Senin, 17 Juni 2013

Ratna, Aku Disetubuhi Anakku dan Teman Temannya


Ratna

Aku tak pernah mengatakan bahwa 25 tahun pernikahanku adalah buruk, sejak malam pertama semua berjalan indah dan bahagia sampai kemudian 7 tahun terakhir kurasakan membosankan. Dari segi materi, kehidupan kami bisa dikatakan masuk kalangan menengah atas. Aku sendiri adalah pemilik sebuah butik dan salon yang cukup ternama. Suamiku, seorang marketing dari kantor cabang regional sebuah perusahaan internasional pemasok alat-alat medis, aktivitasnya seputar seminar dan presentasi pengenalan produk ke berbagai rumah sakit di berbagai daerah dan tentu saja menuntut untuk menciptakan hubungan personal dengan klien ,seperti golf bersama dan lain-lain. Menyebabkan ia sangat jarang berada di rumah, meskipun banyak memberikan kesejahteraan materi yang amat berlimpah. Kami tinggal di komplek perumahan mewah di pinggiran Jakarta.



Kehidupanku mulai terasa sepi ketika anak-anak beranjak dewasa. Anakku yang tertua, Eva, baru saja menikah dan ikut suaminya ke luar negeri. Sementara anakku yang kedua, Rey, masih kuliah semester 4 di sebuah PT di Jogjakarta. Dulu, ketika suami mulai menanjak kariernya dan mulai jarang di rumah, aku masih terhibur dengan kehadirananak-anak, kini aku hanya ditemani pembantu lepas yang pulang kerja sore hari. Untunglah aku masih punya usaha untuk membunuh waktu dan sepi serta sesekali berkumpul bersama rekan-rekan sosialita atau ke gym dan spa. Lingkungan sekitar sangat jarang bergaul, mereka juga orang-orang kaya yang sibuk.

Akhir-akhir ini aku merasa sering kelelahan, terkadang sepulang melihat butik dan salonku kudapati diriku tertidur di sofa. Entah karena faktor usiaku yang sudah 45 tahun atau karena terlalu banyak beraktivitas? Ya, dulu kegiatanku paling seputar bersosialita atau ke gym saja, kini semakin bertambah sejak kumulai usaha 4 tahun lalu.


Esoknya kuperiksakan diri ke dokter langgananku, dokter mengatakan tidak ada masalah, hanya menyuruhku untuk banyak istirahat dan memberikan resep vitamin. Kuturuti saran dokter, aku mulai menunjuk manager untuk mengelola bisnisku. Aku lebih banyak berada di rumah, hanya sesekali keluar untuk aerobik di gym. Ya, aku memang rutin merawat dan menjaga postur tubuhku. Siapa yang tak khawatir suamiku berpaling ke wanita lain mengingat karier dan kemapanannya? Walau jujur, kecurigaan itu pasti ada.

Namun, lama-lama bosan juga di rumah. Walaupun nasihat dokter ada benarnya, aku jadi kembali bugar. Aku tengah membaca majalah sore itu ketika tiba sebuah mobil parkir di carport depan garasi. Tak lama pintu di ketuk dengan cukup keras. Rey, pikirku senang. Sudah kebiasaannya, anak muda enerjik itu suka mengetuk pintu keras-keras walau sering dimarahi ayahnya.


Aku beranjak membuka pintu, ”Rey, anak mama.” ujarku sambil memeluknya dan mencium keningnya.


Rey balas memeluk, ”Mama,” ujarnya sambil menjatuhkan tas kopernya.


”Apa kabar anak mama? Kok pulang?” tanyaku seraya membimbingnya ke ruang tengah.


“Ah, gimana sih mama? Udah pikun ya? Seminggu kemaren dah aku BBM kalau aku libur akhir semester kan?” jawabnya setengah menggerutu.


”Mama siapin makan ya?” tawarku.


”Gampang, ma. Rey mau ambil barang-barang yang masih di mobil, ada salak pondoh buat mama.” ujar rey seraya beranjak pergi.


“Kamu kenapa gak naik pesawat aja sih, Rey? Ngapain capek-capek bawa mobil sendiri?” tanyaku pada Rey sekembalinya dari luar.


“Terus siapa yang ngurus mobilku di jogja selama sebulanan? Dititipin teman bisa-bisa ancur tuh mobil. Lagian jalan-jalan pake mobil mama, Rey ogah, terlalu feminin.” jawab Rey.


“Ya udah, makan sana, terus mandi dan istirahat.” kataku lagi.

Hari-hari berikutnya kulalui bersama Rey. Kami shoping di mall, nonton bioskop, makan di luar dan sebagainya. Agak aneh juga, biasanya Rey keluar bersama teman-teman se SMA-nya dulu, atau pacarnya, Vita.


“Rey, gimana Vita?“ tanyaku suatu hari.


”Dah bubar, ma...” jawab Rey tanpa ekspresi.


”Kenapa? Apa udah punya pacar lain di Jogja?” Rey hanya nyengir.


”Wajib dong, ma, tapi yang di jogja juga udah putus, si Vita udah jalan sama yang lain, lagian tuh anak kekanak-kanakan banget.”


Aku tersenyum dan bertanya lagi, ”Terus tipe kamu yang kek mana, Rey?”


”Yang dewasa, ma. Males pacaran ma abege lagi.” jawabnya singkat sambil terus memainkan playstationnya.


”Lha kamu juga kekanak-kanakan gitu, udah gede juga masih main game, nggak keluar main sama teman-teman?” kataku lagi.


”Yah mama, gak seneng apa Rey ada di rumah? Lagian temen-temen Rey juga udah banyak yang kuliah di luar Jakarta, bahkan ke luar negeri.” jawab Rey.


”Hihihi... sorry, Rey. Mama seneng kok ada kamu di rumah,” ujarku.


“Papa kemana, ma?” tanya Rey.


“Papamu lagi ada kerjaan di Makassar, ada rencana pembangunan rumah sakit besar di sana, biasa, sedang melobi untuk menangin tender pengadaan barang, katanya sih sebulan di sana.” jawabku.


Rey terdiam sambil matanya terus mengarah ke layar TV dan jemari memainkan stick playstation 3 nya.

Aku melanjutkan membaca majalah wanita, Rey berhenti memainkan playstation lalu pergi ke belakang, munkin mencari kudapan. ”Ada blackforest di kulkas, Rey.” ujarku pelan.


Beberapa saat kemudian, Rey datang dengan sepotong blackforest di atas piring dan secangkir teh. “Spesial buat mama.” ujarnya sambil meletakan teh di hadapanku.


”Tumben, Rey, sejak kapan kamu jadi baik begini?” tanyaku tersenyum.


”Ah, dari dulu kan Rey udah baik, ma. Cuma emang rada cuek aja,” jawabnya sambil nyengir.


”Ah, dasar kamu. Makasih ya, Rey...” ujarku sambil menyeruput teh itu.


Rey memilih-milih piringan DVD lalu memutar sebuah film holywood koleksi lama kami. Layar 42 inchi tersebut tak lama kemudian menayangkan adegan film. Hari semakin gelap seiring terbenamnya matahari. Baru lima belas menit adegan berlangsung, mataku menjadi sangat berat dan aku tertidur.


Jam 3 pagi aku terbangun, agak heran mendapati diriku sudah si atas spring bed di kamarku di lantai atas, munkin Rey mengangkatku tadi. Mataku samar-samar mendapati lampu tidur menyala dengan sinar redupnya. Aku melanjutkan tidur.


Keesokan paginya, aku bangun. Menggeliat sebentar lalu bangun, mendapati diriku bahkan belum sempat mengganti blus santaiku dengan baju tidur. Aku bangkit menuruni springbed, mematikan lampu tidur dan membuka jendela supaya sinar matahari masuk. Mataku silau lalu duduk di depan cermin meja riasku, sedikit heran mendapati 4 kancing blusku terbuka dan sebelah bra terangkat meloloskan sebelah payudaraku, mungkin karena gerakan tidurku tadi malam.


Kurapikan pakaianku lalu berjalan ke kamar mandi, dan kali ini kudapati celana dalamku teronggok di lantai kamar. Aku benar-benar kaget, segera kumasukkan tanganku ke dalam celana pendek yang kupakai, aneh... aku masih mengenakan celana dalam, hanya saja aku tak begitu yakin apakah yang kupakai sekarang sama dengan yang kupakai kemarin? Entahlah, aku segera ke kamar mandi, melepaskan seluruh pakaianku bersiap untuk mandi.

Rey sudah dalam keadaan rapi bersiap untuk keluar, ketika aku turun ke bawah. “Kamu mau kemana, Rey?” tanyaku.


”Eh, mama. Keluar sebentar, ma. Barusan si Anto nelpon, lagi libur semester juga dia,” jawab Rey sambil memasang tali sepatu.


”Udah sarapan, Rey?” tanyaku.


”Udah, ma. Bi Inah udah datang, udah bikin nasi goreng sama roti bakar tadi. Rey pergi dulu, ma...” jawabnya.


”Hati-hati, Rey.” balasku.


***


Sore itu aku kembali duduk di ruang keluarga, sedang browsing membuka-buka website fashion terbaru sambil sesekali melirik siaran TV kabel. Kali ini memakai gaun tidur tanpa lengan yang sedikit sexy. Kudengar suara mobil Rey masuk halaman rumah.


“Mama...” sapa Rey sambil mendekatiku dan mencium keningku.


”Abis dari mana, Rey?” tanyaku sambil terus menatap laptop.


“Biasa, ma, main. Besok mau main futsal bareng temen-temen.” ujar Rey dambil duduk di sebelahku memencet remote TV, sesekali matanya melirikku.


”Ada apa, Rey?” tanyaku.


”Nggak, ma. Mama kelihatan tambah cantik pake kacamata itu, baru ya, ma?” tanya Rey.


“Ah, nggak. Mama beli 4 bulan lalu kok,” jawabku. ”Udah mandi sana, kalau mau makan di meja makan udah disiapin Bibik,” perintahku.


”Okay, boss.” kata Rey sambil mencium pipiku.


”Hush, kamu ini bas bos aja,” jawabku sambil mencubitnya ringan.

Beberapa saat kemudian, Rey kembali dengan kostum basket dan celana pendek membawakan segelas teh hangat untukku.


“Makasih, Rey. Hmm, kamu jadi agak dewasa ya sekarang? Gak kolokan dan ugal-ugalan kek dulu.” kataku sambil meminum teh tersebut.


”Orang kan pasti berubah, ma. Gimana sih mama? Liat apa sih, ma, kok asyik banget?” tanya Rey sambil kepalanya bersandar ke bahu lenganku yang terbuka.


“Ah, cuma lihat mode fashion, cari inspirasi untuk koleksi butik mama.“ jawabku. Rey cukup lama bersandar di pundakku, entah menyaksikan laptop, atau... ups, aku tersadar gaun tidurku memunkinkan belahan dadaku terlihat. Sialan, pikirku, namun di sisi lain menyadari pemuda seusia Rey pasti sedang panas-panasnya mengalami puber.


Segera kudorong kepalanya, ”Udah, pundak mama pegel neh.” kataku beralasan. Rey tersipu lalu beralih menyaksikan TV.


Entah kenapa, kira-kira 10 menit kemudian kembali aku mengantuk berat. Dan kali ini pukul 2 dinihari aku bangun, mendapati diriku tertelungkup di atas springbed. Dengan mata masih agak berat aku menyapu ruangan kamar tidurku, lampu tidur redup, laptop di atas meja kecil sebelah meja rias telah tertutup, lalu melihat keadaanku sendiri.


Kepalaku bukan mengarah ke posisi kepala springbed, tetapi menyerong ke samping. Aku mencoba mengangkat badanku sebelah atas, kudapati bra yang kupakai telah terlepas pengaitnya, mangkuk branya pun terdongak ke atas membuat kedua payudaraku tak tertutup. Gaun sebelah bawah tersingkap sampai sebatas pinggang, dan celana dalamku melorot sampai separuh pantat.


Ohh... aku ketiduran lagi, pikirku, terduduk dan kemudian bangkit ke kamar mandi untuk buang air kecil. Usai meneguk beberapa teguk air, kembali aku mencoba untuk tidur. Di tengah rasa kantuk, aku berfikir, bagaimana jika Rey melihat tubuhku tadi? Munkinkah Rey bertindak kurang ajar? Kuragukan hal itu, aku tahu persis, Rey emang kadang slengekan, tapi sangat hormat dan menyayangiku. Akulah yang selalu dominan hadir dalam membesarkan anak-anakku, dibanding ayah mereka yang selalu sibuk berbisnis. Tak heran, anak-anak sangat dekat denganku. Hmm, agaknya aku kembali mengalami keletihan, besok aku akan ke dokter lagi.

Pagi hari kembali aku bangun. Langsung menuju kamar mandi, kulepaskan satu persatu pakaianku, sambil menunggu bath tub dipenuhi air aku menuju meja rias. Dalam keadaan bugil kulihat tubuhku dicermin, masih sangat ideal untuk seorang wanita berkepala empat, payudara masih terlihat kencang dan kulitku masih sehalus wanita usia 20. Tak sia-sia aku rutin ke spa, aerobik dan ke pusat-pusat kecantikan, hanya sedikit gurat halus di ujung mata kiri.


Aku ingat ketika rekan-rekan suami mengalihkan perhatiannya kepadaku pada suatu acara pesta. Dasar lelaki, pikirku. Tapi di sisi lain, terkadang aku kecewa, mengapa terlau sering suami meninggalkanku? Apakah murni karena bisnis atau dia punya affair? Kehidupan sex kami selama 25 tahun menikah memang monoton saja. Apalagi saat anak-anak kami mulai remaja. Bisa dikatakan aku sangat jarang disentuh suami, namun hal itu bukan suatu masalah.


Aku seperti wanita normal kebanyakan, bahkan munkin konservatif. Sex tak lebih sekedar untuk memuaskan suami, bukan aku frigid, tak jarang suatu ketika hasrat itu muncul menggebu-gebu, namun kesibukanku membuat aku tak memikirkannya lagi. Godaan justru muncul dari rekan-rekan sosialita, aku tahu persis 2-3 orang diantara mereka mengaku terang-terangan sering memakai pria muda untuk kepuasan mereka. Sebagian lain aku yakin juga melakukannya namun secara diam-diam, informasi ini kudapat dari rekan sosialita yang mengaku terang-terangan. Bukannya aku tak tergoda, hanya saja aku tak punya cukup keberanian, bekal agama dan ajaran orang tua masih menjaga moralku.


Aku tersadar dari lamunan dan bergegas ke kamar mandi.

***


Kembali dokter mengatakan bahwa aku baik-baik saja, resep yang sama juga kuterima : banyak istirahat dan minum vitamin. Setelah dari dokter, aku meninjau tempat usahaku. Sore menjelang maghrib baru pulang ke rumah. Rey sudah di ruang keluarga bermain playstation ketika aku tiba.


”Dah pulang, Rey?” tanyaku sembari melepas sepatu.


”He-eh, darimana, ma?” tanyanya.


“Biasa, lihat butik dan salon mama, anak mama udah makan? Neh mama bawain donat.” sembari meletakan sekotak donat di meja depan Rey duduk.


“Wah, asyik nih. Tapi lebih mantep lagi kalau ditemani teh hangat, setuju ma?” tanya Rey.


Aku hanya tersenyum dan duduk sementara Rey menuju ke dapur. Kami menghabiskan donat sambil minum teh mengobrol ngalor ngidul. Dan kembali... 15 menit kemudian mataku memberat, entah bagaimana aku kembali tertidur. Dan kembali lagi, jam 3 dini hari aku terbangun di atas spring bed-ku.


Di tengah temaram lampu kamar, kukedip-kedipkan mata mencoba menghilangkan rasa kantuk. Kudapati tubuhku kembali tertelungkup, aku beringsut mencoba telentang, hmm... aku masih mengenakan blusku tadi, kancing semua tertutup hanya saja agak janggal mendapati beberapa kancing tidak berada pada tempatnya. Resleting rokku di belakang juga terbuka, dan ujung atasnya melorot sampai pinggulku, menampakan separuh pantatku yang masih terbungkus celana dalam.

Aku terduduk. Aku ketiduran lagi, apa yang terjadi pada diriku? Aku bangkit menuju kamar mandi, rasanya kebelet buang air kecil, sampai tiba-tiba kakiku menginjak sesuatu. Samar-samar dalam temaram cahaya lampu kuambil, lho... celana dalamku, bukankah ini yang kupakai sore tadi? hatiku bertanya-tanya heran sambil meraba selangkanganku... aneh, juga masih pakai celana dalam.


Kuletakan celana dalam hitam itu ke keranjang pakaian kotor, lalu aku pergi ke kamar mandi untuk buang air kecil. Sesaat aku melepaskan rok di pintu kamar mandi, kemudian masuk ke dalam, melorotkan celana dalam sampai sebatas lutut, lalu jongkok untuk kencing. Srrrrrr... air seni mengalir deras dari kemaluanku, sampai mataku tertumbuk pada celana dalam yang kupakai... berwarna merah dari bahan seperti jaring dengan kain selubung vagina ke belakang sampai ke atas sangat tipis. Aku tak mengenali celana dalam ini, aku semakin heran.


Usai buang air kecil dan membersihkan kemaluan dan melepas celana dalam merah itu. Kuhidupkan lampu kamar, di depan meja rias aku perhatikan baik-baik, kubalik-balik. Oh ya... aku ingat, aku pernah membeli celana dalam ini, hanya saja aku lupa kapan, tapi aku yakin sudah cukup lama, kubeli untuk menyenangkan suami dulu sekali.


Hatiku mulai berdegup kencang, ini suatu keanehan, pikirku. Lalu kubuka laci paling bawah meja rias tempat aku menyimpan celana dalamku. Nampak teracak-acak, tidak seperti biasanya rapi teratur, karena aku adalah orang yang rapi. Hmm... aku mulai curiga pada Rey. Ini pasti ulahnya, memanfaatkan kesempatan saat aku terlelap. Oh... Rey, kurang ajar kamu.


Emosiku bangkit, ingin segera aku melabraknya, namun aku masih bisa menahan diri. Hati kecilku berkata untuk sabar dan untuk tidak menuduh langsung, semua harus dibuktikan, pikirku. Ya... bukti. Tapi bagaimana? Dan hatiku yang lain justru berdesir sedikit... entah perasaan senang atau tersanjung... sulit kugambarkan... bahwa aku menjadi objek ketertarikan seksual seorang anak muda walau itu anak kandungku sendiri, tapi perasaan itu kutepis.


Singkat kata, aku ingin memberi pelajaran pada Rey walau aku bingung bagaimana mengatur strateginya. Aku segera mengganti pakaian kerja dengan gaun tidur, mencoba tidur kembali.


***


Pagi itu, Rey sama sekali tak menunjukan sikap rikuh, santai selengekan seperti biasa. Lalu pamit pergi. Agak malam Rey baru kembali, aku masih membuka laptop di ruangan tengah.


Rey berkata, ”Tumben gak ketiduran lagi, biasanya langsung ngorok di sofa.” ujarnya sambil nyengir.


Aku sedikit tersentak, benar juga ya. Kenapa sampai jam 7 malam ini aku belum merasakan ngantuk seperti biasa? Rey kembali membawakan teh hangat dan sekotak martabak telur yang dia beli tadi. Seperti biasa, terjadi obrolan ngalor ngidul.


“Emm... ma, emang gak kesepian ditinggal papa terus?” tanya Rey.


”Ah... udah biasa, saking seringnya jadi gak terasa tuh.” jawabku.


“Emm... maksud Rey anu...” ujar Rey terbata.


”Hhm... kamu mulai kurang ajar ya, mama tahu, maksudnya kehidupan seksual, gitu? Itu rahasia perusahaan, hubungan kami baik-baik aja... buktinya telah lahir manusia tengil seperti kamu di tengah keluarga ini.” jawabku agak ketus.


”Wow... gitu aja marah, Rey kan cuma tanya, ma.” ujar Rey lalu terdiam. “Boleh tanya lagi gak, ma?” tanya Rey lagi.


”Tanya apa?” jawabku sambil masih terfokus pada laptop.


”Mm... mama kok masih cantik yah... dan...”


“Dan apa?” tanyaku sambil tersenyum.


“Dan sexy... apalagi kalo pake piyama kek gitu.” ujar Rey.


“Ah... kurang ajar kamu. Aku ini mamamu lho, kamu sejak putus pacaran jadi aneh-aneh deh,” jawabku, walau dalam hati ada benarnya juga, piyama yang kupakai berbahan agak tipis, bagian dada mengikuti bentuk payudara, sementara di bawah celana pendek sebatas lutut. Tak terlalu aneh sebenarnya, hanya saja dimata anak muda penuh gairah tentu jadi berpikir sesuai imajinasinya. Lalu... denggg! Kembali rasa kantuk menyerangku, kali ini aku bangkit menuju kamarku.


”Udah ah, Rey, mama mau tidur, dah ngantuk banget.” ujarku sambil membawa laptop menaiki tangga menuju lantai dua. Di dalam kamar, aku segera rebah dan menghilang dalam mimpi.


Jam meja menunjukan pukul 02.30 ketika aku terbangun. Mataku mengedip-ngedip sesaat, memeriksa pakaianku. Tak ada yang janggal kecuali bra yang terlepas dari kaitannya, biasa kualami saat tidur. Celana pendek yang kupakai juga masih pada tempatnya. Demikian juga celana dalam, masih kupakai... hanya saja, kok terasa agak basah di bagian vagina sampai pantat? Apakah aku mengompol? Kurasakan aku memang serasa ingin menumpahkan isi kandung kemihku. Aku beranjak ke kamar mandi, melepas celana pendek dan celana dalamku lalu kencing.

Usai membasuh vagina dan keluar, kuambil celana dalam merah muda yang kupakai tadi, kudekatkan ke hidung dan tercium bau yang kukenal... sperma!!! Jantungku langsung berdegup kencang, seseorang telah menumpahkan sperma ke celana dalamku... atau justru vaginaku? Kumasukan jariku ke dalam vagina, terasa tak terlalu basah, normal, dan tak ada rasa benda asing pernah memasukinya. Hmm... berarti kemungkinan dia menumpahkan di permukaan vagina atau celana dalamku.


“Rey...” pikirku, aku harus memberinya pelajaran saat ini juga. Kukenakan pakaian lalu menuju kamar Rey di lantai 3. Tak terkunci, pintu agak terbuka, kudapati ia tengah tertidur dengan pulas, sepertinya tak tega aku bangunkan lalu memarahinya. Laptopnya masih menyala, kusentuh touchpadnya, sedikit terkejut kudapati sebuah website berisi gambar-gambar porno wanita setengah baya sepertiku, ada yang bule dan asia.


Aneh, kok si Rey senang dengan wanita yang lebih tua, pikirku. Lalu kubuka tab sebelahnya, semacam sebuah forum, juga berisikan gambar-gambar wanita setengah baya setengah telanjang, namun punya satu kesamaan, semuanya tertidur. Dengan berdegup kencang, kutelusuri terus ke bawah. Dibawahnya ada komentar-komentar.


”Gue ambil pukul 20.00 malam, gimana, bos? Mantap gak? Gantian dong lu yang posting.”


“Tanya, lu kasih apaan sampe gak sadar begitu.”


”Neh, lu kasih aja ******* campur ***** sebenarnya lebih cepat pake minuman bersoda dan lebih lama efeknya, tapi campur teh juga bisa kok.”


”Mang lu gak terangsang bos?”


”Gue lelaki normal brur, yang penting MILF bugil, biar kata emak gue sendiri juga.”


”Dah lu apain aja bos?”

Tiba-tiba Rey bergerak, aku terkejut namun melihat ia masih tertidur. Kutinggalkan kamar Rey, di dalam kamar tidurku aku berfikir. Ohh, jadi Rey ikut semacam perkumpulan penggemar foto telanjang ibunya masing-masing. Aku semakin gusar, jangan-jangan Rey telah memotret diriku, sialan, dia telah mencampuri obat tidur dalam teh yang disajikannya. Aku harus buat perhitungan. 


***


Sore itu Rey kembali membuatkan aku teh. Namun kali ini aku tak tertipu, kutunggu kesempatan untuk membuang teh itu, namun Rey masih duduk bersamaku, hmm... munkin 3-4 teguk tak akan berefek apa-apa, pikirku, hanya seperempat gelas teh itu kuminum.


Jam menunjukan pukul 8 malam ketika aku pamit pada anakku untuk tidur. Ternyata aku salah, seperempat gelas teh tadi tetap membuatku mengantuk tak tertahan, hingga tak mampu kucegah, aku pun tertidur.


Aku bermimpi berjalan di suatu padang, tiba-tiba kilatan demi kilatan cahaya petir menyambar. Aku tersadar ini hanya mimpi, namun di tengah separuh kesadaranku kurasakan cahaya kilat itu tetap menyambar-nyambar membuatku silau, mataku menyipit menyaksikan kilatan demi kilatan cahaya, kulitku langsung merasakan dingin hawa AC.


Tiba-tiba jantungku berdegup kencang, oh... Rey sedang memotretku. Posisiku terduduk bersender di kepala ranjang jati berukir beralaskan bantal di punggung, kurasakan baju tidurku tersingkap ke atas, sementara kakiku tertekuk seperti jongkok... dan aku tak mengenakan sehelai benangpun di bawah. Nafasku nyaris berhenti.


“Uhh... mama cantik sekali, uhh... mama!” ujar Rey setengah berbisik sambil terus memotretku yang aku yakini menggunakan kamera digital yang kubelikan sebelum ia berangkat ke jogja semester lalu. Rasanya aku ingin marah, namun rasa tegang mencegahku berbuat lebih jauh kecuali pasrah apa adanya.


Rey berhenti memotret. Kurasakan gerakan springbed seperti ditimpa sesuatu. Aku semakin tegang menunggu sesuatu yang akan terjadi, dan tiba-tiba kurasakan sebuah benda di sisi-sisi luar mataku. Rey memakaikan kacamata bacaku. Lalu kembali kilatan-kilatan blitz menembus pelopak mataku.


”Oohhhh... mama wanita tercantik yang pernah aku temui.” bisik Rey lagi.


Anak kurang ajar, sungguh teganya dia berbuat ini padaku, rasanya ingin kumenangis saat itu juga dan ingin mendampratnya habis-habisan, tetapi aku terlalu tegang untuk bergerak di samping kurasakan perasaan aneh menjalari setiap pembuluh darahku. Aku tak bisa menggambarkan entah itu peristiwa paling mengerikan dalam hidupku atau paling erotis yang pernah aku rasakan.


Duduk telanjang di hadapan anak kandung yang menikmati tubuh indah ibunya dan... menyaksikan organ tubuh tempat ia lahir dulu. Aku merasa ada yang menggelitik vaginaku walau Rey tak menyentuhnya. Beberapa menit Rey memotretku sampai kemudian berhenti. Kembali mendekatiku, melepas kacamata bacaku, lalu kembali mendekat, mendekat, sampai kurasakan dengusan nafasnya di wajahku. Ia mengecup bibirku, dan... ahh... sentuhan jemarinya di payudaraku membuatku hampir meloncat, namun sekali lagi aku terlalu tegang untuk bertindak.

Bulu kudukku mulai berdiri ketika ia memilin-milin pelan payudaraku lalu membetotnya pelan untuk kemudian dilepaskan, terus beberapa kali ia ulangi perbuatannya pada organ tempat dia semasa bayi mendapat gizi. “Ouh... tetek mama masih sekencang cewek abege,” bisiknya.


Kini hanya sebelah tangannya yang memainkan payudaraku, tangan satunya terus menuruni dada, perut dan... hinggap di timbunan bukit bercelah bertumbuhkan bulu-bulu hitam keriting lebat. Vaginaku! Kali ini nafasku mulai tak beraturan, antara tegang, marah, kecewa dan... terangsang hebat bercampur aduk.


Jemarinya mulai mengeramasi bulu-bulu pubisku, lalu menyentil pelan klitorisku, terus beberapa menit, sampai kemudian jemarinya membuka bibir vaginaku. Mengusap-usapnya, lalu perlahan memasuki diriku. Menggeliat-geliat di dalam lalu menariknya setengah keluar untuk kemudian didorongnya masuk kembali, terus seperti itu, semakin lama semakin cepat.


Aku masih berpura-pura terdiam walau nafasku makin tak teratur, antara perasaan terhina dan marah sekaligus malu... malu mendengar suara vaginaku yang basah digarap jari jemari anak kandungku sendiri.


“Ooh... mama, mama basah sekali!” ujarnya. Kurasakan ia menarik jemarinya dari liang senggamaku, dan kudengar suara hisapan dari mulutnya, ia tengah menikmati cairan dari pusat kewanitaanku, membuatku semakin terhanyut suasana erotik malam itu.


Kembali ia hujamkan jarinya ke dalam liang dimana ia dulu lahir, untuk kemudian kudengarkan lagi suara hisapan mulutnya, terus beberapa kali sampai aksi terakhirnya menyetubuhi diriku dengan jemarinya sampai kemudian ia kurasakan berdiri di hadapanku.

Tiba-tiba kurasakan ujung benda keras namun elastis menyentuh pipiku, kurasakan ujungnya agak basah. Lalu menyentuh hidungku, aromanya segera kukenali sebagai... penis lelaki!!! Apa yang dia lakukan padaku, dia benar-benar... Splas! Splas! Splas! pikiranku berhenti sesaat, merasakan cairan kental panas menyemprot wajahku, mata, hidung, pipi, bibir, leherku tak luput dari serangan cairan asing yang kupastikan adalah... cairan sperma anak kandungku!


”Ooh... mama, ssssshh...” bisik Rey seraya mendesis. Aku masih terdiam, sebagian sperma merembes ke dalam bibirku.


Kembali kilatan-kilatan cahaya menembus pelopak mataku, anakku kini memfotoku dalam keadaan wajah bermandikan cairan air maninya. Beberapa kali ia ambil sampai akhirnya mendekatiku, melapkan kain basah ke wajahku. Mengangkat diriku untuk dibaringkan, merapikan bra menutup payudaraku walau kaitnya tak terpasang, memakaikan celana dalam dan celana piyamaku lalu kembali mengecup bibirku. Dan akhirnya keluar kamar.


Perlahan aku membuka mata, mencoba mengatur nafas. Pikiranku menerawang tak karuan. Rey, apa yang kau lakukan? Tak terasa air mataku mulai berlinang... Oh Rey, kau telah menodai ibumu nak.


Aku mulai menangis, lalu bangkit menuju kamar mandi, buang air kecil dan membasuh wajahku. Lalu melihat wajahku di cermin, sambil berkata dalam hati, mengapa kau tak mencegah anakmu mencabulimu, bodoh?


Lama pikiranku berkecamuk sampai kuputuskan untuk tidur, pintu kamar kali ini kukunci rapat.

***


Esok pagi kembali Rey tanpa beban bertemu denganku. Ia kembali pamit keluar.Sepeninggalnya pergi, aku termenung bingung memikirkan apa yang akan kulakukan. Kucoba memasuki kamarnya, namun terkunci. Cukup lama aku mengutuk diriku sendiri dan memendam amarah pada Rey, hanya saja yang aku heran kenapa akhirnya aku putuskan untuk mencoba menjebak Rey lagi nanti malam.


Kembali menjelang maghrib Rey pulang, kali ini aku memakai gaun tidur tank top terusan yang cukup sexy. Mata Rey segera berbinar namun tak berani memujiku, takut kusemprot lagi mungkin. Ritual menyodorkan teh hangat buatannya kembali terjadi, kali ini aku punya ide. Menyuruh Rey mengambil laptopku di kamar lalu membuang semua teh yang dibuatnya tadi.


Kami makan malam bersama, dan mata Rey tak pernah lama berpaling dari tubuhku, terutama tonjolan payudaraku yang berukuran 36 itu. Kami duduk di sofa menikmati tayangan TV sampai kemudian Rey ke dapur dan kembali membawa irisan buah apel. Kunikmati buah apel tersebut sambil mengobrol bersama Rey.


Pukul 20.00 malam aku pamit ke kamar tidur. Kali ini aku gak mungkin ketiduran, pikirku.Kucoba menenangkan pikiran, menyiapkan mental untuk memberikan kejutan buat Rey.Tapi aku salah, aneh entah kenapa mataku kembali sangat mengantuk.

Pukul 2 dinihari kembali aku terbangun, mataku menyipit silau dengan cahaya lampu kamar yang menyala terang ditambah kilatan-kilatan cahaya. Kudapati diriku tertelungkup, namun kurasakan lutut dan betisku merasakan dingin lantai marmer kamar, dan dingin udara ac kurasakan menyentuh semua kulitku dari wajah sampai mata kaki. Oh tidak, aku telanjang total dalam keadaan separuh tubuh berbaring di atas dada namun kaki menjuntai ke bawah ranjang, seperti orang merangkak. Kurasakan tangan seseorang... Rey mencoba melebarkan kakiku.


“Nah begini, ma, sshhhh... so sexy.” bisiknya. Lalu kilatan demi kilatan cahaya menyinari dinding kamar. Rey memotretku lagi...dari belakang.


Selintas aku membuka mata, menyaksikan bayangan diriku di cermin meja rias, telanjang pasrah, sementara kilasan bayangan tangan Rey menyentuh dan mengelus-elus pantatku yang menyembul. Oh... ibu macam apa yang membiarkan anaknya mengambil gambar tubuhnya yang telanjang untuk kemudian disebarkan di dunia maya? Sekali lagi entah karena rasa tegang, entah karena menikmati sensasi, aku diamkan ulah Rey.


Tiba-tiba kilatan cahaya blitz itu berhenti. Aku tak bisa mendeteksi gerakan Rey, kecuali dengusan nafas hangatnya kurasakan meniup pantatku. Lalu... seolah nafasku berhenti saat merasakan benda lunak basah mengusap-usap pantatku. Lidah manusia... pikirku, membuat aku merinding dan gemetar. Lidah Rey mengusap-usap, menjilat semua permukaan bokong indahku, kanan dan kiri, sampai kurasakan seolah nyawaku melompat keluar tubuh ketika lidah Rey hinggap di... anusku.

Tak sadar mulutku mengeluarkan suara rintihan halus. Rey tiba-tiba berhenti menjilati anusku, cukup lama... sampai kemudian kembali membasahi saluran pembuanganku dengan air liurnya. Sampai kemudian dengusan nafas panasnya menghembus vaginaku, dan tak memakan waktu lama sebelum kembali lidah hangat itu kini mengecap, menjilat dan mulut Rey menghisap- hisap lubang peranakan tempat ia dilahirkan dulu, Rey seperti orang kehausan mereguk saripati kewanitaanku.


Reaksiku sendiri, tak mampu berbuat apa-apa kecuali mengejangkan kaki menahan rasa geli dan nikmat di tengah perasaan marah dan terhina. Cukup lama Rey membasuh permukaan vaginaku dengan lidahnya, sampai kurasakan jilatan itu berhenti, yang entah kenapa membuatku sedikit kecewa. Tiba-tiba kurasakan benda panjang keras menyusup belahan pantatku... lagi-lagi aku yakin itu penis seorang pria. Penis Rey. Rey mengusap-usapkannya dari pelan, pelan, hingga semakin cepat, sesekali ia berhenti, kudengar suara orang meludahi pantatku, dan seketika itu pula kurasakan cairan hangat mengalir ke bawah. Rey tengah melumasi pantatku dengan air liurnya, lalu kembali mengusap-usapkan penis kerasnya, jemari-jemarinya mencengkeram pantatku.


”Sssssh... mama, pantat mama sexy sekali... sshhh!” Lalu... Splash! Splash! Splash! Cairan kental panas hinggap di punggung, pinggang, pantat lalu mengalir ke bawah melewati vaginaku. Rey ejakulasi lagi, pikirku.


Cengkeramannya mereda seiring redanya dengusan nafasnya, kembali kurasakan kain basah melap semua tubuh belakangku. Kembali ia angkat tubuhku ke ranjang, memakaikan gaun malam dan celana dalamku, kali ini ia tak memakaikan bh-ku, munkin terburu-buru, lalu mematikan lampu kamar, menghidupkan lampu tidur dan menutup pintu kamar.


Aku menarik napas mencoba menggapai kembali oksigen yang nyaris tak masuk ke dalam tubuhku dengan peristiwa tadi. Pikiranku masih sangat tegang dan kembali mengutuk diri atas sikap diamku tadi, namun aku merasa amat malu karena... sedikit banyak aku menikmatinya, kususupkan tangan ke celana dalamku, tak begitu surprise mendapati bahwa... vaginaku teramat basah, bukan oleh cairan tubuh Rey, tapi tubuhku sendiri.


Aku heran, bagaimana mungkin aku masih bisa ketiduran? Teh sudah kubuang, oh my... apakah mungkin buah apel tadi? Kulihat Rey sama sekali tak memakannya. Hmm... haruskah besok kutolak semua yang disuguhkan Rey? Tetapi apakah dengan tetap terjaga aku mampu menolak semua yang dilakukan Rey atas tubuhku, ibu kandungnya? Tanyaku lagi.


Kembali menghadapi dilema... kembali perasaan malu teramat sangat menderaku. Aku bingung tak tahu berbuat apa. Apa yang dilakukan Rey sungguh tak patut, tetapi sungguh tak patut pula aku membiarkan prilaku itu. Satu poin penting yang membuatku menghargai Rey, dia tak pernah memasukan penisnya ke dalam vaginaku, artinya dia masih punya batasan. Baiklah, lebih baik aku dalam keadaan tidak sadar saja menerima perbuatan Rey... kendati kerap terbangun di tengah aksinya.

***


Siang itu Rey pamit lagi, kali ini dengan alasan ingin menjemput kawan satu angkatannya kuliah yang akan liburan ke Jakarta dan meminta ijinku agar diperkenankan menginap di rumah kami. Aku hanya bisa mengiyakan, dulu semasa SMA sering juga rekan-rekannya menginap di rumah.


Menjelang maghrib, mobilnya memasuki halaman. Aku sendiri tengah membaca majalah mengenakan gaun malam yang simple dan tak menampakan lekuk tubuh.


”Ma, kenalkan... temen Rey, Yudi.” ujar Rey memperkenalkan temannya.


“Yudi, bu.” ujar Yudi menyodorkan tangannya sambil merunduk sopan dan tersenyum ramah.


“Saya mamanya Rey, panggil aja tante Ratna.” jawabku setengah tertegun dengan tatapan Yudi yang teduh. “Ayo, Rey, diajak ke kamar sana, istirahat lalu makan malam.” pintaku pada Rey.


”Maaf ngerepotin, tante.” ujar Yudi sambil mengikuti Rey.


Aku tersenyum, Yudi nampaknya pemuda yang sopan, bertubuh tinggi tegap sedikit melebihi Rey dan sangat tampan. Aku sedikit lega, kali ini Rey gak akan macam-macam denganku.


Malam itu kami makan malam bersama, lalu ngobrol ngalor ngidul. Ternyata Yudi juga berasal dari keluarga pengusaha, ayahnya kontraktor property, sementara ibunya dosen di universitas tempat anakku dan Yudi juga kuliah. Rey, kembali membuatkan teh, kali ini untuk 3 orang, Rey sendiri, Yudi dan aku. Sempat sedikit curiga, namun untuk amannya, aku hanya meminum setengah gelas. Menjelang pukul 8 malam aku pamit untuk tidur, yakin aman kubiarkan diriku rebah dan tak lama kemudian terlelap.


Dini hari, jam dua malam. Kukenali dari dentangan jam Junghans di ruang bawah. Kilatan-kilatan cahaya kembali menembus kelopak mataku. Ooh... apalagi ini? Kudengar gumaman-gumaman pelan seperti orang mengobrol disusul kilatan-kilatan cahanya menyambar, detak jantungku segera berdegup kencang. Dengan mata tertutup, segera kurasakan hawa sejuk AC menyentuh langsung kulitku tanpa pelapis... kembali aku ditelanjangi. Kudapati tanganku terentang lurus ke atas, di pantatku sesuatu yang empuk mengganjal, membuat tubuhku sebelah bawah terdongak, sementara kakiku terbuka lebar.


”Gimana, Yud?” suara Rey setengah berbisik.


”Luar biasa, men. Ibumu bener-bener cantik dan sexy,”


”Udah puas belum?” gumam Rey lagi.


”Ntar, men, beberapa shoot lagi,”


Ooh... ternyata diriku jadi tontonan Rey dan temannya, sungguh kurang ajar. Untuk Rey aku masih bisa mentolerir, tetapi mengajak teman sudah kelewatan. Tetapi sekali lagi aku tak mampu bergerak, diantara perasaan dongkol terselip rasa tersanjung jika tubuhku ini masih dikagumi anak-anak muda seperti Rey dan Yudi. Aku merinding dan gemetar.


“Boleh gak, Rey?” tanya yudi, entah apa maksudnya.


”Gak boleh, deal is deal, kecuali lu biarin gue dulu ngentotin nyokap lu.” jawab Rey keras. Aku semakin tegang, oh... ternyata Yudi ingin menyetubuhi diriku.


“Trus gimana, Rey?” tanya Yudi lagi.


”Ya sesuai komitmen awal aja.” jawab Rey singkat.


Diskusi kedua pemuda itu berhenti. Kurasakan derap langkah mendekatiku. Deg! Sebuah kecupan menimpa bibirku. Lalu jari jemari menyentuh payudaraku, meremas-remasnya pelan, memlintir-mlintir putingnya, membuatku meringis. Namun yang membuatku nyaris membelalakan mata mana kala sebuah rongga basah hangat menyelubungi puting payudaraku lalu menghisap-hisapnya dengan rakus. Sementara payudaraku yang lain diremas-remas, terus bergantian satu dihisap satu diremas, membuat kepalaku terlempar ringan ke kanan ke kiri.

Sampai kemudian hisapan itu berhenti, tapi remasan-remasan terhadap payudaraku terus berlangsung. Kurasakan hembusan nafas hangat menyapu ketiakku yang terungkap karena posisi tanganku. Dan sebuah sentuhan, mungkin hidung seseorang, lalu diikuti suara hirupan nafas. Oh... dia yang kuyakini adalah Yudi tengah menikmati dalam-dalam aroma tubuhku. Terus menghirup beberapa menit sampai sesuatu membuatku nyaris terlonjak jika tidak mengejangkan pantatku, jilatan lidah di ketiakku dan hisapan mulut. Kali ini kurasakan vaginaku benar-benar basah.


Beberap menit kemudian jilatan itu berhenti. Kali ini hembusan nafas hangat menciptakan badai kecil di permukaan vaginaku, dan ohhh... jilatan-jilatan liar kembali mengusap-usap, menghisap organ paling esensi seorang wanita, membuatku kembali menegangkan seluruh sendi-sendiku.


Beberapa menit kualami siksaan kenikmatan itu sampai sesuatu memasuki diriku, menggeliat, mengait, menusuk... jemari-jemari Yudi menggali vaginaku dengan liar, satu jari, dua jari, tiga jari... thats it, sensasi puncak kenikmatan yang lama tak kurasakan kembali mengharu biru diriku, denyutan-denyutan vaginaku mengirimkan sinyal-sinyal sebuah kenikmatan tiada tara dalam otakku... aku orgasme... terus berlangsung sampai dua tiga menit, aku hanya bisa menggigit bibir dan menggenggam tangan erat-erat.


”Wah... men, mama lu sampe banjir begini. Masih sempit, men... sayang kalo gak...” ujar Yudi dengan suara bergetar.


”No way. Udah cepet sana, tuntaskan hajat lu.” ujar Rey.


Yudi menggerutu pelan, lalu mengambil bantal di bawah pantatku. Kurasakan seseorang memelukku. Membuatku setengah terduduk dan meletakkan bantal di balik bahuku. Membuatku benar-benar setengah terduduk dengan kepala sedikit terdongak. Kudengar suara resleting berbunyi... oh Tuhan, wajahku akan bermandikan sperma lagi, pikirku.


Kurasakan ujung benda keras memukul pelan pipiku, mataku, hidung dan bibirku. Cairan keluar dari ujungnya membasahi permukaan wajahku. Penis Yudi, pikirku. Kunantikan dengan tegang ejakulasi Yudi di wajahku, tetapi kemudian sepasang jari menjepit hidungku, membuat mulutku terbuka mencari nafas dan saat itulah sebuah benda silinder keras setengah elastis memasuki rongga mulutku, jepitan dihidungku terlepas. Aroma khas pria tercium keras hidungku, aku nyaris tersedak dan membuatku berlinangan air mata... aku dipaksa melakukan oral sex dengan teman anakku disaksikan anakku sendiri!


Dengan kurang ajar, yudi memegang belakang kepalaku, memasuk keluarkan batang penisnya ke mulutku, sesekali meyimpang ke dinding pipi, membuatku merasa pegal. Sebagai wanita konservatif, aku tak pernah melakukan oral sex selama 25 tahun menikah, namun kali ini seorang pemuda memberiku pengalaman pertama oral sex. Keterpaksaan membuatku beberapa kali tersedak, namun lambat laun aku mulai menemukan ritmiknya, sedot lepas, sedot lepas. Sampai kemudian, yudi mencengkeram belakang kepalaku, mendorongnya ke depan, bersamaan dengan hujaman penisnya sampai kurasakan kepalanya menyentuh anak lidahku... lalu... cleguk, cleguk, cleguk...!!!


“Oohhh... tante Ratnaaaa... hsssssshhhh...” desis Yudi, dan dengan terpaksa semburan demi semburan spermanya kutelan, lagi dan lagi, membuatku ingin muntah, sampai akhirnya ketegangan penis Yudi mereda dan ia melepaskan mulutku, airmata berlinangan membuat sungai kecil di pipiku.


“Aduh, men... abis semua ditelen, mama lu emang oke, men.” ujar Yudi di tengah nafasnya yang belum teratur.


”Ya udah, cepet keluar, biar gue beresin.” ujar Rey. Terdengar suara pintu terbuka lalu tertutup. “Maafkan aku, ma.” ujar Rey berbisik.

Kembali kuraskan springbed ditimpa seseorang, aroma khas lelaki kembali tercium. Dan kembali sundulan-sundulan benda tumpul keras setengah lunak mendera wajahku. Kembali sepasang jari menjepit hidungku... dan hap! mulutku menerima kembali infiltrasi benda asing, kali ini milik anakku, kembali aku tersedak-sedak hingga berlinangan air mata, namun tak seperti Yudi, Rey melakukannya dengan lembut. Mulutku kembali menyambut, sedot lepas, sedot lepas.


“Mamaaah...” rintih Rey. Kembali sebuah dorongan belakang kepalaku ke depan, dan Rey menyorongkan penisnya pula. ”Mama... ssssshhhhhh...” kembali cairan putih sedikit terasa asin dan getir itu terpaksa kureguk.


Luar biasa, pengalaman pertama oral sex terpaksa dua kali menelan sperma dari dua penis berbeda. Rey mencabut batang penisnya dari mulutku, lelehan sperma jatuh di daguku. Kembali ritual memakaikan pakaian dilakukan Rey.

Beberapa menit setelah ia meninggalkan kamar, aku terbangun. Wajahku di cermin tak karuan, kali ini bukan wanita terhormat , tetapi wanita jalang yang membiarkan tubuhnya dinikmati dua pria dalam semalam, bahkan mengalami orgasme.Oh... apa yang kulakukan? dalam hati aku berkata, sambil menutup wajah.


Aku mulai terisak menyesali yang terjadi. Namun kemudian bangkit menuju kamar mandi, badanku terasa linu-linu semua. Lantas buang air kecil... sial, si Rey tak memakaikan kembali celana dalamku.


Menuju kamar dengan tertatih, kuminum segelas air untuk membersihkan kerongkonganku dari cairan lendir produk lelaki yang kutelan tadi. Malam itu aku tak bisa tidur hingga menjelang fajar, pikiranku berkecamuk hebat di dalam kamarku yang kini sangat beraroma sex. What next, pikirku. Haruskah kuhentikan juga sekarang? Namun badan yang letih akhirnya membuatku terlelap juga.


***


Aku bangun kesiangan, bik Inah mengetuk kamar membangunkanku. Aku bangun dengan malas, memungut celana dalam di lantai kamar dan meletakkanya di keranjang pakaian kotor.


“Iya, bik.” aku menjawab seraya membuka pintu. ”Si Rey kemana?” tanyaku.


“Mas Rey udah keluar, bu, sama temennya tadi.” jawab bik Inah sambil membawa keluar keranjang pakaian kotor itu.


Bi inah menuju kamar Rey... ternyata tak dikunci. Kesempatan, pikirku. Aku segera masuk, mencari-cari laptop si Rey. Ketemu. Kubuka, lalu kusambungkan ke internet, Perumahan kami menyediakan layanan wi fi broadband, tentunya tidak gratis, masuk iuran bulanan. Kubuka browser, lalu menelusuri browsing history... kutemukan sebuah web yang sama dengan yang kemarin kubuka, sialnya harus login dulu dan aku tak tahu paswordnya.


Dengan kecewa kubuka file-file yang ada di laptop, kupakai menu search kode file gambar... dan jleb! serasa menusuk jantungku. Kulihat gambar-gambar tubuhku berbagai posisi, berkacamata jongkok bersender di ranjang, wajah belumuran sperma sampai yang terakhir tadi malam dengan pantat terganjal dan kaki membuka lebar menyebabkan vaginaku yang merekah.


Wajahku memerah menyaksikan foto Yudi yang meremas-remas payudaraku, mengorek liang vaginaku dan kemudian memasukkan kemaluannya ke mulutku, agak berdesir melihat besarnya ukuran penis Yudi, membayangkan jika penis itu memasuki liang senggamaku.


Namun bukan hanya foto-fotoku saja yang terlihat. Ada ratusan foto-foto wanita seusiaku dalam keadaan sama, tertidur. Kesamaan lainnya, semua masih sangat menarik baik wajah maupun tubuhnya. Dan aku terkejut mendapati beberapa foto di mana ada Rey di situ. Dengan aksi seperti yang dilakukannya padaku, meremas-remas payudara, menggali liang vagina, memasukan penisnya ke dalam mulut... dan aku terbelalak, melihat Rey di banyak foto terlihat benar-benar memasukan penisnya ke liang vagina beberapa wanita setengah baya cantik menarik Aku gemetar menyaksikan hal itu, anakku tak perjaka lagi, pikirku.


Apa yang kau lakukan, nak? Terlibat dalam sindikat apakah dia? Pikirku.


Setelah kututup kamar Rey, aku bergegas mandi, membuka seluruh pakaianku, membersihkan semua tubuh dari siraman noda tadi malam.


***


Sore itu seperti biasa, aku duduk di ruang tengah, majalah, laptop, TV tak membuatku mampu mengusir rasa galau di hati. Apakah terus aku biarkan saja petualangan Rey atau kuhentikan sekarang? Apalagi Rey mulai melibatkan orang lain dalam aksinya, kendati... orang itu memberiku kepuasan setelah bertahun-tahun tak pernah mengalaminya.


Deru mobil Rey menghentikan lamunanku, namun degupan jantungku mulai terpacu, apakah aku mampu menatap wajah Yudi, teman Rey tersebut? Namun aku agak heran, hanya Rey sendiri yang masuk.


”Kemana temanmu, Rey?” tanyaku.


”Emm, dia liburan ke bogor, ma. Emang kenapa?” balas Rey.


”Ah, nggak pa-pa, mama cuma tanya aja kok.” jawabku sedikit gugup.


Rey hanya nyengir dan berlalu ke kamarnya setelah mengecup pipiku. Hmm... dia pasti akan memberiku sesuatu lagi neh, entah teh, buah, atau makanan kecil yang kuyakini diberi semacam obat tidur. Malam itu, tak satupun yang disajikan Rey aku telan. Lalu, tanpa menunggu larut, aku masuk ke kamar tidurku dan menguncinya. Rey pasti kecewa malam ini, pikirku, tersenyum atas kemenangan kecilku. Dengan tak sabar kunantikan apa usaha Rey untuk kembali mencabuli ibu kandungnya malam ini. Pikiranku kembali mengingat detik demi detik, detail demi detail peristiwa tadi malam.

Rasa malu kembali menderaku, diikuti rasa tersanjung betapa tubuhku di usia 45 masih mampu membangkitkan hormon pria-pria muda. Aku kemudian berdiri di depan cermin, menanggalkan semua pakaian hingga aku berdiri bugil. Memutar-mutar badan, menyentuh payudaraku yang masih montok berisi, mengelus-elus pinggulku yang masih membulat sexy kontras dengan lingkar pinggang yang masih singset, kemudian menyentuh sudut v diantara dua paha. Mengelus-elus lipatan belahan vaginaku yang kurasakan... basah.


Cukup lama kumainkan jari-jemariku di situ hingga kurasakan syaraf-syaraf sekitarnya mengirimkan sinyal-sinyal rasa nikmat, berefek pada semakin memburunya nafas dan memerahnya wajahku. Tubuh sensual ini telah lama disia-siakan, sudah sepatutnya aku mereguk rasa nikmat dari seorang lelaki.


Jglek! gagang pintu mencoba dibuka seseorang. Aku terkejut dan menghentikan lamunan dan kegiatan jemariku pada organ paling intim milikku. Rey... pikirku. Sempat beberapa lama aku tertegun, lalu kuputuskan kembali ke ranjang. Mencoba tidur dalam keadaan telanjang.

***


Tiga hari Rey tak mampu menggarap diriku. Tiga hari itu pula aku belum mengambil suatu sikap tegas terhadap Rey. Sampai kemudian suamiku menelpon, mengatakan bahwa seminggu lagi akan pulang. Membuatku galau, antara merasa berdosa, takut, sekaligus sedikit lega. Hati kecilku menguatkan suatu dorongan untuk aku segera bicara pada Rey.


Malam itu, setelah kembali usahanya gagal membuka kamarku, aku keluar menuju kamar Rey. Kuketuk pintu kamarnya, Rey membuka pintu dan mempersilahkan aku masuk. Wajahnya sedikit gugup dan ia hanya bertelanjang dada dengan celana pendeknya. Laptopnya diputar sehingga monitornya membelakangiku.


“Ada apa, ma?” tanya Rey kikuk.


”Ngga ada apa-apa, mama cuma ngasih tahu, ayahmu minggu depan pulang.” jawabku.


”Mmm… baguslah.” jawab Rey dengan raut wajah kecewa.


”Ada apa dengan laptopmu, Rey?” tanyaku.


Rey sontak memucat menjawab dengan terbata-bata. ”A-anu, ma… gak pa-pa kok, cuma twiteran aja… ehh…”


“Mama kira kamu lihat situs porno, Rey. Gak usah malu gitu, mama paham kok.” jawabku memancing.


“Ee... anu... mama tahu aja, heh...” jawab Rey dengan senyum dipaksakan.


“Situs yang kamu bisa upload foto telanjang mamamu kan? Kamu kok tega, Rey?” tanyaku dengan suara meninggi.


Rey semakin pucat dan gugup, ”Nnngg… anu, ma... mama kok tahu? Rey ngaku salah, ma... Rey...” 


“Rey, coba kamu ceritakan semuanya dengan jujur... atau mama laporkan kepada papa,” ujarku dengan muka tegang dan percaya diri. Dan mengalirlah cerita itu, setiap bagian membuatku terhenyak, terkejut bercampur marah.

Rey ikut perkumpulan rahasia para lelaki muda yang menyukai wanita yang lebih tua secara tak sengaja melalui internet. Dan yang aneh... wanita-wanita tersebut adalah ibu kandung mereka masing-masing, mulanya hanya ajang curhat.Ya... sedikit banyak aku belajar bahwa pada satu masa perkembangan emosi, seorang anak lelaki dapat jatuh cinta dengan ibunya, sesuatu yang disebut oedipus complex. Walau tak semua mengalaminya.


Lantas dari ajang curhat terus berkembang menjadi ajang tukar menukar pengalaman mencabuli ibunya masing-masing yang tentunya dilakukan dalam keadaan si ibu tidak sadar, dilanjutkan tukar menukar foto. Terus meningkat menjadi ajang pertukaran mencicipi tubuh ibu kandung masing-masing. Dan apa yang kualami dengan Yudi adalah contohnya. Tetapi mereka juga mempunyai kode etik tertentu yang mereka patuhi, misalnya pertukaran itu harus seimbang, oral dengan oral, peting dengan peting, dan coitus langsung juga demikian.


Rey mengaku hanya menggarap ibunya Yudi dengan cara oral saja seperti yang dilakukan Yudi kepadaku. Kuyakini wajahku memerah dengan amarah, namun yang membuatku bergidik adalah pengakuan Rey bahwa ia benar-benar telah menyetubuhi ibu kandung teman-temannya sebanyak... 6 orang! Itu artinya aku harus menerima untuk juga disetubuhi 6 orang pemuda. Belum lagi soal Rey menjelaskan bagaimana ia memberiku obat tidur, mulai dari teh hangat, jus hingga... air minum di kamarku!!


“Kurang ajar kamu, Rey... mama gak akan menuruti kemauan 6 orang itu.” ujarku penuh emosi.


“Tapi, ma...” kata Rey.


”Gak ada tapi-tapian, mama masih tega sama kamu untuk gak ngelapor ke Polisi...” jawabku ketus.


Rey memutar laptopnya, makin mendidih emosiku menyaksikan fotoku dioral paksa oleh Yudi saat itu. “Jika mama menolak kemauan mereka, atau melapor ke polisi... mereka akan menyebarkan foto ini di dunia maya, dan mereka siap pasang badan sekalipun dipenjara,” jawab Rey lesu.


Tubuhku merinding dan aku menelan ludah mendengar pernyataan Rey terakhir. Seketika lututku menjadi lemas. Ya, tentu saja aku tak bisa membayangkan apa kata dunia jika foto-fotoku tersebar? Penjara bagi mereka tak akan membuat aib yang akan kupikul seumur hidup tertutupi jika hal itu sampai terjadi. Dan tak terasa air mataku berlinang.


”Oh... Rey, apa yang kamu lakukan pada mama?” ujarku terisak.


”Ma... maafkan Rey, ma. Rey khilaf, Rey salah. Tapi bagaimana selanjutnya, ma?” ujar Rey.


Ya... bagaimana selanjutnya? Tanpa berkata-kata lagi kutinggalkan kamar Rey. Kulanjutkan menangis di kamarku. Sampai kemudian ketika agak tenang, kupikirkan segala konsekwensi yang akan kuterima dalam setiap pilihan. Semua alternatif tak ada yang bebas resiko, hingga akhirnya kuputuskan sebuah pilihan.

Dengan langkah gontai, aku kembali ke kamar Rey. Anak itu masih duduk termenung di tepi tempat tidur sembari memegang kepalanya. ”Rey...” panggilku.


Rey menoleh. Aku duduk di sebelahnya. “Rey, mama... mama bersedia menuruti teman-temanmu dengan syarat...” kataku lalu mencoba mengatur nafas.


”Ma... jangan, ma, biar Rey coba bicara baik-baik pada mereka,” ujar Rey mencoba menjadi pahlawan dari kehancuran yang dia timbulkan.


“Ini keputusan mama, Rey. Mama gak yakin mereka akan terima, kamu telah menyetubuhi ibu-ibu mereka.” ujarku. “Rey, ketika itu terjadi, mama gak ingin dalam keadaan sadar, maka tolong mama diberi obat tidur yang cukup, tapi bukan narkoba. Kedua, kamu gak boleh menyetubuhi mama, kamu gak pantes berbuat seperti itu pada mama, agama apapun dan norma masyarakat paling primitif pun menolak hal itu. Ketiga, setelah ini berakhir, mama ingin kamu keluar dalam kumpulan brengsek ini, masa depanmu masih panjang, Rey, jangan kamu sia-siakan usaha papa dan mama membesarkan dan membiayai kuliah kamu. Keempat... kamu simpan rahasia ini sekuat-kuatnya, jangan sampai papamu tahu. Kamu sanggup?” tanyaku.


Rey mengangguk lemah, ”Maafkan Rey, ma. Rey telah membawa mama ke dalam masalah ini. Semua syarat Rey terima, ma, kecuali mungkin yang agak berat yang ketiga, ma. Rey gak serta merta bisa dengan mudah meninggalkan sindikat tersebut, mereka punya kartu truf...” jawab Rey.


”Ya, mama paham... tapi bukankah kalian punya kode etik dalam hal pertukaran mama masing-masing? Maka setelah ini, kamu jangan coba-coba menggauli mama teman-teman kamu lagi, dan hapus foto-foto mama di laptopmu, bisa nggak?” jawabku.


“Mmm... bisa, ma.“ jawab Rey sambil menarik nafas. Kami lalu terdiam lama.

“Sejak kapan kamu tertarik secara seksual terhadap mama?” tanyaku memecah keheningan.


“Sejak Rey masih mandi sama mama sampe kelas 3 SD.” jawab Rey, membuatku sedikit tersenyum. Aku tak menduga, bagaimana mungkin anak usia 8 tahun masih menyimpan memori itu hingga usianya yang ke 21? Suasana kemudian mencair ketika kami bercerita nostalgia masa lalu.


”Rey... mama mau melihat foto-foto mama di laptopmu.” ujarku.


”Ja-jangan, ma.”


”Bawa sini!!!” ujarku memotong.


Aku kemudian menyaksikan semua foto-foto tubuhku dalam keadaan telanjang dengan fragmen sedemikian rupa bak artis porno, aliran darah terasa mengalir ke wajahku, Rey sendiri memalingkan wajahnya dari laptop dan menghindari pandangan mataku.


“Mama hapus semua, Rey, walau mama tahu yang kamu upload di website itu mungkin tak bisa dihapus.” kataku. Rey tak bisa berkata apa-apa, wajahnya masih tampak lesu dan menyesal.


“Kamu masih ingin lihat tubuh telanjang mama, Rey?” tanyaku yang juga membuat aku bingung kenapa muncul pertanyaan seperti itu? Rey menggeleng pelan.


Dan entah mengapa, aku bangkit berdiri... menarik ujung dasterku ke atas, terus sehingga kerah lehernya lewat di atas kepala. Mata Rey membelalak, antara terkejut dan bingung sekaligus berahi. Kini aku berhadapan dengan anakku hanya dengan bh dan celana dalam. Tanganku mengangkat mangkuk beha ke atas, meloloskan sepasang payudara montok dibelakangnya, lalu memutar bh tersebut untuk melepas pengaitnya. Rey melotot dan menelan ludah, nafasnya mendengus. Aku merunduk, melepaskan celana dalam melewati satu kaki dan membiarkan lubang satunya masih melingkari mata kaki kananku. Jantungku berdegup kencang.


“Bagaimana, Rey?” tanyaku lirih.


”Mmm... mama... mama sungguh cantik dan sexy sekali.” jawab Rey, mulutnya setengah membuka.Tangannya tanpak mencoba menutupi pangkal pahanya.


“Sekarang buka celana kamu, Rey.” perintahku.


“Tapi Rey kan malu, ma.” jawab Rey.


”Apa? Malu? Padahal kamu sudah masukin penis kamu ke mulut mama dan kamu gosok-gosokan ke pantat mama, sekarang kamu bilang malu? Cepat buka!” ujarku sedikit galak.


Rey bangkit berdiri dengan kikuk, lalu mulai menurunkan celana pendeknya yang dibaliknya ia tidak menggunakan sempak. Kusaksikan batang kemaluannya berdiri tegak mengacung ke atas, cukup besar bahkan lebih besar dibanding punya ayahnya, membuat nafasku memburu, padahal aku hanya berniat memberikan sedikit pelajaran.


”Hhm... anak mama sekarang sudah besar dan dewasa.” ujarku seraya mendekatinya.


Tangan Rey bergerak hendak menangkap payudaraku, tapi kutepis...”Eiitt, jangan kurang ajar kamu.” ujarku. Aku semakin mendekat, hingga puting payudaraku menyentuh dada Rey dan kepala penisnya menyentuh perutku sebelah bawah yang sedikit membuncit. Tinggiku memang sedikit sama dengan Rey. Rey sampai meringis.


”Oohh... Rey, anak mama.” ujarku sambil memeluknya, payudaraku tertekan rapat di dada Rey.


”Mama...” Rey memelukku erat. Sulit kuduga sebelumnya, berpelukan dalam keadaan telanjang dengan anak kandungku sendiri di usianya yang kini dewasa, menciptakan suasana sensual tersendiri. Vaginaku pun mulai memproduksi lendir.


Kuciumi wajah Rey, ia balas menciumku, bahkan berusaha melumat bibirku namun kucegah, Rey tak berani lagi berbuat lebih jauh sekarang. Tanpa sadar tanganku kini menggapai penis Rey, mengelus-elus dan menggenggamnya ringan. Rey mundur sejengkal menahan nafas menatap ke bawah.


“Mama...” ujarnya. Tanpa dikomando aku kini mengonani anak kandungku. Tangan Rey memegang tanganku.


”Kamu boleh pegang susu mama, Rey.” ujarku dengan sedikit heran kenapa bisa keluar kata-kata itu?


Dengan bernafsu Rey segera meremas-remas payudaraku, membuat aku mulai gelagapan menahan nafsu. Irama tanganku mengocok penis Rey makin cepat, cairan lendir yang keluar dari lubang penisnya kini membusa. Biji pelirnya yang kupegang pelan memukul-mukul ringan telapak tanganku. Dan semenit kemudian... crrrt... crrrrt... crrrt... crrrt... cairan putih kental menyembur hinggap di payudaraku, perut dan melumuri tanganku yang terus mengocok penis keras Rey ibarat memerah susu. Sampai kurasakan lagi tak ada cairan sperma lagi yang keluar.

Kuseka tangan berlumur air mani itu ke dada dan perut Rey, mengecup pipinya, lalu memunguti pakaianku untuk kemudian keluar kamar... dalam keadaan telanjang berjalan menuju kamarku. Kukunci pintu kamar, berjalan ke depan cermin, menyaksikan tubuh bugilku dilumuri sperma anak kandungku sendiri. Mengalir dari dada ke perut hingga bersarang di tumpukan rambut di sekitar vaginaku. Aku mulai menyentuh vaginaku, mengelus-elus klentitnya, belahannya, sampai kemudian jari tengahku memasuki diriku sendiri. Yah... untuk pertama kalinya aku bermasturbasi. Nafasku memburu, mataku tampak sayu, lalu...


”Eehhhhhhhh... ehhhhhh...” mulutku meracau keras hingga terpaksa kututup dengan telapak tanganku ketika denyutan demi denyutan orgasme datang berombak di dalam liang senggamaku... aku orgasme. Aku rebah di atas ranjang, berbaring lemas mencoba mengatur nafas, sampai akhirnya aku tertidur tanpa sempat membersihkan diri dan berpakaian hingga keesokan harinya.

***


Setelah bangun pagi, aku berangkat meninjau usaha milikku hingga sore hari. Sekembalinya ke rumah, baru beberapa menit beristirahat di ruang tengah dan belum sempat mengganti pakaian kerjaku, Rey tiba. Kali ini dengan dua orang rekannya.


“Bram. Anton.” begitu mereka memperkenalkan diri, keduanya cukup tampan serta atletis, hanya saja Anton paling pendek diantara yang lain.


Dengggg! Tiba-tiba keringat dingin keluar dari punggungku, apakah mereka diantara rekan-rekan Rey yang ibunya telah digarap Rey dan kini menuntut balas? Tatapan mereka berdua kepadaku memang agak lain walau tetap bersikap sopan.


Rey lalu membawa mereka ke atas untuk kemudian kembali turun menemuiku, belum sempat ia mengatakan sesuatu, aku langsung menyebut namanya, ”Rey?” dan ia mengangguk lesu menandakan bahwa firasatku benar.


Aku tertegun diam, lemas, tertekan namun di sisi lain seperti menantikan sesuatu yang antara diharapkan atau tidak. Rey berjalan pelan ke arahku lalu duduk disampingku. Lama kami terdiam, sampai akhirnya aku berkata setengah gemetar, ”Baiklah... kamu masih ingat pesan mama kan? Buatkan mama teh lalu antar ke kamar mama, mama mau mandi dulu.” ujarku seraya beranjak ke atas.

Di dalam kamar, kembali perang Baratayudha terjadi dalam benakku... to be or not to be. Sambil melepas satu persatu pakaianku untuk kemudian mandi. Aku masih berbalut handuk usai mandi dan melihat segelas besar teh hangat di meja samping tempat tidurku. Setelah mengenakan gaun tidur yang modelnya biasa saja, kudekati meja tersebut, lagi-lagi pertentangan batin menderaku, diminum atau tidak. Membuatku akhirnya menangis terisak, cukup sudah siksaan ini, batinku.


Baru setelah agak tenang, kuambil gelas itu, tanganku gemetaran memegangya. Isi gelas itulah yang akan menentukan siapa diriku malam ini, masih pantaskah disebut wanita terhormat? Bibirku bergetar ketika tepi gelas semakin mendekat, dan seteguk teh aku minum, menyusul 2-3 teguk lagi, lagi, lagi sampai akhirnya isi gelas itu habis berpindah ke dalam perutku. Aku menantikan reaksinya dengan tegang, sampai akhirnya kelopak mata ini makin terasa berat.

Namun, kembali antara sadar dan tidak, kilatan demi kilatan cahaya menyilaukan mataku. Dengan masih sangat berat kubuka sedikit mataku, pandanganku sangat kabur dan kepalaku serasa masih melayang. Tetapi aku merasakan sesuatu menindihku, dan sesuatu memasuki selangkanganku, keras, basah dan licin.


Pandanganku bertahap semakin pulih... dan tak menunggu lama jantungku segera berdegup, samar-samar kukenali wajah Bram di atas wajahku, tubuhnya tengah berkelojotan di atas tubuhku yang kuyakini dalam keadaan telanjang. Bram tengah menyetubuhiku!!!


Mataku kembali kupejamkan dan mencoba mengatur nafas. Suara Bram melenguh dan nafasnya yang memburu jelas terdengar di telingaku, hembusan panas nafasnya kurasakan di pipiku. Tangannya meremas-remas payudaraku dengan kasar, lalu tiba-tiba wajahnya melekat di ketiakku yang baru kusadari tanganku terentang ke atas.


Suara kecipakan yang timbul dari selangkanganku membuatku malu, bahwa aku telah basah... dan tanpa sadar mulai menikmatinya. Kemaluannya kurasakan sangat besar menyodok kasar vaginaku. Sementara gumaman suara orang bercakap-cakap pelan diiringi kilatan-kilatan cahaya kuyakini bahwa itu Rey dan Anton tengah memotret atau menshoot diriku dan Bram.


Kurasakan Bram bangkit, namun hentakan pinggulnya menggali kenikmatan tubuhku tetap berlangsung. Lalu kurasakan dua tangan Bram memegang belakang lututku. Dan... dua kakiku kini terentang ke atas dan hinggap di bahu Bram yang masih dengan ganas memompa penisnya ke liang senggamaku. Tubuhku terguncang-guncang hebat.


Lalu satu tangan hinggap meremas-remas dan memilin-milin sebelah payudaraku. Kuyakini itu bukan tangan Bram yang masih mendekap kedua pahaku, lalu satu tangan lagi hinggap di payudaraku yang lain, aku tak bisa memperkirakan apakah kedua tangan itu milik Anton atau Rey atau milik keduanya.


Punggungku kurasakan basah oleh keringat, demikian pula sekujur tubuhku yang kini menjadi mangsa tiga orang pemuda. Tiba-tiba remasan di kedua payudaraku berhenti, namun kini sesuatu bergerak di atas dadaku, lalu sesuatu menyumbat hidungku... jari-jemari seseorang menjepitnya hingga aku sukar benafas lalu membuka mulut, namun seketika itu pula sebuah benda mendesak masuk ke dalam rongga mulutku, yang dari aroma dan tekstur berbulu yang menyentuh bibir dan hidungku adalah... penis seorang pria, yang kini setengah menjambak rambutku, mendesak-desakan batang penisnya ke mulutku. Membuatku terbatuk-batuk dan berlinangan air mata.


Kembali aku dipaksa oral sex, sementara di bagian bawah, tanpa ampun vaginaku menerima pula tusukan demi tusukan benda keras panjang. Kini lengkaplah sudah runtuhnya harga diriku, dari wanita terhormat dan seorang ibu, kemudian bak pelacur harus melayani dua orang pria sekaligus. Dan kedua pria itu sama kasarnya. Sementara kilatan demi kilatan blitz kamera terus berlangsung.


Dan aku hanya menerima pasrah diriku dieksploitasi menjadi objek pelampiasan nafsu, karena... pelan tapi pasti suatu perasaan nikmat mulai mengalir di setiap pembuluh darahku, mulai dari selangkangan hingga ke sekujur tubuh, sementara perlahan pula siksaan kecil yang mendera mulutku mulai berkurang ketika aku mulai bisa mengikuti iramanya, menghisap ketika masuk dan melepas ketika ditarik keluar.


Lalu rongga basah tiba-tiba menghisap puting payudaraku... Rey, anakku sendiri kembali mencabuli tubuh ibu kandungnya sendiri, diriku. Membuatku tak mampu lagi mencegah keluarnya desahan dan rintihan dari mulutku, walau masih mampu berpura-pura dalam keadaan tertidur.


Tiba-tiba, batangan penis dalam kunyahanku dicabut, hampir bersamaan dengan dicabutnya batang kemaluan keras dari vaginaku, mengeluarkan suara ’plop’ ketika udara yang masuk akibat aktivitas persetubuhan keluar. Aku tak tahu apa yang terjadi sampai akhirnya kembali mulutku dipaksa membuka untuk melahap batang penis yang... berbau aroma vaginaku sendiri!


Ternyata mereka saling bertukar posisi, hampir bersamaan kembali benda keras mendesak liang senggamaku dan mulai gerakan memompa. Rey juga terus menghisap puting payudaraku dan meremas-remasnya bergantian. Tubuhku kembali berguncang-guncang hebat diiringi suara musik bergeseknya dua organ kelamin yang diselubungi lendir.


Aku tak bisa menebak mana Bram mana Anton kecuali mendengar desahan mereka masing-masing, yang menceracau cukup kurang ajar, ”Oouhh... Rey, mamamu masih sempit... sshhhh!”


”Mmmhhh... tante... terus sedot, tante... uuuhh!”


”Enak gak, tante... sssh!” sebuah jemari mulai mengutil klitorisku, membuatku semakin terbang tinggi di alam kenikmatan. Lalu aku hanya bisa mengejang ketika denyutan-denyutan dahsyat orgasmeku tiba, membuatku tak sadar, nyaris menggigit batang penis yang menggali kenikmatan dari mulutku, yang efeknya adalah semburan-semburan lahar panas menyiram kerongkonganku dimana aku tak punya opsi lain selain menelannya habis.


Dan pemiliknya mengeluarkan lenguhan keras, ”Oohhhhs... telan, tante, telannnn... sshhh...” sambil menjambak keras rambutku. Dia terus mendesak-desakan batang kemaluannya sampai semakin menyusut dan lembek, lalu meninggalkanku dengan nafas terengah-engah.


”Jizzz... Rey, mamamu mantap.” ujarnya dan terdengar suara kursi digeser, agaknya ia kemudian duduk.


Tetapi tusukan-tusukan batangan keras masih mendera vaginaku, kurasakan kemudian pergelangan kakiku dipegang kemudian diangkat tinggi-tinggi lalu disandarkan ke dada yang penuh keringat sambil didekap. Gerakannya menyetubuhi diriku makin cepat, ganas dan kasar sampai akhirnya satu tusukkan terakhir dihujamkan dalam-dalam ke vaginaku lalu kembali tsunami kecil cairan sperma kental menyiram mulut rahimku... dan tak lama ia pun mencabut batang penisnya, mengembalikan kakiku kini setengah tertekuk membuka lebar.


Kembali pujian terhadap diriku dilontarkannya pada Rey yang masih terus menetek ibunya. ”Dasar anak mami lu, Rey, nyusu terus.” ujar rekan Rey sambil tertawa kecil. Kembali kilatan lampu blitz dan suara dengingan kamera digital kudengar, dari arah depan dimana vaginaku terbuka lebar, kali ini mungkin mereka memfoto deposit sperma yang mengalir keluar dari vaginaku.


Rey bangkit dan berkata, ”Hey... udah-udah, ayo keluar.” ujarnya mengusir rekan-rekannya keluar.


“Ntar, Rey, ini pemandangan langka neh...” ujar rekannya yang masih sibuk dengan kameranya. Namun akhirnya pergi juga setelah masing-masing mereka mengecup bibirku, dan pintu ditutup Rey dari dalam.

Sebuah usapan handuk basah terasa di permukaan vaginaku, Rey tengah membersihkannya, ia terus mengusap sampai yakin bersih, aku sendiri hanya mampu menggigit bibir menahan rasa geli. Namun berubah merinding ketika merasakan bahwa kini bukan handuk basah lagi yang mengusap-usap kewanitaanku, tapi lidah panas basah yang mengambil alih. Rey lagi, pikirku.


Memang sedari tadi hanya Rey yang belum menuntaskan hajatnya. Aku pasrah mengikuti kemauannya, selama perjanjian yang kubuat bahwa ia tak boleh menyetubuhi organ tempat dimana ia lahir masih dipenuhinya. Tubuhku sendiri lambat laun mulai bereaksi, kembali mempoduksi cairan lubrican pelicin dalam rongga vaginaku, Rey menjilat-jilat dan menghisapnya dengan rakus, menimbulkan suara seperti orang menghirup sup panas.


Puas mereguk cairan lendir ibunya, Rey beranjak ke bagian atas tubuhku, setengah terduduk meletakkan batang keras penisnya di antara payudaraku, lalu merapatkan payudaraku hingga menjepit penisnya dan mulai bergerak maju mundur.


”Mama... Mama... sshhh...” desis Rey.


Mataku membuka perlahan, Rey menghentikan aksinya sejenak karena kaget, namun karena aku tersenyum kecil, Rey kembali bersemangat. “Mama...” bisiknya lirih.


”Rey,” ujarku setengah berbisik pula. Tanganku hinggap di gunungan pantatnya, meremas-remasnya pelan.


Rey makin bersemangat bergerak maju mundur di atas dadaku, namun remasan-remasan jemariku di sekitar anus dan pangkal penisnya membuatnya mengejang dan... srrrrt... srrrt...srrrt... semburan spermanya hinggap di wajah, dahi, mata, hidung, mulut, dagu, leher dan belahan dadaku.


Rey bangkit ketika tak ada lagi tetesan sperma yang keluar dari kepala penisnya. Dia kembali mengambil handuk dan melap wajahku. Kami lama bertatapan tanpa tahu berbuat apa. Aku bangkit bersandar di kepala ranjang.


“Sudah dua orang, Rey, berarti masih punya hutang empat orang lagi?” tanyaku.


Rey mengangguk tersipu, lalu bertanya, ”Sebenarnya mama tadi sadar gak sih?” tanyanya.


Aku tak tahu harus menjawab apa kecuali terdiam dan kuyakin wajahku memerah saat itu. “Mama mau ke kamar mandi, Rey, kamu mau ikut?” tanyaku mengalihkan pembicaraan.


Rey kembali mengangguk. Aku lalu bangkit berdiri berjalan ke kamar mandi, dan tanpa kusadari kembali cairan sperma mengalir keluar dari vaginaku, membuat aliran sungai di paha terus hingga betis. Rey mengikutiku di belakang dan hanya tertegun melihatku berjongkok kemudian buang air kecil. Rey akhirnya juga buang air kecil di toilet.


Kami kemudian mandi air hangat bersama malam itu, saling menyabuni, saling mengusap mengingatkanku ketika dulu memandikan Rey saat kecil dulu, sambil bercakap-cakap ringan. Namun kali ini Rey telah dewasa, menjadi seorang pemuda dengan hormon berlebih sesuai usianya, maka tak menunggu waktu lama penis Rey kembali menegang, dan kembali kutuntaskan hasratnya dengan kocokan tanganku di bawah siraman shower.


Usai saling menghanduki, kami kembali ke ranjang yang kudapati masih santer tercium aroma sex di situ. Tidur bersama anakku di bawah satu selimut dalam keadaan telanjang. Masih ada sisa hari untuk menghadapi empat orang pemuda yang tengah berahi lagi sebelum suamiku datang. Kelelahan membuatku segera terlelap.


***


Silau matahari pagi yang menembus jendela kamar membangunkanku, agak sedikit kaget mendapati aku tak sendirian, baru setelah kesadaranku pulih mulai kuingat peristiwa tadi malam. Rey masih mendengkur halus, tangannya masih hinggap di satu payudaraku, dan kurasakan batang penisnya mengeras menempel di pahaku. Aku tertegun sejenak, sampai akhirnya bangkit dan menyingkirkan selimut, Rey merubah posisi telentang membuat kemaluan kerasnya menjulang ke atas. Here I am, seorang ibu... terbaring telanjang bulat bersama anak lelakinya.


Pikiranku menerawang pada peristiwa penodaanku tadi malam, tentang orgasme hebat yang kurasakan setelah bertahun-tahun tak pernah kualami, tentang bagaimana tubuhku masih sangat menarik bagi laki-laki bahkan yang seumuran anakku, kenapa tak kau nikmati saja? Batinku mulai berdebat. Tanpa kusadari pikiran-pikiran itu menimbulkan rasa geli dalam rongga vaginaku yang segera memproduksi cairan, ditambah lagi menatap batang penis menjulang tegang milik anakku sendiri, membuat tubuhku kembali terbakar nafsu.


Ingin rasanya kukangkangi langsung penis Rey, namun bisikan batin mencegahnya. Entah bagaimana aku bangkit, duduk di antara dua kaki Rey, dan... hap! batang kemaluan Rey dalam hisapan mulutku, sementara kedua tanganku mengocok pelan pangkal penis dan mengusap biji zakarnya.


Rey tersadar, sambil mengusap-usap mata. ”Mama?” itulah satu kata yang diucapkannya sebelum berganti menjadi desisan diantara nafasnya yang tersendat-sendat. Sementara aku sibuk dengan kuluman-kuluman liar, menghisap, mencengkeram batang penis anak kandungku sambil sebelah tangan mengusap-usap vaginaku sendiri.


Rey mengeramasi rambutku, mulutnya tak berhenti mendesis sampai akhirnya ia menekan kepalaku ke bawah dan mendorong pantatnya ke atas lalu kembali semburan sperma panas menyiram kerongkonganku, kali ini milik anak kandungku sendiri, yang segera mengirimkan sinyal-sinyal kenikmatan pada selangkanganku dan...


“Oohh... glek... glek... ohh...” aku menggerung meluapkan perasaan puas saat orgasme melanda namun juga harus menelan cairan mani Rey. Seorang ibu berada di titik nadir.


Usai mereguk orgasme masing-masing, kami kembali mandi bersama untuk bersiap beraktivitas pagi ini. Rekan-rekan Rey pamit pergi, kali ini pandangan mereka sangat genit, namun masih menjaga kesopanan.


***


Sore menjelang matahari terbenam, aku berada di ruang tengah menyaksikan tayangan televisi, tetapi tatapanku kosong tak memperhatikannya, pikiranku menerawang pada peristiwa seminggu terakhir yang merubah jalan hidupku. Aku kini menjadi budak sex pemuda-pemuda teman anakku, meskipun dengan rasa malu kuakui kalau aku juga menikmatinya, mungkin ini yang dimaksud bahwa kehidupan dimulai saat usia 40.


Namun membayangkan bahwa mereka mendokumentasikan semua membuat bulu kudukku berdiri, seketika muncul rasa takut teramat sangat, kini tubuhku dalam keadaan telanjang dan tengah dieksploitasi secara sexual menjadi konsumsi publik, walau sebatas pada website kelompok penikmat ibu kandung tersebut. Dan ketakutanku juga makin bertambah manakala mengingat bahwa aku masih usia subur... namun pernah menerima sperma potensial lelaki lain selain suamiku sendiri, bagaimana jika aku hamil?


Selintas perasaan menyesal menyeruak dalam batinku. Namun nasi telah menjadi bubur, di sisi lain pengalaman luar biasa penuh kenikmatan digarap lelaki yang jauh lebih muda dariku sulit kuenyahkan. Sisi liar diriku mulai meracuni pikiranku, bahwa aku berhak menikmati kehidupan setelah sekian tahun hidup dalam kebosanan, aku berhak dan patut bangga bahwa tubuhku ini masih menjadi magnet yang kuat menarik hati dan berahi para lelaki. Biarlah aku tanggung segala resikonya, dan aku mulai menyusun rencana-rencana jika suatu saat aib ini terbongkar.


Lamunanku pecah ketika suara mobil Rey memasuki halaman. Jantungku berdegup kencang manakala sekilas kulihat ada dua orang lagi bersama Rey tengah bersenda gurau ringan sambil berjalan memasuki rumah. Segera mereka memperkenalkan diri, masing-masing Andi dan Jodi. Mereka pemuda necis yang cukup tampan, dan seperti rekan Rey sebelumnya, mereka menatap diriku dalam dan tajam seolah-olah hendak menelanjangiku.


Setelah basa-basi sebentar mereka menuju kamar Rey. Agak sedikit berbeda, malam itu kami keluar makan malam bersama di sebuah restoran. Suasana malam itu cukup akrab dan mereka cukup sopan walau silih berganti mereka memandangiku terutama sekitar wajah dan dada yang memang pakaianku saat itu cukup ketat dan menampakan belahan dada.


Kami kemudian pulang dan sepanjang perjalanan pikiranku mulai dipenuhi bayang-bayang bahwa malam ini aku akan mengalami ritual yang sama, kali ini dengan tiga orang. Obrolan mereka tak begitu kuperhatikan. Sampai kemudian kami sampai di rumah.

Sesaat setelah memasuki kamar, aku berdiri bersandar di balik pintu. Nyaris tak mampu menopang tubuhku yang gemetar dan gelisah antara takut dan... berahi. Perlahan aku berganti pakaian, kali ini aku berencana memakai gaun tidur yang cukup mengundang, berwarna pink dengan panjang sebatas pangkal paha dan belahan dada dengan bordiran berlubang. Namun tetap memakai beha dan celana dalam berwarna nyaris sama. Hmm... sisi liarku mulai menguasai diriku lagi.


Dengan tegang aku menunggu di tempat tidur, mencoba meminum obat tidur dari Rey, aku terlalu malu mendapati diriku ditelanjangi dan disetubuhi dalam keadaan sadar, tetapi entah mengapa aku dapat tersadar di tengah aksi anak-anak muda ini? Mungkin karena rajin aerobik dan rajin meminum herbal membuat daya tahan tubuhku mampu mengurangi dampak obat tidur tersebut. Mata ini belum terkantuk juga, sampai akhirnya kelopak mataku mulai memberat.


Namun, belum lagi aku terlelap... terdengar suara pintu kamarku terbuka. Membuat rasa kantukku hilang, berganti ketegangan. Derap langkah kaki terdengar pelan, lalu suara tiga orang lelaki bercakap-cakap pelan setengah berbisik. Kurasakan spring bed ditimpa beban berat di kanan kiri tubuhku. Lalu kecupan dua bibir dari dua pria berbeda hinggap di pipiku, kelopak mata, telinga dan... bibirku.


Dalam keadaan tegang, aku sedikit merasa tersanjung, dan tentu saja kecupan di sekitar wajahku itu kemudian diikuti belaian-belaian tangan di lengan, dada dan perutku. Terus menurun ke bawah sampai melewati ujung gaun tidurku, mengusap-usap paha dan... daerah segitiga di antara dua pangkal paha yang masih berbungkus celana dalamku.


Tubuhku serasa menggigil dan susah mengatur nafas untuk berpura-pura tenang dalam tidur. Kini tangan-tangan mereka mulai masuk ke balik kain gaun tidurku, kurasakan telapak tangan menjalari permukaan kulit perutku, sementara dengan nakal lidah salah satu mereka menari-nari di telingaku sementara yang seorang lagi mencoba mencoba menyeruak masuk rongga mulutku, kurasakan kulitku mulai merinding.


Ketika satu tangan masih mengusap-usap kulit halus sekitar perutku, maka satu tangan lagi dengan liar menyusup masuk celana dalamku, menyisir bulu-bulu jembutku yang memang cukup lebat dengan jari jemarinya. ”Wow...lebat dan selembut kapas,” bisiknya sambil terus menciumi wajahku.

Dan nafasku serasa berhenti ketika ujung jemarinya menyentil klitorisku dan mengutak-atiknya, sementara tangan yang semula menjamah perutku kini mulai merayap naik dan mencoba menyusup di balik bra yang kupakai, meremas-remasnya lembut dan memilin-milin putingnya, tanpa sadar aku merintih pelan dan membuka pahaku, membuat dua lelaki muda ini kian bersemangat. Lelaki ketiga kupastikan adalah Rey yang tengah asyik dengan kameranya merekam semua adegan cabul malam itu.


Puas mereka menjamahku, seorang dari mereka kurasakan duduk di sampingku yang kemudian diikuti pria satunya. Kurasakan pengait gaun malamku diturunkan dari pundak ke lenganku, kanan dan kiri. Lalu terus ditarik ke bawah melewati payudara dan perutku, salah seorang kemudian mengangkat pinggangku, memudahkan gaun tidurku lolos melewati pantat dan kemudian kedua kaki.


Kudengar pujian kagum mereka, ”Wow... nyokap lu emang mantap, Rey, jauh lebih sexy ketimbang nyokap gue dan nyokapnya si Jodi.” ujarnya yang kupastikan berarti dia adalah Andi.


“Yoi, nyokap lu rada gendut dikit, man.”ujar Jodi.


“Tapi lu doyan kan?” ujar Andi.


”Emang lu juga gak doyan nyokap gue? Ampe tiga kali lu garap?” jawab Jodi lagi diikuti tawa kecil mereka bertiga.


“Gue gak yakin si Rey ngomong gak pernah ngentotin nyokapnya, barang kualitas super begini masa cuma digesek doang, ya gak, Jod?”


”He-eh,munafik neh si Rey.” ujar mereka berdua.


”Sudah, gak usah banyak cingcong, udah cepetan.” ujar Rey. Agak sedikit geram mendengar percakapan mereka, bagaimana munkin mereka bisa saling tukar menukar mencicipi tubuh ibu kandung masing-masing? Namun di sisi lain timbul perasaan malu, kalau ternyata aku juga mulai menikmati permainan tabu perkumpulan aneh ini.

Sepasang tangan mengangkat punggungku, melepas kaitan BH dan meloloskannya dari dadaku, sementara sepasang tangan yang lain mengait bagian atas celana dalamku, menurunkannya dengan perlahan hingga melewati telapak kaki. Kini aku terbaring tanpa seutas benang pun diapit dua pemuda dan disaksikan anak kandungku. Kembali decakan kagum kudengar.


“Hhm... anak abg juga kalah, Jod. Selangkangannya... wuuu, kegemaran lu tuh, bulu jembut nan lebat... ssshhh!” ujar Andi.


“Rey, boleh ya? Tempo hari lu juga gituin nyokap gue kan?” tanya Jodi pada Rey yang tak kudengar jawaban dari Rey.


Entah apa maksud Jodi, pikiranku kini terfokus pada hisapan rakus dan remasan kasar pada payudaraku. Lidah seseorang menjilati seluruh gundukan payudara dan putingku seolah-olah sebuah makanan luar bisa lezat. Sesekali rasa seperti tercubit kurasakan, dia tengah membuat tanda pada payudaraku dengan hisapan tajamnya. Dan kembali rintihan tanpa kukendalikan keluar dari bibirku manakala di sebelah bawah kurasakan kedua pahaku dilebarkan dan... jilatan-jilatan rakus mengusap seluruh permukaan vaginaku, dan membuat pinggulku bergerak kanan kiri ketika lidah itu ditajamkan dan mencoba menusuk-nusuk belahan vaginaku.


Lalu sekali lagi... ”Ooohh!” aku merintih ketika sepasang ketiakku dihirup dan dijilati dengan amat liarnya. Kepalaku terlempar ke kanan ke kiri perlahan. Dan... ”Nnngghhh...” rintihanku makin tak terkendali ketika sebuah benda keras mulai menyeruak masuk organ intimku, dan mengorek-ngorek kasar di dalamnya... jari seseorang, tetapi juga masih menjilati klitorisku. Kuyakin, diriku sangat basah di bawah. Aku tak peduli apakah mereka tahu kalau aku sebenarnya dalam keadaan sadar atau tidak, yang jelas rasa nikmat ini menjalari setiap urat syaraf tubuhku.


Dan... ”Mmmmmff!” kali ini rintihanku tertahan ketika lidah seseorang menyeruak masuk memanfaatkan mulutku yang setengah terbuka dan mulai mengecap lidahku, dan tanpa mampu pula kucegah... perlahan tapi pasti lidahku meladeni pergulatan tersebut, saling mengecap, saling membelit... dan akhirnya setengah menggigitnya ketika denyutan-denyutan dahsyat melanda liang senggamaku... aku mengalami orgasme!


Sejenak si empunya lidah tertegun, namun kembali menggeliatkan lidahnya. Lama dua pemuda itu menggarap sisi atas dan bawah tubuhku, sampai kemudian yang di bawah berkata dengan suara mendengus, “Gantian, Ndi!!!”


”Okay... setelah lu lakuin ritual wajib lu sebelum ngentot nyokap orang,” ujar Andi.


Tubuhku ditinggalkan sejenak, sedikit penasaran dan takut aku mendengar kata ’Ritual’. Lalu kudengar suara sesuatu di semprotkan, mengingatkanku pada suara hair spray milikku. Kemudian kurasakan kedua pahaku semakin dilebarkan, pantatku diangkat dan sebuah bantal diganjalkan dibawahnya, aku benar-benar terekspose di hadapan tiga pemuda berahi dan mesum ini. Agak merinding ketika tak berapa lama kurasakan benda basah lembut dan halus namun harum diusapkan ke permukaan vaginaku, dan srrtt... srrrt... srrt... oh my god! rambut kemaluanku dicukur!!! Menimbulkan sensasi luar biasa dalam relung hati dan tubuhku... antara takut, geli dan erotisme.


Cukup lama sampai bulu jembutku mungkin dicukur habis sampai kemudian sehelai kain basah mengusap-usap membersihkan vaginaku. ”Oowww... mulus dan menggoda.” ujar Andi.


”Lumayan buat nambah koleksi kenang-kenangan, impas ya, Rey... Eh, belum ding, kan belum gue garap.” ujar Jodi. Berarti selama ini Rey juga berbuat kurang ajar pada ibu-ibu mereka.


Belum usai aku bertanya-tanya, kini kembali kemaluanku yang kali ini polos tanpa bulu menerima jilatan-jilatan lidah dan tusukan-tusukan jari-jari seseorang. Membuat pinggulku kembali bergerak-gerak gelisah. Tak lama kemudian kembali lagi payudaraku digarap, bahkan hisapan-hisapan kecil menimbulkan sedikit rasa perih kembali harus kuterima, kali ini lebih sering, dan... ”Owh!” aku merintih ketika benda keras besar menyeruak masuk membelah vaginaku. Aku mulai disetubuhi!


“Minggir, Jod!” ujar Andi. Jodi menyingkir, kini tubuhku milik Andi seutuhnya. 
Kurasakan badannya menindih tubuhku, ia menciumi wajah dan payudaraku sementara pinggulnya mulai bergerak maju mundur, pelan tapi pasti dengan kecepatan yang terus bertambah. Aku hanya bisa pasrah menikmati sensasi luar biasa ini.


Hembusan panas nafasnya mendera wajahku. Lenguhannya cukup ribut dan sesekali diiringi rintihan tertahan dari mulutku. Desakan-desakan batang kemaluannya dalam liang vaginaku menimbulkan suara becek yang membuat aku malu bahwa aku sangat basah pertanda menikmati pergulatan antar kelamin itu. Jilatan-jilatan lidahnya di telingaku ditambah tusukan-tusukan kejam penisnya pada lubang kemaluanku merupakan sebuah kombinasi aksi yang mendatangkan kepuasan biologis pada segenap jiwa dan ragaku.


”Nnngghhh...” aku merintih dan mengejang ketika kembali mengalami orgasme. Andi terus bergerak bagai piston seakan-akan ingin meremukan tubuhku yang kini basah oleh keringat kami berdua, namun menjelang denyutan-denyutan ringan sebelum hadirnya orgasme kembali kualami, tiba-tiba ia bangkit dan otomatis penis tegangnya meninggalkan diriku menimbulkan suara yang cukup memalukan dari udara yang terlepas keluar vaginaku.


Kurasakan diriku dibalik dan ditelungkupkan sementara dua bantal ditumpukan mengganjal perutku, aku seperti menungging... Andi akan menyetubuhiku dari belakang, suatu hal yang tak pernah kualami dalam kehidupan seksualku yang monoton bersama suami. Dan... ”Oooohh!” kembali aku merintih ketika batang penis keras itu kembali menggali kenikmatan lubang vaginaku.


Tangan Andi memegang pinggangku dan kembali suara kecipak beradunya dua kelamin terdengar. Andi dengan tenaga mudanya kian kejam tanpa ampun menusuk dalam-dalam liang vaginaku. Tubuhku terguncang-guncang hebat mengikuti irama suara derit pegas spring beda. Sampai kemudian lenguhannya makin keras... dan keras... dan...


“Uuuughhhs!” pinggangku ditarik ke belakang dan harus menerima hentakan-hentakan keras dengan interval pendek dan kemudian ditahan, lalu kurasakan semburan-semburan cairan panas mengisi rongga vaginaku yang seketika itu pula membuat kembali mengejang menikmati setiap denyut orgasmeku berikutnya.

Andi mencabut kemaluannya dan meninggalkanku yang tak berapa lama kembali benda tumpul keras menjajah rongga vaginaku. Masih belum mereda aku terbuai orgasme, kembali tubuhku terguncang-guncang hebat. Kali ini tangannya tak memegang pinggangku tapi hinggap meraup kedua payudaraku. Gerakannya sama gesit dengan Andi yang mungkin saat ini tengah turut menyaksikanku. Aku kembali merintih dan merintih walau setengah berbisik. Aku benar-benar bak pelacur murahan, namun aku menikmatinya.


Cukup lama aku digarap dari belakang sampai kemudian kembali sebuah hentakan dalam-dalam dan tertahan terjadi, diikuti sensasi rasa hangat dari semburan deras air mani lelaki yang segera kembali memacu orgasmeku. Ia baru meninggalkanku setelah kurasakan kemaluannya mengerut mengecil.


Namun siksaan belumlah usai... kali ini untuk ketiga kalinya batang penis lelaki yang bukan suamiku mereguk kenikmatan cengkeraman vaginaku. Aku tak perlu menduga-duga ini siapa lagi selain kemungkinan besar Andi yang ingin mencicipi tubuh sensualku sekali lagi, namun nyaris aku terlonjak dan berteriak ketika salah satu mereka berkomentar, ”Nah, gitu dong, Rey... jangan jaim lah. Lu kan tahu sendiri gue pernah ngentotin nyokap gue sendiri, si Jodi juga.” itu suara Andi.


Aku nyaris ingin memberontak, tetapi itu akan membuka aibku sendiri bahwa aku sebenarnya sadar dan menikmati dicabuli mereka. Kini garis pembatas ibu dan anak telah dilanggar, sulit kubayangkan kini penis anakkulah yang mengacak-acak liang tempat dia dulu dilahirkan. Aku merasa marah dan kecewa, tetapi di sisi lain mencoba mulai berkompromi dengan kenyataan, bahwa ini semua tak terlepas dari kesalahanku yang membiarkan ini terjadi, bagaimanapun garis batas itu telah kulanggar juga karena pernah memasturbasi anakku sendiri. Aku terdiam pasrah menerima hujaman-hujaman kemaluan tegang dan keras dari Rey, moodku telah hilang lenyap. Seperti Jodi, Rey juga mencengkeram payudaraku.


“Ayo, Rey... terus, mantap!” ujar rekan-rekan Rey menyemangatinya diringi suara dengingan kamera.


”Oohhh... mama... mama... shhhhh...” itulah desisan terakhir Rey sebelum ia menumpahkan spermanya dalam lubang senggama ibu kandungnya. Sampai penisnya melunak ia baru meninggalkan tubuhku.


“Hey, udah-udah, kita cabut sekarang.” ujar Rey masih terengah-engah.


”Gak ada ronde kedua neh, Rey?”


“iya neh... man, gue ngaceng lagi neh.” ujar rekan-rekan Rey.


”Gak ada, gue juga ngentotin nyokap lu-lu orang cuma sekali.” jawab Rey.


”Oh please, Rey, bisa gue atur...” ujar Andi.


“Gue kasih waktu lima menit untuk lu berdua, keluar gak keluar bukan urusan gue... buruan!” ujar Rey.


Tanpa membuang waktu, dua rekan Rey kembali menyetubuhiku dari belakang, membuat nafsuku kembali bangkit. Kembali springbed itu mengeluarkan suara berderit-derit. Karena ingin cepat-cepat orgasme, gerakannya sangat cepat... namun belum lagi usai menuntaskan hajatnya, segera digantikan paksa orang kedua yang tak kalah ganasnya membombardir vaginaku dengan rudal balistiknya.


Lelaki pertama kurasakan berada disampingku dari denyutan pegas springbed di sisi kiriku, ia melakukan masturbasi dan... crot... crot... crot... cairan kental hangat hinggap di atas punggungku Sementara di belakang, suara kecipak vaginaku kian keras seiring cepatnya gerakan keluar masuk batang penis keras milik teman Rey itu, lalu tiba-tiba berhenti namun tetap tinggal di dalam dan seiring keluhannya saat itu pula kembali liang vaginaku menerima tsunami kecil sperma kental dan panas yang menimbulkan efek berantai kembali menggeloranya puncak kenikmatan biologis tiba dalam diriku.

Mereka menciumi wajahku sebelum meninggalkanku yang masih bersandiwara seolah-olah tidak mengetahui apa yang terjadi. Setelah yakin mereka pergi, aku bangkit perlahan meninggalkan ranjang. Setengah limbung aku berusaha berdiri dan segera bergelas-gelas cairan sperma putih kental mengalir keluar dari vaginaku, menetes di lantai dan menciptakan sungai kecil mengalir di pahaku terus ke bawah.


Kutatap tubuh telanjangku di cermin, masih basah berkeringat. Payudaraku memerah di sana sini dari cupangan nakal Andi dan Jodi. Kuputar tubuh dan segera kudapati cairan sperma mengalir pelan di punggungku. Wajahku masih tanpak memerah dari rasa puas dan lelah sekaligus, belum pernah aku mengalami orgasme beberapa kali dalam semalam kecuali di tangan anak-anak muda itu.


Aku berjalan gontai ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Dan kemudian berusaha tidur, masih dalam keadaan telanjang. Aku punya rencana untuk Rey yang telah kurang ajar menyetubuhi diriku, ibu kandungnya. Sial... dua hari lagi suamiku tiba. Dalam hati aku berfikir, ada kelegaan bahwa semua petualangan mesum ini akan berakhir, namun di sisi lain muncul juga kekecewaan bahwa aku tak akan mengalami lagi peristiwa ultra sensual sebagaimana yang terjadi malam ini. Benarkah demikian?

***


Pagi itu aku bangun kesiangan, mataku silau terpapar matahari pagi yang menembus tirai jendela. Mataku menyipit menatap bayanganku di cermin, sedikit heran melihat tubuhku yang bugil berbungkus selimut, perlahan-lahan memoriku menyusun kembali detik demi detik peristiwa tadi malam, menimbulkan perasaan hangat dari bawah perut hingga ke seluruh tubuh. Kuraba vaginaku, jejak sperma membuat bulu-bulu kemaluanku lengket. Sedikit panik melihat jejak prasasti cupangan-cupangan merah di sekitar payudaraku, mungkinkah akan hilang dalam dua hari ke depan? Hmm... akan kucari cara menghilangkannya di internet.

Setelah mandi dan berpakaian, aku turun ke bawah. Seperti biasa, tak kutemukan Rey selain Bi Inah yang tengah sibuk membersihkan rumah. Pagi ini aku seperti punya energi lebih karena semalam suntuk berulang kali mengalami kepuasan luar biasa, kuputuskan untuk pergi keluar. Dan sore menjelang senja baru kembali ke rumah.


Rey datang agak malam saat aku tengah bersantai di ruang tengah. Matanya memandangku dengan cara berbeda, dari tatapan seorang anak kepada ibunya menjadi tatapan seorang pria yang tertarik kepada lawan jenisnya.


“Rey, duduk sini, mama mau bicara.” perintahku. Rey duduk di sampingku, ”Rey, kamu sudah melanggar perjanjian, kok kamu tega menyetubuhi mama?” ujarku setengah gugup dan menangis setelah mengumpulkan segenap keberanian.


Rey memucat dan balik bertanya, ”Lho, kok mama tahu?”


“Jelas mama tahu! Karena mama gak sepenuhnya pingsan, paham? Sekarang jelasin, kenapa kamu gituin mama?” tanyaku dengan suara agak meninggi... namun di sisi lain timbul perasaan malu kalau aku telah terang-terangan mengaku sadar.


”Maafkan Rey, ma. Rey gak tahan, ma... tetapi kenapa mama gak mencegah Rey?” tanya Rey lagi.


”Bagaimana mama bisa mencegah... di hadapan teman-teman kamu?” ujarku. Jawaban bodoh, pikirku lagi.


“Berarti mama sadar dan menikmati digarap temen-temen Rey, tapi nggak dengan Rey?” tanya Rey dengan wajah penasaran.


Aku terdiam malu, lalu menjawab. ”Rey, kamu yang membawa persoalan ini pada mama, dan mama mencoba membantu menyelesaikan... tapi kamu jangan menyetubuhi mama. Itu sudah kelewatan.”


”Ma, dengan mama meladeni nafsu temen-temen itu juga sudah kelewatan, walau itu emang salah Rey. Ya sekalian aja, ma. Kenapa mama melarang Rey menikmati tubuh mama? Bukankah mama juga sudah memuaskan Rey dengan cara lain?” jawabnya sambil tangannya hinggap di atas pahaku.

Aku kehabisan kata-kata untuk membantahnya, wajahku kupalingkan darinya. Tangan Rey makin nakal, kini masuk ke balik gaun tidurku, mengusap-usap perutku, terus ke atas dan mencoba merayap di balik BH lalu mulai meremas-remas payudaraku dan memelintir putingnya. Aku tak mampu mencegah dan masih memalingkan wajah, tak ada lagi harga diri yang tersisa di hadapan anak kandungku.


Rey mulai menciumi leherku, membuat bulu kudukku berdiri. Lalu tangan Rey yang lain masuk ke balik celana panjang tipis pasangan gaun tidurku, menyelip ke balik celana dalam dan mengerumasi bulu-bulu kemaluanku sebelum akhirnya jemarinya mengusap-usap belahan vaginaku.


“Rey... cukup!” pintaku, namun Rey tak menghentikan aksinya. Aku mencoba mendorongnya untuk memulihkan sisa-sisa harga diriku, namun tentu saja tenagaku kalah.


“Aahhhh...” aku setengah berteriak ketika jemari Rey memaksa masuk liang vaginaku yang masih kering, rasanya cukup perih, namun lambat laun dinding vaginaku mulai mengeluarkan cairan pelumas.


Sebelah tangan Rey menyingkap baju tidurku ke atas dan hap... mulutnya segera menangkap puting payudaraku dan menghisapnya rakus dan kasar. Kepalaku terdongak dan mataku terpejam mencoba menghindari kenyataan, tapi perlahan namun pasti pikiranku mulai berkompromi dengan keadaan, kuputuskan membiarkan hal ini terjadi, toh aku sudah mengalami peristiwa pada zona point of no return.


Di atas, mulut Rey mengunyah pelan puting payudara, di bawah, tangannya mulai bergerak seolah-olah mencari sesuatu dalam rongga tempat ia lahir dua dekade lalu.


Puas mengeksplorasi dua bagian sensual dari tubuhku, Rey mulai melolosi pakaianku sampai tak tersisa, aku terduduk pasrah dengan wajah terpaling dan menutupi payudara dan vaginaku dengan kedua tanganku. Rey dengan terburu-buru juga mulai membuka pakaiannya satu persatu. Lalu duduk berlutut di lantai di hadapanku, menyingkirkan tanganku dari organ paling intim kewanitaanku, membuka paksa pahaku dan menarik pinggang ke arahnya hingga aku merosot setengah berbaring di sofa, lalu... kembali vaginaku mengalami sensasi hangat dan basah dari jilatan-jilatan lidah Rey. Dan aku hanya bisa menggigit jari dan terpejam menikmati ulahnya. Sebelah tangannya kini juga hinggap di gunungan payudaraku, meremas-remas dan memilin-milin.


Puas mengecap cairan vagina ibunya, Rey bangkit... matanya liar menatapku, ia mengusap-usapkan kepala jamur ungu yang keras di antara belahan basah vaginaku. ”Rey... jangan!” pintaku mencoba jalan diplomasi terakhir walau aku tahu akan sia-sia, dan Rey membalasnya dengan mendorongkan pinggulnya ke depan, sehingga perlahan tapi pasti kepala jamur berikut batangnya memasuki lubang senggamaku. Aku hanya bisa meringis pasrah.


”Ahh... mama!” desis Rey. Lalu mulailah ritme maju mundur batang penisnya menghujam liang kemaluan ibu kandungnya... pelan namun terus berakselerasi makin cepat, hingga ruang tengah itu diributkan dengan suara beradunya dua tubuh dan dua kelamin diiringi desisan dan lenguhan dua insan manusia.


Tangannya meremas-remas... lebih tepatnya mencengkeram keras payudaraku, membuatnya merasa ngilu. Tak lama kemudian tangannya menangkap kedua betisku, lalu mengangkatnya ke atas hingga tumitku berada di bahunya, kembali hujaman piston kepala jamur mengocok-ngocok vaginaku, keringat mulai membanjiri tubuh kami berdua, menambah sensualitas aksi terlarang ibu-anak malam itu.


Episode berikutnya, Rey mengangkat kakiku ke atas sofa, mengikuti panjang sofa, memaksaku memutar tubuh hingga tengkurap untuk kemudian mengangkat pinggangku ke atas hingga aku menungging dan tanganku menopang tubuh dengan bersandar pada lengan sofa. Rey kembali menjilati vaginaku dari belakang, juga anusku... membuatku kini mulai terangsang hebat dan merintih. Dan... jleb! kembali vaginaku dikoyak sesuatu.


Diatas sofa ini kembali tubuhku dinodai anak kandungku dengan ganas dan liar. Suara becek dua kelamin bergesekan kembali meramaikan ruangan tengah tempat terjadinya persetubuhan terlarang ini. Rey makin mempercepat gerakannya, payudaraku bagai terkena gempa skala 9 richter, berguncang-guncang oleh gerakannya. Rey segera menangkap payudara yang kini basah licin oleh keringat itu. Mulutku juga meracau tak jelas, namun perlahan tapi pasti... aku kian mendekati puncak. Detik demi detik, menit demi menit, dan...


”Oooouhhhh...” aku merintih setengah berteriak dan mengejang manakala denyutan-denyutan nikmat kembali mendera vaginaku, Rey menghentikan aksinya sejenak, memberiku waktu menikmati orgasmeku. Namun belum lagi reda, kembali serangan peluru kendali Rey mulai ganas mengoyak-ngoyak lubang senggamaku. Kali ini dengan kecepatan luar biasa sehingga suara cprok-cprok-cprok makin membahana seantero ruangan. Dan manakala satu hujaman terakhir ditusukan dalam-dalam... aku segera maklum kalau Rey akan orgasme.


Lalu... crrt... crrrt... crrt... crrt... lahar panas kenikmatan kembali membuat tsunami kecil dalam rongga vaginaku, sampai akhirnya dengan tubuh lelah penuh keringat, Rey jatuh menimpa tubuhku. “Ohh... mama, aku sayang mama... uhh!” ujarnya di telingaku diantara sengal-sengal nafasnya.


Lama Rey menindihku, sampai akhirnya bangkit ketika dengan setengah berbisik aku berkata, ”Rey, mama gak bisa nafas nih.”


Kemaluannya yang telah mengerut dicabutnya dari liang vaginaku. Lalu duduk di ujung sofa, aku mencoba bangkit dan duduk juga, tak menunggu lama ketika segelas cairan sperma mengalir keluar dari vaginaku membanjiri permukaan sofa kulit itu.


“Rey, lihat ulahmu.” keluhku sambil mengangkang memperlihatkan cairan sperma yang masih terus mengalir keluar.


Rey tersenyum dengan mata berbinar lalu mencium pipiku, ”Jangan khawatir, ma.” ujarnya sembari memungut celana dalamnya lalu mulai melap vaginaku dan sisa-sisa sperma di sofa.

Kami lalu duduk terdiam mencoba mengatur nafas. “Ma...” ujar Rey memecah keheningan.”Mama tahu nggak, kalau tubuh mama paling sexy diantara yang lain, bahkan dari ibunya si Jodi dan Bruno yang lebih muda dari mama, semua teman perkumpulan Rey pada tergila-gila sama mama.” ujarnya lagi.


”Mmmm... bukan berarti mama harus melayani mereka semua diluar kesepakatan kita kan? Mama hanya tinggal melayani dua orang lagi temanmu dari perkumpulan setan itu.” ujarku setengah ketus.


Rey tersenyum, ”Ya nggak lah, ma. Biar mama tahu aja, rating mama paling top di antara ibu-ibu lain... itu pun kalau mama mau sih, nggak juga gak apa apa. Kalau mau ya syukur, Rey bisa barter dengan mereka, nyokapnya si Adam lumayan cakep tuh.” ujar Rey tanpa perasaan bersalah.


”Enak aja!” jawabku, namun juga penasaran. ”Emang kayak apa sih ibunya temanmu itu?” tanyaku.


“Ya kalau mama mau, bisa lihat di laptop Rey sekarang,” jawab Rey santai sambil mengusap-usap pahaku.


Lalu terjadilah obrolan cukup panjang di antara kami, terkadang membuat kami tersenyum dan tertawa bersama. Rey kadang menggelitikiku, membuatku terlonjak geli, sesekali mengusap payudaraku namun selalu kutepis, sampai akhirnya bibir kami saling berpagutan. Dan Rey mengarahkan tanganku ke selangkangannya dan menggenggamkan jari-jemariku pada batang kemaluannya yang kini mengeras lagi, tanpa diperintah tanganku mulai mengocok-ngocoknya pelan, sementara tangan puteraku itu mulai meremas-remas payudaraku.


Lama kami saling berpagutan membelit lidah dengan lidah masing-masing, tangan Rey mulai membuka pahaku lalu hinggap di permukaan vaginaku dan mengusap-usapnya lembut, dan tak menunggu lama sampai jari jemarinya menusuk-nusuk rongga kemaluanku. Pahaku kadang melebar kadang menyempit sebagai reaksi dari ulah jari-jarinya.


Rey kemudian mengangkat pinggangku, mengarahkanku untuk duduk di atas pangkuannya, aku beringsut sedikit mengarahkan kepala penis anakku tepat di pintu masuk vaginaku... lalu duduk dan bless... perlahan habis tertelan vaginaku. Tanganku merangkul leher Rey, sementara Rey sendiri sibuk berpesta pora menciumi leher dan ketiakku, tangannya mencengkeram pantatku dan mendorong ke atas bawah membantu gerakanku.


Gerakan naik turunku segera menimbulkan musik sensual beradunya dua tubuh. Aku mulai merintih-rintih mencoba menyalurkan emosi dari rasa nikmat yang kualami. Kembali peluh sebesar-besar jagung membanjiri tubuh kami berdua, membuatnya berkilauan tertimpa cahaya lampu. Posisi di atas membuatku mampu mengontrol irama, namun sebagai wanita konservatif... dulunya... aku sebelumnya tak pernah mengambil posisi ini dalam hubungan sex dengan suamiku.


Tak kubayangkan kalau sensasinya akan luar biasa nikmat, kepala penis Rey seolah mendesak-desak satu titik paling sensistif dalam dinding vaginaku. Tak ayal akhirnya kepalaku terdongak ke belakang sambil menggigit bibir dan mengejang ketika kembali lagi denyutan-denyutan orgasme melanda organ intimku. Rey ganti bergerak dari bawah membuat puncak orgasmeku semakin dahsyat.


”Oooouhhhh... Rey!” jeritku tertahan.


Rey segera melumat bibirku dengan bibirnya, kembali lidah kami saling membelit di antara gerakan persetubuhan liar ibu dan anak. Tiba-tiba Rey mengangkat tubuhku, kemudian bangkit, mengarahkanku duduk menghadap sandaran punggung sofa, kembali dalam posisi dogie style aku disetubuhinya. Sofa itu bahkan bergeser senti demi senti dari ganasnya gerakan Rey. Tiba-tiba kilasan cahaya mobil yang lewat di depan komplek menyilaukan mataku.


”Rey...” ujarku diantara dengusan nafas penuh berahi.


”Mamaaahh... ssshhhh...” desis Rey menjawab.


”Rey... hentikan!” pintaku, namun Rey terus menghujani vaginaku dengan serangan senjata cabulnya. “Rey...!!” bentakku yang akhirnya menghentikan gerakan Rey, ”Kita pindah... mama takut tetangga atau orang lain tahu.” ujarku.


“Okay, ma.” ujar Rey diantara dengusannnya. Ia menarik pinggangku sehingga tubuhku berdiri meninggalkan sofa. Batang penisnya masih di dalam vaginaku, Rey lalu mendorongku tubuhku dengan pinggulnya agar berjalan namun tangannya tetap memeluk perutku dari belakang mencegah penisnya terlepas dari cengkeraman vagina ibunya.


Sambil berjalan aku disetubuhi Rey, bahkan sesekali dipaksa berhenti untuk menerima hentakan-hentakan kejam penis kerasnya, tak terkecuali ketika berjalan menaiki tangga membuatku nyaris tak mampu menjaga keseimbangan namun ditolong dengan kekuatan tenaga Rey. Sungguh sekali lagi pengalaman pertama luar biasa yang kualami dalam sejarah kehidupan seksualku.


Sampai akhirnya tiba di kamarku, aku masih setia disetubuhi Rey dari belakang ketika berjalan menuju tempat tidurku. Di atas ranjang, kembali tubuhku berguncang-guncang dahsyat digarap anak kandungku sampai akhirnya kembali siraman lahar panas kenikmatan memenuhi rongga kemaluanku.


Malam itu aku orgasme sampai lima kali, dan Rey seolah-olah ingin menghabiskan seluruh sperma yang tersisa yang ia punyai, sampai lewat tengah malam akhirnya kami kelelahan dan tertidur saling berpelukan... telanjang.

***


Esoknya kami bangun bersama, dan sekali lagi kami bermandikan peluh saling bergelut di ranjang sampai kemudian beranjak untuk mandi bersama. “Rey, siang nanti papamu datang, kamu jemput ya... dan kamu jangan aneh-aneh selama ada papamu.” ujarku setelah sarapan pagi bersama.


“Okay, ma... sekalian Rey mau servis mobil dulu, entar baru meluncur ke bandara.” jawabnya sambil mengecup pipiku sebelum pergi.


Agak tegang suasana yang kurasakan hari itu, mengingat sebagai isteri aku telah mengkhianati suamiku. Sore itu suamiku tiba di rumah, sedikit kikuk aku menyambutnya. Suamiku yang kelelahan tampaknya tak begitu memperhatikan, sudah wataknya seperti itu. Rey mengikuti di belakangnya membawakan barang bawaannya.


Malam menjelang larut ketika kembali lagi aku tidur di sisi suami, yang kini mulai mendengkur di sampingku karena kelelahan. Ada terbersit perasaan bersalah dalam diriku, tak terasa air mataku mulai menetes. Ya... aku bukanlah wanita jalang yang tak punya perasaan, hanya seorang isteri biasa yang baru saja dibangkitkan gairahnya oleh anak-anak muda. Muncul tekad untuk menghentikan semua petualangan ini, namun bulu romaku bergidik mengingat konsekwensi yang akan kuhadapi, masih tersisa dua teman Rey yang harus kulayani, yang apabila aku menolaknya seluruh bagian tubuhku bahkan yang paling intim sekalipun akan tersebar di dunia maya. Aku sendiri tak tahu persis, kapan lagi suamiku pergi untuk waktu lama. Pikiranku terus berkecamuk hingga akhirnya aku tertidur.

***


Pagi, aktivitas rutin kembali berjalan. Suamiku mulai masuk kantor, sementara Rey juga keluar entah kemana. Sepeninggal mereka, kembali aku termenung dalam perasaan galau, takut dan sesal. Silih berganti pertanyaan-pertanyaan dunia pikiran seolah-olah menginterogasi diriku. Satu yang membuatku sangat takut, bagaimana jika nanti malam suamiku mengajak berhubungan intim namun melihat jejak-jejak yang ditinggalkan para pemuda itu? Segera aku menuju kamar, membuka pakaian satu persatu hingga telanjang di muka cermin... melihat sekitar payudaraku yang masih dipenuhi bercak-bercak cupangan, sampai vaginaku yang kini polos bersih tanpa bulu. Yang terakhir tak perlu kukhawatirkan, aku bisa menyajikan berbagai alasan, tetapi bercak cupangan itu?


Hmm... teringat resep bahwa obat sakit kepala dicampur air bisa membantu. Done, tinggal kutunggu hasilnya siang nanti. Dan ternyata hasilnya cukup memuaskan. Dan malamnya, ramalanku tepat, suami mengajakku berhubungan intim, seperti biasa... tanpa foreplay dan lima menit selesai, hambar. Sisi liarku membanding-bandingkannya dengan kenikmatan seksual luar biasa yang bisa diberikan anak-anak muda itu, menimbulkan denyutan-denyutan geli di selangkanganku.


Suamiku mulai mendengkur, sementara aku masih terbaring telanjang memunggunginya. Dan perlahan tanganku mulai mengusap-usap vaginaku. Aku melakukan masturbasi sampai orgasme. Sesuatu yang tak pernah kulakukan selama 25 tahun menikah.

***


Hari berjalan seperti biasa keesokan paginya, kedua pria dalam keluargaku pergi meninggalkan rumah. Suamiku pulang menjelang senja, sementara Rey agak malam sedikit baru tiba... tetapi yang mengejutkanku, Rey membawa dua orang temannya! Dadaku berdegup kencang melihat kehadiran mereka bertiga saat tengah makan malam bersama suami. Aku mulai salah tingkah, syukurlah suami tak memperhatikanku.


Usai basa-basi sebentar, mereka menaiki tangga menuju kamar Rey. Kurang ajar, pikirku. Mungkinkah mereka berani senekat itu mencabuliku sementara suamiku ada di rumah? Ketika Rey ke bawah saat hendak mengambil softdrink di kulkas, kutarik lengannya menuju halaman belakang dekat dapur, menghindari suamiku yang sedang menyaksikan TV di ruang tengah.


”Apa yang kamu lakukan, Rey? Kamu udah gila ya?” tanyaku setengah berbisik tapi ketus.


“Mama kenapa sih? Kok sensi gitu? Itu bukan temen Rey anggota perkumpulan, ma. Cuma mau nginep.” jawab Rey sambil nyengir.


”Awas kalau kamu bohong, kamu jangan macam-macam, Rey, papamu ada di rumah!!” ujarku lagi, panik.


”Swear, ma... santai aja, Rey gak akan macem-macem kok.” jawabnya lagi.


“Awas ya?!” ujarku lagi mengingatkan sambil berjalan kembali masuk.


Plok! sebuah tepukan hinggap di pantatku. Aku terkejut, lalu menoleh ke belakang, melotot, ”Jangan kurang ajar kamu!!” bentakku lagi.


Rey hanya tertawa kecil cengengesan.

Malam itu kembali aku tidur di sisi suami. Khawatir dengan hal yang tak kuharapkan, pintu kamar aku kunci dari dalam. Lalu tak beberapa lama terlelap pulas di alam mimpi. Namun kali ini aku bermimpi dicumbui para pemuda itu, semua adegan terlarang bak film porno kami lakukan. Bibirku dilumat seorang di antaranya, sementara selangkanganku menjadi santapan pemuas dahaga seorang lainnya. Rasanya sungguh luar biasa. Tapi mimpi itu kemudian hilang, gelap. Namun anehnya aku masih merasakan bibirku dilumat dan selangkanganku dijilati seseorang.


Perlahan aku mulai tersadar... aneh, perasaan itu belum hilang juga. Hmm... suamiku, pikirku. Perlahan mataku membuka, ya... seseorang tengah mencium bibirku dengan liar, usapan-usapan lidah di sekitar kemaluanku pun masih berlangsung... tetapi aku juga mendengar suara dengkuran di sampingku. Mataku mulai membelalak lebar dan terkejut ketika melirik ke samping mendapati suamiku masih tertidur. Dengan panik kudorong sekuat tenaga seseorang yang menciumi bibirku, dan menendang tubuh lain di bawahku, kemudian mencoba bangkit.


Terkejut aku, ternyata ada tiga orang lain di dalam kamar. Dua orang teman Rey yang sudah dalam keadaan bugil dan Rey sendiri yang hanya bercelana dalam sedang sibuk dengan kamera digitalnya. Di bagian bawah, celana dalamku telah dilucuti, sementara gaun tidurku tersingkap hingga di atas bra yang juga tersingkap menampakan kedua payudaraku.


“Apa yang kalian lakukan?!! Rey? Keluar!!” bentakku setengah berbisik khawatir membangunkan suami, namun pemuda yang tadi melumat bibirku dengan kekuatan tenaganya mendorong bahuku hingga aku kembali terbaring dan kembali melumat bibirku dengan rakus. Teman Rey yang tadi mengecap vaginaku pun juga menekukan kedua kakiku hingga tumit menempel paha dan menahannya dengan tangannya yang perkasa... lalu kembali usapan-usapan lidah basah hangat menerpa kemaluanku.


Aku masih berusaha sekuat tenaga melawan, namun akhirnya menyerah pasrah karena tenaga dan nafasku nyaris habis. Dan hanya mampu terisak menerima perkosaan kedua teman Rey di samping suamiku sendiri. “Tenang, ma, papa sudah Rey kasih obat, jangan khawatir.” ujar Rey setengah berbisik di telingaku.


Agak sedikit lega mendengar bisikan Rey, namun bagaimanapun aku tak bisa terima digauli di hadapan suami, dan kecewa karena Rey telah membohongiku, bagaimana juga cara mereka memasuki kamar, aku menduga Rey memiliki kunci cadangan. Akhirnya, aku mencoba relax. Namun tetap pasif... bagaimana munkin selama ini aku menjaga image pura-pura tak sadar disetubuhi lelaki lain kalau kini dengan sadar menunjukkan ekspresi?


Setelah perlawananku berhenti, dua orang teman Rey itu makin menjadi... kini kembali payudaraku mendapat perlakuan tak senonoh, sementara di bawah perut, sebatang jari mulai menggali liang kemaluanku. Aku meringis menggigit bibir manakala kurasakan puting payudaraku setengah tergigit dan diremas-remas kasar, lalu kemudian hanya bisa pasrah ketika gaun tidurku ditarik melewati kepala hingga terlepas dari tubuhku, disusul kemudian BH... kini aku benar-benar telanjang total.


Kaki pun kini tak lagi terkunci, agak malu menyadari aku mengangkangkan kaki tanpa dipaksa... kepada orang lain di samping suamiku sendiri. Payudaraku kembali digarap... sialnya kembali hisapan-hisapan kecil kuat bagai mencubit kurasakan, pemuda ini kembali meninggalkan tanda mata di tubuhku seperti rekan-rekannya terdahulu.Ketakutanku yang masih tersisa membuatku tak begitu menikmati permainan ini. Namun ketika pemuda di atasku merentangkan kedua tanganku ke atas, lalu wajahnya hinggap di ketiakku lekat-lekat bergantian kanan dan kiri sambil menghirup aroma tubuhku dalam-dalam, perasaan sensual mulai membakar tubuhku... dan akhirnya suara rintihan mulai keluar dari bibirku tatkala lidahnya mulai menjilati vaginaku, perlahan pula organ intimku mulai banyak memproduksi cairan hingga tusukan-tusukan jari di dalamnya menimbulkan suara becek.


”Ooooohhh...” kembali aku merintih, membuat keduanya makin bersemangat, meremas, mengorek, menjilat.

Tiba-tiba pemuda yang menggarap susuku menarikku bangkit hingga terduduk, tangannya menjambak rambutku pelan dan menarik kepalaku ke arah kemaluannya yang membuatku bergidik mengingat ukurannya yang besar dan tegak keras, dan hap... aku mulai mengoralnya setengah dipaksa, membuatku harus terbatuk-batuk. Rekannya pun juga berdiri di sisiku, seperti rebutan juga menjambak rambutku pelan dan menarik kepalaku ke arah selangkangannya, kini bergantian aku mengulum, menghisap dua batang penis besar dan keras... di hadapan suami yang masih terus mendengkur, kilatan bilitz kamera menyambar-nyambar tubuh kami sampai akhirnya berhenti... karena Rey pun ikut bergabung minta jatah dioral.


Harga diriku benar-benar punah... dari seorang isteri dan ibu kebanyakan... menjadi pelacur pemuas berahi... di hadapan suami pula. Tapi aku tak punya pilihan lain. Kamar itu segera diramaikan suara desisan-desisan ekspresi rasa nikmat tiga orang pemuda, diiringi sesekali suara terbatuk-batuk dari tenggorokanku. Rahangku terasa pegal tapi tiga orang pemuda itupun cukup puas menikmati rongga mulutku sehingga menghentikan aksinya.


Salah seorang menarik dua tanganku agar aku beranjak meninggalkan ranjang, terus berjalan menuju meja rias, lalu memutar tubuhku hingga menghadap cermin besar di atasnya, menarik pinggulku ke belakang, kurasakan benda keras digesek-gesekan di belahan pantatku. Dan... perlahan tapi pasti mulut vaginaku terkuak oleh dorongan kepala penis yang mendesak berusaha masuk sampai nyaris menyentuh rahimku, dari cermin kulihat wajahnya meringis menikmati rongga vaginaku, lalu kemudian ritme maju mundur mulai terjadi.


Bayangan wajahku di cermin tampak memerah, mataku sayu dengan mulut setengah terbuka, dan sesekali meringis ketika merintih, sementara di belakang, nampak bayangan suamiku yang tengah tertidur, rekan Rey dan anakku sendiri, masing-masing tengah mengocok-ngocok pelan penis ereksi mereka menyaksikanku disetubuhi dari belakang oleh rekannya, sambil menanti antrian.


Gerakannya makin cepat membuat payudaraku tampak berguncang-guncang hebat sehingga menarik minat untuk segera ditangkap dan diremas. Keringat sebesar-besar jagung mulai timbul di dahi dan dadaku, berkilauan ditimpa cahaya temaram lampu. Suara becek dua kelamin bergesekan serta erangan dan rintihan semakin mewarnai peristiwa mesum malam ini.

Baru kurang lebih lima menit ia mengarapku dari belakang, ia segera digantikan rekannya yang lain, kali ini terlebih dahulu sang pemuda cabul itu menjilati vagina dan anusku dari belakang, membuatku sampai menutup mulut menahan suara rintihanku. Puas mereguk cairan lendir vaginaku, ia mulai memposisikan kepala jamur penisnya tepat di mulut vaginaku, tanpa hambatan berarti mengingat lubang senggamaku telah basah, batang penis itu mendekam di dalamnya, sebelum kembali keluar masuk dengan cepat, membuat payudaraku kembali terguncang-guncang dan segera ditangkapnya.


Pemuda pertama yang menggauliku berdiri di samping, menarik kepalaku agar menoleh ke arahnya dan segera melumat rakus bibirku, yang kali ini aku membalas belitan lidahnya. Rey kembali menjepretkan kameranya merekam adegan demi adegan terlarang itu. “Oohhss... tantee... sssh...” desis pemuda itu menikmati tubuhku.


Tubuhku kini bermandikan keringat deras membuat kulitnya berkilauan. Gerakan maju mundur pinggulnya makin cepat dan erangannya makin keras, terkadang kurasakan kemaluannya sangat tajam, membuatku sesekali meringis karena ngilu bercampur nikmat, “Nngghh... mmhh... sssh... oouh...” rintihku tertahan bibir pemuda satunya yang masih rakus melumat bibirku sampai akhirnya aku menggigit lidahnya ketika getaran-getaran dahsyat meledak dalam vaginaku... aku orgasme.


Dan denyutan-denyutan dinding vaginaku pun akhirnya membawa efek berantai... sang pemuda mencabut penisnya lalu... splash... splash... splash... splash... cairan panas hinggap di punggung dan pantatku.


Rey segera melap dengan celana dalamnya dan langsung menggantikan posisinya... sempurna sudah punahnya kehormatanku, disetubuhi anak kandung di hadapan orang lain dan suamiku sendiri. Dan Rey tanpa basa-basi segera memacu gerakannya dengan buas. ”Mamaah... ouhss...” erangnya.


Momentum itu segera diabadikan rekan Rey yang baru saja ejakulasi, sementara rekan satunya kini sibuk memilin-milin puting payudaraku. Satu tanganku yang bersandar pada meja ditariknya dan digenggamkan di batang kemaluannya yang besar dan sangat keras itu, sambil disetubuhi anakku kini aku harus memasturbasi rekannya. Aku menjadi budak seks mereka bertiga.


Rey kemudian memegang pangkal lenganku, menariku ke belakang meninggalkan meja rias dan mendorongku berjalan ke arah ranjang... tentu saja dengan batang penisnya masih tetap dalam rongga senggamaku.


Kamarku yang cukup besar berukuran 45 meter persegi itu membuat jarak antara meja rias dengan ranjang kira-kira 3 meter, namun belum lagi tiba di ranjang, Rey dengan kurang ajar membawaku berjalan mengelilingi kamar, sesekali berhenti untuk mengayunkan pinggulnya, ”Mantap, Rey... gue juga mau yang itu.” komentar teman-temannya sambil terus merekam adegan persetubuhan ibu-anak ini, kini kulihat rekan Rey yang pertama kali menggauliku kembali ereksi sempurna.


Rey akhirnya membawaku ke ranjang sambil terus menyenggamaiku, untuk kemudian melepasku dan membaringkanku telentang. Membuka lebar kedua pahaku dan kembali meniduriku. Mulutku segera dilumatnya, dan payudaraku pun menjadi mangsa cengkeraman tangannya, disamping suami aku dinodai anakku sendiri, tubuh suamiku pun ikut terguncang-guncang akibat gerakan puteranya menyetubuhi isterinya.


Gerakan Rey makin cepat sampai suatu ketika ia hentakkan pinggulnya keras-keras di bawah, dan... crrt... crrrt... crrrt... kembali rahimku disiram sperma potensial dari anak kandungku sendiri. Ia terus mengayun-ayunkan pantatnya pelan sampai merasakan tak ada lagi sperma yang mengalir, dengan satu erangan ia bangkit meninggalkanku dan menuju kamar mandi.


Aku masih terbaring telentang, payudaraku naik turun seiring tarikan nafasku. Sperma Rey segera mengalir keluar liang vaginaku, menciptakan danau kecil di atas sprei. Namun belum lagi nafasku kembali normal, kembali tubuh telanjangku ditindih rekan Rey yang sedari tadi belum menuntaskan nafsunya, dinding vaginaku kembali terdesak batang kemaluan keras pria asing yang bukan suamiku, ranjang itu kembali bergerak-gerak seiring gerakan terlarang di atasnya.


“Eengghhh... mhhhhh...” aku kembali merintih ketika puting payudaraku digigit-gigit ringan pemuda yang tengah mereguk kenikmatan tubuhku. Keringat kami saling menyatu dan memercik. Lenganku kembali direntangkan ke atas, dan segera ia mulai menciumi ketiakku, menimbulkan rasa geli dan mengirim sinyal kedutan-kedutan di sekitar vaginaku. Ia begitu menikmati aroma tubuhku. Ia kemudian bangkit duduk, lalu menangkap kedua lututku dan melipatnya hingga nyaris menempel dadaku, membuat tusukannya kurasakan makin dalam seolah-olah menyentuh rahimku. Kembali bibirku dilumatnya dan lidahnya segera membelit lidahku.

Tiba-tiba suamiku bergerak berguling ke arahku dan tangannya hinggap tepat di atas payudaraku, membuat seolah-olah nafasku terhenti. Si pemuda pun menghentikan gerakannya, namun ketika mendapati suamiku masih mendengkur, kembali ia menghentak-hentakan pinggulnya, tanpa menyingkirkan lengan suamiku, wajahnya tampak sangat bergairah menikmati momen sensasional itu. Entah kenapa, aku pun semakin menikmati adrenalin yang meninggi dari peristiwa itu. Dan terpaksa menggigit jari mencegah teriakan keluar ketika denyutan orgasme menggelora dalam liang vaginaku.


Rey dan seorang temannya tampak makin penuh berahi menatap kami berdua... tepatnya kami bertiga. Mereka kembali mengelus-elus senjata biologisnya yang makin mengeras tegang. Sampai akhirnya pemuda yang menggauliku mengejang dan mengerang keras dengan wajah meringis menikmati ejakulasi di dalam lubang senggamaku sambil menghentak-hentakan pantatnya ke bawah. Ia kemudian bangkit meninggalkanku, dan sebelum aliran lahar panas itu habis keluar vaginaku... kembali rongga kemaluanku digali batang penis keras pemuda kedua.


Kali ini ia makin buas mengguncang-guncangkan tubuhku, menciptakan suara kecipak dua organ kelamin berbalut lendir memenuhi ruangan kamar...lengan suamiku masih hinggap di atas payudara basah berkeringat milikku, wajahnya pun masih menampakan kalau ia tertidur sangat pulas. Aroma kamar ini sangan berbau seks. Kembali aku menggigit bibir ketika gempa ringan melanda lorong vaginaku saat orgasme ketiga hadir. Disusul lagi semburan sperma panas mengisi ruangan tersisa di dalam lorong kemaluanku itu.


Dan sekali lagi, belum lagi habis menciptakan aliran sungai kecil di luar kemaluanku, kali ini Rey kembali memompa batang kemaluannya ke vagina ibunya. Namun juga harus mengalami serangan ganda, pemuda pertama menyingkirkan tangan suami dari dadaku,kemudian berjongkok di atasnya, menjambak rambutku dan mengarahkan kepalaku ke arah selangkangannya, mulutku kembali mengecap, menghisap, menjilat penis besar keras yang masih berbau aroma vaginaku sendiri dan aroma sperma.


“Ssshh... mamaaah...” desis Rey.


”Mmmmmh... tantee... shhh!” erang pemuda rekan Rey yang aku oral.


Dan hampir bersamaan keduanya ejakulasi, pertama Rey di bawah, lalu rekannya di dalam mulutku sehingga sebagian besar tertelan dalam kerongkonganku, ia mencabut penisnya dari mulutku dan masih ada sisa sperma yang menyembur hinggap di mata, hidung dan mulutku.


Mereka bertiga cukup lama tinggal di dalam kamarku, mencoba mengatur nafas sambil menyaksikan pemandangan indah tubuh telanjangku yang bermandikan keringat dan sperma. Sampai akhirnya mereka pergi keluar kamar satu persatu. Tinggal aku yang terbaring di sisi suamiku, telanjang mengangkang dengan tubuh basah berkeringat. Lama aku mencoba mengembalikan nafas normal, merajut kembali adegan detik demi detik yang baru saja kualami.


Kutatap wajah suamiku, dan berkata lirih. ”Maafkan aku suamiku.” lalu kembali menengadah. Beberapa menit kemudian aku mencoba duduk, tubuhku terasa pegal-pegal di setiap sendi, lalu kemudian bangkit berdiri meninggalkan ranjang, mencoba berjalan menuju kamar mandi.


Vaginaku serasa membengkak dan linu, sepanjang langkah tertatihku menuju kamar mandi, sperma kental bergumpal-gumpal mengalir keluar membuat jalur dari pangkal paha hingga ke betis dan sebagian menetes langsung ke lantai. Usai membersihkan tubuh dan berpakaian kembali, kubersihkan lantai sekenanya dengan celana dalamku, lalu mencoba tidur.

***


Aku terbangun ketika suami mengguncang-guncangkan tubuhku. ”Ma... mama...” panggilnya. Dan belum lagi mataku terbuka sempurna ia berkata, ”Papa ada meeting dengan rekanan di Tangerang, mungkin agak malam baru pulang.”


”Hhmmmh,” ujarku mengangguk lemah dan mencoba melanjutkan tidur, tubuhku terasa amat lelah akibat melayani nafsu tiga pemuda tadi malam.


“Hey, udah jam delapan lho. Ayo bangun.” ujar suamiku lagi, namun kembali aku merapatkan selimut.


Setengah jam kemudian aku bangun, masih dengan mata setengah terpejam mencoba untuk duduk, sempat kulirik bayanganku di cermin, rambutku acak-acakan gak karuan dan lengket oleh keringat. Dengan langkah gontai aku berjalan ke kamar mandi, kembali lelehan sperma mengalir keluar vaginaku, bukan main banyaknya benih anak-anak muda itu tersimpan dalam liang senggamaku.


Usai mandi dan berpakaian, kurapikan tempat tidur, melepas sprey yang penuh bercak sperma kering dan membawanya ke ruang cuci di bawah. Namun sempat aku singgah di kamar Rey, kubuka pintunya, terlihat anak-anak muda itu masih mendengkur tidur bergelimpangan di kasur, sofa dan karpet di kamar anakku, dan mereka hanya memakai celana dalam saja. Dadaku berdegup kencang dan gairah sensual selintas berdesir dalam setiap pembuluh darahku.


Tetapi segera kutinggalkan kamar Rey dan menuju ke bawah. Bi Inah telah menyiapkan sarapan roti panggang dan segelas jus jeruk di meja makan. Segera kunikmati sarapan pagi itu dengan lahap untuk mengembalikan energi yang terkuras tadi malam.


“Mau dimasakin apa, nyah?“ tanya Bi Inah.


“Gak usah repot, bi. Gorengin aja ayam di kulkas, terus nyambel sama bikin oseng-oseng jamur dan sawi. Oh ya, sama nyetrika jemuran kemarin.” ujarku.


Bi Inah pembantu yang amat trampil, sudah lima tahun lebih bekerja dengan kami, sehingga kurang dari dua jam semua masakan terhidang di meja makan, nasi sudah dimasaknya dari pagi.


”Nyah, pakaiannya bibi setrika di rumah aja yah, lagi gak ada orang di rumah.” ujarnya.


”Lho, bibik gak makan dulu?” tanyaku.


”Ah, gak usah, nyah. Masih kenyang.” jawabnya.


”Ya udah deh, hati-hati di jalan, bik.” jawabku.


Sepeninggalnya, aku merapikan hal-hal kecil yang luput dari perhatian Bi Inah. Lalu duduk di ruang keluarga membaca majalah.


Beberapa saat kemudian, Rey nampak menuruni tangga dan menuju ke arahku, ”Pagi, ma...” sapanya lalu mendaratkan kecupan di pipiku.


“Kamu dah mandi, Rey?” tanyaku sambil terus menatap majalah.


”Udah donk, ma, neh udah wangi.” jawabnya sambil memijit-mijit ringan betisku.


“Temen-temenmu udah bangun? Ajak sarapan sana.” ujarku lagi.


”Udah, ma. Lagi pada mandi, ngantri,” jawabnya lagi.


“Kamu nakal ya sekarang, kamu udah bohongin mama.” ujarku sambil meliriknya.


Rey hanya tersenyum, ”Kalau Rey gak bohong, gak bakal kejadian tadi malam, ma. Mama pasti menolak, kan yang dicari sensasinya, ma.” jawabnya santai tanpa dosa sambil tertawa kecil, tangannya kini hinggap di atas pahaku. Dan harga diri apalagi yang tersisa dalam diriku untuk menepis tangannya? Maka kudiamkan saja.


”Emang kamu pernah melakukan hal seperti itu pada mama teman-temanmu?” tanyaku lagi.


“He-eh, pernah, ma. Ya sama mamanya si Ferdi dan Ricky itu,” jawabnya lagi masih dengan amat santai.


”Siapa itu Ferdy dan Ricky?” lanjutku.


”Ya temen-temen Rey yang sekarang lagi mandi di atas itu.” jawabnya masih diiringi gelak tawa kecil, lalu ia menjelaskan yang mana Ferdy yang ternyata pemuda pertama yang menyetubuiku tadi malam, dan Ricky yang kedua. Rupanya mereka berdua menuntut balas.


”Ooo... jadi kamu setubuhi mama mereka berdua di samping ayahnya?” tanyaku lagi masih penasaran.


“Iya, ma... namanya juga mencari sensasi baru. Tapi sama mama spesial deh.” jawab Rey lagi, tangannya kini hinggap di pangkal pahaku yang untungnya masih berlapis daster panjang yang kukenakan.


”Spesial bagaimana?” tanyaku lagi.


”Special karena mama sadar, sedang mama mereka berdua kami garap dalam keadaan gak sadar.” jawab Rey lagi dengan tawa kecilnya yang khas.


Wajahku kuyakini memerah saat itu, antara malu dan marah. “Ya udah, berarti mama sudah gak perlu lagi melayani teman-teman kamu yang lain kan? Ini yang terakhir kan?” tanyaku lagi.


”Jangan khawatir, ma, ini yang terakhir. Kita punya komitmen dengan kode etik kok, ma... berakhir atau nggak, tergantung mama sekarang... siapa tahu mama berubah pikiran.” jawab Rey, kali ini tertawa keras.


”Enak aja!!” jawabku ketus sambil mencubit tangannya.


Rey makin tergelak keras, lalu mereda, ”Mmm... ma, tapi mama, mmm... masih mau sama Rey kan?” tanyanya agak serius.


Aku terdiam cukup lama dan bimbang, sampai akhirnya berkata setelah menarik nafas panjang. ”Kamu hati-hati dengan papamu, Rey, mama gak mau papamu tahu.” jawabku. ”udah sana, suruh teman-temanmu sarapan.” kataku mencoba mengalihkan perhatian.


”Okay, ma...” ujar Rey lalu bangkit setelah kembali mencium pipiku.

Kira-kira 10 menit kemudian ketiganya turun ke bawah. Dan langsung sarapan. Tak berapa lama kemudian, mereka menghampiriku di ruang tengah. Ferdy dan Ricky menyapaku, ”Pagi, tante.”


Aku hanya membalasnya dengan senyuman karena merasa kikuk dan rikuh, tubuhku terasa gemetar. Dan tanpa basa basi mereka mendaratkan kecupan di pipi kanan dan kiri, lalu duduk di sampingku. Sementara Rey menyalakan TV. Aku tak tahu harus memulai pembicaraan darimana selain terus fokus pada majalah yang kupegang.


“Ehm... tante, tante masih kelihatan cantik dan muda, umur tante berapa sih ?” ujar Ferdy mencoba mengajak mengobrol.


Aku tersenyum kikuk dan menjawab terbata-bata, ”Mmm... makasih, tante udah 45, mamamu umur berapa?” jawabku sambil bertanya.


”Kalau mama saya 47 tahun, tante.” jawab Ricky.


Sementara Ferdy menjawab, ”Mama saya seumuran tante.”


Dari pembicaraan soal umur itulah, akhirnya situasi sedikit cair. Mereka sebenarnya pemuda-pemuda yang enak diajak bicara dan cukup sopan walau mereka telah menyetubuhiku berkali-kali tadi malam, tapi tak pernah kehilangan perasaan untuk menghargaiku. Tapi kurasakan tubuh mereka makin melekat kepadaku. Ferdy di kanan dan Ricky di kiri.


Setelah cukup lama kami bersenda gurau tanpa sedikitpun menyinggung peristiwa tadi malam, Ferdy memotong, ”Hhm... boleh aku cium pipi tante lagi?” tanyanya.


Aku sedikit terkejut, kutatap wajah tampannya sekian detik, namun akhirnya menganggukan kepala sambil tersenyum.


”Cuuup!” kecupannya kembali mendarat di pipiku.


’Aku juga dong, tante.” ujar Ricky.


Aku hanya tersenyum, lalu kembali kecupan mendarat di pipiku. Rey menoleh ke belakang ke arah kami, lalu kembali menonton TV dengan kepala menggeleng-geleng. Kecupan demi kecupan kembali menghujani pipiku, dan aku hanya bisa tertawa kecil geli, sampai akhirnya tawaku terhenti ketika ciuman Ferdy beralih dari pipi ke... bibirku. Ricky pun demikian pula, mulai mengecup bibirku. Lalu kecupan itu semakin panas, lidah Ferdy mulai menyeruak masuk rongga mulutku. Jantungku semakin berdebar diikuti kedutan-kedutan kecil dalam organ intimku.


Tangan Ferdy mulai meremas-remas dadaku, sementara tangan Ricky bergerilya menarik ujung bawah dasterku hingga ke atas paha, lalu tangannya melebarkan kakiku dan tak menunggu lama kini hinggap mengusap-usap timbunan daerah segitiga celana dalamku. Aku hanya terduduk pasrah, sementara lidah Ferdy kian liar menari-nari mencoba mengajak bergulat lidahku, lambat laun aku tak lagi pasif dan mulai membalasnya.


“Mmmmh... mmmhhh...” gumamku tertahan.


“Gantian, Fer.” ujar Ricky.


Ferdy mengalah, kini ganti bibir Ricky sama rakusnya melumat bibirku. Ferdy membuka kancing-kancing dasterku hingga menyingkap sebagian besar belahan dadaku, lalu tangannya menyusup ke balik BH dan mulai meremas-remas dan memlintir puting payudaraku. Ia lalu berlutut di hadapanku, memasukan tangannya ke sisi pinggulku, mencari kerah celana dalamku. Dengan satu tarikan, celana dalam itu dicoba dilepaskan, anehnya, aku mengangkat pantatku, sedikit memudahkan celana dalam itu untuk lolos. Ferdy semakin melebarkan kakiku... dan akhirnya dengusan nafas hangatnya kurasakan menghembus di permukaan vaginaku dikuti usapan-usapan lidahnya. Dan aku nyaris terlonjak ketika klitorisku dihisapnya dalam-dalam dan dimainkan dengan lidahnya.


Ricky sambil menciumku kini tangannya mulai menjamah payudaraku. Rey yang tadinya pura-pura acuh mulai memperhatikan kami. Pagi menjelang siang itu kembali situasi berahi memanas. Rey mendekat, lalu menarik ujung bawah dasterku ke atas, melewati perut, lalu berhenti di dada. Ricky sejenak menghentikan aksinya hingga dasterku lolos melewati kepala, dan Ricky mencari pengait BH-ku di punggung dan melepaskannya, kini aku terduduk telanjang kembali menjadi santapan nafsu para pemuda yang tengah kelebihan hormon. Ricky dengan segera melahap puting payudaraku dengan rakus, sementara Ferdy berpesta pora mengecap cairan pelumas dari liang vaginaku. Bulu romaku bermunculan sebagai reaksi dari situasi penuh berahi itu. 

Rey tak mau kalah, ia kini telanjang bulat menaiki sofa tepat di depanku, tangannya menarik kepalaku ke arah penisnya yang tegak mengacung dan tak perlu diperintah, mulutku segera menghisapnya. ”Shhh... maaa... ouuhhs...” desisnya keenakan.


Setelah cukup puas, ia duduk disampingku dan meremas-remas payudaraku, sementara Ricky bangkit melepaskan satu per satu pakaiannya. Kini ganti ia minta di oral olehku, dan setelah beberapa menit kembali menggarap payudaraku. Baik Rey dan Ricky menarik kedua tanganku dan digenggamkan di penis tegang mereka masing-masing lalu aku mulai mengocoknya pelan.


Ferdy bangkit, menelanjangi dirinya untuk kemudian juga menjambak ringan rambutku dan menarik kepalaku ke arah batang penisnya yang paling besar di antara mereka bertiga. Hap... kembali aku mengoral lelaki muda yang pantas jadi anakku itu.


”Uuhhh... tante... enak, tante... terusss... ahhhhs...” erangnya sambil mendesak-desakan penisnya di kerongkonganku membuatku terbatuk batuk beberapa kali. Pagi itu kembali aku menjadi budak seks tiga orang pemuda penuh nafsu.


Ferdy lalu setengah berlutut, mengarahkan kepala jamur ungu penisnya tepat di mulut vaginaku... dan bless... setengah terhambat memasuki diriku. Sampai akhirnya kembali tubuhku terguncang-guncang hebat dan bibirku mengeluarkan suara rintihan. Ricky dan Rey terus menggigit-gigit pelan puting paudaraku dan meremas-remas, tanganku pun dengan setia masih terus memompa batang-batang keras kemaluan mereka. Situasi sensasional itu akhirnya membuatku terbang ke alam kenikmatan ketika kembali orgasmeku meledak mengirmkan sinyal nikmat ke penjuru tubuhku. Ferdy terus memompa batang penisnya dalam liang senggamaku hingga akhirnya kembali memberiku hadiah semprotan sperma kental.


“Sshhh... tanteee... ahhhsss... aku keluaar... arrggh!” erangnya ketika semburan demi semburan air mani hangat mengisi lorong vaginaku. Semenit kemudian ia bangkit meninggalkanku, belum lagi usai sperma itu membanjiri sofa kulit itu, kembali serangan senjata biologis lelaki menghujam lubang peranakanku, kali ini giliran Ricky.


Pagi itu, percikan sperma memenuhi seantero rumah seiring berpindah-pindahnya mereka menyenggamaiku, di ruang tengah, ruang tamu, ruang makan. Bermacam-macam gaya kami lakukan, Rey dengan kegemarannya menyetubuhiku dari belakang sambil memaksaku berjalan mengelilingi ruangan, kemudian juga ditiru Ferdy dan Ricky. Vaginaku nyaris tanpa henti menampung secangkir demi secangkir sperma. Kedua kakiku senantiasa basah lengket dialiri deposit sperma yang keluar, entah berapa kali mereka ejakulasi, tak kuingat lagi sebagaimana aku pun tak mampu menghitung berapa kali aku mengalami kepuasan seks luar biasa dari aksi mereka.


Sampai akhirnya aku dan mereka kelelahan duduk terkapar di atas sofa di ruang keluarga. Tubuh kami basah oleh keringat. ”Kalian mau minum?” tawarku.


“Mau, tante.” jawab Ricky.


Aku bangkit berdiri dan lunglai menuju dapur. “Biar saya bantu, tante.” ujar Ricky mengikutiku dari belakang. Aku yakin matanya berpesta pora menikmati lenggak lenggok pinggul dan pantatku ketika berjalan.


Sampai aku tiba di depan kulkas setengah menunduk mengambil minuman softdrink, Ricky terus mengawasiku. Aku beranjak menuju kitchen set untuk mengambil beberapa gelas, karena rak itu cukup tinggi, aku sedikit berjingkat membuka pintunya, gerakanku terhenti ketika tiba-tiba Ricky berlutut di belakangku menciumi pantatku dan mulai menjilati anusku.


”Ricky, kamu ngapain, sayang?” tanyaku setengah merintih. Aku mendiamkannya beberapa saat, sampai kemudian ia cukup puas menjilati anusku, kemudian Ricky bangkit. Aku melanjutkan mengambil gelas dan mencari nampan, sekilas kulirik Ricky mengambil sebotol minyak goreng dan menumpahkan sedikit di tangannya lalu dioleskan di penisnya yang kulihat kembali ereksi mengeras tegang. Ada-ada saja, pikirku sambil tersenyum dan menuangkan minuman ke dalam gelas.

Tiba-tiba Ricky sudah berada di belakangku, memeluk tubuhku dari belakang dan mendorongnya ke arah meja makan, aku hanya tertawa kecil, “Ricky, apa lagi sih? Sabar dikit kenapa, nanti tante akan puaskan kamu lagi.” ujarku.


Namun Ricky terus mendorongku bahkan memaksaku tengkurap di atas meja, kuikuti kemauannya, apa bedanya sekarang dan nanti, pikirku. Anusku kembali dijilatinya dan diludahinya, aku hanya tertawa geli sampai akhirnya kurasakan ujung penisnya digosok-gosokan di belahan pantatku. Lalu didesakkannya... aneh, bukan di vaginaku, tapi... di mulut anusku!


Kupikir hal biasa penis meleset dari sasarannya, namun kali ini aku benar-benar kaget ketika menyadari bahwa yang dituju memang bukan vagina... tapi anusku!


”Ricky, kamu ngapain?!” tanyaku mulai panik dan mencoba bangkit, namun tangan perkasa Ricky menahan punggungku. Dan seketika rasa sakit mulai kuraskan ketika dengan paksa kepala jamur itu masuk lubang anusku.


”Ricky! Jangan, sayang... aduuh... sakit, Rick! Aduhhh... aduduuh!” aku panik dan mengejang menahan rasa sakit ketika sesenti demi sesenti batang penis Ricky menerobos anusku yang masih perawan.


”Aduuuhh... jangan, Ricky... aduuh... aduuuh... ahhhhhhhh!” aku berteriak kesakitan ketika rasa perih bagai disilet kurasakan tatkala total keseluruhan batang penis Ricky tertelan anusku, dan perasaan perih itu terus berulang manakala Ricky mencoba menarik keluar penisnya untuk kemudian ditusukan lagi, dan aku hanya bisa teriak-teriak kesakitan dan mulai menangis, tanganku mengejang meremas taplak meja menahan rasa sakit luar biasa. Dan Ricky terus meludahi anusku menjadikannya sebagai pelumas.


“Oohhs... tante, masih sempittt... ahhhs!” erangnya sambil terus mencoba menarik-mendorong batang kemaluannya.


”Aahhh... errrgh... sakiiit... Ricky, tolong Rick... berhenti... aoohh!” aku terus mengerang dan menangis akibat rasa sakit mengalami pertama kali anal sex. Tubuhku kembali dibanjiri keringat.


Mendengar suara gaduh di belakang, Ferdy dan Rey menyusul. “Lu ngapain, Rick?” tanya Ferdy.


“Liat aja, sob... shhhhh... masih sempit, sob... ahhhss!” jawab Ricky tanpa bersalah.


“Lu apain nyokap gue, Rick?” tanya Rey yang menyusul belakangan. ”Wah... sialan lu, besok ganti nyokap lu ya gue anal.” jawab Rey tanpa emosi berlebihan melihat ibunya tengah menangis dipaksa anal sex oleh temannya.
“Sakit itu, Rick, neh gue tambah.” jawab Ferdy dan menumpahkan minyak goreng di anusku.


Tak lama rasa sakit itu mulai berkurang seiring banyaknya minyak goreng melumasi anusku, tangisku kini berhenti, namun sesekali aku tetap mengerang dan merintih karena masih merasakan sedikit sakit. Ricky kemudian mencengkeram pantatku keras-keras dan mengerang ketika ia menghujani anusku dengan cairan spermanya. Suara tercabutnya penis Ricky dari anusku seperti bunyi sumbat botol dicabut... plop.


Melihat aku tengkurap di meja makan, dengan anus menganga, memprovokasi Ferdy untuk juga melakukan hal yang sama, sekali lagi minyak goreng ditumpahkan di anusku. Dan kembali aku di anal sex oleh teman anakku, namun Ferdy melakukannya dengan lebih lembut.


Kembali aku merintih dari sedikit rasa perih yang tersisa. Sampai akhirya kembali anusku menampung beberapa sendok sperma pria muda teman anakku.


Kini tiba giliran Rey, agak surprise ternyata Rey tidak melakukan anal sex terhadapku, hanya menyetubuhi vaginaku dari belakang. Usai ejakulasi, ia menarikku, ”Masih sakit, ma?” tanyanya meliat wajahku yang masih meringis. Aku mengangguk pelan.


”Ya udah, mama istirahat aja di atas ya,” ujar Rey sambil memapahku ke atas, ceceran sperma yang mengalir keluar dari anus dan vaginaku memercik di lantai dan tangga. Rey kemudian menggendongku dan membawaku ke kamar mandi, dan memandikanku. Usai menghanduki diriku, kembali Rey menggendongku dan meletakan tubuhku di atas ranjang.

Tanpa terasa aku tertidur pulas walau belum sempat berpakaian. Menjelang senja aku baru terbangun, agak terkejut mendapati Rey tertidur di sampingku, juga telanjang. “Rey, bangun, Rey.” kugoyang pundaknya.


Rey mulai membuka mata. ”Eh, mama?” jawabnya.


”Teman-temanmu udah pulang, Rey?” tanyaku.


“Udah, ma, siang tadi, mereka titip salam.” jawabnya.


”Kurang ajar temanmu si Ricky itu, mama sampe sakit begini.” ujarku.


”He-eh, iya, ma. Ntar nyokapnya Rey gituin juga.” jawab Rey.


”Sakit sekali loh, Rey, masa kamu tega?” tanyaku lagi sambil memeluknya.


”Ya biar aja, ma. Si Ricky aja kurang pengalaman, kebanyakan nonton bokep dia, dikiranya pake ludah doank cukup, si Ferdy tuh lebih paham, makanya dia tuang banyak minyak goreng ke anus mama.“ jawab Rey.


”Kamu kenapa gak ikut-ikutan temanmu?” tanyaku lagi.


“Ah, gak tega aja, mah. Mama kesakitan kek gitu, lagian Rey gak begitu suka anal sex.” jawabnya santai, membuatku tersenyum. Dan aku menghadiahinya dengan ciuman di bibir dan mengulum penisnya yang perlahan tapi pasti mulai mengeras.


Sore itu hingga menjelang malam, tiga kali liang vaginaku menerima semburan sperma anakku, dan aku sendiri mengalami empat kali orgasme. Kami akhirnya kembali mandi bersama, lalu kemudian membereskan segala sesuatu untuk menghilangkan jejak prilaku liar kami sebelum suamiku pulang. Walau aroma sperma tak serta merta mudah hilang.


Dua minggu kemudian Rey kembali ke kampusnya. Aku kembali kesepian walau suami berada di rumah, sebulan kemudian ia kembali terbang ke beberapa daerah. Aku yang terlanjur merindukan kenikmatan seksual dari para anak muda itu cukup senewen dibuatnya, ingin rasanya kutelepon Rey dan meminta teman-temannya kembali memuaskan hasratku. Namun sesuatu mencegahnya, sesuatu yang kini mengisi rahimku. Ya... aku hamil. Entah siapa ayah anak ini, aku tidak tahu. Petualanganku dengan perkumpulan rahasia itu berakhir... paling tidak untuk dua tahun ke depan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar