sementara waktu kita jadikan gadis cantik ini untuk melayani kita malam ini, setelah itu baru kita pikirkan lagi langkah selanjutnya. Apakah gadis ini layak untuk hidup atau tidak!!” Kalimat yang terdengar datar tetapi sengat mengerikan di telingaku.


“Aku tidak setuju!! Bos, pikirkanlah matang-matang, anak ini tidak berdosa dan tidak masuk dalam rencana kita…“ potong Bram yang dari tadi terus membelaku sambil mengepalkan kedua tangannya tanpa memperdulikan teman-temannya yang mulai terpancing emosi.


“Tapi sekarang dia sudah masuk dalam rencana kita, Bram!” suara lantang si Bos, membuat harapanku untuk kedua kalinya pupus sudah. Aku yang berharap akan ada orang yang menyelamatkanku, dan harapan itu akan menjadi sia-sia saja, karena nasibku akan ditentukan di dalam gubuk ini.


Karena kesal, Bram meninggalkan gubuk tersebut, dan memilih berjaga-jaga di luar menggantikan kedua temannya yang sebelumnya ditugaskan menjaga di luar, untuk mengawasi kalau ada orang lain selain diriku. Bagaimanapun juga mereka adalah buronan, sehingga mereka harus selalu berhati-hati.


“Tidaak! Jangan! Saya mohon, Pak!!” aku mengais-ngaiskan kedua kakiku, berusaha menghindar ketika seorang pria yang biasa dipanggil ‘Bos’ mendekatiku sambil memainkan pisau lipatnya di hadapanku.


“Hehehe… tenanglah cantik, kami tidak akan menyakiti kamu asalkan kamu mau menuruti semua perintah kami. Dengan begitu kamu akan selamat dan kamipun akan merasa senang malam ini!” katanya sambil melucuti pakaiannya sendiri hingga ia telanjang bulat di depanku.


Mataku mendelik saat tanpa sadar aku melihat senjata pamungkasnya yang berada diantara kedua pahanya. Penis itu sungguh besar, menggelantung bebas dan terlihat begitu mengancamku, membuatku semakin ketakutan. Tetapi pisau yang berada di leherku menghentikan semua gerakan tubuhku yang ingin memberontak dari mereka. Si bos terseyum senang saat siasatnya untuk menakut-menakuti diriku berhasil.


Rasanya ini seperti mimpi, dan seandainya saja ini memang benar-benar mimpi buruk, aku berharap agar segera terbangun dari mimpi yang menyiksaku ini. Tapi tentu saja itu hanya harapan kosong. Tanpa bisa berbuat apa-apa dengan tangan terikat ke belakang, Si bos mendorong tubuhku hingga aku terlentang dan kemudian telapak tangannya yang besar itu, bahkan ukurannya mungkin dua kali lipat dari tanganku, terasa mulai merayap dari betisku hingga ke pangkal pahaku. Ia menatapku dengan tajam, seolah ingin langsung memakanku bulat-bulat.


“Hhmpp… hmmpp…“ aku kembali berusaha menghindar ketika bibirnya yang tebal berusaha menyumbat bibirku. Tetapi ketika salah satu jarinya yang besar menekan selangkanganku, tiba-tiba saja tubuhku terasa menjadi kaku, seolah tubuh ini tak memiliki tulang untuk kugerakkan.


Tubuhku yang memang selama ini tidak pernah disentuh oleh pria manapun, membuatnya menjadi sangat sensitif dengan sentuhan. Apalagi si Bos barusan menyentuh bagian tubuhku yang paling sensitif, sehingga aku hanya dapat melotot tanpa melakukan gerakan penolakan layaknya orang yang sedang diperkosa. Melihat ada celah dari diriku, si Bos langsung melumat bibirku, bahkan kurasakan lidahnya menjulur masuk ke dalam mulutku, menyapu semua rongga-rongga mulutku dan tidak lama kemudian ia melepaskan bibirku.


“Aku paling tidak suka dilawan, kalau kamu terus-terusan menolak, aku terpaksa membunuhmu dengan ini. Tubuhmu akan aku cabik-cabik dengan pisau ini, lalu mayatmu akan aku buang di ujung sungai sana, biar bangkai tubuhmu dimakan oleh buaya yang ada di sana.” Ia melotot, mencekik leherku cukup keras, membuatku kesakitan.


Aku tak berani lagi membantahnya, sehingga kubiarkan saja saat ia kembali melumat bibirku. Dalam keadaan seperti ini, aku lebih memilih kehilangan kesucianku dibandingkan harus mati mengenaskan di hutan. Melihat aku yang sudah tak berdaya, si Bos makin meningkatkan serangannya, ia membuka satu persatu kancing seragamku, lalu ia menyingkap braku ke atas sehingga payudaraku yang berukuran 34B terekpose dihadapan kelima pria tersebut.


“Oii… susunya amoy ini kencang sekali!” tiba-tiba dari belakang ada yang nyeletuk, membuat wajahku memerah menahan malu dan amarah yang sudah membuat dada ini terasa sesak.


“Tenang, James, nanti kita juga kebagian!! Hahaha… “ timpal yang lain.


Aku tak peduli dengan celotehan mereka yang sedang melecehkanku, walaupun memang harus kuakui ucapan mereka sedikit mengganggu pikiranku. Entah kenapa aku mulai menikmati posisiku saat ini, dimana aku berada diantara lima pria dewasa yang sedang mengiinginkan tubuhku.


Lamunanku buyar ketika aku rasakan telapak tangan si Bos yang besar meraih payudaraku, ia meremas-remasnya dengan kuat sambil terkadang menjepit putingku dengan kedua jarinya. “Aahkk... sakit! Pelan-pelan, Pak!! Hmmpp…“ rintihku disela-sela aktivitas si Bos yang sedang menggerayangi tubuhku.


Sepertinya salah satu anak buah si Bos sudah tidak sabar lagi ingin menyentuhku, kurasakan telapak tangan seseorang entah milik siapa sedang menggerayangi paha bagian dalamku, terus naik hingga menyingkap rok coklat yang aku kenakan. Kurasakaan telapak tangannya yang dingin menyentuh pinggiran selangkanganku, dan kemudian menyelusup masuk menyentuh bibir vaginaku. “Aahhkk… Hhmmppp… “ aku mendesah kegelian merasakan jari tangan tersebut yang semakin nakal menggelitiki selangkanganku.


“Wa… wa… wa… ternyata amoy kita terangsang juga, Bos!! Lihat nih, jariku sampe basah kuyup kayak gini, gara-gara memek amoy.”


Aku melihat ke arah Karman yang sedang mengacungkan jari telunjuknya ke arah teman-temannya. Aku mendengus kesal, tetapi harus kuakui sedari tadi vaginaku memang kurasakan seperti mengeluarkan cairan yang tak dapat aku hentikan.


Aku bisa sedikit bernafas lega ketika si Bos melepaskan pagutannya, sehingga aku bisa kembali menghirup udara segar. Tetapi itu tidak bertahan lama, penderitaanku kembali berlanjut. Si Bos membuka tali di kedua tanganku dan kemudian ia membuka seutuhnya bajuku berikut dengan braku, kemudian ia melepaskan rok dan disusul dengan celana dalam berwarna krem yang kukenakan. Kini aku nyaris telanjang bulat, hanya mengenakan sepatu dan kaos kaki yang melekat di tubuhku, itupun tidak bertahan lama, karena Jhon dengan tangkasnya membuka sepatu dan kaos kakiku juga.


Aku kemudian ditidurkan telentang di atas pangkuan James, sementara kedua kakiku dibuka lebar dengan posisi ditekuk. Si Bos mengambil jatah pertama vaginaku, ia merunduk sehingga wajahnya sejajar dengan bibir vaginaku, dan sedetik kemudian aku rasakan hembusan nafasnya yang hangat menerpa bibir vaginaku, dan kemudian disusul oleh sapuan lidahnya.


“Uhhhkk… Jangan disitu... geli! Aagghh… aaagghh… “ aku merintih tak tertahankan saat lidah si Bos menggelitik bibir vaginaku. Ia menyedot-nyedot sambil sesekali menyentil klitorisku dengan lidahnya.


James yang sudah sangat menginginkan diriku, segera membuka celananya dan kemudian menyodorkan penisnya ke arahku. “Kalau kamu mau selamat, cepat kulum penisku!!”


Di bawah ancamannya, aku tak berkutik kecuali menuruti kemauannya. Perlahan kugenggam penisnya, terasa hangat dan kaku, lebih besar dibandingkan kepunyaan si Bos yang sudah dari awal membuka pakaianya di hadapanku.


James kembali memaksaku, ia mendorong penisnya di depan bibirku, memintaku untuk mengecup dan menjilatinya. Kurasakan asin di ujung kepala penisnya ketika aku mencoba menyentuh dengan ujung lidahku. Walaupun bau khas itu sedikit mengganggu penciumanku, tetapi aku tetap berusaha memanjakan penisnya dengan jilatan-jilatan seperti yang ia perintahkan. Perlahan kucucup kepala penisnya dengan lembut sementara telapak tanganku membelai batang penisnya yang besar berurat.


“Bagaiman, Manis, kamu menyukainya bukan?” ia meledekku karena melihat diriku yang mulai terbiasa dengan penisnya, bahkan tanpa ia minta, aku mulai memasukkan penis itu ke dalam mulutku, membuatku merasa malu sendiri, tetapi sudah kepalang tanggung, pikirku. Toh kalau dia keluar lebih cepat, itu akan memberi keuntungan bagiku.


Aku menjadi semakin bersemangat mengulum penisnya, walaupun ini pengalaman pertama, tetapi ternyata tidak begitu sulit bagiku. Aku mengisap, menyedot dan sesekali menjilati batang penisnya. “Oohggkk… Amoy, seponganmu enak sekali!!” ceracau James merasakan service dari mulut dan lidahku.


Konsentrasi mengocoku tiba-tiba saja buyar ketika kurasakan darah dari dalam tubuhku terasa mendidih. Tubuhku bergetar hebat, saking hebatnya, aku sampai mengggigit bibirku sendiri untuk menahan gelombang tersebut. Tetapi apa daya, aku tak mampu menahannya, dan akhirnya dengan kedua kaki yang menggelinjang hebat, tepat di bawah sana, di selangkanganku, perlahan aku mengeluarkan cairan cintaku yang amat banyak. Si Bos dengan tangkasnya menyeruput cairan tersebut hingga tak bersisa, dan kemudian membersihkannya, membuat vaginaku kembali terasa kering.


Pria dengan tato naga itu mengangkat wajahnya dan kemudian tersenyum. “Bagaimana, Manis, apa kamu menyukai permainanku? Ini belum seberapa, nanti kamu akan merasakan yang lebih nikmat dari ini! Hehehe…“ Ia tertawa, menontonkan barisan gigirnya yang kuning dan tidak rata di hadapanku.


Mendengar ucapannya barusan membuat tubuh merinding, aku tahu apa yang ia maksudkan, tetapi aku tak bisa menghindar lagi. Toh aku juga mulai menyukai permainan mereka, walaupun hati kecil ini masih belum bisa menerima seutuhnya.


“Tolong jangan kasar, soalnya saya masih perawan!!” pekikku ketakutan saat si Bos mulai menindih tubuhku.


“Tenang, kamu bakalan menyukainya kok. Aku akan bermain lebih lembut dari biasanya.“ ia menjanjikan.


“Gluukk…“ aku meneguk air liurku saat kurasakan si Bos mulai menempelkan penisnya di daerah bibir vaginaku. Pertama-tama ia menggesekannya terlebih dahulu dan kemudian beberapa kali ia mendorong penisnya walau tidak sampai masuk ke dalam tubuhku.


Perlahan tapi pasti, dorongannya semakin lama semakin kuat. Aku menjerit kecil saat kepala penisnya berhasil membelah bibir vaginaku, dan kemudian ia kembali menariknya hingga di ujung penisnya dan kemudian ia kembali mendorongnya dengan kedalaman yang sama hingga aku mulai menikmati permainannya. Urat-urat penisnya yang tebal terasa menggesek dinding vaginaku, merangsang vaginaku untuk mengeluarkan pelumas lebih banyak lagi sehingga penis itu semakin leluasa menjamah bagian dalamnya.


“Ohhkk… aaggkkh…“ aku mengerang tak tertahankan. Vaginaku terasa ngilu saat si Bos menekan pinggulnya lebih dalam lagi.


Si Bos mendekatkan wajahnya ke wajahku dan kemudian ia memberiku kecupan lembut di bibir. Beberapa saat aku membalas pagutannya untuk mengurangi rasa sakit di vaginaku. “Tahan ya, Cantik, ini sedikit menyakitkan!!” Katanya di sela-sela melumat bibirku dan kemudian, dengan sebuah dorongan kuat, langsung membenamkan seluruh batang penisnya ke dalam tubuhku. Aku memekik kesakitan, meronta, berusaha mendorong tubuhnya agar menjauh.


“Aauuww… hhmppp… “ Dalam keadaan mulutku yang dibekap oleh bibirnya, hanya suara itu yang dapat aku keluarkan seiring dengan air mataku yang meleleh keluar.


Seolah mengerti dengan penderitaanku, si Bos mendiamkan penisnya beberapa menit hingga vaginaku bisa menyesuaikan ukuran penisnya yang cukup besar untuk gadis perawan sepertiku. Perlahan ia kembali mengecup wajahku, menciumi kedua mataku, hidung, hingga daun telingaku ia gelitik dengan lidahnya. Perlahan rasa ngilu di selangkanganku mulai mereda, sehingga aku mulai dapat menikmati kerasnya penis si Bos di dalam tubuhku.


Dengan sangat hati-hati ia menarik penisnya, sedikit membuat vaginaku ngilu tetapi juga membuat vaginaku terasa nyaman dengan adanya benda besar yang menyumbatnya.


“Ayo, Manis, ini belum selesai!!” ujar James yang kemudian kembali memberikan penisnya ke hadapan wajahku. Kuraih penis yang tadi sempat aku nikmati dengan mulutku itu, kembali kukocok perlahan dan kemudian kembali kumasukkan ke dalam mulutku.


Semakin lama tempo permainan kami menjadi semakin memanas. Si Bos dengan tubuh telanjangnya yang bermandikan keringat tampak semakin bersemangat menyetubuhiku, begitupun juga dengan diriku yang sebenarnya sudah sangat kelelahan, tetapi sangat menikmati permainan malam ini. Karman, Sigit dan Jhon bergantian memintaku mengocok penis mereka dengan tanganku, sambil sesekali mempermainkan payudaraku yang menggantung indah.


Lama kelamaan akhirnya tubuhku tak tahan juga, dan akhirnya aku dibuat orgasme oleh mereka berlima. Tubuhku mengejang tak beraturan, bahkan penis James yang berada di dalam mulutku sempat terlepas saking aku menikmati gejolak orgasme yang kurasakan.


“Saking nikmatnya sampe mulet-mulet gitu ya, Non?” kata Jhon melecehkanku sambil meremas payudaraku dengan sangat kencang sehingga aku mengaduh kesakitan.


Tak lama kemudian si Bos mencabut penisnya yang berlumuran cairan cintaku dan darah segar yang kutahu itu adalah darah perawanku. Kini giliran si Bos tidur terlentang, ia memintaku untuk berganti posisi woman on top. Tanpa harus diminta untuk kedua kalinya, aku segera menaiki penis si Bos dengan bimbingan Karman dan Sigit. Perlahan penis si Bos kembali terbenam ke dalam tubuhku.


“Ayo digoyang, Manis!!” pintanya.


Aku pun segera menggoyang pantatku, naik turun, maju mundur, ke kiri dan ke kanan. Semakin lama gerakanku menjadi semakin cepat, membuat si Bos tampak kewalahan menikmati goyangan ngeborku. Jhon dan Sigit berdiri disamping kiri dan kananku sambil menyodorkan penis mereka ke hadapanku. Aku tahu apa yang mereka inginkan sehingga aku segera meraih kedua penis tersebut dengan kedua tanganku dan mulai mengocoknya lembut.


“Aahkk… aahkk… aku keluar lagi, Pak!!” rintihku parau, tubuhku kembali bergejolak di posisiku saat ini.


“Tunggu, Sayang, aku juga mau keluar!!” teriak si Bos sambil mencengkeram pantatku dengan sangat erat, dan kemudian ia menghentak kuat pinggulnya ke atas ketika aku sedang ingin menurunkan tubuhku, membuat penisnya terbenam semakin dalam di liang vaginaku. Dan pada saat itu juga, kurasakan semburan hangat spermanya menyirami vaginaku seiring dengan orgasmeku yang masih melanda.


Tubuhku langsung lunglai ambruk ke samping tubuh si Bos dengan nafas tersengal-sengal. Belum hilang rasa lelahku, tiba-tiba saja dari belakang seseorang memposisikan tubuhku menungging, dan kemudian kurasakan sebuah benda tumpul menyeruak masuk, memaksa bibir vaginaku kembali terbuka.


Jhon menyetubuhiku dari belakang sambil menampar-nampar pantatku, ia memperlakukanku seperti pelacur jalanan, dan anehnya aku sama sekali tidak marah atas perbuatannya, bahkan aku menikmati pukulan di pantatku. Sigit merengsek kehadapanku lalu menyodorkan penisnya. Aku segera mengulum penis Sigit, sambil sesekali menggigit pelan kepala penisnya yang berbentuk jamur.


“Ohh… enak!! Memek amoy memang tidak ada duanya!!” ceracau Jhon yang tampak sangat menikmati himpitan vaginaku.


Setelah lima menit berlalu, tiba-tiba kurasakan penis Sigit bergetar di dalam mulutku dan kemudian tanpa aku sadari, Sigit menumpahkan seluruh lahar panasnya ke dalam mulutku. Aku terkejut tapi tidak sempat menghindar, sehingga aku dengan sangat terpaksa menelan sperma Sigit yang terlanjur menerjang tenggorokanku. Ternyata rasanya enak juga, sedikit asin dan rasanya begitu gurih sehingga aku memutuskan untuk menelan semuanya, dan tidak lupa aku membersihkan penis Sigit seperti yang ia minta.


“Hehehe… gimana, spermaku rasanya enak kan?” ia meledekku dengan ucapannya yang pedas.


Aku tak begitu peduli dengan ucapan Sigit kepadaku karena aku lebih berkonsentrasi untuk memuaskan orang yang sedang menyutubuhiku saat ini. Kukencangkan otot-otot vaginaku sehingga mencekik batang penisnya, dan benar saja, Jhon mengerang semakin keras hingga akhirnya kurasakan cairan spermanya meledak menyirami rahimku.


Plokkss…!! Dengan sangat kasar, Jhon mencabut penisnya. “Oke, sekarang giliran siapa, ambil nih pecun!” teriaknya.


Kurang ajar! batinku dalam hati. Aku sudah rela mereka perkosa, tetapi mereka tetap memperlakukanku seperti binatang.


Karman memintaku untuk menaiki tubuhnya. Perlahan aku menduduki penisnya, dan ternyata penis Karman lebih kecil dibandingkan dengan kedua penis lainnya yang sudah mencicipi hangatnya liang vaginaku. “Uugghkk…“ aku melenguh panjang saat vaginaku melahap penisnya secara utuh. Perlahan aku merebahkan tubuhku di atas tubuhnya, dan kemudian bibir kami saling bertautan erat.


Ketika aku mulai menikmati persetubuhan kami, tiba-tiba saja dari belakang, James yang sedari tadi sudah sangat menginginkanku, kini tampak sibuk menjamah pantatku, sesekali kurasakan jari telunjuknya menekan anusku. Aku merintih nikmat, membiarkan kenakalannya yang sedang mempermainkan anusku. Tetapi kurasakan semakin lama, jari itu terasa semakin besar saja menyentuh anusku, sehingga membuatku merasa penasaran. “Astaga...!!!“ aku terperanjat saat menyaksikan penis James paling besar diantara yang lainnya, sedang berusaha menyetubuhi pantatku yang belum pernah tersentuh benda apapun.


“Ja-jangaan!! Tolong jangan disitu!!” aku kembali memohon belas kasihannya, tetapi pria itu hanya tersenyum culas kepadaku.


Perlahan kurasakan penis besarnya menyeruak, memaksa lobang pantatku terbuka lebar untuk menyambut kepala penisnya yang berbentuk jamur itu. Aku merintih kesakitan, rasanya lebih sakit dibandingkan saat keperawananku direnggut tadi. Tubuhku yang bermandikan keringat tampak mengejang menahan rasa sakit.


“Aauw… sakit!! Pelan-pelan!! Aku mohon!!” rintihku.


Mereka sama sekali tidak memperdulikan teriakanku, bahkan dengan bersama-sama, James dan Karman menggoyang pantat mereka maju mundur, mendesak vagina dan anusku secara bergantian. Aku merintih kesakitan, walapun dengan secara perlahan aku mulai menikmati disetubuhi oleh dua orang sekaligus dengan dua lobang yang berbeda.Kuraih bibir tonggos Karman untuk meredam teriakanku, kulumat mesra untuk sedikit meredakan rasa sakitku.


Setelah kurasakan rasa sakit itu benar-benar hampir hilang dan digantikan oleh rasa nikmat yang amat sangat, barulah kulepas pagutanku untuk menarik nafas. Harus kuakui, mulut Karman sangat bau sekali. Baru saja bisa menghirup udara segar, tiba-tiba saja dihadapanku, penis si Bos sudah mengacung meminta jatahnya. Aku hanya pasrah saja, kusambut penis tersebut dengan jilatan dan hisapan mulutku.


Di posisi seperti saat ini, aku mengalami orgasme berkali-kali, bahkan aku mendapatkan multy orgasme hingga beberapa menit lamanya.


Tidak lama kemudian Karman yang sedang menyetubuhi vaginaku mengerang kuat dan kemudian menumpahkan spermanya di dalam rahimku, lalu disusul dengan si Bos yang menumpahkan spermanya di dalam mulutku. Dan lagi-lagi aku menelan sperma si Bos sama seperti saat aku menelan sperma Sigit. Kini aku hanya tinggal berhadapan dengan James yang sudah memindahkan penisnya dari anus ke lobang vaginaku. Tubuhnya yang hitam legam bergerak cepat maju mundur, membuat tubuhku terkadang terdorong ke depan dan ke belakang.


Setelah puas dengan posisi doggystyle, ia telentangkan tubuhku dan kemudian menindihku kembali. Kami berdua layaknya sepasang kekasih yang sedang memadu cinta. Kulingkarkan kedua tanganku di lehernya, sementara kakiku melingkar erat di pinggangnya, membuat penisnya yang besar terasa semakin dalam mengaduk-aduk liang vaginaku. Tidak hanya itu, entah siapa yang memulai, bibir kami berdua sudah saling berpagutan mesra.


Setelah lima belas menit lamanya, akhirnya aku dan James mendapatkan kenikmatan dengan cara bersamaan. Kurasakan cairan spermanya menerjang rahimku, sementara cairan cintaku tampak meleleh keluar dari sela-sela celah selangkanganku.


“Kamu sungguh luar biasa cantik, Amoy! Baru kali ini aku merasakan himpitan memek yang sangat kencang seperti milikmu ini!” kata James sebelum bangkit dari tubuhku, ia sempat menghadiahiku kecupan lembut di dahi.


Ternyata salah besar kalau aku berpikiran permainan malam ini akan segera berakhir. Selepas beristirahat beberapa menit, mereka kembali menggarap tubuhku habis-habisan sepanjang malam hingga mereka kelelahan dan tertidur pulas. Sementara aku dengan keadaan tubuh yang terasa remuk, hanya bisa menangis meratapi nasibku.



Aku menggeliat di atas tempat tidurku ketika kurasakan seseorang membelai lembut rambutku. Perlahan kubuka mataku dan kudapatkan Papa yang sedang tersenyum seperti biasanya. “Pagi, Sayang! Hayo, kamu harus siap-siap ke sekolah.“ ujarnya sambil memberiku kecupan lembut di kening.


Aku membalas senyumannya lalu bangun dari tempat tidurku sambil melirik ke arah jam dinding. “Pagi, Pa!!” kataku yang kemudian memeluknya dengan manja.


“Kamu itu udah gede, tapi manjamu itu masih kayak anak kecil.” protesnya, tetapi ia tetap membiarkan aku memeluknya, bahkan ia membalas pelukanku sambil mengusap-usap rambutku, membuat pagi ini terasa nyaman dan indah.



“Hihihi… Papa bisa aja!” aku mencubit pinggangnya sambil memasang wajah imutku.


Baskoro Handoko, beliau bukanlah orang tua kandungku, melainkan ia adalah pengganti Papa kandungku, seorang pria yang selalu aku banggakan. Semua ini terjadi lima tahun silam, saat itu kehidupan keluargaku di ambang kehancuran dan pada saat itu Baskoro hadir di dalam keluarga kami, ia menjadi peran penting kehancuran keluargaku. Pada saat itu keadaan rumah dalam keadaan sepi, Papa sibuk di kantor sementara aku baru pulang sekolah. Mataku melotot, butiran air mata tak dapat aku bendung ketika aku melihat Mama yang sedang telanjang duduk di pangkuan pria lain, yaitu Baskoro.


Melihat kehadiranku, Mama sama sekali tidak menghentikan perbuatannya, bahkan mereka semakin terlihat mesra dan bersemangat. Sambil menangis, aku berlari ke kamarku, saat itu aku merasa hidupku sudah selesai.


Tiga puluh menit selanjutnya Mama baru menyusulku ke kamar dengan keadaan yang terlihat berantakan, bahkan disela-sela rambutnya masih tersisa sperma seseorang. Hatiku hancur, tapi di usiaku yang masih belia aku tak bisa berbuat apa-apa, bahkan untuk membenci merekapun aku tidak bisa, yang aku bisa hanya menangis, menyesali apa yang sudah terjadi di keluarga kami.


“Maafin Mama, Sayang!!” katanya saat itu sambil mengusap punggungku. Tetapi aku sama sekali tidak menjawabnya, karena aku sendiri tidak tahu apa yang harus aku katakan kepadanya. “Suatu saat kamu akan mengerti! Mungkin tidak sekarang.” lanjut Mama diplomatis, mencoba mengerti keadaanku saat itu.


Semenjak kejadian hari itu, keluargaku semakin berantakan, dan akhirnya Papa dan mama pun resmi bercerai. Mama yang memiliki hak penuh atas harta waris termasuk perusahan milik keluarga membuat Papa bangkrut total, ia terpaksa angkat kaki dari rumah. Beberapa bulan semenjak kejadian waktu itu, Baskoro resmi menjadi bagian keluarga kami, walaupun tanpa ada ikatan pernikahan.


Awalnya aku sangat membenci pria yang kini menjadi panutanku itu. Tapi kerja keras dan usahanya untuk meyakinkan aku kalau ia bisa menjadi pengganti yang baik, perlahan mulai meluluhkan hatiku. Aku baru mulai benar-benar bisa menerimanya ketika ia nyaris saja kehilangan nyawanya, itu terjadi dua bulan yang lalu. Masih ingat ceritaku yang sebelumnya, saat aku diperkosa oleh sekelompok perampok?! Saat mengetahui aku tersesaat di hutan, Papa orang pertama yang segera mencariku. Saat itu Papa harus berjuang mati-matian menolongku dari teroris, bahkan ia sempat tertembak tepat di dadanya, tetapi untunglah polisi cepat datang dan meringkus mereka semuanya.


Dan dia jugalah yang menutupi aibku, sampai detik ini tidak ada satupun orang yang tahu kalau malam itu aku kehilangan kesucianku, karena Papa menutupinya rapat-rapat, hingga kasus itu dinyatakan selesai.


“Pa…!!” Aku mengangkat wajahku, menatapnya lalu tersenyum. “Terima kasih ya…” Kalimat yang aku ucapkan mungkin terdengar sangat pelan, tetapi aku yakin Papa bisa mendengarnya. Papa memelukku semakin erat, kurasakan dadaku terasa tergencet, membuatku sedikit sulit bernafas tetapi aku menikmati momen seperti ini.


***


Pagi itu sekolah tampak seperti biasanya, tidak ada yang aneh. Kami berkumpul tertawa bersama dan belajar bersama hingga lonceng pulang berdentang. Aku dan teman-temanku segera berlarian keluar kelas. Sesampai di halaman sekolah, tiba-tiba saja hujan turun lebat hingga kuurungkan niatku untuk segera pulang, dan memilih untuk berteduh bersama teman-temanku yang lainnya.


“Mei!!”


Aku menoleh ke samping saat seseorang memanggilku. “Hendra! Kamu belum pulang juga, lagi nungguin siapa?” Entah kenapa tiba-tiba saja aku merasa sangat senang sekali bisa bertemu dengannya di sini.


“Gimana mau pulang kalau hujannya deras kayak gini! Aku gak mau basah-basahan, nanti dimarahi Mama!” candanya sambil tersenyum ke arahku. Aah.. aku seperti terhipnotis oleh seyumannya itu, seyuman yang begitu indah.


“Hahaha… kamu bisa aja, Ndra!” aku tertawa renyah.


“Kamu sendiri lagi menunggu siapa, Mei?” tanyanya.


“Aku lagi nungguin taxi, soalnya kata mang Hadi waktu di jalan mobil mogok dan sekarang lagi dibawa ke bengkel, jadi mang Hadi gak bisa jemput aku!” Wajahku yang tadi ceria berubah manyun karena teringat telepon barusan dari mang Hadi, sopir di rumahku, yang tidak bisa menjemputku hari ini.


Hendra kembali tersenyum. Entah apa yang ia pikirkan saat ini, sedari tadi ia tidak pernah lepas memandangku, tatapannya yang tajam membuat bulu kudukku terasa berdiri. Waktu terus berjalan, satu persatu teman-temanku mulai meninggalkan gerbang sekolah, ada yang dijemput, ada juga yang nekad menerobos hujan, sementara hujan sepertinya tak menandakan kalau ia akan segera berhenti.


Di sampingku, Hendra masih terlihat tenang, tidak ada tanda-tanda panik di raut wajahnya yang tampan, padahal hari sudah mulai sore. Sudah dua jam lebih kami berdiri di depan gerbang sekolah, tetapi langit belum juga memberi tanda kalau hujan akan segera berhenti, membuatku semakin panik dan beberapa kali melihat ke arah jam tanganku.


“Mei, kamu mau pulang?” tanya Hendra kepadaku setelah terdiam cukup lama.


Aku mengangguk lemah, tetapi bagaimana caranya aku bisa pulang kalau hujan tidak mau berhenti seperti ini, sementara taxi sedari tadi belum juga kelihatan. Memang daerah tempat aku bersekolah sangat jarang dilewati taxi, tetapi terkadang ada saja taxi yang melewatinya.


“Gimana kalau aku antar kamu pulang?” usul Hendra, cukup untuk memberi harapan buatku.


“Berarti kita harus basah-basahan dong?” tanyaku.


Ia mengangguk mantab lalu tersenyum. Aku membalas seyumannya, seolah berkata kepadanya, Siapa takut !!


Akhirnya aku memutuskan pulang bersama Hendra, seorang pemuda yang baru saja aku kenal beberapa bulan yang lalu. Dia memiliki kepribadian yang menyenangkan, walaupun terkadang terlihat sedikit angkuh dihadapan teman-teman yang lainnya, tetapi menurutku dia adalah seorang pria yang baik dan enak untuk diajak ngobrol.


Selama di perjalanan, aku memeluk pinggangnya dengan sangat erat. Rasa dingin yang menusuk tulangku membuatku tidak sadar kalau cara aku memeluknya membuat pemuda di hadapanku menjadi grogi. Selama di perjalanan pulang, tidak ada satu kalimat yang terucap di bibir kami berdua, hingga akhirnya kami sudah berada di depan rumahku.


“Mau mampir dulu gak?” tanyaku kepadanya, saat ini hujan sudah sedikit reda.


“Tidak usah, aku harus segera pulang. Ada yang harus aku kerjakan!” sahut Hendra.


Aku sedikit kecewa mendengar penolakannya, tetapi ada benarnya juga apa yang barusan ia katakan, lebih baik ia segera pulang, apalagi langit masih terlihat gelap. Sepeninggal Hendra, aku segera berlari menuju kamarku. Rasanya seperti mimpi bisa pulang bersamanya.


***


Seperti yang aku takutkan, malam itu aku jatuh sakit. Tubuhku menggigil sementara Mama sedang tidak berada di rumah karena sibuk dengan urusan bisnisnya, sehingga hanya Papa yang menjagaku dari tadi sore selepas aku mandi. Ia beberapa kali mengganti kompres di dahiku untuk menurunkan panas tubuhku. Sebenarnya Papa sudah menyarankan aku untuk berobat ke dokter, tetapi aku menahannya saat ia bermaksud memanggil dokter langganan keluarga kami, karena aku pikir aku hanya butuh istirahat sejenak.


Tetapi ternyata aku salah, panas tubuhku semakin menjadi-jadi. Malam semakin larut, sementara Papa tidak henti-hentinya memijit dan mengganti kompresku. Sebenarnya aku sudah mengatakan kepadanya kalau aku bisa dijaga oleh Bi Inah, pembantu rumah kami, tetapi ia menolak karena ia sendiri yang ingin menjagaku. Ketika jam dinding kamarku menunjukan pukul 12 malam, tiba-tiba aku kebelet pipis. Kulihat Papa yang sedang tertidur di sampingku, raut wajahnya mengisyaratkan kalau ia kelelahan.


Aku mencoba bangkit sendiri, dengan tertatih-tatih aku berusaha turun dari tempat tidurku, rasanya sulit sekali menggerakan tubuhku, apalagi harus berdiri dengan kedua kakiku dan seperti yang sudah bisa ditebak, aku terjatuh saat aku baru ingin melangkahkan kakiku. Suara gaduh saat aku terjatuh membangunkan Papa.


“Mei Lin!!” panggil Papa tampak cemas. Ia segera menghampiriku dan kemudian membopongku kembali naik ke atas tempat tidurku. Ia mengusap dahiku yang berkeringat. “Kamu mau kemana, Mei?” tanya Papa sambil kembali menarik selimutku. Ingin sekali aku mengatakan kepadanya kalau aku ingin ke kamar mandi, tetapi rasanya malu juga kalau harus memintanya untuk menemaniku, hingga akhirnya kuputuskan untuk menahannya saja.


Selama satu jam lebih, tidurku semakin tak nyaman, rasa ingin menuntaskan hasratku semakin menggebu-gebu. Aku kembali melirik ke arah Papa yang masih tertidur lelap, rasanya ingin sekali aku membangunkannya dan memintanya untuk membantuku ke kamar mandi, tetapi memikirkan hal itu membuat wajahku bersemu merah. Namun rasa keinginan yang kuat membuatku akhirnya memutuskan untuk meminta Papa membantuku. Perlahan aku menggoyang tubuhnya, memanggilnya dengan pelan.


“Ehmm... Iya, Sayang, ada apa?” tanya Papa sambil mengejapkan matanya.


“Pa, Mei mau pipis!” kataku sambil menelan ludah.


Papa tersenyum dan kemudian ia bangkit dari tempat tidurku lalu menyodorkan tangannya. “Hayo, Papa antar kamu ke kamar mandi.” katanya. Aku terseyum dan menyambut uluran tangannya. Ternyata tidak sesulit yang aku bayangkan.


Sesampainya di kamar mandi, Papa membantuku untuk menuntaskan hasratku, dan selama itu nafasku memburu, jantungku berdetak lebih cepat dan raut wajahku merona. Papa berdiri di hadapanku yang sedang duduk di atas kloset, kalian bisa membayangkan bagaimana risihnya saat kalian sedang pipis ditonton oleh orang lain, apalagi orang itu adalah Papa tiri kalian, pastinya kalian akan bingung, membiarkan atau mengusirnya? Sebenarnya aku sudah memintanya untuk menunggu di luar, tetapi ia memaksa untuk menemaniku, karena ia takut terjadi apa-apa denganku, alasan yang cukup logis dan masuk akal.


Selesai buang air kecil, secepat mungkin aku membasuh vaginaku hingga bersih dan kemudian ketika aku ingin mengenakan celanaku lagi, tiba-tiba Papa sudah berjongkok di hadapanku, aku menatapnya kebingungan. “Biar papa bantu pasangkan!!” ia berkata kepadaku sambil memintaku untuk mencoba berdiri berpegangan dengannya.


Dengan perasaan tak menentu, aku berdiri di hadapannya tanpa mengenakan sehelai benang di bagian bawah tubuhku. Aku menggigit perlahan bibirku saat ia menatap vaginaku sambil tersenyum, dan kemudian ia menarik naik celana dalamku. Entah kenapa, rasanya celana itu lama sekali mencapai puncaknya, mungkin karena perasaanku saja atau Papa memang sengaja memperlambat gerakannya. Membayangkan itu semua membuat gairahku menjadi naik, apalagi saat mataku menangkap celana papa yang menggembung, berbentuk tenda. Ah... apa yang aku pikirkan? Aku segera menepis bayangan tersebut.


Selesai memasangkan celanaku, papa menggendongku kembali ke dalam kamar dan kemudian menidurkanku di tempat tidur, lalu menarik selimutku hingga menutupi tubuhku. Bayangan itu rasanya tidak mau hilang hingga akhirnya aku jatuh terlelap.


***


Untunglah esok paginya aku sudah baikan, tetapi walaupun begitu aku sedikit kecewa karena Papa melarangku ke sekolah hari ini, karena ia takut demamku nanti kambuh lagi, dan itu artinya aku tidak bisa bertemu dengan pangeranku hari ini. Ah... Entah semenjak kapan aku mulai menyukai pemuda itu, padahal dulu aku sangat membencinya. Pemuda yang egois, tetapi baik hati ^_^.


Pagi menjelang siang, entah kenapa hari ini cuaca sepertinya sangat mendukung sekali untuk bersantai-santai, hingga akhirnya aku putuskan untuk berenang saja di kolam renang yang ada di belakang rumahku. Aku segera bangkit dari tempat tidurku, bosan juga rasanya membaca seharian! Jadi kuputuskan untuk berenang saja. Setelah memilih pakaian renang mana yang harus kukenakan, sambil berlari kecil, aku menuruni anak tangga dan dalam sekejap sudah berada di pinggiran kolam. Perlahan aku buka baju kimonoku lalu membuangnya ke atas kursi santai yang ada di pinggiran kolam. Byuurr… aku menyeburkan diri ke dalam kolam tanpa memperdulikan kesehatanku yang belum sembuh total.


“Fuuh…” aku mengangkat kepalaku dari dasar kolam sambil menyemburkan air dari mulutku. Entahlah, aku merasa seperti ikan, berenang bebas ke kiri ke kanan, maju mundur sesuka hatiku. Sesekali tubuhku menghilang di balik air, dan beberapa detik kemudian tubuhku kembali mengambang ke permukaan.


Hampir setengah jam lebih aku menikmati hariku di dalam kolam, tanpa aku sadari aku mulai kelelahan hingga akhirnya kurasakan kakiku begitu sakit, saking sakitnya hingga aku tidak bisa menggerakkan kakiku. Menyadari kalau kakiku kram, aku menjadi panik dan berusaha berenang ke tepian, tetapi semuanya sudah terlambat. Aku berjuang sebisa mungkin agar tidak tenggelam karena ke dalaman kolam renangku lebih tinggi di bandingkan tubuhku. Sadar kalau aku tidak bisa lagi menggerakan tubuhku, akhirnya aku mencoba cara terakhir. Aku berteriak sekencang mungkin yang aku bisa, hingga akhirnya mataku terasa berkunang-kunang, tubuhku mendadak lemas, dan beberapa kali tanpa aku sengaja meminum air kolam, hingga akhirnya aku jatuh pingsan tak sadarkan diri.


***


Saat aku sadar, aku sudah berada di dalam kamarku. Kulihat dua orang pembantuku sedang duduk di sisi kiri dan kananku, mereka tampak sedang memijitku sambil sesekali menempelkan minyak kayu putih di dekat hidungku. Saat itu mereka belum sadar kalau aku sudah siuman, dan aku sendiri tidak berminat membuka mataku, sehingga kubiarkan saja mereka yang sedang memijit kaki dan tanganku.


“Mau sampai kapan kita memijitinya, Sep?” protes seseorang, yang aku kenali dari suaranya adalah Ucup.


“Sampai majikan kita bangun!” jawab Asep.


“Hah, mana tahan aku kalau sampe menunggu Non Mei Lin bangun.” sahut Ucup.


Aku mengerutkan dahiku, tak mengerti apa maksudnya? Apakah ia tidak mau merawatku? Sebagai majikannya, sudah selayaknya dia memperlakukanku dengan baik kan...


“Bukannya aku gak mau meninggalkan Non Mei Lin di kamarnya sendiri, tetapi apakah kamu tidak sadar kalau kesempatan seperti ini sangat jarang sekali kita dapatkan! Mengertilah, Cup, saya ini sudah tua, kesempatan saya bisa melihat yang bening-bening seperti ini sangat jarang sekali.” ucap Asep.


Deg!! Aku menelan air ludahku sendiri yang terasa pahit. Aku sadar kalau saat ini aku masih menggunakan pakaian renangku yang minim, pantesan sedari tadi rasa dingin ini tidak mau hilang, ternyata tubuhku masih ditutup dua helai kain yang hanya menutupi dada dan selangkanganku saja.


Perlahan kurasakan pijitan mang Asep merayap naik hingga ke pangkal pahaku, ia memijitnya dengan lembut sambil sesekali mengusap-usapkan telapak tanggannya, seolah ingin merasakan kelembutan kulit pahaku. Sementara Ucup, dia nekat membelai perutku yang rata, menimbulkan rasa geli di atas perutku.


“Eennggkk...“ aku mendesah pelan saat telapak tangan Ucup menyentuh bagian dadaku. Kurasakan telapak tangannya meremas-remas payudaraku dengan gerakan pelan, membuat aku menikmati perlakuannya terhadapku. Sesekali jari-jarinya yang nakal menyentil putingku di balik bikini yang menutupinya.


“Gimana, Cup, enak?” tanya Asep.


“Ho-oh, hehehe…” Ucup cengengesan, “Pantesan Tuan bela-belain seperti kayak maling hanya untuk sekedar mengintip anak gadisnya. Hahaha…!!”


Aku terhenyak mendengar kalimat terakhir Ucup.


“Hahaha… benar katamu, untung cuman kita yang tahu!” timpal Mang Asep.


Memang harus aku akui, akhir-akhir ini aku merasa ada yang berbeda dari sikap Papa. Beberapa kali memang aku sempat memergoki papa yang sedang menatapku aneh, tetapi selama ini aku selalu berfikir kalau apa yang dilakukan Papa adalah sesuatu hal yang biasa. Tetapi apakah mungkin yang dikatakan Ucup dan Mang Asep itu benar? Kalau iya, berarti selama ini Papa sering mengintipku? Dan semalem!?? Apa yang harus aku lakukan sekarang?


“Eenggkk… “ aku merintih pelan saat Ucup memelintir putingku.


Perlakuan mereka semakin lama semakin membuatku tenggelam dalam kenikmatan, sampai-sampai aku tak sadar kalau penutup payudaraku sudah disibak ke atas sehingga telapak tangan Ucup dengan leluasa memainkan payudaraku, sementara Mang Asep asyik menggelitiki vaginaku yang masih tertutup kain segita berwarna hitam. Sadar akan bahaya yang akan menimpaku, aku harus berpura-pura sadar untuk menghentikan kegiatan mereka yang sudah berani melecehkanku, anak majikannya sendiri.


Tubuhku menggeliat seperti orang yang ingin segera bangun, tetapi mereka sama sekali tidak peduli, bahkan Ucup semakin berani meremas-remas payudaraku dengan kencang, membuatnya terasa begitu sakit. Sepertinya aku memang harus memergoki mereka agar mereka berhenti mengerjaiku.


“Hei, apa yang kalian lakukan?! Jangan…” tapi belum selesai aku berkata, tiba-tiba salah satu dari mereka menyergap mulutku, membuat kalimatku terpotong.


“Gi-gimana ini?” Ucup tampak terlihat panik melihatku yang sudah siuman.


“Goblok, cepet bantuin! Pegang tangannya!!”


Hardikan Mang Asep cukup membuat ucup tersadar, ia segera memegangi kedua tanganku yang berusaha memberontak berniat ingin melepaskan diri dari mereka. Ketika Ucup berhasil mengunci pergerakanku, Asep segera mengambil tali dan keemudian mengikat kedua tanganku di sisi ranjang atas, sehingga aku sudah tidak mampu lagi menggerakan kedua tanganku, dan hanya kakiku saja yang bisa bergerak.


“Bajingan kalian, lepaskaaan aku! Toloooongg… Bi Inaaahhh!!” aku berteriak kencang memanggil Bi Inah.


“Hahahahaha… percuma saja, Non, Bi Ina sedang keluar! Di rumah hanya ada kita bertiga.” ujar Mang Asep sambil membelai wajahku. Aku melotot ke arahnya, sungguh aku tak mengerti kenapa mereka tega menghianatiku, anak majikannya sendiri.


“Gimana ini, Sep? Kita bisa dibunuh kalau tuan dan nyonya sampai tahu?” ujar Ucup yang masih terlihat panik, berbanding terbalik dengan Mang Asep yang terlihat begitu tenang, bahkan tampak begitu menikmati perannya.


“Tenang, serahkan semuanya padaku!” Setelah selesai mengikat kedua tanganku, mereka berdua berdiri menatapku yang sedang berpose terlentang dengan kedua tangan yang terikat di sisi ranjang tempat tidurku.


“Hehehe... gimana, Cup?” tanya Mang Asep.


“Wow… luar biasa, Mang! Hahaha… Nona kita satu ini sungguh cantik sekali, apalagi kalau dia lagi marah, adik kecil saya langsung menggeliat.” kata Ucup.


“Lepasiiiinn… Tolong! Lepasin…” teriakku meski sadar betul mereka tidak akan melakukannya, tetapi tetap saja aku berharap ada keajaiban sehingga hati mereka berdua menjadi lunak dan merasa kasihan terhadapku, karena bagaimanapun juga aku adalah anak majikan mereka.


Tapi harapan tinggallah harapan, lagi-lagi aku harus bertekuk lutut di hadapan pemerkosaku. Mang Asep dan Ucup naik ke atas ranjang, mereka berada di sisi kanan dan kiriku sambil memperhatikan tubuhku yang bertelanjang dada. Salah satu tangan Mang Asep mulai menggerayangi payudaraku, ia tampak begitu menikmati gunung kembarku. Sesekali ia mendekatkan wajahnya, mengulum putingku sambil sesekali meremasnya dengan keras, tetapi terkesan begitu lembut. Sementara Ucup sibuk menciumi wajahku, mengecup bibirku yang tertutup rapat.


“Aahhkk…“ aku mulai mendesah nikmat. Perlahan telapak tangan Mang Asep yang tadinya berada di atas payudaraku mulai bergerak turun, ia menari-nari di atas perutku hingga membuatku kegelian. Tak urung perlakuannya membuatku menggeliat tertahan. Tak puas hanya merabahi perutku, jari-jari nakal itu kembali turun, kali ini selangkanganku yang menjadi sasaran amukannya. Tubuhku menggelinjang tak tertahankan saat jari telunjuknya menyentuh bibir vaginaku yang masih terbalut bikini.


Sementara itu Ucup menggantikan posisi Mang Asep, ia mengecup payudaraku dengan perlahan sambil sesekali memainkan lidahnya di atas putingku. Aku merintih cukup keras kali ini, rasanya aku tidak akan bisa bertahan lebih lama lagi.


Namun permainan baru saja dimulai, Mang Asep mengambil posisi di bawah kakiku. Kulihat ia sempat melirikku sambil tersenyum penuh arti. Aku tahu apa yang dia inginkan, tetapi aku tidak dapat mencegahnya kecuali melihat dan merasakan apa yang ia lakukan terhadap tubuhku. Perlahan Mang Asep menarik pelan celana renangku seolah ia ingin menikmati setiap jengkal selangkanganku.


Deg… Deg… Deg…


Entah kenapa, ditelanjangi oleh pembantuku sendiri membuat aku menjadi sangat tegang, seolah-olah menanti apa yang akan mereka lakukan terhadap tubuhku. Bahkan aku mulai menikmati cara mereka menikmati tubuhku.


“Waaaww… “ Mang Asep berteriak histeris ketika celana renangku berhasil ia lepaskan.
Vaginaku yang ditumbuhi rambut halus di atas permukaannya terlihat begitu indah, belahan bibir atasnya yang kemerah-merahan jelas saja mengundang decak kagum kedua pembantuku. Tidak hanya mereka, akupun sangat mengagumi keindahan vaginaku. Menyadari bagian intimku sekarang sedang menjadi tontonan menarik bagi kedua pembantuku, membuatku merasa begitu malu, tetapi aku tak punya daya upaya untuk menutupi ketelanjanganku.


Tak sabar ingin segera menikmati vaginaku, Mang Asep membuka paksa kedua kakiku hingga mengangkang, dan pada saat itu juga aroma khas kewataanku segera memancing Mang Asep untuk melanjutkan ke tahap berikutnya. Kalian semua pasti tahu apa yang akan terjadi selanjutnya kan? Ya, Mang Asep menenggelamkan wajahnya diantara kedua kakiku.


“Aaaggrr… ampun, Mang!! Oohkk…“ aku mendesah semakin keras ketika lidahnya menyapu bibir vaginaku.


Ucup yang sudah tak tahan lagi segera membuka semua pakaiannya hingga telanjang bulat dan kemudian ia menduduki perutku dan menjepit penisnya yang berukuran sedang di antara kedua gunung kembarku. “Ohh... Non!!” desahnya sambil mulai mengocok pelan.


Setelah beberapa lama, akhirnya aku tak bisa lagi menahan gelombang nikmat itu, cairan orgasme bertubi-tubi menghantam tubuhku. Aku mengepal erat kedua tanganku, berteriak dengan keras sambil menadahkan kepala ke belakang. “Kaliaannn… arrrggkk…” aku mencapai puncakku.


“Gimana, Non, rasanya? Enak kan?” ujar Mang Asep setelah membersihkan vaginaku.


Aku mengangguk pelan. “Iya, Mang, enak banget!” kataku dengan sadar.


“Hehehe… kalau gitu sekarang giliran Non yang bikin kami muncrat ya?” timpal Ucup yang kemudian segera menyodorkan penisnya ke depan wajahku.


Aku tak bisa mempercayai dengan apa yang aku lakukan, dengan keadaan horni berat, aku membuka mulutku, menyambut penis Ucup. Sementara itu, kedua kakiku terbuka selebar mungkin, bersiap menyambut sodokan demi sodokan dari Mang Asep.


Walaupun vaginaku sudah cukup basah, tetapi ternyata itu belum cukup untuk bisa membuat Mang Asep bisa melesatkan penisnya ke dalam tubuhku dengan mudah.Walaupun penis Mang Asep bukan ukuran raksasa, tetapi ia tetap saja mengalami kesulitan. “Aduh, Non, kok susah banget sih!” keluhnya.


Aku tak menggubris ucapan Mang Asep, dan lebih memilih untuk fokus memberikan servis oral kepada Ucup, yang saat ini sedang menikmati kulumanku.


Mang Asep terus berusaha, perlahan hasil dari kerja kerasnya mulai menuai hasil, sedikit demi sedikit kepala berbentuk jamur itu tenggelam ke dalam liang surgaku. Aku melepaskan kulumanku, menikmati rasa linu di sekujur otot vaginaku ketika batang keras itu semakin tenggelam termakan mulut vaginaku.


“Aaaahkkrr…“ desah Mang Asep puas saat penisnya berhasil terbenam seutuhnya. “Kok memeknya sempit banget sih, Non, padahal udah ga perawan lagi?!!” celutuk Mang Asep, tetapi lagi-lagi aku tak memperdulikannya, toh ga ada gunanya aku menanggapi ucapan cabul dari pria tua seperti dirinya.


Perlahan Mang Asep mulai memompa penisnya maju mundur, sementara itu aku kembali disibukkan dengan penis Ucup. Kujilati lobang kencingnya dengan perlahan, membuat Ucup terlihat merem melek menikmati sevis oral dari majikannya.


“Hhmmpp… Hhmmpp…” aku mendesah tertahan karena adanya penis Ucup di dalam mulutku, sehingga aku tidak bisa berteriak setiap tusukan penis Mang Asep yang keras membuatku terhentak-hentak.


Setelah beberapa lama kemudian, aku kembali mendapatkan orgasmeku, sementara Mang Asep tampaknya masih belum juga, padahal terlihat kalau ia ingin segera berejakulasi. Aku melepaskan kulumanku dan mengambil inisiatif untuk berganti posisi. Aku memiringkan tubuhku, Mang Asep yang mengerti kalau sekarang aku menginginkan gaya yang berbeda tidak menyia-nyiakan kesempatan, ia mengambil posisi menyamping di belakangku dan kemudian ia kembali melesatkan penisnya dan mulai menyodok-nyodok vaginaku dengan keras.


Sodokan-sodokan Mang Asep benar-benar membuatku mabuk kepayang, walapun penisnya tidak sebesar dan sepanjang penis pemerkosaku sebelumnya, tetapi Mang Asep memiliki tenaga yang besar, setiap sodokannya terasa sampai ke tulang nikmatku.


“Aahk... Mang, Mei mau keluar!!” aku berteriak histeris.


“Oh, bareng, Non!!” timpal Mang Asep tidak mau kalah.


Beberapa saat kemudian aku dan Mang Asep hampir tiba dalam orgasme. Aku memperketat otot-otot vaginaku, mencengkram kuat penis Mang Asep dan kemudian setelah beberapa kali sodokan, kami berteriak histeris secara bersamaan mencapai puncaknya.


“Mang, Mei udah nyampe… “ pekikku keras.


“Aaaggrrr… saya juga, Non!” Mang Asep segera mencabut penisnya dan kemudian ia segera mengocoknya hingga beberapa detik kemudian penis itu berkedut-kedut beberapa kali Crrootts… Crrooottss… Croottss. Cukup banyak Mang Asep memuntahkan laharnya di atas perut dan pahaku yang kini dipenuhi oleh spermanya. Sementara aku masih terpejam dengan nafas memburu menikmati sisa-sisa orgasme yang aku dapatkan dari pembantuku itu.


“Gila! Ini sungguh luar biasa, Non, memek Non enak sekali!” racau Mang Asep yang kemudian menyodorkan penisnya ke hadapanku. Aku yang mengerti maksud keinginannya segera meraih penis itu dan mulai membersihkannya dengan mulutku. Tak lupa aku juga menelan sisa sperma miliknya. Untuk sementara waktu aku beristirahat sejenak sebelum melayani Ucup yang tampaknya sudah tak sabar lagi ingin merasakan tubuhku.


“Non, giliran saya kapan?” ujar Ucup yang tampak memelas, melihat raut wajahnya yang memerah karena sudah sangat terangsang, membuatku akhirnya luluh juga dan segera ingin menyelesaikan tugasku.


“Lepaskan dulu ikatannya, Cup!!” jawabku ketus. Walaupun mereka bisa mendapatkan tubuhku, tetapi bukan berarti mereka bisa memperlakukanku sesuka hati mereka.


Mendengar perintahku, Ucup segera melepaskan ikatan kedua tanganku, sehingga aku sedikit merasa terbebas dari siksaan kedua tali tersebut yang dari tadi membuatku merasa tidak bebas bergerak. Tanpa di mintanya, aku segera membalik tubuhku dengan posisi menungging, karena jujur saja mengingat kejadian dua bulan yang lalu, aku sangat menikmati posisi seperti ini.


“Pantat Non sekel banget, hehehe… “ Ucup sedikit memujiku.


“Ayo, Cup, buruan!!” kataku tidak sabaran.


Kurasakan telapak tangan Ucup mulai membelai bongkahan pantatku, ia sedikit meremas-remas pantatku, dan kemudian kurasakan benda tumpul miliknya mulai menyeruak masuk ke dalam tubuhku.


“Aaahhkk…“ kami mengerang bersamaan ketika penis itu benar-benar berada di dalam tubuhku.


Berbeda dengan yang sebelumnya, kali ini aku sudah benar-benar siap sehingga aku juga ikut menggerakkan pinggulku ketika Ucup mulai menggoyangkan pantatnya maju mundur, menubruk pantatku dengan pahanya yang kokoh. Untuk kesekian kalinya aku kembali berteriak histeris menikmati sodokan-sodokan dari Ucup.


Tidak puas hanya sekedar menyodok vaginaku saja, Ucup juga mengambil kesempatan meremas-remas payudaraku yang tergantung bebas, membuat gerakan erotis sodokan Ucup semakin terasa nikmat untukku.


Beberapa menit kemudian, kurasakan penis Ucup mulai berkedut-kedut di dalam vaginaku. Begitupun denganku yang hampir mencapai puncaknya, sehingga aku semakin liat menggerakkan pinggulku maju mundur dengan arah berlawanan yang dilakukan oleh Ucup, dan tidak lama kemudian tubuhku mengejang hebat menandahkan orgasmeku segera tiba, begitupun juga dengan Ucup, ia semakin keras menghentak pinggulku, hingga akhirnya kurasakan cairan kental merembes masuk ke dalam lubang rahimku. Sedetik kemudian tubuh Ucup langsung roboh ke samping tubuhku.


***


‘Gubraakk…’ Aku membanting cukup keras pintu kamar mandiku. Aku menangis sejadi-jadinya, entah apa yang membuatku bisa menjadi seperti ini? Aku merasa hidupku sudah tidak ada artinya lagi. Baru dua bulan lalu aku mengalami pemerkosaan yang merenggut kesucianku, dan hari ini kejadian itu kembali terulang, bahkan oleh kedua pembantuku sendiri. Setelah kejadian hari ini, aku tidak tau apa yang akan terjadi selanjutnya? Yang pasti aku harus siap ketika mereka menginginkan tubuhku.


“Ahh… “ aku mendesah pelan, menyandarkan punggungku ke dinding kamar mandi. Tidak hanya itu masalah yang aku hadapi, menurut pengakuan kedua pembantuku, ternyata Papa juga selama ini menginginkanku. Menurut mereka, Papa sering kali terlihat secara diam-diam mengintip saat aku sedang berganti pakaian. Tidak hanya itu, ia juga sering mencuri pandang setiap kali aku mengenakan pakaian sexy. Benar atau tidaknya, aku harus membuktikannya sendiri.


Kuarahkan air shower ke arah vaginaku yang dipenuhi oleh sperma Ucup, dengan dibantu tanganku, aku mengorek vaginaku, mengeluarkan sisa-sisa sperma yang masih berada di dalam sana. Sejenak aku mulai merasa khawatir sperma Ucup bisa saja membuatku hamil, tetapi untunglah Papa pernah memberikanku obat anti hamil saat dia tahu kalau aku habis diperkosa oleh teroris dua bulan lalu. Setidaknya untuk saat ini aku tidak perlu cemas.


Setelah membersihkan sisa sperma yang ada di dalam vaginaku, aku buru-buru kembali ke kamarku, segera mengganti seprei ranjangku dengan yang baru, dan meletakkan sprei lama ke tempat cucian. Dan tak lupa aku mengenakan gaun tidurku. Aku akan mencoba untuk beristirahat guna meredakan sedikit pikiranku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar