Rabu, 03 Juli 2013

Rini, Kisah petualanganku Sebagai Penjaja Seks


Rini

Cinta.. Apa itu cinta? Mereka bilang cinta adalah sebuah keindahan dalam surga dunia. Cinta adalah lembayung pengabdian kasih dua insan. Namun bagiku cinta itu sebuah kepalsuan. Cinta itu iblis yang menyesatkan alunan takdir manusia. Dan cinta tak lebih dari sebuah topeng atas hasrat dan nafsu di belakangnya.


Munafik kah diriku? Angkuhkah penilaianku? Kurasa tidak jika kau menatap sejenak sejarah hidupku. Cinta yang membawa diriku berakhir di sini, di dunia malam yang berpeluh dosa. Cinta yang melambungkan mimpi indahku jauh ke atas tempat dimana tanganku tak dapat meraihnya kembali. Kutinggalkan tanah tempatku tumbuh demi mengejarnya. Tapi apa sangka, sempat kureguk sedetik indahnya, cinta itu campakkan aku di sini.




Andi, wujud cintaku itu. Seorang lelaki yang mampu membuka hatiku. Dia mempesonaku dengan langkah, tutur kata dan pesonanya. Ia dapat membuatku terbuai dalam bunga-bunga yang ia tanam di tanah hatiku. Kala tubuh dan jiwa ini telah kuberikan sepenuhnya untuk Andi, Ia pergi meninggalkanku bersama benih yang ia tanam di rahimku. Cinta itu berubah jadi benci. Benci yang kian menjadi kala kutahu dia telah menikah dengan seorang janda kaya di desa.


Aku pun lari… kugugurkan kandungan ini. Kota besar ini kutuju tanpa arah yang kutahu. Tertatih aku berjalan di siang, terjaga aku tertidur di malam. Angin dan panas yang menjadi sahabatku, tanpa teman dan kawan lainnya. Kupasrahkan hidup dan matiku pada kota ini, hingga Ridwan menemukanku. Dan perjalananku berada disini.


Di ruang bercat putih ini, lelaki tambun itu duduk di depanku. Sinar matanya memancarkan birahi yang begitu buas. Waktu yang kurasa begitu cepat, hingga tubuhku yang telanjang menjadi santapan lidahnya. Bukit ranum dadaku habis dalam isapan dan jilatan rongga mulutnya. Tangannya tak henti menusuk-nusuk bagian paling sensitif diriku. Oh, aku terlena. Aku terbuai dalam permainannya.


Lelaki tua itu pun bangun. Membuka celana pendek, pelapis tubuh terakhirnya. Terlihatlah disana kemaluan lelaki yang begitu kukenal. Sesuatu yang menjadi raja dalam pikiran lelaki. Sesuatu yang mengendalikan hasrat para lelaki hingga kehilangan akalnya. Aku bangkit. Aku sadar akan tugasku. Kudekati lelaki tua itu yang kini berdiri di atas ranjang. Aku berjongkok di bawahnya. Kulihat kemaluannya yang begitu teracung tegang berdiri di depanku. Kusentuh, kugenggam dan kuurut. Kudekati wajahku, dan tak lebih dari sedetik, kujilati ujungnya.


Lenguhan panjang keluar dari mulut lelaki itu. Kuberkata dalam hati, aku menang...!!! Dan kupercepat semuanya, Kuhisap dalam-dalam, hingga rambut panjangku yang tergerai, dijambaknya. Kurasakan sensasi yang selalu kurasakan kala hal ini kulakukan. Detik demi detik bergulir, hingga lelaki tua itu mendorong halus wajahku kebelakang.


"Cukup, Rini. Kau sungguh hebat. Ridwan tak bohong mengenaimu." kata lelaki tua itu. "Kini puaskan aku dengan tubuhmu. Kemari, kau di atas!" sambungnya setelah berbaring menunjukkan perut tambunnya.


Aku tak menjawab. Aku tetap bungkam. Aku hanya bergerak berdiri sejenak mengikat rambut panjangku. Kemudian melangkah ke atas badan lelaki tambun itu. Kulihat sesuatu yang dibanggakannya mengacung tegak dengan lendir yang berkilat bercampur ludahku. Aku pun jongkok dan kugenggam kemaluannya dan kuurut sambil bertanya, "Pak Rusdi, apa ga sebaiknya pakai kondom?" tanyaku polos sambil tetap mengurut kemaluannya.


"Kondom? Jangan bercanda. Kau lebih nikmat dinikmati tanpa kondom." katanya sambil tertawa.


Aku pun mengangguk kecil. Kini kuarahkan kemaluannya ke arah kemaluanku. Aku bergoyang di atasnya. Peluh kami pun menyatu. Rintihan dan raungan menggema merdu dalam ruangan kecil itu. Aku jadi santapan lelaki tua itu malam ini. Dan malam selanjutnya... entah siapa lagi. Aku tangisi nasibku kala sendiri. Tapi entah kenapa, aku bisa menikmati semua pergumulan yang kulakukan. Seperti saat ini, ditungginginya aku. Payudaraku yang menggantung, tak dibiarkannya lepas dari kedua tangannya. Aku merintih nikmat diantara gesekan dan tusukan kemaluan kami yang menyatu.


Dua puluh lima menit sudah lelaki itu menikmati tubuhku. Dan kini ia menikmati tubuhku dari atas. Kedua kakiku disandarkan ke bahunya. Oh, gairah wanitaku memuncak. Aku tak tahan untuk menolak. Kumerintih. Kuberteriak. Ah...


Dan akhirnya, cairan putih itu mengalir tumpah di perutku yang meninggalkan deru nafas kami berdua yang memburu.


"Kau... Kau sungguh luar biasa." suaranya yang tersengal karena nafasnya yang memburu.


Aku tak menjawab. Senyum pun tak kusunggingkan. Aku hanya bangkit dan berjalan menuju kamar mandi yang terletak di ujung kamar ini. Kuhidupkan shower yang ada. Kusirami tubuh ini. Dalam derasnya air yang mengucur, kembali aku terkenang akan masa laluku. Kembali aku teringat akan jalan yang kutempuh...


"Oh, Ridwan. Kenapa kau begitu tega..." isakku dalam cucuran air mata ini.


***


"Ini honormu, Rin," kata Ridwan sembari memberikan amplop putih.


Aku tak menggapainya. Sejenak tangan Ridwan melayang di udara. Kemudian dia jatuhkan amplop itu di atas meja di depan tempatku duduk. Dan Ridwan menjatuhkan dirinya di kursi seberangku.


"Rini, aku tak senang melihat rupamu seperti itu kepadaku." kata Ridwan dengan nada sedikit keras. "Ini bukan yang pertama bagimu. Tapi kenapa kau tetap seperti itu?" tanyanya.


Aku beralih memandangnya. Kulihat dari kedua matanya ada sedikit amarah disana. Aku pun menjawab. "Kau tanyakan pada seribu perempuan, Rid. Tanyakan pada mereka disana, adakah satu diantara mereka yang ingin menempuh jalan sepertiku?" tanyaku. "Tanyakan pada mereka, apakah mereka senang bila orang yang dicintainya menjualnya hanya karena kesalahan pribadinya di masa lalu?" sambungku dengan nada yang mengeras dan air mata yang mulai mengucur. "Tanyakan pada..."


"Sudah..!!! Cukup..!!!" bentak Ridwan yang kini telah berdiri di depanku.


Dari seberang meja yang memisahkan kami wajahnya mendekati wajahku yang spontan kuhindari dengan menyandar lebih dalam ke kursi yang kududuki. Tangan kirinya bergerak mengambil kerah baju terusan yang kupakai dan menarik ke arahnya. Telunjuk tangan kanannya mengacung ke arahku dan dengan muka memerah dan amarah yang meninggi di berkata pelan dan dalam.


"Aku tak mau tau alasannya. Kita sudah sepakat mengenai ini. Besok akan ada 2 orang pelanggan yang telah memesanmu. Dan ingat..!!! Aku tak ingin ada keluhan dari pelanggan." katanya seraya melepas genggaman tangannya. "Besok aku akan ke sini jam 10 pagi menjemputmu. Gunakan pakaian terbaikmu." katanya sekilas sambil pergi meninggalkanku.


Isak tangisku mengeras. Aku sudah tak tahan akan hal ini. Dia yang berdiri di depanku menjeratku dalam perangkapnya. Perangkap yang ia ciptakan kala bertemu denganku.


Ridwan adalah anak dari kampung tetangga di desaku. Aku mengenalnya dengan baik. Dia menemukanku kala aku berteduh di sebuah posko yang terbengkalai. Dia yang kala itu mengendarai sebuah mobil sedan, menyapaku dan bergegas mendekatiku. Aku yang mengetahui itu Ridwan, merasa bahagia karena akhirnya ada juga orang yang kukenal di kota ini.


Ridwan pun membawaku ke rumahnya. Dia mengatakan padaku untuk tinggal saja di rumahnya. Aku pun menerima ajakannya karena aku tak punya pilihan lain.


Ia mempunyai sebuah rumah yang lumayan besar. Di rumah itu dia hanya tinggal bersama 1 orang pembantu dan 1 orang tukang kebun. Aku merasa aneh ketika melihat rumahnya pertama kali. Rumah yang begitu megah, hanya ditempati oleh 3 orang. Dan yang paling mengherankan diriku adalah darimana Ridwan mendapatkan semua ini? Mobil, rumah dan segalanya. Dia bukanlah orang yang pintar di sekolahan dulu. Bukan pula orang yang berbakat menurutku.


Tapi ah, semua itu lenyap dalam keseharianku disini. Waktu yang kulalui membuat hubunganku dengannya semakin dalam. Hingga hari dimana pertama kalinya aku tidur dengannya. Malam yang larut, tapi mata ini tak bisa terpejam. Aku keluar dari kamar yang Ridwan berikan untukku beristirahat untuk mencari sekedar hiburan di luar kamar yang entah kutaktahu itu apa. Kututup daun pintu kamarku dan kulihat diseberang lampu kamar Ridwan masih menyala keluar dari celah pintu yang terbuka sedikit. Aku berjalan menuju kamarnya. Inginku untuk mematikan lampu kamarnya dan menutup pintu kamarnya karena kurasa Ridwan telah terlelap, namun aku terkejut begitu melihat ke dalam kamarnya.


Tepat lurus di dalam kamar Ridwan, TV berukuran 29 inch menyajikan sebuah film porno yang menggambarkan seorang perempuan Asia sedang direbut oleh 2 lelaki. Aku berdiri tegak tak beranjak. Pemandangan yang akan membangkitkan gairah siapapun yang memangdangnya. Apalagi diriku yang tidak merasakan belaian seorang lelaki selama 2 bulan. Dahagaku memuncak kala itu. Hingga kusadari seseorang telah berdiri di belakangku.


"Bagus kan filmnya, Rin?" tanya Ridwan mengagetkanku yang kini telah berdiri di belakangku dengan senyum nakal yang jelas terlihat.


"Eh, i-iya." jawabku gagap sambil berusaha tampil seperti tak ada yang terjadi.


"Kenapa ga masuk aja nonton di dalam?" tanyanya. "Ayo sini." lanjut Ridwan sambil tangannya memegang tanganku untuk mengajakku masuk ke kamarnya tanpa sempat aku berkata apapun.


Kududuk di tepi ranjangnya. Desahan yang keluar dari televisi yang menyajikan film penuh birahi itu telah mengambil semua konsentrasiku, hingga aku tak sadar ada dua buah tangan yang telah berkelana di sekujur tubuhku.


“Rid...” desahku tertahan kala bibir Ridwan telah mengecup manis bibirku.


Aku terbuai dalam pesona malam itu. Ridwan menjadikanku ratu disaat diriku benar-benar membutuhkan belaian seorang laki-laki. Aku tahu itu bukanlan suatu yang benar, Ridwan bukanlah suamiku, juga bukan kekasihku. Namun hasrat mengelora yang timbul dalam diriku menolak semua alasan yang ada.


Tangannya yang sedari tadi menelusuri tubuhku dan kecupannya yang tak henti di bibir dan daerah-daerah sensitifku, membuat setiap syarafku bergejolak. Tanpa aku sadari, tubuhku pun melakukan suatu reaksi atas rangsangan yang diberikan Ridwan. Kubalas kecupannya dengan penuh hasrat. Kurangkul tubuhnya dan kutarik ke dalam dekapanku.


Kulihat sedetik Ridwan tersenyum manis kepadaku, dank ala itu kusadari bagian atas tubuhku telah terbuka bebas memberikan sebuah pemandangan indah kepadanya. Perlahan kemudian, ciuman Ridwan turun ke leher dan kemudian ke kedua payudaraku.


“Oh...” bisikku tertahan saat kedua payudaraku tersentuh lidah Ridwan


Ridwan benar-benar membuatku melayang. Isapan dan gigitan kecilnya di kedua payudaraku membuat tubuh ini terasa melambung. Hilang semua rasa, yang ada hanya keinginan agar semua ini tak berakhir dan semakin dalam.


Tangannya mulai menyelusup ke dalam celana pendek yang kukenakan. Dan saat jari-jarinya telah sampai ke kemaluanku, kurasakan sesuatu yang lama tak pernah kurasakan. Daerah sensitifku itu berdenyut kencang. Ditambah isapan-isapan Ridwan di kedua payudaraku yang tak pernah berhenti, aku sadar aku telah berada dalam pelukannya dan sebentar lagi diri ini akan takluk di dekapannya.


Saat Ridwan menghentikan kecupannya sejenak, kubuka kedua mataku dan kudapati diriku telah telanjang bulat di hadapannya dan begitu pula Ridwan. Untuk pertama kalinya tubuh ini kupertontonkan kepada lelaki lain selain Andi yang telah menyakiti hatiku. Sejenak timbul perasaan rinduku dan benciku kepada Andi. Namun semua sirna kala lidah Ridwan mulai mempermainkan kedua putting payudaraku kembali.


Aku melenguh panjang, dan sigap kuremas pelan rambutnya. Kedua tangan Ridwan yang tak hentinya mengelus dan mengusap sekujur tubuhku, menambah desakan birahi yang semakin memanas. Ciuman dan kecupan Ridwan pun turun kearah perutku. Aku sadar, dan aku tahu apa yang akan aku dapatkan darinya.


Kemaluanku pun berdenyut keras dan basah, saat Ridwan mengecup perut kecilku dengan manisnya. Aku terpejam menikmati setiap detik kenikmatan yang kudapatkan darinya. Dan kala lidah itu menyentuh kemaluanku, aku berteriak kecil sambil tanganku meremas rapat rambutnya.


Aku terbang... melayang dalam keindahan sorga dunia yang kudapat darinya. Lidah itu terus menaikkan birahiku. Lidah itu telah berkuasa disana. Nikmat, hanya itu yang kurasakan


Dan saat itu tiba, Ridwan menghentikan semuanya. Aku mengerti, dan aku yang saat itu telah dikuasai dalam keinginan menuntaskan hasratku tak ingin semua ini berhenti. Tangan kananku mulai beraksi kembali, kuraih kemaluannya dan kugenggam. Kemudian kutuntun kemaluannya untuk memasuki diriku.


Ridwan melenguh kala kemaluannya memasuki diriku dalam posisi dia di atasku. Aku pun merintih pelan. Kuresapi setiap denyutan dan kenikmatan yang kudapati. Dinginnya ruang kamar Ridwan, membuat kami semakin dalam berdekapan. Tubuh Ridwan yang tak hentinya bergoyang diatasku, kupeluk erat agar kenikmatan yang kudapat tak hilang sedetik pun. Dan kami pun berpelukan dalam kenikmatan yang kami rasakan.


Malam itu menjadi malam pertama kami dan malam-malam selanjutnya adalah malam-malam indah kami yang lainnya. Sampai saat dimana sebuah rahasia besar yang terungkap, membuat segalanya berserakan hancur.


Yang kutahu belakangan, Ridwan adalah pengedar narkoba yang melarikan sejumlah narkoba jualannya yang didapat dari seorang bandar. Harta dan seluruh kekayaannya ternyata didapat dengan cara yang tidak halal. Beruntung baginya, Bandar tersebut tertarik denganku dan menganggap impas semua hutangnya jika ditukarkan dengan tubuhku.


Namun itu jelas bukanlah keberuntunganku. Dan itu adalah awal perjalananku. Perjalan seorang Rini yang menjadi gadis pemuas di kalangan lelaki yang bekerja di dunia malam dan gelap.


***


Second Desire


Kupandangi wajah di dalam cermin itu. Bibir merah berlapiskan gincu yang teroles rapi dalam wajah berbedak halus dengan untaian rambut panjang tergerai. Ya... itu wajahku sendiri. Kulentikkan bulu mataku sejenak. Saat kurasa cukup, aku berdiri melihat seluruh penampilanku dalam cermin itu. Long dress merah yang kukenakan kini, serasa cocok dengan kalung emas yang melingkar di leher jenjangku.


Kutatap lekat kembali diriku. Diusiaku yang ke 24, kurasa usia yang benar-benar menonjolkan sisi kewanitaanku. Kecantikanku tidak bisa disamakan dengan artis-artis, namun kuakui aku memiliki daya tarik sendiri. Kulitku bersih dan aku rawat baik-baik. Aku tidak tinggi, namun tidak pula bisa dikatakan pendek dan diriku bisa dikatakan perempuan yang proporsional. Kulihat pula sepasang payudara yang kumiliki. Ukurannya tidak terlalu besar, namun kulihat begitu membusung menantang dalam pakaian yang kukenakan sekarang.


Suara bel mobil terdengar di luar rumah membuyarkan perhatianku atas sosok dalam cermin itu. Kupandangi sekilas jam meja yang menunjukkan pukul 10.03 pagi. Itu pasti Ridwan pikirku. Kumelangkah menuju lemari pakaianku dan kuambil tas yang berisi persiapan akan pekerjaan yang musti kulakukan sebentar lagi.


Tak lama berselang, kudengar pintu kamarku diketok oleh seseorang.Kupersilahkan untuk masuk karena aku tak mengunci pintu kamarku.


“Tuan Ridwan sudah datang. Dia menunggu nona di ruang tamu. Tuan berpesan, agar nona segera menyelesaikan riasan nona dan segera menemui tuan disana,” pesan Joko.


Joko adalah satpam di rumah ini. Mungkin lebih tepat jika dikatakan sebagai pengawal pribadiku. Bukan pengawal yang menjagaku dalam bahaya saja, namun pengawal yang tidak akan membiarkanku bebas berkeliaran keluar dari rumah ini. Dia ibarat perpanjangan mata, tangan dan kaki Ridwan di rumah ini.


Joko tidak sendiri menjagaku. Ada 2 pengawal lagi, Tresno dan Mardi. Aku tak pernah dekat dengan mereka. Pernah sekali aku memelas agar mereka membebaskanku dari rumah ini, mereka tidak menghiraukanku. Sampai ketika aku mencoba melarikan diri, mereka menangkapku dan mengembalikanku ke rumah ini yang dilanjutkan dengan memasang tirali besi di setiap jendela kamarku. Namun di luar semua itu, mereka tak pernah menyakitiku, mungkin karena perintah dari Ridwan agar aku tidak rusak sebagai barang dagangannya.


“Aku sudah selesai,” kataku sambil beranjak melangkah menuju pintu untuk segera menemui Ridwan.


Joko menyingkir sejenak memberiku ruang untuk lewat. Setelah aku keluar pintu, kudengar suara pintu kamarku ditutup olehnya. Kuberjalan sedikit cepat ke ruangan dimana Ridwan telah menungguku. Setelah berbelok ke kiri di lorong itu, kulihat Ridwan duduk di sofa membaca koran yang ada dengan membelakangi arah tempat diriku muncul. Kuhentikan langkahku dan aku mulai angkat suara untuk menyadarkan Ridwan akan kedatanganku.


“Aku sudah siap,” kataku singkat saja.


Ridwan sedikit terkejut dan segera membalikkan badannya ke arahku. Kulihat ada kesan terpesona di matanya. “Rini, kau luar biasa,” pujinya sambil berdiri dan melipat koran yang akhirnya dibuangnya diatas meja.


Aku hanya tersenyum masam. Sudah seringkali kudengar pujian-pujian semacamnya sebelum diriku pergi dinikmati para lelaki demi mengisi kantongnya. Ridwan masih tersenyum dan aku tahu dia memang terkesan akan penampilanku saat ini. Kesan dimatanya terlihat dalam. Sejenak dia pandangi tubuhku dari atas ke bawah.


“Jika memang persiapanmu sudah kelar, ayo kita berangkat sekarang,” ucap Ridwan setelah puas memandang sosokku yang berdiri mematung.


Ridwan kemudian beranjak dan aku mengikutinya dari belakang. Sinar mentari mulai menghangat di luar. Aku yang berbusana seperti ini merasakan betul sengatannya. Dan kami pun beranjak dari rumah itu ke sebuah tempat dimana tubuhku akan menjadi santapan 2 lelaki yang sudah memesanku.


***


Kota besar ini dipenuhi oleh gedung-gedung yang menjulang tinggi. Rona kehidupan berwarna-warni terpampang jelas jika kita menelusuri tiap pelosok yang ada. Tak ada waktu yang dapat menghentikan aktifitas para manusianya. Baik siang ataupun malam hari, kota ini adalah pusat dimana semua gairah hidup berjalan bedampingan.


Setelah sempat berhenti di sebuah restoran untuk mengisi perut kami, mobil ini mulai menuju ke arah utara dimana pesona tepi pantai yang indah menjadi objeknya. Kami hanya berbincang seperlunya di dalam mobil itu. Kehangatan yang dulu sempat tercipta sudah tak nampak kini. Kebencianku akan sosok yang sekarang duduk menyetir mobil disampingku, bercampur aduk dengan sisa-sisa cintaku.


“Salah satu dari mereka adalah klien terbaikku dulu,” kata Ridwan memecah keheningan yang sempat tercipta antara kami. Aku tahu maksud perkataannya yang kubayangkan sebagai masa dimana narkoba adalah mata pencahariannya.


“Seorang bernama Tommy, dia pemilik sebuah club terkenal di kota ini. Dia orang yang sangat kukenal. Seorang lagi adalah sahabat karibnya bernama Anton. Aku tidak tahu Anton seperti apa karena aku belum pernah bertemu sekalipun dengannya. Namun dari Tommy kudapati gambaran bahwa Anton adalah seorang pengusaha kayu dari Kalimantan yang baru beberapa bulan tinggal disini,” jelas Ridwan.


“Tommy adalah lelaki yang mempunyai darah Amerika, namun Anton orang Indonesia asli. Mereka adalah lelaki jetset yang gemar menghabisi waktu di dunia malam. Sudah kau dapatkan sedikit gambaran tentang mereka?” ucap Ridwan bertanya kepadaku sambil sejenak menoleh ke arahku.


Aku tak mengeluarkan sepatah katapun atas pertanyaannya. Hanya sebuah anggukan kecil yang kulakukan. Ridwan kemudian melanjutkan penjelasannya. “Aku mengenal Tommy cukup lama. Dia orang yang terkenal brilian dalam menjalankan usahanya dan dia mempunyai pengaruh yang cukup besar di kota ini. Selama aku mengenalnya, dia orang yang cukup menghargai perempuan. Jadi kau tak usah khawatir, Rin.”


“Kuharap kau mau menuruti apapun keinginan mereka. Tommy tertarik denganmu karena cerita-cerita yang beredar antar para petualang malam seperti dirinya. Dan ketika akhirnya kuberikan gambaran tentang dirimu saat kami bertemu di club yang dia miliki, dia menyatakan tertarik dengan dirimu. Disamping itu, dia ingin mempersembahkan sebuah hadiah ulang tahun kepada sahabatnya, Anton, yang berulangtahun hari ini. Karena itulah, kuharap kamu mau melayani mereka sebaik mungkin,” jelas Ridwan kembali sambil menoleh sejenak ke arahku.


Sejenak terasa panas dan sesak dada ini. Aku diperlakukan sebagai sebuah barang. Aku diperlakukan sebagai sebuah tanda persembahan kepada lelaki yang berulangtahun yang sama sekali aku tak kenal sebelumnya. Namun apa bedanya aku selama ini? Aku sudah menjadi gadis pemuas nafsu para lelaki yang sungguh tak ada bedanya dengan sebuah barang yang bisa diserahkan kesana kemari.


“Baik,” jawabku singkat tanpa penjelasan dan pertanyaan apapun. Kulihat dari sudut mataku, Ridwan menoleh ke arahku sejenak sambil tersenyum kecil dan mengangguk tanda kepuasan atas jawaban yang kuberikan.


Jalanan kulihat makin mengecil. Aroma pantai mulai tercium dari udara yang kuhirup karena jendela mobil yang kubuka. Perasaanku mengatakan, lokasi yang ditentukan telah dekat. Tak berapa lama berselang, mobil kami memasuki jalan kecil yang sungguh aku tak tahu dimana aku berada kini. Kulihat di kiri dan kanan jalan banyak terdapat restoran dan kafetaria menandakan bahwa kawasan ini adalah sebuah kawasan pariwisata.


Kami memasuki sebuah hotel yang lumayan besar. Hotel ini terlihat menonjol diantara hotel ataupun penginapan lainnya. Dengan sedikit sentuhan arsitektur Jawa yang dibalut oleh budaya Barat, hotel ini kurasa yang terbesar di kawasan ini, karena semenjak memasuki daerah ini, tak satupun hotel atapun penginapan yang besarnya dapat menyaingi hotel yang kami masuki ini.


Segara Ayu Hotel. Itu nama hotel dimana kami berada kini. Aku mempunyai sebuah kebiasaan untuk mengingat sebuah tempat dimana aku berada. Bagiku itu hal yang wajar, mengingat keseharianku aku habiskan terkungkung dalam tembok rumah dimana aku dikurung oleh Ridwan dan dijaga oleh 3 orang penjaga terbaiknya.


Kulihat Ridwan berusaha menghubungi seseorang setelah kami berada di depan lobby hotel. Aku tak tahu dan tak mendengar ucapannya karena aku telah menyingkir agak menjauh darinya untuk melihat sebuah lukisan sebuah pedesaan di ruang tunggu lobby. Tak berapa lama berselang, Ridwan membuyarkan pandanganku yang begitu dalam atas lukisan itu.


“Ayo, Rin. Kita sudah ditunggu. Mereka telah datang 2 jam yang lalu dan telah memesan sebuah kamar suite di hotel ini. Ayo bergegaslah,” ucap Ridwan sambil berbalik badan dan memimpinku menuju sebuah kamar hotel bersama seorang room boy.


Kami berjalan menyusuri lorong-lorong hotel di tiap lantainya. Aku berusaha untuk mengingat setiap lorong yang kami lewati. Tak berapa lama berselang kami pun sampai di depan sebuah kamar bernomor 306. Room boy yang menunjukkan jalan kepada kami pun permisi setelah dia sadar tugasnya telah tuntas. Ridwan tak menunggu lama lagi untuk mengetuk pintu kamar tersebut.


Yang kudengar kemudian adalah sebuah suara dari dalam kamar yang mempersilakan kami untuk masuk karena memang pintu tersebut tidak dikunci. Ridwan membuka pintu dan beranjak masuk. Aku pun mengikutinya dengan perlahan.


“Akhirnya kau datang juga, Ridwan,” ucap seorang pria yang berdiri dan menyambut uluran tangan Ridwan.


“Aku tak mungkin berbohong padamu, Tom.”


Lelaki itu tertawa kecil mendengar jawaban Ridwan. Dari percakapan mereka, aku tahu lelaki dihadapan Ridwan adalah Tommy. Tepat seperti kata Ridwan, Tommy memiliki guratan-guratan orang asing di wajahnya yang menandakan dirinya adalah blasteran. Tommy termasuk tinggi dengan tubuh yang tegap. Aku akui, Tommy sangat tampan. Hal yang tentu biasa ditemui dari seseorang yang berdarah campuran.


“Oh ya, ini Anton yang kuceritakan,” kata Tommy menunjuk sesosok lelaki yang sedang duduk di sebuah sofa yang sedari tadi kulihat menatap tajam kearahku.


Lelaki itu kemudian berdiri dan turut serta menyalami Ridwan dengan basa basi yang biasa diucapkan ketika pertama kali bertemu. “Ah, ini pasti Rini yang waktu itu kau ceritakan padaku kan?” tanya Tommy kepada Ridwan sambil melihat ke arahku.


“Ya. Dia adalah Rini. Perempuan yang kuceritakan saat itu,” balas Ridwan.


Aku sedikit kikuk. 3 pasang mata lelaki memandangku tajam di saat yang bersamaan. 2 diantaranya penuh dengan nafsu untuk menikmati tubuhku dan 1 lainnya haus akan uang yang aku hasilkan.


“Ok, dengan segenap rasa hormat, aku undur diri dulu, Tom. Tugasku untuk mengantarkan Rini sudah selesai. Aku akan menjemputnya malam nanti,” kata Ridwan.


“Lho, mau kemana kau? Ayo minum dulu bersama kami disini,” ajak Tommy mencegah Ridwan untuk pergi.


Aku memang melihat sebotol minuman luar yang telah dibuka diatas meja lengkap dengan es yang ada dan gelas-gelas yang telah terisi minuman tersebut. Ada beberapa makanan ringan yang juga tersedia di atas meja tersebut sebagai pelengkap minuman.


“Tidak, Tom. Aku tidak bisa berada disini lebih lama lagi karena aku harus mengejar waktu untuk menemui seseorang,” kilah Ridwan menolak ajakan Tommy dengan sopan. “Oh ya, kudengar dari Tommy anda berulangtahun hari ini, kuucapkan selamat ulang tahun,” ucap Ridwan kepada Anton sambil menyelamatinya.


“Terimakasih. Benar kau tak ingin mencicipi segelas saja?” tawar Anton.


“Tidak, terimakasih. Aku harus pamit sekarang,” jawab Ridwan.


Dalam beberapa menit saja, di kamar itu hanya tersisa diriku, Tommy dan Anton saja. Saat mereka berbincang-bincang tadi kuperhatikan sekelilingku. Sebuah kamar yang cukup besar dengan sebuah kasur berukuran double. Ditengah kamar itu terdapat sofa yang diduduki oleh Tommy dan Anton lengkap dengan sebuah televisi berukuran 21 inchi dan audionya.


Di sebuah pojok kamar itu, ada ruangan yang dipergunakan sebagai dapur kecil. Ada beberapa hiasan yang kulihat mempercantik ruangan tersebut. Di sebuah dinding terdapat jendela yang saat itu tertutup. Aku rasa jika jendela itu terbuka, pemandangan pantai dapat kulihat dari sini.


“Rini, kau mau minum?” tawar Tommy sambil menunjuk ke arah botol minuman yang terdapat di atas meja.


“Tidak,” jawabku. “Aku tidak biasa minum,” sambungku.


“Duduklah dulu. Kau pasti merasa sedikit lelah dalam perjalanan kesini.”


Sesungguhnya aku tak merasa lelah sama sekali. Yang sangat kuinginkan sekarang adalah semua ini segera berakhir. Namun aku teringat akan permintaan Ridwan di dalam mobil dan aku tahu sungguh sangat tidak bijak jika aku tak menuruti keinginannya.


Aku pun menjatuhkan diri duduk di kursi di samping Anton. Kulirik sejenak ke arahnya yang tersenyum penuh arti ke arahku. Kuletakkan tas yang kubawa di bawah meja. Dan sejurus kemudian kulihat dirinya menuangkan setengah gelas minuman keras itu sambil meraciknya dengan campuran soft drink yang juga ada di atas meja itu. Kemudian minuman racikan itu di arahkannya kepadaku.


“Minumlah segelas saja. Ini hari ulang tahunku,” tawar Anton sambil mengulurkan gelas berisi minuman tersebut.


Aku terdiam sejenak memandangi gelas itu. Aku memang bukan seorang peminum namun bukan berarti aku tak pernah menenggak minuman keras. Tapi karena ketidaktahanan tubuhku akan minuman-minuman jenis ini, aku memilih untuk tidak meminumnya. Dan sekarang, aku berada di posisi yang sangat sulit untuk menolak dengan alasan yang Anton berikan.


Kulirik Tommy untuk meminta bantuan keputusan yang harus kuambil. Dia hanya tersenyum dan memberikan tanda anggukan agar aku menerima minuman itu. Aku menyerah, dan kuambil gelas tersebut diiringi oleh Tommy dan Anton yang mengambil gelasnya masing-masing.


Kami pun melakukan toast tanda ucapan selamat ulang tahun kepada Anton. Aku sedikit tersedak ketika minuman itu sepenuhnya mengalir kedalam tenggorokanku, Badanku pun seketika memanas namun aku berusaha mengendalikan diri karena aku tak ingin mabuk di dalam kamar ini sebelum kutuntaskan hasrat mereka.


Anton merapatkan tubuhnya ke arahku. Tangan kanannya telah merangkulku dan diletakkannya di bahuku. Aku tak menghindar, dan memang pekerjaanku bukan untuk menghindari hal-hal seperti ini. Tatapanku pun bertemu dengan kedua mata Anton. Tatapan matanya kulihat begitu sayu yang mungkin karena pengaruh alkohol yang telah ia minum sebelumnya. Aku sedikit canggung dibuatnya. Tatapan itu seakan masuk ke alam pikiranku yang terdalam dan mengorek semua ingatanku yang tersimpan disana.


Anton dan Tommy pun mulai membuka obrolan bersamaku. Ternyata banyak hal yang dapat kami obrolkan bersama. Hingga tak terasa sudah lebih dari 2 gelas minuman keras itu yang kutenggak dan aku mulai merasa santai berada diantara 2 lelaki ini.


Anton yang akhirnya mulai menjamah tubuhku lebih lanjut. Entah darimana awalnya, bibir Anton mulai bermain di leherku. Dihirupnya udara sekitar leherku yang sedetik kemudian berganti dengan ciuman-ciuman kecil. Tangan kirinya meletakkan gelas yang ia pegang dan meraih pahaku yang terlihat di balik sibakan long dress ini.


Aku luruskan badanku ke arahnya. Hasratku mulai meninggi yang kurasa mungkin karena pengaruh alkohol yang kuminum. Kecupan-kecupan Anton sungguh tepat mengarah ke titik sensitifku dan bukan itu saja, elusan kedua tangannya di paha dan bahuku memberikan tambahan rangsangan ke sekujur tubuhku. Aku mendongak dan terpejam menikmati setiap sentuhan bibir dan tangan Anton di tubuhku.


Aku dengar Tommy bangkit dari tempat duduknya dan menghilang ke sebuah ruangan yang kurasa itu adalah toilet. Konsentrasiku kembali ke Anton ketika tangannya mulai menyibak long dressku hingga ke pahaku. Ciumannya belum berhenti dan sensasi itu masih terus kurasakan. Sungguh kenikmatan ini sering kurasakan bersama puluhan lelaki yang pernah menjamah tubuhku, namun kali ini mungkin karena pengaruh alkohol yang kutenggak, kurasakan kenikmatan yang berbeda disetiap kecupan yang kuterima dari Anton.


Puas akan leherku, direbahkannya diriku di atas sofa. Aku merasakan sedikit kekecewaan, karena aku tak ingin kenikmatan itu berhenti disitu, namun akhirnya aku sadar bahwa itu hanya sebuah permulaan dari kenikmatan yang akan kurasakan. Kecupannya mulai turun ke belahan dadaku. Sambil tetap mencium tangannya mulai menyibak bagian atas long dress yang kukenakan hingga ke arah pinggangku dan memperlihatkan sepasang payudaraku yang masih terbungkus bra berwarna putih dengan renda di tiap cupnya.


Tanpa menunggu lebih lama lagi, bra itu pun lepas dari tubuhku. Kulihat Anton memandang kedua belah payudaraku dengan pandangan penuh nafsu. Tak lama berselang, kecupan yang sedari tadi ia lakukan itu pun mendarat di puting kanan payudaraku. Anton menciumnya seperti seorang bayi yang kehausan. Terkadang ia hisap dan jilat, bahkan ada sedikit gigitan kecil yang kurasakan disana. Tangan kanannya pun tak henti memilin puting sebelah kiriku.


Oh… tak terkira kenikmatan yang aku rasakan. Aku merasakan nikmat yang teramat sangat disana. Aku tak lagi malu-malu untuk menjambak kecil rambut Anton dan membenamkan kepalanya lebih dalam untuk dapat menghisap payudaraku lebih lama lagi. Sensasi yang kurasakan makin bertambah ketika ia mulai pindah untuk menjamah belahan payudara kiriku. Aku mulai hilang kontrol. Desisan kecil keluar dari mulutku dengan sendirinya. Kepalaku terdongak menikmati tiap detik kenikmatan yang kurasakan. Sesungguhnya disaat itu seharusnya diriku yang memuaskannya, dan aku sadar akan itu. Dalam sekejap di pikiranku aku akan membalas kenikmatan ini nantinya.


Tangan Anton kini mulai menjamah pangkal pahaku. Kurasakan telunjuknya mulai bermain di kemaluanku yang masih terbalut g-string putih. Sungguh perlakuannya membuat tubuhku tambah panas lagi. Aku menggeliat dan mulai mengangkangkan kakiku lebih lebar lagi untuk member keluasan Anton menjamah pangkal pahaku. Ujung telunjuknya mulai mengusap dan menekan pangkal pahaku. Dan saat dia temukan titik paling sensitifku, aku bergetar dan memekik kecil. Anton benar-benar pandai memainkan telunjuknya disana sambil terus menghisap puting payudaraku. Tubuhku semakin memanas dan seluruh sarafku menegang menerima setiap rangsangan yang datang.


G-string itupun akhirnya terlepas dari tubuhku setelah Anton melepaskannya dengan cepat dan mempertontonkan kemaluanku yang telah basah karena permainan tangannya. Kini hanya long dressku yang tersisa dan terlipat di perutku. Dengan gerakan yang cepat, Anton melepas tiap pakaian yang ia kenakan dan tidak ketinggalan pula long dress yang tersisa di tubuhku. Sejenak kulihat kemudian, kemaluannya yang tegak berdiri. Kurasakan aliran darahku memanas ketika kulihat miliknya dan sungguh saat itu kuiinginkan miliknya mengisi seluruh rongga kemaluanku.


Anton mendekati kepalaku yang tidur menyamping dan mengarahkan kemaluannya kepadaku. Aku tahu apa yang harus kulakukan. Kugenggam kemaluannya dan mulai kujilati dari pangkal dan dua buah telurnya. Kemudian jilatan itu kulakukan terus untuk membasahi batang kemaluannya hingga berkilat.


Kulihat sejenak Anton memejamkan matanya dan mendongak ke arah langit-langit kamar itu sambil mengeluarkan desisan kenikmatan dari bibirnya. “Saatnya aku membalas kenikmatan yang kuterima barusan,” pikirku dalam hati.


Kuurut kemaluan itu hingga kudapat ketegangan sepenuhnya dan kumainkan lidahku di kepala kemaluannya yang telah mengeluarkan cairan bening asin. Dan sejurus kemudian kumasukkan kepala kemaluan Anton sedikit demi sedikit kedalam mulutku. Terus dan terus hingga pangkal kemaluannya membentur bibirku. Kutahan pada posisi itu dan kuhirup udara sejenak. Setelah itu, kumainkan lidahku sedemikian rupa menjilati kemaluan yang telah terbungkus mulutku itu.


Anton pun memekik kembali dan tangannya yang sedari tadi menopang kepalaku, mulai menjambak dan menekan lebih dalam ke arah kemaluannya. Aku telah siap akan perlakuannya dan kuberikan sensasi yang Anton inginkan. Kugenggam kecil kedua buah telurnya dan kuelus-elus seraya mulut dan lidahku masih membungkus kemaluannya.


“Ah! Nikmatnya, Rin! Kau sungguh pintar memainkannya,” kata Anton di balik desisan yang ia keluarkan.


Kutarik kepalaku dan kutanamkan kembali ke pangkal paha Anton demi sensasi yang ia inginkan. Lidah, mulut dan tanganku tak hentinya bekerja di kemaluannya hingga ditariknya kepalaku menjauh dari kemaluannya.


Tanpa berkata lagi, Anton bergerak ke arah kemaluanku. Saatnya tiba, dan penetrasi yang kutunggu akan segera datang lagi. Ditariknya sedikit tubuhku mendekati tubuhnya yang sudah memposisikan diri dengan berlutut di depan kemaluanku yang masih basah karena permainan tangannya tadi.


“Pakai kondom, Ton?” tanyaku padanya.


“Ga usah. Ga papa kok,” balas Anton.


Beberapa detik kemudian kurasakan kemaluannya menempel di bibir kemaluanku. Dan sedetik kemudian, miliknya mulai menyibak bibir kemaluanku dan mulai merangsek masuk dalam dan lebih dalam lagi. Lenguhan keluar dari mulut kami hampir bersamaan ketika seluruh kemaluan Anton terbenam seutuhnya dalam kemaluanku.


Sejenak Anton terdiam menikmati setiap denyut-denyut kemaluan kami yang menyatu. Kugerakkan otot kemaluanku untuk meremas kecil kemaluannya saat miliknya masih tertancap diam menikmati sensasi penetrasi pertamanya disana. Beberapa saat kemudian pinggul Anton pun bergerak menusuk-nusuk pangkal pahaku.


Aku tak kuasa membendung hasratku lagi. Kukeluarkan jeritan-jeritan kenikmatan yang kurasakan. Tanganku tak hanya diam saja. Kuberikan Anton rangsangan di kedua puting dadanya dan itu membawa hasil. Anton pun semakin beringas menusuk-nusuk kemaluannya sambil kedua tangannya bertumpu pada sofa disisi kiri dan kananku.


Anton berhenti sejenak untuk mengangkat kaki kiriku dan menopangnya di bahu kanannya. Kupejamkan mataku sambil meresapi setiap sodokan yang dia lakukan setelah posisi baru ini. Kurasakan kecupan-kecupan di kaki kiriku menambah aliran kenikmatan yang semakin deras menerpaku. Bukan hanya itu, tangan Anton kembali memainkan titik paling sensitif di kemaluanku. Aku merasakan diriku berada di awang-awang dan dikelilingi segudang kenikmatan.


Entah sudah berapa kali aku menjerit kecil hingga kusadari sebuah benda menyentuh bibirku yang terbuka. Kubuka mataku dan kulihat Tommy berdiri disampingku dan Anton dengan tubuh yang polos tanpa pakaian apapun dengan tangannya memegang kemaluannya yang tertempel di bibirku.


“Jilat dan isap, Rin,” pinta Tommy.


Aku tak menjawab. Aku hanya memiringkan kepalaku dan mulai menggenggam kemaluan Tommy dan mulai menghisapnya seperti ketika mulutku melakukannya atas kemaluan Anton.
Ini adalah kedua kalinya aku melayani 2 orang lelaki sekaligus. Pertama kali kulakuan sekitar 1 bulan yang lalu. Aku akui, kenikmatan yang kudapat kala melayani 2 lelaki lebih dahsyat daripada 1 orang saja dan aku akan mendapatkannya kembali hari ini.


“Tom, ganti posisi yuk,” ajak Anton tanpa meminta persetujuanku dan melepas kemaluannya yang sedari tadi mengobrak-abrik tubuhku.


Aku yang menjadi pemuas mereka memang hanya bisa menerima apa yang akan mereka lakukan kepadaku. Terlebih hadirnya Tommy diantara Anton dan diriku kini, akan ada banyak posisi yang bisa kulakukan demi kepuasan mereka.


Seketika aku sadar, aku telah larut menjadi seorang perempuan pemuas nafsu lelaki. Tapi aku juga sadar, yang bisa kulakukan sekarang adalah menikmati setiap sensasi yang kudapatkan sambil memberikan kepuasan kepada setiap tamuku agar aku tak menjadi pelampiasan kemarahan Ridwan karena aku pernah merasakan kemarahannya ketika diriku menolak melayani lelaki yang menyewa tubuhku untuk pertama kalinya.


Kulepaskan isapanku di kemaluan Tommy dan mulai mengangkangkan kakiku di atas Anton yang telah duduk bersender di sofa. Kupegang sejenak kemaluan Anton untuk kuarahkan ke kemaluanku dan ketika seluruh kemaluannya amblas kedalam kemaluanku, kunaik turunkan tubuhku.


Aku dan Anton mendesis kembali. Anton memeluk tubuhku dan mendekatkan payudaraku ke arah bibirnya. Kurasakan kembali isapannya di puting payudaraku. Kulihat Tommy bergerak dan akhirnya berdiri disamping kananku. Kuraih kemaluannya tanpa menunggu lagi dan kuturunkan tubuhku sedikit untuk dapat meraih kemaluan Tommy agar dapat kuhisap kembali.


Dan akhirnya pada posisi inilah pertahananku ambruk. Kulepaskan isapanku pada kemaluan Tommy namun tanganku masih bergerak mengurut miliknya. Kugoyangkan pinggulku dengan cepat. Kutumpahkan segenap tenaga untuk meraih puncakku. Hisapan Anton di puting payudaraku menambah laju orgasme yang akan segera tiba. Hingga akhirnya kuberteriak kecil. Kupejamkan mataku dan kutengadahkan kepalaku keatas dan kurasakan cairanku keluar membasahi rongga kemaluanku yang terisi penuh oleh kemaluan Anton.


Aku pun ambruk ke dekapan Anton. Anton yang mungkin menyadari diriku baru saja meraih puncak kenikmatan karena merasakan cairanku yang membasai kemaluannya yang berada di dalam kemaluanku, memberikan sedikit waktu padaku untuk meresapi orgasme yang kuraih.


Kurasakan peluhku mengalir bercampur dengan keringat Anton walau ada sebuah AC sebagai pendingin ruangan di kamar tersebut. Hingga tak berapa lama kemudian kurasakan kemaluan Anton kembali menusuk-nusuk kemaluanku. Aku yang termasuk wanita yang bisa mendapatkan orgasme berulang kali, kembali merasakan setiap sarafku bergerak kencang sebagai jawaban atas sensasi penetrasi Anton.


Anton termasuk lelaki yang perkasa dalam urusan ranjang. Setelah sekian lama melakukan penetrasi di kemaluanku, masih belum ada tanda bawa dia akan orgasme. Dan kini, tak sedikit pun kurasakan kemaluannya berhenti untuk menyodok-nyodok kemaluanku untuk meraih puncak kenikmatan yang belum ia dapatkan.


Aku kembali dikejutkan oleh aktifitas Tommy. Kali ini ia berada di belakangku memainkan daerah di duburku. Diusapnya berputar duburku dengan jempolnya diiringi sedikit tekanan yang diberikan olehnya. Itu adalah sensasi baru yang kurasakan. Sungguh daerah itu belum terjamah sebelumnya dan aku takut jika pelangganku melakukan penetrasi di duburku karena walaupun aku sering menonton film biru tentang anal seks, tapi aku takut untuk melakukannya karena sakit yang kubayangkan ketika kemaluan laki-laki menusuk-nusuk lubang duburku.


Tapi kini, sensasi yang lain dari biasanya kurasakan atas perlakuan Tommy disana. Perasaanku pun tercampur aduk. Sensasi itu sungguh nikmat kurasakan dan aku tak ingin itu berhenti, namun aku juga takut jika nantinya Tommy mencoba melesakkan kemaluannya ke dalam lubang duburku.


Namun tusukan-tusukan yang Anton lakukan, membuat bayangan ketakutan itu hilang sejenak. Kutahan badan Anton untuk tidak bergoyang lagi, karena yang kumau kini aku yang mengontrol dirinya. Kutinggalkan pikiranku sejenak akan Tommy karena aku ingin Anton mendapatkan kepuasan akan setiap goyangan yang kulakukan diatasnya.


Ketika kosentrasiku kepada Anton mulai fokus, Tommy kembali membuyarkannya. Kurasakan duburku basah. Aku pun menoleh dan ternyata Tommy memberikan sedikit ludah ke duburku dan dia mulai mengusapnya perlahan.


Ketakutanku pun mendekati kenyataannya. Tommy mulai memegang pinggulku dan mendekatkan kemaluannya ke arah duburku. Aku tak bisa membayangkan bagaimana kemaluan Tommy menusuk duburku saat kemaluan Anton masih menancap di dalam kemaluanku. Aku pun menoleh ke arah Tommy yang berada di belakangku dan sejenak goyanganku diatas tubuh Anton berhenti.


“Pelan-pelan, Tom. Aku belum pernah disana,” pintaku kepada Tommy.


Tommy yang mendengar permintaan dan pengakuanku memandangku dengan sedikit kesan heran pada pandangannya. “Sungguh kamu belum pernah melakukan anal seks sebelumnya, Rin?” tanya Tommy.


Aku hanya mengangguk sebagai tanda pembenaran.


“Wah, kalau begitu aku tak bisa mendahului Anton. Hari ini harinya.”


“Tak usah kau pikirkan itu. Lanjutkan saja. Aku sudah sangat puas dengan cengkraman Rini di kemaluannya,” jawab Anton atas keraguan Tommy.


“Well, aku akan pelan-pelan, Rin. Dan nanti kau akan terbiasa, malah kau bisa saja merasakan kenikmatan yang lebih lagi,” ucap Tommy.


Aku menyerah. Aku tak bisa menolak keinginan Tommy. Aku memang takut, namun keingintahuanku dan kenikmatan yang tadi kurasakan saat permainan Tommy berlangsung di area duburku, membuatku ingin merasakan sesuatu yang lebih lagi.


Hingga kemaluan Tommy yang sempat ditarik, kini kembali menempel di duburku. Aku membalikkan badanku kembali berhadapan dengan Anton. Kurasakan pelukan Anton mengerat dan tangan Tommy menekan tubuhku untuk lebih menempel ke tubuh Anton demi kemudahan penetrasinya di duburku. Kupejamkan mataku dan menundukkan kepalaku menyender di bahu Anton sambil menunggu detik-detik hilangnya keperawanan duburku yang akan diambil oleh Tommy.


Tusukan itu akhirnya kurasakan. Perlahan namun pasti, ludah yang diberikan Tommy membantu penetrasi kemaluannya atas duburku. Seketika aku menjerit menahan sakit yang kurasakan. Kuremas pinggiran sofa yang dapat kuraih untuk menyalurkan rasa sakitku sembari kugigit tertahan bibir bawahku. Walau Tommy merasakan sedikit kesusahan menembus pertahanan duburku, namun kemaluannya dengan sukses membobol duburku pertanda kelihaian Tommy akan anal seks.


Tommy diam sejenak saat seluruh kemaluannya amblas. Dia berikan waktu agar otot-otot duburku mampu beradaptasi dengan kemaluannya. Aku rasakan Tommy memberikan ludah lagi di pinggiran duburku dan sejurus kemudian Tommy mulai mengayunkan pinggulnya untuk melakukan pompaan ke duburku. Pelan-pelan Tommy mulai memasukkan dan mengeluarkan kemaluannya.


Perih itu kurasakan lagi, namun Anton yang mulai ikut bergoyang berlain irama dengan Tommy, sedikit demi sedikit menghilangkan konsentrasiku akan rasa sakit atas penetrasi Tommy di duburku. Dan Anton sungguh lihai membuatku melupakan rasa sakit itu. Dihisapnya kembali puting payudaraku sembari goyangan yang ia lakukan membuat kemaluannya memberikan kenikmatan pada kemaluanku.


Hingga saat dimana lubang duburku telah beradaptasi atas kemaluan Tommy, tak kurasakan lagi perih itu. Yang ada adalah sebuah kenikmatan yang melebihi dari yang kubayangkan. Kenikmatan yang lebih dari sekedar usapan Tommy pada area duburku. Kenikmatan yang kudapat kala kemaluan Tommy yang menusuk duburku bergantian dengan kemaluan Anton yang menusuk kemaluanku.


Aku kini berada di antara dua lelaki yang menikmati dua buah lubangku. Posisiku kini seperti di film-film biru yang pernah aku tonton dimana seorang perempuan menerima penetrasi secara bersamaan di kedua lubangnya. Aku menjerit sepuasnya menyalurkan desakan yang kurasakan di bagian bawah tubuhku. Tanpa terasa tubuhku mulai mengikuti irama yang ada. Aku menggoyangkan pinggulku lebih keras lagi.


Nikmat, sungguh nikmat dan sangat nikmat. Itu yang kurasakan dikala tanpa henti Anton dan Tommy menikmati dua buah lubangku. Deru nafas kedua lelaki itu memacu dengan deras. Terlebih lagi Anton yang lebih dulu menyetubuhiku.


Kenikmatan yang kurasakan membutakan akal sehatku. Tangan kananku mengarah ke pinggul Tommy yang berada di belakangku. Kutarik dan kurapatkan pinggulnya agar lebih menekan kemaluannya di duburku lebih keras lagi. Sebelah tanganku yang lainnya, membimbing kepala Anton ke arah payudaraku agar ia bisa menikmati putingnya dan hal itu tidak disia-siakan Anton.


Oh… aku sungguh tak mengira kenikmatan yang kudapatkan akan seperti ini. Apalagi saat Tommy mendekatkan bibirnya dan mencium belakang telingaku sambil berbisik. “Kau menikmatinya, Rin?”


Aku menelan ludahku sebelum kujawab pertanyaan itu. Kemudian dengan suara yang patah-patah karena sodokan-sodokan yang kuterima kukeluarkan suaraku. “Ya, aku… amat... sangat menikmatinya... Tom,” jawabku putus-putus. “Terus, Tom… Terus, Tom…” pintaku seperti seorang yang tak ingin kehilangan sesuatu.


“Kau tambah cantik dalam keadaan seperti ini,” balas Tommy.


Tommy kemudian meraih rambut panjangku yang tergerai. Disatukannya setiap helai rambutku dalam genggamannya dan dipegang dengan sebelah tangannya. Dipacunya lagi tubuhku layaknya kusir memacu kudanya. Anton yang tak mau kalah ikut memacu kemaluannya yang kusambut dengan goyanganku.


Aku tak tahan lagi. Kurasakan gelombang orgasme kembali datang. Dan saat puncak kenikmatan itu di depan pintu, kukencangkan goyanganku hingga kuberteriak tanda kenikmatan yang yang kutunggu tiba dan tersalurkan dengan cairan yang keluar kembali di rongga kemaluanku.


Dan tak berapa lama berselang, kulihat Anton memejamkan matanya dan melenguh keras. Kurasakan kemaluannya menyemprotkan cairan pada lubang kemaluanku pertanda Anton mencapai puncak kenikmatan yang ia cari. Tommy yang melihat itu, melambatkan irama sodokannya di lubang duburku dan berakhir dengan melepas kemaluannya.


Setelah kurasakan kedutan kemaluan Anton berhenti beberapa saat lamanya, aku pun melepaskan tubuhku dari pelukan Anton. Kududuk disamping Anton dengan meluruskan tubuhku. Dua lubang tempat dimana kemaluan dua lelaki itu bersarang tadi, berdenyut-denyut membawa sisa-sisa kenikmatan.


“Luar biasa…” bisik Anton ditengah deru nafasnya yang memburu. “Sungguh hari ulang tahun yang luar biasa. Kau sungguh hebat, Rin.” sambungnya sambil melirik ke arahku dengan senyuman dibibirnya dan tangannya yang menyentuh pipiku sejenak.


Aku pun membalasnya dengan senyuman. “Kau juga luar biasa, Ton,” balasku.


Anton pun kemudian berdiri dan berjalan ke arah toilet meninggalkanku dan Tommy yang berdiri menatapku. “Masih kuat Rin?” tanya Tommy yang berdiri dengan kemaluan yang tegak berkilau karena cairan duburku.


Aku menghirup nafas sejenak untuk menenangkan aliran darahku. “Masih. Aku tentu masih bisa lanjut, Tom,” jawabku sambil memandang wajah blasterannya.


“Ayo kita ke kasur,” ajak Tommy sambil mendahuluiku.


Namun sebelumnya, kuambil tasku untuk meraih tissue yang kubawa. Aku harus membersihkan sisa sisa cairan Anton yang mulai merembes keluar dari kemaluanku. Setelah cukup bersih, aku pun mendekati kasur dimana Tommy akan menikmati tubuhku. Kulihat ia menantiku duduk di pinggiran kasur dengan kemaluannya yang siap tempur.


“Kemarilah,” pinta Tommy seraya naik dan berlutut di atas kasur.


Aku pun mendekatinya dan Tommy meposisikan diriku menungging di atas kasur. Tak lama setelahnya, ketika kurasa Tommy akan kembali menggarap lubang duburku, ternyata aku salah. Tommy menancapkan kemaluannya di lubang kemaluanku. Aku pun mengeluh kecil. Kuremas seprai putih yang membungkus kasur tempat kami memacu nafsu. Kurasakan kemaluan Tommy menyesaki lubang kemaluanku.


Tangan Tommy tak tinggal diam. Sambil mengecup punggungku, tangannya meremas-remas payudaraku yang tergantung bebas dan bergoyang seirama sodokannya di pinggulku. Kemaluanku berdenyut keras sebagai respon atas sodokan yang kuterima dari Tommy.


Keringatku kembali bercucuran. Posisi ini adalah posisi favoritku jika aku melayani seorang lelaki saja. Itu karena kemaluan lelaki yang masuk ke lubang kemaluanku dalam posisi ini kurasakan penuh sesak disamping benturan dari dua buah telurnya di titik sensitif kemaluanku.


Desahanku kembali memenuhi ruangan itu. Tangan Tommy kemudian meraih leherku dan mencengkram leherku seperti mencekik dan mencium belakang daun telingaku. Aku yang kembali dikuasai oleh nafsu, menumpukan badanku hanya pada satu tangan saja, sedangkan tanganku yang lainnya meraih belakang kepala Tommy dan menekannya agar terus memberikan rangsangan di belakang telingaku. Desahanku kembali memenuhi ruangan itu.


Beberapa menit kemudian, kurasakan aku akan segera tiba ke puncak kenikmatan kembali. Aku pun membalas goyangan Tommy dengan cepat hingga kurasakan cairan kewanitaanku untuk ketiga kalinya keluar membasahi lubang kemaluanku yang disertai dengan pekikan kecil dariku. Aku pun terkulai dan kurebahkan kepalaku di kasur sambil terus menerima pentrasi dari Tommy.


Tommy juga semakin gencar melakukan sodokan demi sodokan. Keringatnya mulai deras bercucuran. Nafasmu semakin memburu. Kurasakan kemaluannya membesar sebagai pertanda Tommy juga akan segera mencapai puncak kenikmatan. Tak berapa lama berselang, Tommy mencengkram pinggulku dan menyodok pinggulku dengan keras yang akhirnya kurasakan cairannya membanjiri lubang kemaluanku.


Akhirnya Tommy rebah di sampingku. Aku pun terkulai di atas kasur dengan keringat yang bercucuran. Kunikmati sisa-sisa kenikmatan yang ada sambil kupejamkan mataku hingga kecupan Tommy di pundakku menyadarkan diriku.


“Kau memang seperti yang dikatakan orang-orang,” puji Tommy.


Aku tak tahu harus menjawab apa. Semula aku hanya tersenyum. Namun akhirnya aku membalasnya. “Terimakasih, Tom,” balasku sambil tersenyum kepadanya.


Tommy pun membelai rambutku. Dipandanginya wajahku tanpa berkata apa-apa. Ada perasaan yang tertumpah dari belaian dan tatapannya kepadaku. Aku merasakan kehangatan disana. Kehangatan yang hadir dengan tulus dari sisi seorang lelaki. Entah Tommy merasakannya atau tidak, namun seketika itu pula, kubuang jauh-jauh perasaan itu. Bagaimana tidak, aku hanyalah seorang perempuan bayaran yang bertugas memuaskan nafsu lelaki yang membayarku.


“Ayo cepat bersih-bersih dulu,” kata Anton memecahkan keheningan antara aku dan Tommy. “Kalau mau lanjut, ditunda dulu sampai nanti setelah kita makan. Masih banyak waktu hingga malam nanti. Lagipula aku lapar,” tambah Anton yang kulihat sudah berpakaian lengkap dan duduk di sofa.


Aku dan Tommy pun tersenyum mendengar perkataan Anton. “Duluan aja, Rin. Aku mau rebahan dulu. Capek juga neh,” kata Tommy mempersilahkanku sambil kembali tersenyum penuh arti kepadaku.


Kupandangi wajahnya sejenak dan kubalas senyuman itu. Kemudian aku pun berdiri dan melangkahkan kaki menuju toilet untuk membersihkan diri dengan disertai sedikit rasa penasaran atas perasaan yang kurasakan atas Tommy barusan.


“Entahlah,” pikirku dalam hati. Semua hanyalah sesaat bagiku. Walaupun aku tak tahu, ternyata perasaan itu nyata adanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar