Selasa, 18 Juni 2013

Fara, Mertuaku Suami Baruku


Fara



Namaku Fara, usiaku baru saja menginjak 26 tahun. Aku telah menikah dengan mas Budi (nama suamiku) selama lebih dari 5 tahun. Pernikahan kami dapat terbilang langgeng, tentram tanpa adanya gangguan ataupun masalah yang berarti. Begitupun dengan hubungan birahi kami, semua berjalan lancar seperti pasangan-pasangan lainnya. Bertahun-tahun aku dan suamiku memiliki kehidupan seks yang bagus, dan dia benar-benar bisa memuaskan nafsu birahiku.



Berbagai macam literature kami baca dan pelajari guna mendapatkan ide serta masukan baru guna mempererat tali birahi kami. Mulai dari koran, majalah, novel stensilan, hingga internet, mengisi keseharian kami berdua. Khusus untuk literature terakhir, internet, yang mana diera seperti sekarang ini, informasi apa saja bisa didapatkan di internet. Terlebih informasi yang berbau akan hal-hal yang bertema seksual, dapat dengan mudah diperoleh darinya.


Hampir tiap malam, kami selalu mencari referensi dari berbagai macam situs porno, namun entah siapa yang memulai terlebih dahulu, akhir-akhir ini, aku dan suamiku lebih suka membaca ataupun menonton situs porno yang bertemakan‘perselingkuhan’ atau ‘seorang istri yang ingin bercinta dengan lelaki lain’.


Bercinta dengan lelaki lain?


Jujur, aku dan suamiku sangatlah terangsang setelah membaca ataupun menonton situs porno jenis itu. Yang jika diteruskan dengan acara bercinta, kami bisa berulang kali mencapai kepuasan birahi. Dan setelahnya, kami mulai berbicara mengenai apa yang bakal didapat jika hal-hal itu bisa benar-benar diwujudkan dalam kehidupan pribadi kami.


Pembicaraan tentang bercinta dengan lelaki lain ini selalu saja suamiku lontarkan setiap saat, sehingga secara tak langsung, ‘ide aneh’ ini menjadi salah satu penyebab tumbuhnya imajinasi liarku. Imajinasi untuk benar-benar bisa bercinta dengan lelaki lain selain lelaki yang aku nikahi ini.


***


Hingga detik ini aku dan suamiku masih tinggal dengan orangtuanya, Pak Bakri dan Bu Murni. Pak Bakri, 52 tahun, adalah seorang pegawai negeri biasa. Sedangkan Bu Murni, bekerja sebagai pengusaha rumah makan.


Pak Bakri, yang walau telah mencapai usia setengah abad, adalah seseorang yang rajin dan ceria. Ia mempunyai banyak sekali bahan banyolan yang selalu bisa membuat siapa saja yang berada di dekatnya untuk tertawa. Pak Bakri, memiliki postur tubuh standar dengan tinggi 165 cm, berambut cepak yang sudah dihiasi uban, berkulit sawo matang, berwajah tegas yang selalu dihiasi oleh senyuman. Membuatnya selalu terlihat lebih muda.


Pak Bakri, itulah lelaki yang selalu masuk ke dalam imajinasi liarku.


Seperti yang telah aku jelaskan tadi, jika aku dan suamiku sedang berbincang mesum, sosok ayah mertuaku itulah yang selalu aku bayangkan untuk bisa meniduriku. Awalnya aku selalu mencoba untuk mengalihkan segala pikiran mesumku dari beliau, tapi apa daya, aku sama sekali tak bisa. Bahkan terkadang, ketika aku dan suamiku sedang heboh-hebohnya bercinta, aku sengaja memejamkan mata dan membayangkan jika orang yang menyetubuhiku saat itu adalah Pak Bakri, ayah kandung suamiku.


Dan dari membayangkan hal itu saja, mampu membuatku orgasme berkali-kali.


Aku tak pernah mengatakan hal ini kepada mas Budi, sehingga apa yang aku rasakan setiap kali bercinta dengannya, adalah merupakan rahasiaku sendiri.


“Astaga, apakah yang aku lakukan ini salah?"

“Bagaimana cara menghilangkan pikiran mesumku tentang ayah mertuaku?”


“Apakah aku adalah seorang menantu yang mesum?”


***


Aku yakin jika hingga detik ini, pak Bakri masih aktif melakukan hubungan seksual dengan bu Mirna, meskipun aku belum pernah sama sekali melihat atau mendengar aktifitas bercinta mereka. Hingga pada akhirnya, aku putuskan untuk memulai bermain api dengan ayah mertuaku.


Aku memutuskan untuk merayunya dengan cara apapun.


Dengan postur tubuh 160 cm, kulit kuning langsat, berambut hitam lurus sepanjang punggung, payudara 36D, dan pantat yang membulat, aku yakin jika asetku ini dapat menaklukan ayah mertuaku.


Untuk menunjang ide mesum ini, ketika aku berada di rumah, aku sengaja untuk mengenakan daster pendek berbahan katun tipis dengan bukaan leher yang lebar guna memperlihatkan kemontokan daging payudaraku. Terkadang aku juga sering mengenakan celana pendek plus tanktop guna memperlihatkan lekuk pinggang dan perut rampingku.


Aku sadar, jika di dalam rumah yang aku tempati ini masih ada ibu mertua dan suamiku, sehingga untuk melakukan niatan mesum kepada ayahku ini, aku harus lebih berhati-hati. Sangat berhati-hati.


Secara rutin, dikarenakan jarak antara rumah tempat kami tinggal dan lokasi kerja suamiku cukup jauh, Mas Budi selalu meninggalkan rumah sekitar pukul 7.30 pagi di setiap harinya. Ibu bertuaku, berangkat setelah suamiku beranjak ke kantor, sekitar 15-20 menit kemudian. Dan, ayah mertuaku dikarenakan kantor tempatnya bekerja cukup dekat, ia selalu berangkat pukul 10 kurang 15 menit.


Melihat jam kerja orang-orang yang tinggal di rumah ini, aku memiliki waktu di pagi hari sekitar 2 jam-an untuk dapat melakukan rencana penaklukan kepada ayah mertuaku. Terlebih karena aku tak bekerja, aku memiliki waktu yang cukup leluasa untuk menggoda ayah mertuaku sebelum beliau berangkat kerja.


Biasanya, setelah suami dan ibu mertuaku berangkat kerja, aku yang semula menggunakan daster panjang, langsung mengganti pakaianku dengan daster jelek berukuran mini.


“Adek malas jika harus beraktifitas dengan mengenakan daster bagus, mas.” alasan yang selalu aku lontarkan kepada mas Budi setiap kali ia bertanya padaku. “Terlebih, di rumah sudah nggak ada siapa-siapa lagi.” tambahku.


“Tapi khan masih ada bapak, dek…” katanya.


“Ya ampun, mas. Memangnya kenapa? Toh adek sudah menganggap bapak mas sebagai ayah adek sendiri.”


Seumur pernikahanku, mas Budi tak pernah menang jika berdebat tentang pakaian denganku. Ia selalu memaklumi semua alasanku. Padahal, jika ia tahu maksudku yang sebenarnya, mungkin ia tak akan pernah membiarkan istri tercintanya ini memamerkan aurat tubuhnya dengan leluasa.


Ada banyak cara yang bisa aku lakukan untuk dapat menarik perhatian ayah mertuaku. Seperti ketika aku menyapu, aku lebih sering membungkuk untuk membersihkan kolong furniture, tujuannya tak lain adalah, supaya aku bisa memperlihatkan gelantungan daging payudaraku ketika aku menunduk. Ketika mengepel lantai, aku lebih sering berjongkok guna memperlihatkan pada dalam dan CD miniku. Ketika aku mencuci bajupun, aku sangat sering untuk membasahi atasan dasterku guna memperlihatkan lekuk bentuk payudaraku, dan ketika aku menjemur baju, aku sengaja memilih lokasi yang terkena banyak sinar matahari, guna memamerkan siluet indah tubuhku.


Semua aku lakukan demi satu tujuan, mendapat perhatian dari ayah mertuaku.


Setiap kali aku melakukan pekerjaan rumah (dengan cara seksi tentunya), seringkali aku lihat ayah mertuaku secara malu-malu mengintip. Namun begitu aku memandang ke arahnya, ia buru-buru mengalihkan pandangannya sambil tersenyum simpul. Melihat senyum ayah mertuaku, entah kenapa selalu yang selalu membuatku mabuk kepayang. Dan melihat senyum simpulnya, aku semakin yakin jika selama ini beliau menikmati pameran aurat yang aku lakukan selama ini. Karena setelah aku tak lagi melihat ke arahnya, aku tahu jika ia buru-buru menatap tajam ke arah tubuh seksiku ini.


Dengan cara ini, aku mendapat banyak sekali kesenangan. Dan anehnya, hanya dengan melihat senyum dan lirikan mata ayah mertuaku ketika beliau menatap tajam ke arahku, vaginaku bisa saja langsung membecek basah. Dan ujung-ujungnya, aku bisa merasakan orgasme hebat dengan cara bermasturbasi dengan hanya membayangkan ayah mertuaku.


“Aku harus melakukan sesuatu yang jauh lebih binal lagi. Aku harus bisa membuatnya tertarik padaku. Aku harus mendapatkan kehangatan tubuh ayah mertuaku. Aku harus bisa membawanya masuk ke dalam dekapanku dan aku harus bisa membuat beliau meniduriku.”


Perlahan tapi pasti, aku menyadari jika ada sedikit perubahan dari sikap dan perhatian pak Bakri padaku. Lirikan mata yang semula hanya mencuri-curi pandang ke arah tubuh seksiku, sekarang sudah berani menatap dengan tajam. Senyum yang semula hanya tergurat tipis di wajahnya, sekarang sudah lebih sering terlihat lagi.


Sepertinya, pak Bakri mencoba untuk bisa ‘berkomunikasi’ dengan cara yang lebih intim lagi kepadaku. Bahkan tak jarang, ayah suamiku itu dengan sengaja menepuk atau mengusap tubuhku selagi ia berbicara denganku. Sengaja membuat chemistry yang ada diantara kami berdua menjadi lebih dekat.


Hingga suatu hari, aku memutuskan untuk menunjukkan hal yang lebih kepada ayah mertuaku. Hal yang membuat ayah mertuaku tahu apa tujuanku kepadanya selama ini. Dengan cara memamerkan ketelanjangan tubuhku.


***


Rumah kami adalah rumah petak dengan 2 kamar tidur yang saling berdampingan.Disebelah kamar tidur, terdapat ruang tengah ber-TV, yang diletakkan tepat di depan kamar tidurku. Di ruang tengah terdapat sofa yang menghadap kamar tidurku, dan jika ada seseorang yang menonton TV disitu, dia bisa saja melihat melihat semua kegiatan yang terjadi di dalam kamar melalui pintu kamar tidurku.


Inilah kunci utama yang bisa membuat rencana mesumku berhasil.


Hari itu, di suatu pagi yang cerah, setelah mas Budi dan bu Murni berangkat kerja, pak Bakri sedang menonton acara kegemarannya di TV. Mengetahui jika ayah mertuaku sedang asyik-asyiknya menonton TV, aku segaja lewat di hadapannya dan segera masuk ke dalam kamar tidurku. Aku biarkan pintu kamar tidurku sedikit terbuka, berharap ayah mertuaku bisa melihat aktifitasku di dalam kamar.


Setelah berada di dalam kamar, aku kembali mondar-mandir di dalam kamar, dengan tujuan supaya ayah mertuaku tahu kesibukanku di dalam kamar. Dan setelah ayah mertuaku sadar akan kesibukanku, inilah waktunya aku melakukan pertunjukan perdanaku.


Pada awalnya, dengan posisi tubuh yang membelakangi pintu kamar tidurku yang masih sedikit terbuka, aku sengaja membuka daster pendekku yang basah karena air sisa cucian. Kuangkat perlahan ujung bawah daster basah itu dan kuangkat naik ke atas kepalaku. Semua aku lakukan dengan gerakan lambat dan sedikit menggoyang-goyangkan pinggangku.


Dan setelah daster basah itu melewati kepalaku, aku tak langsung meletakkan daster itu ke tempat cucian kotor yang ada di sudut kamar, melainkan berdiam diri sejenak sambil memamerkan belakang tubuhku yang hanya tinggal mengenakan CD dan bra.


“Pak Bakri, silakan lihat tubuh setengah telanjang menantumu ini, pak.” kataku dalam hari. Beberapa kali, aku kembali mondar-madir di dalam kamar, dengan tujuan supaya ayah mertuaku bisa melihat keseksian tubuhku.


Aku tahu pasti, jika saat itu ayah mertuaku sudah tak lagi konsentrasi dengan acara yang ada di TV. Karena kulihat dari ekor mataku, pak Bakri berulang kali menatap tajam ke arah pintu kamar tidurku yang tak tertutup itu. Dan aku pastikan, beliau sangat memperhatikan semua gerak gerikku di dalam kamar ini.


ASTAGA…!!!


Seluruh tubuhku gemetar dengan penuh kegembiraan. Detak jantungku berdebar dengan kencang, mukaku terasa memanas dan seluruh bulu kudukku seketika merinding. YUP, itu adalah tanda kegembiraan dan gairah seksualku yang mulai meninggi.


Setelah beberapa kali mondar-mandir di dalam kamar dengan hanya mengenakan bra dan CD saja, aku pikir, sekaranglah saatnya aku melucuti semua pakaian dan mempertontonkan ketelanjangan tubuhku yang sebenarnya kepada ayah mertuaku. Jika tadi aku melepas daster basahku dengan posisi tubuh membelakangi pak Bakri, sekarang aku berbuat yang sebaliknya. Aku ingin memperlihatkan keseksian tubuhku dari arah depan.


Kembali aku memposisikan tempat berdiriku di depan pintu kamar tidurku yang terbuka. Kutekuk kedua tanganku ke belakang punggungku guna membuka klip bra, dan membiarkan mangkok pakaian dalamku jatuh bebas ke lantai.


“Pak Bakri, lihatlah payudara menantumu ini.” batinku lagi seiring menelungkupkan payudaraku dengan kedua tanganku. Bra-ku meluncur jatuh dengan cepat, dan payudaraku pun ikut-ikutan terbebas, melompat dengan indahnya ke arah pusar.


Aku melakukan semua hal itu dengan gaya lambat, supaya pak Bakri bisa menikmati ketelanjangan tubuh menantu putrinya ini dengan lebih seksama.


Jantungku berdetak semakin cepat, dan wajahku terasa makin memanas. Mendadak, aku merasa hembusan angin dari AC yang ada di kamar tidurku begitu dingin. Karena merasa kedinginan bercampur horny, bulu kudukku kembali berdiri, putung payudaraku mencuat, dan yang pasti vaginaku makin basah.


Dari sudut mataku, aku sedikit melirik ke arah ruang tengah untuk memperhatikan ayah mertuaku.


“Dia tidak lagi menonton TV. Dia lebih mengawasi diriku yang sedang ada di kamar ini.” batinku.


Dengan berpura-pura tak menyadari tatapan tajam pak Bakri, ayah mertuaku, beberapa kali aku melepas tangkupan tangan pada payudaraku, membiarkan payudaraku bergoyang kesana kemari sambil berdiri menghadap ke arahnya, ayah mertuaku.


KREEK... KLETEK...!!!


“Hhhhhh… leganya.” ucapku pelan sembari berlagak melakukan kebiasaan. Dengan sengaja, aku memelintirkan pinggangku ke kanan dan ke kiri guna melepas pegal. Padahal tujuannya sudah jelas, aku ingin membiarkan pak Bakri melihat daging payudaraku terlempar ke kanan dan ke kiri seiring putaran tubuhku.


Puas memperlihatkan gerakan payudaraku, aku lalu membungkukkan punggungku untuk mengambil daster dan bra-ku yang ada di telapak kakiku. Saat aku membungkuk, aku tahu jika gumpalan daging yang ada di dadaku itu lagi-lagi bergoyang dan bergelayutan jatuh karena gravitasi. Dan seiring aku berjongkok, kembali aku melihat ayah mertuaku yang hanya terbengong-bengong menatap ketelanjangan tubuh indahku.


Kulempar daster dan bra kotorku ke dalam keranjang cuci yang ada di sudut kamar, dan kemudian aku mulai menurunkan CD-ku.


“Pak Bakri, inilah sajian utama dari menantu liarmu ini.” kataku dalam hati sambil mulai menyelipkan kedua ibu jariku ke karet celana. CD ini menempel erat di pinggang dan pantatku, dan aku harus menggoyangkan pantatku guna bisa melepas celana ini dengan cepat.


Sekilas, aku merasa seperti sedang berdansa ketika menyambut ketelanjanganku. Dan melihat ayah mertuaku yang masih tak percaya akan apa yang dilihat oleh kedua bola matanya, aku sengaja memutar tubuhku dan membungkukkan punggungku lagi. Kali ini aku memposisikan tubuhku dengan pantat yang menghadap ke arah ruang tengah. Tujuanku hanyalah supaya ayah mertuaku bisa melihat betapa becek dan basahnya vaginaku saat ini.


“YA TUHAAANNN… apa yang sedang aku lakukan?” tanyaku dalam hati.


Mendadak aku mendengar langkah kaki. Dan seiring dengan suara itu, tiba-tiba aku merasa sangat bergairah.


Aku berbaring di tempat tidur dengan keadaan tubuh telanjang, berharap ayah mertuaku mendekat dan memasuki kamar tidurku. Dan entah darimana, aku tiba-tiba berinisiatif untuk segera meraba selangkangan, menyentil clitoris dan membenamkan kedua jemari lentikku dalam-dalam ke lubang kewanitaanku. Segera saja, aku mulai bermasturbasi.


Karena birahiku yang sudah begitu tinggi, aku seolah tak peduli jika saat itu ada lelaki lain yang sedang melihat ketelanjangan diriku. Aku benar-benar tak mampu menahan lagi rasa gatal yang menggelitik vaginaku. Aku ingin sesegera mungkin menggaruk dan memuaskan keinginan birahiku.


Dan segera saja, kedua jemariku mulai membawa kenikmatan seiring kocokan tajamnya pada vaginaku. Hingga akhirnya, ada semburan panas yang menyeruak ganas pada rongga rahim, dinding vagina dan bibir kewanitaanku.


“OOOooooouuuugggghhhh…” aku orgasme. Vaginaku mengejang. Memijit, meremas dan menghisap kedua jariku dengan kuat. Ini adalah orgasme masturbasi terkuat yang pernah aku rasakan.


Mendadak pandanganku gelap, otot-ototku melemas, dan pikiranku terasa bebas. Nafsuku menghilang dan tubuhku terasa begitu ringan.


LEGA!!!


Sejenak, setelah mengatur nafas sehabis orgasme, aku tiba-tiba sadar, jika aku baru saja melakukan masturbasi di hadapan pak Bakri, ayah mertuaku.


Kuberanjak dari tempat tidur dan segera mengambil handuk yang menggantung di balik pintu kamar tidurku. Kulilitkan handuk itu di tubuhku dan mengintip ke arah ruang tengah. Dengan jantung yang masih berdebar-debar, aku memberanikan diri untuk mengintip keluar dari kamar tidurku, berharap pak Bakri masih ada disitu. Namun harapanku ternyata sia-sia, karena ruang tengah tempat ayah mertuaku tadi berada sekarang kosong. Yang ada hanyalah suara TV yang masih menyiarkan acaranya.


“Kemana pak Bakri berada?”


Entah mendapat pemikiran darimana, aku tiba-tiba ingin memeriksa area kamar mandi dekat dapur. Dan ternyata benar, ayah mertuaku berada di dalam kamar mandi itu.


“Sedang apa ya kira-kira ayah mertuaku di dalam kamar mandi? Apakah ia sedang onani?” tanyaku dalam hati.


Dengan hati-hati aku mendekat ke arah pintu kamar mandi dan menempelkan telingaku ke pintu. Aku bisa mendengarnya terengah-engah dan kemudian, aku terkejut saat dia mengatakan, “Ohh... Fara, kenapa kamu menggodaku, nduk?” ucap ayah mertuaku sambil mendesah-desah keenakan.


“Pak Bakri pasti sedang onani.” ujarku dalam hati. “Iya, pasti pak Bakri sedang mengocok penis besarnya.”


Mendadak, rasa penasaran pada diriku muncul seiring dugaan-dugaan yang ada pada otakku. Mendadak aku ingin melihat, seperti apa bentuk batang kejantanan pak Bakri ini. Mendadak aku ingin tahu, seperti apa penis yang kelak bakal mengaduk-aduk liang senggamaku.


“Lubang kunci.” ucap otakku yang dengan cepat memerintahkan mataku untuk mengintip ke dalam kamar mandi. Dan segera saja, aku berjongkok dan mulai memeriksa keadaan yang sedang terjadi di dalam sana.


“WOOOOWWWWWW…!!!” pekikku kegirangan.


Melihat ada yang ada di dalam kamar mandi, aku merasa begitu senang. Sesenang ketika seorang wanita menemukan barang idaman ketika obral besar, akupun merasa seperti itu ketika mengetahui seperti apa barang kebanggaan ayah mertuaku. Benar-benar jauh lebih menakjubkan daripada yang selama ini aku bayangkan.


“Ya Tuhan, penis pak Bakri begitu besar. Jauh lebih besar daripada penis mas Budi.” girangku sambil terus menatap segala aktifitas yang terjadi di dalam kamar mandi.


Dengan brutal, pak Bakri mengocok batang penis besarnya. Beliau mencekik dan menarik-narik daging yang ada di selangkangannya seolah besok tak ada kesempatan untuk dapat beronani lagi. Kepala penisnya sangat besar dan berwarna sangat merah, batang penisnya hitam dengan urat-urat yang menonjol disekujur batangnya.


“Fara, kau membuatku begitu bernafsu. Andai saja kamu bukan menantuku, pasti sudah aku lumat tetek montokmu. Pasti sudah aku nikmati tubuh seksimu, nduk… shhhh!” desah pak Bakri dari dalam kamar mandi.


“Fara, jika saja kamu bukan istri anakku, sudah aku hajar memek becekmu, nduk, kusodok dengan kontol besarku. Aku pengen menidurimu kamu, nduk. Aku pengen ngentotin kamu, nduuukkkk... ooouugghh… sshhhh…”


OH MY GOD…!!!


“Apa yang telah aku lakukan? Aku telah membuat ayah mertuaku ini terangsang secara seksual. Aku telah menyebabkan ayah suamiku ini bermasturbasi dengan membayangkanku!”


Mendadak aku merasa begitu bersalah.


“Seharusnya, aku tak pantas berbuat seperti ini. Aku adalah istri dari anak kandungnya. Aku adalah wanita yang seharusnya tak memamerkan tubuhku kepada orang lain. Aku juga seharusnya tak sepatutnya bermasturbasi dengan membayangkan ayah mertuaku.”


Namun di satu sisi, aku merasa sangat terangsang. Mendengar desahan ayah mertuaku yang sedang bermasturbasi dengan membayangkan diriku, aku menjadi benar-benar tersanjung. Nafsuku kembali muncul, sehingga aku kembali bergegas ke kamar tidurku dan langsung berbaring di atasnya. Jemari tanganku kembali menyelinap masuk ke dalam celah sempit vaginaku yang masih basah dan aku mulai mengocoknya sambil membayangkan penis ayah mertuaku mengaduk-aduk vagina sempitku.


Aku tutup mata dan mulai mendesah-desah. Masturbasi keduaku pun mulai mendekat, dan tak beberapa lama, aku kembali merasakan nikmat pada pangkal kakiku. Merasakan orgasme yang dahsyat itu membuat tubuhku menggeliat-geliat, hingga pada akhirnya aku merasa lemas, ngantuk dan tertidur pulas dengan pintu kamar yang masih terbuka lebar.


Biarkan saja pintu kamar tidurku itu menjadi saksi bisu tentang kemesuman yang bakal terjadi di rumah ini.


Tak lama, aku mengantuk.


Dan aku tertidur.


Dalam kondisi terlentang tanpa selembar pakaian pun


***


Sore itu, aku sedang menunggu kepulangan mas Budi, suamiku, dan aku benar-benar tak sabar untuk dapat segera bercinta dengannya.


Begitu ia pulang, tanpa basa-basi, aku segera mencium dan mengajaknya masuk ke kamar tidur. Kami berdua langsung bercinta habis-habisan. Berulang kali aku memejamkan mata setiap kali mas Budi menusukkan batang penisnya ke vaginaku. Sambil tersenyum-senyum aku membayangkan jika penis yang menusukku adalah penis Pak Bakri, penis besar ayah mertuaku.


Dengan membayangkan sosok ayah mertuaku, aku merasakan jika ia benar-benar nyata. Aku sama sekali lupa jika saat itu, lelaki yang meniduriku adalah suamiku sendiri.


“Kamu keliatannya sange banget, dek, malam ini?” tanya suamiku keheranan.


Sebuah kalimat yang amat teramat susah buat aku jawab. Apa jadinya aku jika menjawab pertanyaan suamiku. “Iya, mas, adek sange karena tadi siang adek masturbasi di depan bapak.”


Aku hanya bisa mendesah-desah sambil memintanya untuk semakin mempercepat tusukannya. Hingga sebuah gelombang orgasme datang menggulung tubuhku untuk tenggelam bersamanya.


“Maaasss… Terus, mas… adek mau keluar… maaasssss…!!!” jeritku sambil terus meminta suamiku supaya semakin mempercepat sodokan penisnya. Seumur hidupku, aku hampir sama sekali tak pernah merasakan kenikmatan orgasme sedahsyat itu.


“Baru membayangkannya saja, aku sudah orgasme sedahsyat ini.” aku jadi merinding sendiri, membayangkan bagaimana nikmatnya jika persetubuhan yang aku lakukan saat ini adalah persetubuhan dengan ayah mertuaku.


“Aku mau keluar, dek!” pekik suamiku yang ternyata belum orgasme.


Karena keasyikan menikmati lamunan dengan ayah mertuaku, aku benar-benar lupa, jika dalam persetubuhan ini, masih ada seseorang yang belum mendapatkan puncak kepuasannya.


Suamiku dengan susah payah mendaki gunung kenikmatan seorang diri.


“Oooouuuugghhtt… terus, mas… terus…!!!” desahku pura-pura.


“Aku keluarin di dalam ya, dek?” tanyanya.


“Iya, mas. Keluarin di memek adek aja.” jawabku sekenanya.

Entah apa yang terjadi dengan diriku saat ini.


Setelah aku orgasme karena membayangkan persetubuhan dengan penis besar pak Bakri, aku menjadi sama sekali kurang tertarik lagi untuk melakukan persetubuhan dengan suamiku. Yang walau aku cukup menikmatinya, aku menjadi kurang bernafsu akan penis kecil suamiku.


Hingga akhirnya, kami berdua sama-sama kelelahan dan ketiduran dalam kondisi tubuh bergelimang keringat.


***


Pagi telah tiba, dan kesibukan aktifitas sudah kembali seperti hari-hari biasanya. Namun ada satu hal yang sedikit beda dari hari-hari sebelumnya. Yaitu, aku yang sekarang merasa agak malu ketika menghadapi pak Bakri.


Tahu jika beliau melihatku ke arahku saja, aku sudah merasa belingsatan. Dadaku mendadak berdetak lebih cepat dan nafasku mendadak sesak, seperti orang yang terkena sakit asma. Cara pandang pak Bakri kali ini benar-benar beda dari biasanya, agak aneh. Aku merasa, aku harus menghidar darinya untuk beberapa saat ini.


Namun, tak selamanya aku bisa menghindar dari ayah mertuaku, mengingat jika selama ini aku masih tinggal bersama di rumah ini. karena setelah mas Budi dan bu Murni pergi bekerja, mau tak mau, kamipun berduaan lagi di dalam rumah.


Waktu itu pak Bakri menonton TV dan aku harus melakukan pekerjaan rumah tangga.


Pagi itu, entah kenapa, aku merasa suasana yang terjadi diantara kami begitu canggung. Ini tak boleh terjadi, aku harus bisa memecahkan suasana yang dingin ini.


“Pak, bapak mau saya buatkan teh?” tanyaku sopan.


“Hmm… boleh deh, nduk.” jawab ayah mertuaku.


Mendengar jawaban pak Bakri, aku segera ke dapur dan membuatkannya segelas teh. Dan setelah minuman teh itu jadi, aku segera menyajikan padanya.


Entah karena takut, sungkan, penasaran atau sudah gila, mendadak, niat isengku muncul lagi. Tiba-tiba aku ingin memamerkan tubuhku lagi kepada pak Bakri. Dan sebuah ide terbersit dikepalaku.Jika biasanya aku membuat teh, di dapur, kali ini aku ingin membuatkan teh untuk beliau tepat di depan mukanya.


Segera saja aku siapkan secangkir air panas, teh celup, gula dan sendok kecil yang aku susun diatas nampan. Setelah itu, aku menuju ruang tengah untuk membuatkan secangkir teh untuk ayah mertuaku.


“Pak, ini tehnya…” ucapku sambil meletakkan secangkir air panas itu di hadapannya. Aku sengaja memilih posisi berdiri di depan TV, sehingga mau tak mau, pak Bakri melihat diriku.


“Tehnya dicelup dulu ya, pak.” ucapku lagi sambil mencelupkan kantong teh ke dalam cangkir yang berisi air panas itu.


Dikarenakan posisi meja ruang tengah yang cukup rendah, aku harus membungkuk guna bisa agak nyaman mencelupkan kantong teh ke dalam cangkir. Sekaligus memamerkan daging payudaraku yang tersembunyi di dalam dasterku dari celah leher daster. Aku tahu jika celah leher daster yang rendah ini dapat memberikan penampakan payudaraku dengan begitu jelas, oleh karenanya aku sengaja berlama-lama berdiri dalam posisi membungkuk seperti ini.


“Gulanya berapa sendok ya, pak? Saya lupa.” tanyaku lirih, sambil melirik genit ke arah pak Bakri.


“Sa-satu sendok.” ucapnya terbata-bata. Pak Bakri mendadak mengalihkan pandangan ke arah TV ketika aku bertanya. Padahal aku tahu, jika sedari tadi, beliau sedang asyik-asyiknya menatap goyangan payudara menantunya.


Kembali aku tinggal di posisi membungkuk seperti itu selama lebih dari waktu yang dibutuhkan, dan sekilas aku melihat mata ayah mertuaku kembali menatap paudaraku yang masih menggelantung di dalam dasterku.


Dan kejadian lucu terjadi.


Saat ayah mertuaku mengangkat cangkir teh, tangannya gemetar dan napasnya menjadi lebih cepat.


“Kenapa, pak?” tanyaku pelan.


“Enggak, enggak kenapa-napa kok.” jawabnya sambil cepat-cepat menyeruput teh yang masih mengepulkan asal putih.


“Wuah! Fuuuhhh… fuhhh… ternyata tehnya masih panas, nduk!” teriaknya kemudian.


“Hati-hati, pak.” saranku sambil tersenyum.


Melihat pak Bakri yang kikuk seperti itu, aku menjadi merasa yakin, jika saat ini, pikirannya sudah mulai teracuni kembali oleh imajinasi liarnya tentang diriku. Karena ketika melihat ke arah sarung yang selalu ia kenakan ketika di rumah, aku melihat ada sebuah benda yang mencuat dari tengah selangkangannya.


“ASTAGA! Pak Bakri sama sekali tak mengenakan CD di dalam sarungnya.” kagetku dalam hati.


Tiba-tiba aku merasa sangat canggung dan aku segera pamit lalu bergegas ke kamarku. Setelah beberapa saat, aku mendengar ayah mertuaku beranjak dari ruang tengah dan pergi dengan buru-buru ke arah kamar tidurnya.


“Dia pasti sedang sange-sangenya…” ujarku dalam hati.


Melihatnya gelisah karena nafsu, semangatku untuk mendapatkan cinta ayah mertuaku pun semakin menjadi-jadi. Karena, segera saja sebuah ide, kembali muncul dalam pikiran jorokku.


“Aku ingin pak Bakri mengintipku ketika aku mandi.” itu ide cemerlangku hari ini.


Cepat-cepat, aku segera ke dalam kamar, mengambil handuk dan segera berjalan ke arah kamar mandi yang ada di dekat dapur. Dan ketika aku lewat di depan kamar tidur ayah mertuaku, dengan sengaja aku mengetuk pintu kamarnya.


“Pak, saya mau mandi dulu. Kalo butuh apa-apa, tinggal bilang saja.“ kataku pelan dari balik pintu kamar tidur ayah mertuaku. Entah keberanian darimana, aku berkata seperti itu. Karena perbuatan barusan sama sekali tak pernah aku lakukan selama ini.


Rumah kami, hanyalah rumah kecil yang hanya memiliki dua kamar mandi. Satu kamar mandi utama yang ada di dalam kamar tidur pak Bakri, dan satu kamar mandi umum yang ada di dekat dapur. Kamar mandi di rumah ini, semua menggunakan pintu yang memiliki gagang kenop pintu model kuno. Gagang kenop yang memiliki lubang kunci di bagian bawahnya.


Biasanya, aku menggantungkan salah satu pakaian di gagang kenop pintu tersebut guna mencegah orang lain mengintip. Namun kali ini, aku sengaja tak meletakkan apapun pada gagang kenop pintu itu supaya pak Bakri bisa mengintip tubuh telanjangku ketika mandi dari luar.


Supaya beliau tahu jika aku sudah berada di dalam kamar mandi, aku dengan sengaja sedikit membanting pintu kamar mandi. Cepat-cepat aku melepas semua pakaian yang ada di tubuhku dan bersiap-siap untuk melakukan pameran tubuh telanjangku padanya.


Sementara aku melucuti semua pakaian, berulang kali aku melirik ke arah lubang kunci yang ada di pintu kamar mandi, untuk memastikan apakah pak Bakri sedang menonton. Penantian ini membuat tubuhku menjadi panas dingin. Puting payudaraku langsung mengeras dan lendir vaginaku mulai merembes. Nafsu birahiku pun mulai datang, tubuhku mulai merinding dan detak jantungku mulai berdetak dengan kencang.


Kucubit puting payudaraku dan kuremas daging 36D-ku keras-keras. Aku mengerang keras keenakan merasakan sensasi geli yang mendadak timbul seiring remasan tanganku ke payudaraku. Tak tinggal diam, dengan tangan kananku, aku meraba vaginaku yang sudah benar-benar basah. Menggelitik klitorisku dan mulai memasukkan jari tengahku ke dalam celah kenikmatanku.


Kali ini aku tak langsung mandi, melainkan bermain-main dengan aurat tubuhku terlebih dahulu. Sampai beberapa saat kemudian, dari bawah pintu kamar mandi, aku melihat ada bayangan mondar-mandir di depan pintu kamar mandi. Hingga pada akhirnya, bayangan itu sekarang tak bergerak, berada tepat di depan pintu kamar mandi. Aku kembali melihat ke arah lubang kunci dan, YUP!


Aku bisa memastikan jika pak Bakri sedang mengawasiku dari situ.


Dan aku tahu apa artinya, inilah saatnya pertunjukanku dimulai.


Dengan punggung yang menghadap ke arah lubang kunci, aku sengaja melebarkan kedua kakiku. Hal pertama yang akan aku pamerkan kali ini adalah, pantat bulatku. Pantat indah yang cukup lebar, yang selalu membuat banyak lelaki melirik ketika aku berjalan, dan aku bangga karenanya.


Kulebarkan kedua kakiku, membuat pipi pantatku terlihat menonjol. Perlahan, sambil menyenandungkan sebuah lagu, aku geleng-gelengkan bongkahan pantatku dan kemudian aku meraba serta meremas daging bulat yang ada di balakang tubuhku ini.


Dari bayangan yang ada di bawah pintu kamar mandi, aku tahu jika pak Bakri saat ini masih mengintip. Dan hal itu membuatku semakin bernafsu.


Aku lalu membungkuk dan membuka celah pantatku lebih lebar lagi. Aku sengaja menarik pipi pantatku kekanan dan kekiri, guna mempertontonkan celah kenikmatanku yang sudah benar-benar membecek. Merasa pertunjukan tubuh telanjangku sudah terlalu lama, aku memutuskan untuk segera mandi.


Aku guyurkan air dingin melaui shower yang menggantung di atas kepala, dan mengusap kulit putih mulusku. Aku mengambil sabun dan mulai kululurkan ke sekujur tubuhku. Dari posisi yang memunggungi lubang kunci, sekarang aku memutar tubuh ke samping dan mulai menggosokkan sabun pada payudaraku. Aku sengaja menggosok payudara dengan posisi menunduk, supaya pak Bakri bisa melihat, betapa indahnya daging yang menggelantung di dapan dadaku ini. Setelah itu, aku kembali memutar tubuhku dan bersandar pada dinding kamar mandi. Kali ini posisiku berdiri, tepat berhadap-hadapan dengan arah lubang kunci.


“Ooouuugghh… ssshhh…” desahku ketika aku berulang kali mengusap dan meremas payudaraku sembari mandi.


Dengan kedua tangan, aku tangkap daging besar payudaraku dan mulai memijit mereka bersama-sama. Puting merah mudaku yang mengeras pun seolah tak mau ketinggalan, mereka sepertinya ingin dipertontonkan juga.


Aku pilin kedua puting payudaraku dan kembali mendesah. “Ooouuughh... pak Bakri, kenapa kamu selalu menggodaku? Daging besar yang menonjol di selangkanganmu, selalu membuatku terangsang.” bisikku lirih sambil terus memilin puting payudaraku.


“Pasti kontolmu jauh lebih besar daripada kontol mas Budi. Pasti bu Marni selalu ketagihan merasakan sodokan kontol panjangmu.” desahku lagi sembari mulai menyentil-nyentil daging klitorisku.


“Ouuugghhh… pak Bakri, andai kau adalah suamiku, aku akan selalu memintamu untuk meniduriku setiap saat. Entotin aku, pak Bakri. Entotin menantumu ini!”

Melakukan adegan menggairahkan seperti ini, aku merasa tubuhku menjadi begitu panas. Dengan satu tangan, aku dorong payudaraku ke atas dan mencoba untuk menghisap salah satu putingku. Tanpa kesusahan, lidahku mulai menyentuh puting dan menggoda mereka dengan menggerak-gerakkan lidahku.


Aku lalu membalikkan tubuhku kembali, membelakangi lubang kunci dan memamerkan kebulatan pantatku. Lagi-lagi, aku membungkukkan tubuhku dan melebarkan kakiku jauh-jauh. Aku ingin memperlihatkan kepada pak Bakri, sebecek apa vaginaku saat ini. Jari yang semula hanya mengais-ngais klitorisku, sekarang sudah mulai mengobok-obok dengan gencarnya. Tidak hanya satu jari, melainkan 2 jari.


Keluar masuk, keluar masuk, keluar dan masuk dengan lincahnya.


“Oooouughh… pak Bakri, entotin menantumu ini.” ucapku lagi dengan nada yang agak lebih keras.


Entah darimana aku mendapat ide untuk melontarkan kalimat-kalimat mesum itu, yang jelas, aku semakin terangsang dan bersemangat ketika melakukannya. Walau aku tak tahu apakah kalimat-kalimat mesum barusan bisa terdengar oleh pak Bakri yang sedang mengintip dari lubang kunci, tapi aku yakin jika beliau mampu melihat nafsu gerak tubuh telanjangku. Saat ini, ayah mertuaku pasti sangat menginginkanku.


Dan pastinya, aku juga sangat menginginkan dirinya.


Kutusukkan jari tanganku lebih dalam lagi, dan kukencangkan desahan eranganku.


Dari gerak-gerik bayangan yang ada di balik pintu, aku bisa tahu jika saat ini, ayah mertuaku sangat terangsang. Dan dengan membayangkan yang ia lakukan dibalik pintu, membuatku semakin bersemangat untuk mempertontonkan adegan mesumku kepada beliau.


“Masa bodoh pak Bakri akan menganggapku seperti apa! Yang jelas, aku sama sekali tidak rugi untuk mempertontonkan kemesumanku padanya.” batinku.


Merasa sedikit capek karena melakukan masturbasi sambil berdiri, aku memutuskan untuk berbaring di lantai kamar mandi dengan vagina yang mengarah frontal ke lubang kunci. Kulebarkan kaki jenjangku dan kuberikan pandangan organ intimku yang sedang aku hajar dengan jemariku pada pak Bakri.


Aku angkat salah satu kakiku ke udara dan berusaha membuat posisi yang lebih menantang. Dan dalam posisi itu aku mendorong jari-jemariku lebih gencar lagi, dan berusaha menunjukkan pada ayah mertuaku jika aku adalah wanita yang benar-benar cabul. Hingga beberapa saat kemudian, aku merasakan kehangatan yang muncul dari dalam rahimku.


Aku akan orgasme…


“Ooohhhh… oooohhh… ohhhhsss… pak Bakri, aku mau keluar, pak… menantumu akan keluar!!!” teriakku lantang. Kali ini, tanpa rasa malu sedikitpunm aku sengaja meneriakkan namanya.


Tubuhku bergetar tak karuan, sensasi gelinjang kenikmatan itu membuat tubuhku mendadak lemas tak berdaya. Empotan daging vaginaku terasa begitu kencang, mengigit jemari tanganku yang masih menggosok dan mengobel lirih celah kenikmatanku.


“Ooohhh... pak Bakri!!!” teriakku lagi.


Nafasku terasa begitu pendek, aku terengah-engah sambil sejenak istirahat, menggeletakkan badanku di dinginnya lantai kamar mandi.


Orgasme kali ini terasa begitu dahsyat, begitu nikmat.


Untuk beberapa saat, aku coba mengatur nafas, dan sedikit melirik ke arah lubang kunci di pintu kamar mandiku. Ayah mertuaku masih setia mengintipku dari situ. Namun, tunggu sebentar. Ketika aku melihat celah yang ada di bawah pintu kamar mandi, sepertinya aku menemukan ada sedikit hal yang janggal.


Aku melihat, ada tetesan lendir kental berwarna bening yang menetes turun dari balik pintu kamar mandi. Dan setelah sedikit aku perhatikan, ternyata lendir itu adalah...


“ASTAGAAA…!!!”


Aku bisa memastikan jika lendir kental itu adalah sperma. Pak Bakri pasti beronani dari balik pintu kamar mandi. Ayah mertuaku pasti sangat terangsang dan membayangkan kenikmatan yang ia peroleh jika bersetubuh denganku.

Mendadak, aku ingin sekali menyentuh tetesan sperma yang menetes di balik pintu kamar mandiku. Aku ingin mengendus aroma sperma dari lelaki yang selalu aku bayangkan. Aku ingin merasakan bagaimana rasa dan teksturnya ketika sperma itu berada di dalam mulutku. Aku ingin merasakannya.


Tiba-tiba, aku memutuskan untuk menangkap basah ayah mertuaku.


Aku ingin dia tahu jika sedari awal aku sadar akan kehadirannya di luar kamar mandi. Jadi aku sengaja mengambil keran shower, dan menyemprotkannya keras-keras ke arah lubang kunci kamar mandi.


Dan benar, sepertinya semburan air dari keran shower itu mengenai tubuhnya. Karena beberapa saat kemudian, aku melihat bayangan yang ada di balik pintu kamar mandi ini bergerak mundur dan terdengar suara pantat terduduk mirip suara orang terjengkang.


Lalu dengan buru-buru, aku selesaikan mandiku yang tertunda, membungkus tubuh basahku dengan handuk dan langsung membuka pintu untuk keluar.


Seterbukanya pintu kamar mandi, aku tak melihat pak Bakri disitu.


“Cepat sekali perginya bapak tua itu.” batinku dalam hati.


Alih-alih mendapati ayah mertuaku di balik pintu, aku malah mendapati aroma aneh yang sangat aku kenal. Aroma lendir lelaki yang berasal dari pintu kamar mandi.


Dari luar pintu kamar mandi, aku dapat melihat dengan jelas. Tetesan lendir kental berwarna keputihan yang masih terlihat begitu segar. Aku berjongkok dan memperhatikan dengan seksama gumpalan lendir itu. Dan dengan ujung jari telunjukku, aku usap lendir yang menempel lengket di pintu kamar mandi itu. Kuendus pelan ujung jariku, dan mencoba meresapi aroma aneh itu.


“Ini pasti sperma pak Bakri. Dia pasti baru saja masturbasi disini. Dan Pak Bakri pasti membayangkan diriku ketika ia bermasturbasi.”


Aneh, tiba-tiba aku merasa tersanjung. Aku merasa bangga akan diriku.


Kembali aku cium lendir kental yang ada di ujung jemariku, kuhirup dalam-dalam sperma ayah mertuaku dan lalu, menjilatnya.


“Rasanya asin.” Seumur hidupku, aku baru tahu jika rasa sperma adalah asin.


Karena masih merasa penasaran, aku kembali mengusap lendir yang masih menempel di pintu kamar mandi dan lalu memasukkan ujung jari yang berlumuran sperma ayah mertuaku itu ke dalam mulutku. Seolah kesetanan, berulang kali aku mengusap dan menjilat lendir ayah mertuaku, hingga hampir semua lendir itu bersih dari pintu kamar mandi.


“Aku merasa kurang puas, aku butuh sperma lelaki idamanku.” ucapku dalam hati sambil buru-buru meninggalkan kamar mandi.


Kembali, aku melihat ke sekeliling kamar mandi dan dapur, namun aku tak juga menemukan sosok ayah mertuaku.Ternyata,setelah aku akan berjalan menuju kamar tidurku, aku mendapati pak Bakri sedang duduk di ruang tengah sambil mengelap leher bajunya yang basah.


Aneh, kenapa setelah aku puas bermasturbasi dengan membayangkan ayah mertuaku, aku selalu merasa kikuk dan canggung? Seolah ada perasaan bersalah setiap kali aku harus memandang ataupun bertegur sapa dengannya?


Tapi, jangan panggil namaku Fara jika aku harus mengalah pada situasi kikuk seperti ini.


“Kerah baju bapak kenapa? Kok basah gitu?” tanyaku dengan berani sambil berjalan mendekat ke arahnya.


Pak Bakri tampak terkejut mendengar pertanyaanku, tapi kemudian ia tersenyum ke arahku sambil berkata, "I-iya, tadi kecipratan air."


"Air apa? Kok bisa kecipratan air?”


“Tadi habis kena semprot seseorang dari kamar mandi.” jawabnya santai sambil menatap tubuhku yang masih basah kuyup karena air mandi.


“ Loh, memangnya bapak tadi ada di dekat kamar mandi?”


“Nggak juga sih.“


“Lah terus, kok bisa basah, pak?”


“Iya, tadi bapak butuh sesuatu dan bapak ingin memanggil kamu. Tapi karena kamu masih mandi, bapak tungguin aja. Tapi kok setelah bapak tunggu-tunggu, kamu nggak selesai-selesai mandinya…”


“Iya, pak. Saya sedang menggosok badan. Biar bersih, pak. Maklum abis berkeringat.”


“Pantesan lama. Tapi tadi kok tadi sepertinya kamu merintih-rintih di dalam kamar mandi, apa kamu kesakitan? Apa kamu terjatuh?”


DEG…!!!


Ternyata desahan nafasku tadi, dapat terdengar oleh beliau, dan mendadak, mukaku langsung terasa panas. “Ohh, enggak, pak. Itu saya sedang…“ aku tak tahu harus menjawab apa. Tiba-tiba otakku tak dapat aku gunakan untuk memikirkan jawabannya.


“Nggak apa-apa kok, bapak sudah tahu. Lagian bapak juga sudah puas…”


“Puas? Puas kenapa, pak?”


Pak Bakri tak menjawab pertanyaanku, ia hanya tersenyum sambil meneruskan membersihkan cipratan air yang membasahi leher bajunya.


“Ya udah, kamu buruan pake baju gih. Handuknya khan masih basah, ntar kalo nggak buru-buru ganti, kamu bisa masuk angin loh.” ucapnya santai sembari kembali menatapku sambil tersenyum.


Untuk pertama kalinya, aku dapat melihat secara langsung ke arah mata ayah mertuaku. Dan dari perhatiannya, aku merasa jika dadaku seolah mau meledak karena gembira. Mendengar perhatiannya barusan, aku merasa seperti baru saja ditembak oleh panah asmara. Senang, bangga, bingung, malu, semua emosi bercampur menjadi satu.


Sejenak, kami berdua saling bertatapan pandang. Kami sama-sama malu, dan kami sama-sama mau. 


“Saya ganti baju dulu ya, pak.” ucapku pamit dan memutar tubuhku ke arah kamar tidurku.


Namun, ketika aku mulai melangkahkan kakiku, tiba-tiba pak Bakri langsung memegang ujung bawah handuk mandiku dan menariknya dengan paksa.


“Oouuuww! Pak, jangan ditarik, ntar handuk saya lepas!” ucapku genit.


Alih-alih menjawab pertanyaanku, pak Bakri hanya tersenyum simpul. “Toh aku sudah melihat isinya.” ucapnya singkat. “Dan itu yang membuatku susah melupakanmu, nduk.”


Mendengar kalimatnya barusan, aku kembali terbang ke awang-awang, saking senangnya.


“Kamu cantik, nduk.” kata ayah mertuaku. “Dan akan lebih cantik lagi jika kamu mendekat kesini tanpa selembar pakaian pun.” tambahnya lagi, sambil kembali menarik handuk mandiku dengan cepat.


ASTAGA...!!!


Handuk kecil yang menutup tubuhku langsung terlepas, dan seketika aku kembali telanjang. Telanjang di depan mata ayah mertuaku. Telanjang di depan mata ayah suamiku. Telanjang di depan mata lelaki lain.


“Nggak usah malu, nduk. Bapak tahu kok jika kita saling menginginkan hal ini terjadi.” ucap pak Bakri dengan nada pelan. Melihat ketelanjanganku, beliau hanya tersenyum tenang dan memintaku mendekat ke arahnya duduk.


Dengan tubuh telanjang bulat, aku berjalan menuju ayah mertuaku berada.


“Tunjukan kenakalanmu, nduk.” pinta ayah mertuaku “Bapak tahu, jika sebenarnya kamu adalah wanita yang sangat nakal. Wanita nakal yang sangat bapak inginkan.”


Malu tapi mau, sungkan tapi pengen, itulah perasaan yang aku alami ketika mendengar kalimat permintaan dari ayah mertuaku.


Namun, PERSETAN! Aku sudah sangat terangsang, aku sudah tak peduli dengan image seorang istri setia. Yang jelas, saat ini, aku ingin segera ditiduri pak Bakri,ayah mertuaku. Aku ingin mengarungi kenikmatan birahi bersama ayah suamiku. Aku ingin memiliki suami ibu mertuaku seorang diri.


Terlebih lagi, ketika aku melihat ayah mertuaku kembali mengelus-elus tonjolan sarung yang ada di depan selangkangan beliau yang sudah menjulang tinggi, aku langsung membayangkan batang kejantanannya.


“Bukankah beberapa waktu tadi penis itu baru saja orgasme, namun sekarang sudah mengacung tinggi lagi?” heranku. “Pasti penis pak Bakri bukan penis biasa. Pasti penis itu mampu menggaruk kegatalan liang vaginaku. Pasti penis itu dapat selalu memuaskankan dahaga birahiku.”


Merasa nafsuku yang sudah berada di ubun-ubun, sedikit demi sedikit aku mulai menghilangkan rasa malu dan sungkan yang ada di dalam diriku. Sedikit demi sedikit, aku mulai memberanikan diri lagi untuk memamerkan tubuh telanjangku di depan ayah mertuaku. Dan sedikit demi sedikit, aku mulai memerintahkan alam bawah sadarku supaya membuatku merasa menjadi pelacur pribadinya.


“Sini, nduk. Duduk di samping bapak.” pinta pak Bakri sambil melambaikan tangannya ke arahku.


Aku mengangguk dan mulai berjalan mendekat. Sambil berjalan pelan, kutangkap pipi pantatku dan mulai kuremas gemas. Kugoyangkan pinggulku dengan genit sembari berjalan mendekat.


ASTAGA...!!!


Melakukan gerakan-gerakan erotis secara langsung di hadapan ayah mertuaku, aku seolah merasakan sensasi birahi yang sangat menggebu. Rasanya begitu indah, begitu menantang, dan begitu menggairahkan. Aku sebenarnya tahu, jika apa yang sedang kulakukan saat ini adalah sebuah perbuatan dosa, sebuah dosa yang akan membawa kenikmatan bagi diriku, dan ayah mertuaku.


Dan ketika aku sudah mendekat ke arah tempat pak Bakri duduk, aku tak langsung duduk disampingnya, melainkan memutar tubuhku dan membelakanginya.


Aku tiba-tiba ingin menunjukkan organ terpenting dari tubuh wanita kepada ayah mertuaku. Aku ingin menunjukkan celah kenikmatanku yang sudah sangat membasah kepada beliau. Aku ingin pak Bakri menangkap dan menusuk vaginaku dengan penis besarnya dari belakang lalu menumpahkan sperma panasnya di dalam rahimku.


“Jembut kamu lucu, nduk, hitam dan tebal sekali.” puji pak Bakri. “Sibakkan pantatmu lagi donk, bapak pengen lihat liang memekmu.” pintanya lagi.


Seolah mendapat hypnotis, entah kenapa aku menarik lebar-lebar pipi pantatku ke samping.


“Woooww! Memek kamu sudah benar-benar basah ya, nduk?” tanya pak Bakri sambil memiringkan kepalanya, berusaha melihat liang kewanitaannku dengan lebih jelas lagi.


“I-iya, pak. Sudah sangat basah.”


“Kamu benar-benar wanita nakal, nduk.”


“Tapi bapak suka khan?”


Kembali, aku raba dan remas pantat bulatku tepat di depan ayah mertuaku duduk,berusaha menggodanya sambil terus menggoyang-goyangkan pinggulku. Dengan jelas, aku berlagak seperti seorang pelacur yang sedang memberikan undangangratis kepada lelaki lain untuk dapat meniduriku. Yang yang pasti, saat ini aku benar-benar ingin mendapatkan entotan dari ayah mertuaku.


“Entotin aku, pak. Entotin menantu binalmu ini.” ucapku membatin sembari bergoyang erotis. Aku seperti cacing yang kepanasan.


Sekarang, karena nafsuku sudah tak tertahankan lagi, aku menjadi buta akan rasa malu ataupun sungkan. Sekarang, aku berani untuk mengulum puting payudaraku, aku berani untuk menyentil klitorisku, dan aku berani untuk mengobel liang vaginaku. Sekarang, aku melakukan masturbasi di depan mata ayah mertuaku.


“Oooggghh... ooouugghhhh... sshhhh...” desahku pelan sambil menggelinjang-gelinjang keenakan. Kutusuk vagina basahku dengan jemari-jemari tanganku, kukobel klitorisku, dan kupilin-pilin puting payudaraku berulang-ulang. Semakin lama semakin enak, enak dan enak. Hingga pada akhirnya, gelombang hangat itu kembali aku rasakan.


“Ooouuuugggggghhhhhhh… paaaakkk, Fara keluar…” desahku spontan.


Tubuhku menggigil merasakan gelombang orgasme yang segera aku rasakan ini. Orgasme special yang aku dapatkan hanya dari bermasturbasi di hadapan lelaki yang bukan suamiku. Orgasme special yang aku peroleh hanya karena mendapat tatapan mata lelaki lain. Orgasme special yang aku rasakan hanya karena imajinasiku dengan pak Bakri, ayah mertuaku.


Gelinjang nikmat, tak mampu aku tahan lagi. Otot tubuhku mengejang, lututku melemas, dan pandangan mataku mengabur. Aku tak sanggup lagi berdiri di hadapan ayah mertuaku, aku harus menyandarkan tubuhku.


Dengan sisa-sisa tenaga dan vagina yang masih berdenyut hebat, aku bergegas ke kamar tidurku dan merebahkan tubuhku disana. Aku berbaring dengan kondisi tubuh telanjang dan mencoba mengatur nafas.


Sambil merasakan denyut-denyut kenikmatan di vaginaku yang tak kunjung berhenti. Perlahan, aku merasa tubuhku menjadi terasa begitu ringan, seringan kapas. Saking ringannya, hingga terasa melayang ke udara.


***


Terlelap. Aku tertidur.


Aku tak tahu, sudah berapa lama aku tertidur seperti ini. Kubuka mataku perlahan, kutatap pintu kamar tidurku yang masih terbuka lebar. Aku tidur dalam posisi miring, meringkuk dengan posisi udang. Yang jelas, ketika aku terbangun, aku merasa ada sesosok lelaki yang juga ikut tidur di belakang tubuhku.


‘OH TUHAN! Apakah dia pak Bakri?” batinku mempertanyakan sosok lelaki yang ada di belakang tubuh telanjangku.


Kuhirup nafas dalam-dalam dan mencoba mengendus aroma lelaki yang tidur dikamar ini. Dan dari aroma khas ini aku yakin jika, “Astaga! Dia benar-benar ayah mertuaku!”


Entah karena gengsi atau malu, yang jelas aku tak berani menunjukkan kepada pak Bakri jika saat itu aku sudah benar-benar terjaga. Jadi satu hal yang bisa aku lakukan saat itu adalah, hanyalah berpura-pura tidur.


Tiba-tiba, sebuah tangan menyentuh pantatku. Sentuhan itu sangat ringan seolah-olah dia juga takut jika aku akan terbangun. Dari sentuhan perlahan berubah menjadi rabaan, dan dari rabaan perlahan berubah menjadi remasan. Pelan tapi pasti, ayah mertuaku mulai mempermainkan tubuh telanjangku.


Awalnya pak Bakri hanya mengusap pantat, mengelus paha, meraba pinggang hingga pada akhirnya, tangan mesum ayah mertuaku mulai meremas-remas daging bulat pantatku. Mendapat perlakuan tak senonoh dari lelaki yang sering aku bayangkan, gairahku mulai merasuk dan aku merasakan sesuatu yang mulai menghangat di celah kewanitaanku.


Lendir waginaku seolah tak pernah ada habisnya, ia akan selalu keluar setiap kali aku merasakan gelombang birahi sekecil apapun.


Dengan terus berpura-pura tidur, secara inisiatif aku mencoba untuk membalas godaan ayah mertuaku dan menggerakkan tubuhku seolah merasa agak terbangun. Bukannya aku membuka mata dan menegur ketidak sopanan ayah mertuaku yang saat itu sedang meraba-raba tubuhku, aku malah berpura-pura tidur lagi. Namun bedanya, aku mulai berani mendorong pinggulku ke belakang, sengaja menyajikan pantat bulatku ke tangan ayah mertua kesayanganku itu.


Tahu alam bawah sadarku merespon tangan mesum ayah mertuaku, tak beberapa lama, aku mendengar gemerisik pakaian dan yang aku tahu, kasur tempat tidurku sedikit berguncang. Aku yakin jika saat itu pak Bakri sedang melepas semua pakaian yang menempel di tubuhnya.


Dan setelah telanjang bulat, kembali ia memposisikan tubuhnya searah denganku serta meletakkan tangan mesumnya di pantatku sambil berbisik pelan, "Ohhhh, Fara! Mengapa kamu menggoda bapak seperti ini, nduk? Mengapa kamu tidak meminta bapak secara langsung? Apakah kamu ingin jika bapak yang mengambil langkah pertama?” ucap ayah mertuaku lirih.


“Kalo memang itu yang kamu mau... OK, nduk… OK, Bapak disini sekarang! Bapak sudah siap melayani semua kebinalanmu.” tambahnya sambil terus mengusap dan meremas pantat bulatku.


Mendapat perlakuan mesum seperti itu, aku sudah pasti tak akan mampu menahan birahiku. Nafasku mulai memburu dan detak jantungku berdetak semakin cepat.


“Fara! Fara Sayang! Ya Tuhan, tubuhmu begitu indah, nduk! Tubuhmu begitu menggoda! Jika seandainya Budi bukan anakku, bapak rela nduk memperebutkan dirimu dengannya. Bapak rela nduk menukar hidup bapak demi bisa mendapatkan kenikmatan dari tubuhmu. Bapak rela…”


WOW…!!!


Mendengar kalimat dari ayah mertuaku, apa yang bisa aku katakan untuk ini? Aku merasa benar-benar tersanjung. Aku merasa benar-benar senang. Namun karena saat itu aku masih dalam kondisi berpura-pura tertidur, aku merasa tidak berani bangun.


Tiba-tiba, tangan mesum ayah mertuaku yang semula meremas-remas bongkahan pantat bulatku pindah, naik ke arah pinggang, lengan dan akhirnya berhenti di samping payudaraku.


“Oooohhhh…” rasanya begitu berbeda.


Pak Bakri kemudian meraba pelan daging payudara sebelah kananku. Dan dengan perlahan, beliau mulai meraba, mengusap dan meremasnya.


“Oh Tuhaaannn…!” Merasakan perlakuan mesum ayah mertuaku, aku seperti merasa berada di penjara. Aku bisa merasakan nikmat sentuhannya tetapi tidak bisa bereaksi lebih banyak.


ANEH…!!!


Melihat tubuhku yang masih terdiam, Ayah mertuaku semakin berani melakukan aksi mesumnya. Beliau dengan sengaja memajukan tubuh telanjangnya dan menempelkannya ke tubuh telanjangku dari belakang.


ASTAGA...!!!


Aku bisa merasakan, batang panas yang sangat panjang menempel diantara celah pantatku. Batang yang aku tahu pasti sedang berusaha menunjukkan kebesaran dan kekokohannya pada diriku. Pasti ayah mertuaku saat ini sudah sangat terangsang. Terbukti dari batang penisnya yang sudah terasa begitu keras mendorong daging pantatku.


“Batang berkedut pak Bakri, mertuaku, sudah ada di dekat celah kenikmatanku! Sepertinya batang beruratnya sudah siap untuk menjajah lubang kewanitaanku. Sebentar lagi, batang panjang ayah suamiku ini pasti bakal memuaskan vagina milik istri anaknya!”


Tiba-tiba aku merasa serba salah.


Di satu sisi, aku yang masih berpura-pura tidur dan sama sekali tak berani membuka mata, namun disisi lainnya, aku sangat menginginkan untuk dapat menanggapi semua kemesuman ayah mertuaku.


“Fara, tubuhmu seksi sekali, nduk. Bapak benar-benar tak bisa menahan nafsu.” bisik lirih ayah mertuaku ke telinga kananku. “Bapak benar-benar ingin menikmatin tubuh indahmu ini.” tambahnya lagi.


Aku tetap terdiam. Tetap berpura-pura tidur.


Tiba-tiba, aku merasakan tangan mesum ayah mertuaku menelungkupkan jemarinya di payudara kananku. Meraba, meremas dan memilin puting payudaraku dengan gemas. Garutan dan usapan kulit tangan kasarnya di kulit payudaraku, membuat bulu kudukku merinding.


“Ooouuuhhhh…” desah nafasku tertahan. Remasan tangan ayah mertuaku terasa begitu nikmat. Walau Mas Budi, suamiku sering sekali meremas dan memilin putingku, tapi entah kenapa rasanya sangat berbeda dengan apa yang dilakukan oleh ayah kandungnya ini.


Pak Bakri, ayah mertuaku, terus meremas payudaraku dengan perlahan.


“Tetekmu benar-benar besar, nduk, sampai tak muat tanganku meremas daging bulatmu ini.” ucap ayah mertuaku sambil sesekali mengecup lengan dan bahuku.


Perlahan, remasan tangan ayah mertuaku di payudara kananku semakin kuat. Sepertinya ia sengaja ingin membuatku terbangun. Namun. Entah kenapa, walau sudah jelas beliau mengajakku untuk melakukan perzinahan, aku masih benar-benar malu dan takut.


Walau aku masih berbohong dengan berpura-pura tidur, tubuhku seolah mengkhianatiku. Wajahku mulai bersemu merah, nafasku mulai menderu, payudaraku mulai mengeras, putingku mulai mencuat, dan vaginaku semakin membasah. Semua karena perlakuan mesum ayah mertuaku.


Pak Bakri masih terus merangsang tubuh diamku. Berulang kali beliau meremas dan memilin payudaraku demi mendapat respon dariku. Hingga tiba-tiba tangan mesum beliau berpindah dari payudaraku dan meraba vaginaku.


“Wooow! Sepertinya sudah ada yang sange nih.“ kata ayah mertuaku perlahan sambil mulai memilin-milin rambut kemaluanku sembari menggelitik klitorisku yang sudah mengeras. ”Nduk, ternyata kamu sudah siap dientot ya?” tambahnya lagi.


Aku tak menjawab pertanyaannya. Aku hanya bisa terus berpura-pura tidur. Padahal, jika ayah mertuaku tahu yang sebenarnya, aku sudah benar-benar sangat menginginkan tawaran beliau.


“Iya, pak, iya. Aku sudah benar-benar sange. Aku sudah sangat ingin ditusuk oleh kontol besarmu. Entot aku, pak!” pintaku dalam hati. Kuhembuskan nafas panjang dan terus berpura-pura tidur.


Melihat responku, tiba-tiba ayah mertuaku menusukkan salah satu jemarinya ke dalam celah vaginaku. “Hhhhssssshhhh... oouuuhhh…” teriakku tertahan dan secara reflek aku memundurkan pinggulku.


Akibatnya, pantatku menabrak penis pak Bakri yang sudah berkedut hebat. Di depan vaginaku ada jemari tebal pak Bakri yang mulai mengocok vaginaku, dan di belakang pantatku ada batang raksasa ayah mertuaku yang sudah siap menusuk. Maju kena, mundur kena. Malu, sungkan, geli, merinding, pengen, semua emosi bercampur menjadi satu. Emosi yang pada akhirnya hanya menyimpulkan satu kata. NIKMAT!


“Kamu sudah siap, nduk?” tanya ayah mertuaku lagi. “Kamu terus tidur saja, nduk. Biar bapak yang bakal memuaskanmu.”


“OOhhh… jangan goda aku lagi, pak. Aku sudah nggak tahan lagi. Buruan, pak!Buruan ENTOTIN menantumu binalmu ini.” pintaku dalam hati sambil kembali menarik nafas panjang.


“Hmmm… okelah, nduk, bapak anggap kamu juga ingin segera merasakan kenikmatan bersama-sama. Siap-siap, nduk, bapak bakal memuaskan birahimu.”


Seolah mampu membaca kata hatiku, pak Bakri segera menyelipkan telapak kaki kanannya di antara kedua kakiku, dan dengan perlahan ia mulai mengangkat betis kaki kananku keatas. Mencoba untuk membuka celah vaginaku lebar-lebar. Dan setelah betisku terangkat, ia segera memajukan pahanya dengan tujuan mengunci paha dan kakiku supaya tetap membuka. Cara yang unik sekali.


PLEKK…!!!


“Panas sekali,” kurasakan penis besar pak Bakri yang tiba-tiba menempel pada mulut vaginaku.


“Memek kamu benar-benar hangat, nduk. Gemuk!” bisiknya pelan sembari mulai memajukan pinggulnya.


Dan dengan tangan kanannya yang masih mengobel celah vaginaku, tanpa kesulitan beliau menempelkan batang penisnya yang sudah mengeras panjang pada pembukaan celah vaginaku.


“Pasti memek kamu sempit sekali ya, nduk?” ucap pak Bakri yang mulai memajukan batang penisnya.


“Inilah saatnya. Inilah kenikmatan yang aku tunggu-tunggu sejak lama. Ayo tusuk, pak. Tusuk memek anak menantumu ini. Setubuhi istri anakmu…”

Kumundurkan lagi pantatku guna menyambut batang kejantanan ayah mertuaku. Kubuka kakiku lebar-lebar dan bersiap-siap merasakan kenikmatan darinya. Dan karena saat itu vaginaku sudah benar-benar membanjir basah karena cairan kenikmatanku, dengan sekali dorong, penis raksasa ayah mertuaku itu dapat menguak liang tubuhku.


Tapi, LOOOOHHHH…!!!


Ternyata pak Bakri tak segera melesakkan kepala penisnya ke dalam celah kewanitaanku. Beliau malah sengaja menggoda birahiku dengan cara menggesek-gesekkan batang penisnya di mulut vaginaku. Maju mundur, maju mundur, maju dan mundur. Berulang kali pak Bakri menggaruk lubang kenikmatanku dari luar.


“Ssshh… enak, nduk?” desah pak Bakri pelan sambil terus memaju mundurkan pinggangnya. “Luar memeknya aja sudah legit gini, apalagi lubangnya ya, nduk? Pasti menggigit sekali!” tambahnya.


Tiba-tiba, pak Bakri menggenggam telapak tanganku dan membawanya turun ke selangkanganku. Di tempelkannya tanganku pada selangkanganku dan meminta jemari lentikku untuk mengurut kepala penisnya setiap kali kepala penis itu muncul dari gundukan vaginaku.


Dan dari situ, aku bisa tahu jika pak Bakri memiliki penis yang istimewa.


Merasakan ada suatu keanehan dibawah sana, aku yang masih berpura-pura tidur, mencoba untuk melirik ke arah selangkanganku.


“Astaga! Ternyata penis pak Bakri benar-benar panjang.” kagumku yang melihat batang hitam milik ayah mertuaku berulang kali nongol dan tenggelam di balik tonjolan daging gemuk vaginaku. Walau sudah melewati tubuh bawahku, aku masih bisa melihat kepala dan sedikit batang penis pak Bakri.


Penis yang ada di bawah selangkanganku itu terlihat begitu mengkilap karena terbasuh oleh lendir vaginaku. Dan karena gesekan-gesekan batang berurat millik ayah mertuaku itu, aku merasa vaginaku menjadi semakin gatal.


“Ooouuugghhh, pak! Jangan siksa aku seperti ini, pak! Aku sudah nggak tahan lagi.” ucapku dalam hati.


Berulang kali, pak Bakri menggodaku. Memaju mundurkan pinggul dan batang penisnya. Namun alih-alih mendapat kenikmatan akan sodokan batang berurat miliknya, aku hanya merasa gatal karena gesekan batang penisnya di mulut vaginaku.


“Aku harus bisa memasukkan penis itu ke dalam vaginaku!” Aku sudah kehabisan akal, tak tahu harus berbuat apa. Hingga tiba-tiba terbersit sebuah ide.


Untuk beberapa saat, pak Bakri masih saja menggodaku, menggesek-gesekkan batang penisnya diluar mulut vaginaku. Membiarkan jemari tanganku mengurut kepala penisnya dari depan vaginaku setiap kali ia mendorong dan menarik batang penisnya.


“Lendir kamu banyak sekali, nduk.“ bisik pak Bakri sembari menarik penisnya mundur. ”Bapak suka memek yang becek seperti ini. Bapak suka!” tambahnya lagi ketika akan memajukan penisnya.


“Inilah saatnya.” girangku. “Ayo sodok, pak! Buruan majuin batang tititmu keras-keras!”


Aku harus gunakan jemari tanganku yang masih berada di depan selangkangannya.


Ketika pak Bakri memundurkan pinggangnya, aku sengaja mengarahkan kepala penis pak Bakri ke dalam mulut vaginaku. Dan benar seperti prediksiku, ketika beliau memajukan penis dan pinggulnya, jemari tanganku yang menahan penis itu supaya maju kedepan, secara otomatis membelokkannya ke arah mulut vaginaku.


HEEEEEGGGGGG…!!!


Nafasku mendadak tersekat, jantungku mendadak terhenti dan kesadaranku mendadak memudar.


“SAAAKKITTT…!!!” hanya satu kata itulah yang bisa aku rasakan ketika batang penis berukuran besar milik ayah mertuaku secara paksa menerobos rongga kenikmatanku. Secara reflek, karena menerima tusukan tajam dari penis pak Bakri, tubuhku menggeliat maju ke depan. Berusaha menjauh dari hujaman batang penis ayah mertuaku.


“Wwwoooooaaaaa…!!!” pekik pak Bakri keenakan ketika tiba-tiba merasakan batang penis yang didorongnya maju ternyata berbelok ke atas dan masuk ke dalam vaginaku.” Enak banget, nduuukkkk…” rintihnya.


“GILA!!!” desahku dalam hati. “Sakit sekali…!!!”


Aku tak pernah tahu, jika sakit yang aku rasakan bakal seperti ini. Walau saat itu vaginaku sudah berlumuran lendir pelicin dan sudah siap menerima penetrasi sebuah penis, aku tak pernah tahu jika sakitnya akan benar-benar pedih.


Sepertinya vaginaku yang sebelum-sebelumnya hanya menerima sodokan penis kecil milik mas Budi, belum terbiasa untuk dapat menerima batang super besar milik pak Bakri. Dan aku tahu, jika aku ingin cepat mendapat kenikmatan perzinahan ini, aku harus sesegera mungkin beradaptasi dengan ukuran dari penghuni baru vaginaku.


“Aku harus mampu menahan rasa sakit ini.” keluhku dalam hati. Mencoba untuk tak menghiraukan rasa pedih di vaginaku.


“Memek kamu benar-benar basah, nduk.” kata ayah mertuaku dengan nada keenakan. “LEGIT!!!”


Berulang kali, pak Bakri mencium tengkuk dan pundakku dari arah belakang. Mencoba untuk memperlancar jajahan batang penisnya yang sudah setengahnya terbenam di dalam celah kenikmatanku.


Dengan sedikit tekanan, Pak Bakri kemudian mulai menggerakkan pinggulnya maju dan menusukkan batang panjangnya ke dalam vaginaku. Karena aku sudah benar-benar merasa terangsang, rasa sakit itu perlahan menghilang dan berubah menjadi rasa geli nikmat.


Sekuat tenaga aku mencoba merenggangkan otot-otot vaginaku, membiarkan batang nikmat ini menggaruk kegatalan yang ada di dalam rongga kewanitaanku. Hingga setelah beberapa saat, tak ada lagi hambatan yang dirasa ketika batang penis ayah mertuaku menusuk celah kenikmatanku. Mulai dapat meluncur dengan cukup mudah.


“Enak sekali memek kamu, nduk. Jauh lebih enak daripada memek istriku yang sudah kendor.” puji ayah mertuaku sambil menyentil-nyentil daging klitorisku. “Dan satu lagi yang kusuka dari memekmu, nduk. Lendirmu benar-benar banjir.”


Ada sedikit kebanggaan dan keanehan yang kurasa dari ucapan ayah mertuaku barusan. Bangga, karena pujian yang dilontarkan ayah mertuaku akan kenikmatan dari jepitan vaginaku. Dan aneh, karena ayah mertuaku berbeda dengan banyak lelaki lain yang menyukai vagina keset, ternyata ayah mertuaku lebih suka vaginaku yang berlendir.


“Ya Tuhan, perzinahan ini terasa sangat nikmat!” ucapku dalam hati. ”Ayo, pak, setubuhi aku! Tiduri menantumu! Hamili istri anakmu ini!” pintaku dalam hati sambil terus menyuguhkan pinggulku ke arah belakang.


Perlahan tapi pasti, gelombang orgasmeku mulai datang.


“Gila, nduk, lendir memekmu sepertinya tak ada habisnya.” ucap pak Bakri yang kali ini tangannya menggempur klitorisku dengan gemas. “Memekmu wangi dan rasa asinnya, bikin ketagihan.” Berulang kali, ayah mertuaku mengobok vagina basahku, membasuh jemari tangannya dengan lendir pelumasku, lalu mengisap bersih-bersih dengan mulutnya.


“Beda sekali dengan ibunya Budi. Memeknya sepet, bikin sakit kontolku aja.”Kembali aku dibanding-bandingkan dengan istri pak Bakri. Dan kembali aku merasa tersanjung mendengar kalimatnya.


Ayah mertuaku memang penuh dengan kejutan. Terbukti ketika aku sedang mencoba mendalami kenikmatan baru dari persetubuhan terlarang kami, tiba-tiba beliau mencabut batang penis panjangnya dari vaginaku.


“Memek kamu pasti rasanya enak sekali ya, nduk?” tanyanya tiba-tiba.


Dengan cepat pak Bakri memutar tubuhnya, membungkukkan kepalanya ke arah selangkanganku dan menggantikan sodokan batang penisnya dengan lidah kasarnya.


“HHHhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhh…!!!” enak sekali, pak!


Baru kali ini aku merasakan kegeli-nikmatan dari sebuah lidah lelaki.


Sebenarnya, sudah ratusan kali mas Budi meminta diriku supaya mau untuk menerima seks oral darinya, tapi karena aku merasa vagina bukanlah anggota tubuh yang pantas untuk dijilat, ratusan kali pula aku menolaknya. Rasanya aneh, risih, geli, jijik dan ngilu. Sama sekali nggak ada nikmat-nikmatnya.


Namun, entah kenapa ketika melakukan seks oral dengan pak Bakri, aku merasa begitu menikmatinya. Aku merasa benar-benar keenakan. Rasanya benar-benar berbeda jika aku melakukan dengan suamiku.


“Aku pengen terus bisa melakukan perzinahan ini. Aku menikmatinya. Aku tak ingin segera berakhir. Ya Tuhaaannn, enak sekali!!!” desahku dalam hati.


Karena aku masih berpura-pura tidur, aku tak bisa banyak-banyak mengekspresikan diriku. Aku hanya bisa terdiam sambil menggigit bibirku keras-keras setiap kali aku merasakan kenikmatan dari jilatan lidah pak Bakri.


Lidah lelaki tua itu seolah menari-nari didalam vaginaku, menggelitik setiap senti pori-pori vaginaku.


“Hhhhhhsss…” Sepertinya, ayah mertuaku ini memiliki jutaan tehnik bercinta yang membuatku ketagihan. Dengan hanya mendorongkan lidah dan menjilat rongga vaginaku, tiba-tiba aku merasa seperti di ambang orgasme.


“Oooooohhhhhhhh… sssshhhhh…”


Berhasil!!!


Orgasmeku datang dan vaginaku memuncratkan cairan kenikmatannya. Tubuhku bergetar dan mengejang hebat.


Aku tak sanggup berpura-pura tidur lagi. Aku sudah tak mampu menahan nafsu birahiku lagi. PERSETAN jika pak Bakri menganggapku wanita murahan. Yang jelas, saat itu aku sudah benar-benar merasa ingin mendapat jutaan kenikmatan darinya.


Aku yang semula diam, sekarang sudah berani memegang lembut kepala ayah mertuaku yang sedari aku orgasme, masih saja berada di selangkanganku. Namun sekuat apapun aku berusaha menjauhkan kepala beliau dari selangkanganku, sekuat itu pula ia mempertahankan posisinya supaya tetap menjilati vaginaku di bawah sana.


“Memek kamu benar-benar enak, nduk.“ ucap pak Bakri sambil membenamkan mulutnya di liang vaginaku, menghisap kuat-kuat rongga kewanitaanku. Ia seolah tak membiarkan ada sedikitpun lendir orgasmeku yang terlewat olehnya. “ENAK BANGEEEETTTT...!!!”


Pak Bakri memang ahli merangsang wanita, karena beberapa saat setelah orgasme, birahiku mulai kembali lagi. Semua itu hanya ia lakukan dengan lidah ajaibnya. Dengannya, aku merasakan surga.


“Sekarang giliran bapak ya, nduk?” Ucapnya sambil tersenyum. “Bapak bakal ngehukum mantu bapak yang nakal, hehehe…”


Dalam satu gerakan cepat ia kembali ke posisi semula, memutar tubuhnya, merenggangkan kakiku dengan pahanya dan menempatkan penisnya ke arah pangkal pahaku.


“Kamu sudah siap, nduk?” tanya pak Bakri yang mulai menggoda birahiku lagi dengan cara menggesek-gesekkan batang penisnya di luar mulut vaginaku.


“Hhhhhhhhhh…” aku tak menjawab. Aku hanya bisa menghela nafas panjang.


“Siap-siap ya, nduk… bapak mau masukin kontol besar bapak ke memek sempit menantu nakalnya.”


Karena vaginaku yang masih berlumuran lendir pelicin, dengan sekali dorong beliau mampu memasukkan seluruh batang penisnya ke dalam vaginaku.


HHEEEEEGGGGGHHH…!!!


Sejenak, aku merasakan lagi rasa penuh dan sakit akibat sodokan penis besar pak Bakri yang buru-buru itu. Namun, beberapa saat kemudian rasa sakit dan penuh itu perlahan sirna. Tergantikan oleh rasa gelinjang geli dan nikmat yang tiada tara.


Kembali aku merasakan keanehan pada tubuhku. Jika biasanya, setelah orgasme aku merasakan ngilu pada vaginaku dan menolak segala macam stimulus, namun kali ini, aku tak merasakannya sama sekali. Malahan yang ada, aku merasa begitu ingin segera merasakan sodokan-sodokan kasar ayah mertuaku.


“Apakah aku sudah berubah menjadi wanita binal? Wanita pelacur yang selalu gatal akan siksaan penis-penis lelaki lain?”


Sodokan sodokan batang penis pak Bakri semakin dalam. Setiap kali beliau menyodok, semakin dalam pula gatal yang aku rasakan pada dinding vaginaku.


“Akhirnya, nduk. Mentok.” ucap ayah mertuaku yang tiba-tiba memeluk tubuhku dari belakang. “Bapak bisa memasukkan seluruh kontol bapak ke dalam memekmu.”


Kami menggunakan “spoon position”. Posisi yang memungkinkan persetubuhan dengan cara memeluk dari belakang.


Perlahan tapi pasti, pak Bakri mulai menggerakkan pinggangnya, menusukkan batang raksasanya dengan gerakan super lambat. Saking lambatnya, aku bisa merasakan urat-urat yang menonjol di sekujur batang penisnya menggaruk dinding vaginaku.


Bersetubuh dengan ayah mertuaku, aku baru sadar jika penis bisa memijit, aku juga baru sadar jika penis bisa menggaruk kegatalan dinding vagina, dan aku baru sadar jika penis bisa menjadi seperti vacuum yang menyedot serta mengisi kenikmatan di liang vagina wanita.


Semenjak bercinta dengan pak Bakri, aku merasa seolah kenikmatan darinya mampu membalik pemikiranku tentang bercinta dengan mas Budi. Benar-benar berbeda.


JIka dibandingkan, bercinta dengan suamiku sekarang terasa begitu aneh. Bersama suamiku, aku hanya merasa geli, capek, dan terkadang risih. Sehingga secara tak langsung, aku seolah menjadi kurang tertarik jika harus bersetubuh dengan penis kecil suamiku lagi.


Bersama pak Bakri dan batang penisnya yang sebesar botol air mineral, aku merasa berbeda. Ritme, teknik, dan ukuran kejantanan mereka jauh berbeda, sehingga ketika bersama ayah mertuaku itu, aku seolah tidak bisa menolak segala macam kenikmatan yang ia hujamkan ke dalam liang vaginaku.


“Ssshh… oooohhh… hhhsss…” merasakan sodokan-sodokan penis ayah mertuaku, mau tak mau mulutku mulai mendesah. Akting pura-pura tidurku tak lagi aku hiraukan. Kenikmatan ini tak mampu lagi aku tahan dan bendung.


“Enak, nduk?” tanya pak Bakri sambil terus menyodok-nyodokkan batang penis panjangnya pada vaginaku.


“Eehhhhmmmmm… sshhhh…” aku tak menjawab, hanya bisa mengangguk dan mendesah lirih.


“Gak usah pura-pura tidur lagi ya, Fara sayang.“ ucap ayah mertuaku sembari mengecup tengkuk leherku.” Bapak tahu kok jika kamu menikmatinya.”


“Ehhhmmmmm… ooouuugghhh…” jawabku lagi.


“Mau ganti posisi, nduk?”


“Ssshhh… ooouuugghhh…” lagi-lagi aku tak menjawab, hanya menganggukkan kepalaku pelan.


Merasa sodokan nikmat penis pak Bakri, aku sudah tak lagi peduli jika beliau tahu selama ini aku hanya berpura-pura tidur atau sudah terbangun. Bagiku tak ada bedanya.


PLOOOPPP…!!! Suara yang terdengar ketika pak Bakri mencabut penis panjangnya secara tiba-tiba dari vaginaku.


“Telentang, nduk!” pinta pak Bakri singkat. Tampaknya ayah mertuaku benar-benar yakin jika aku mau menuruti permintaannya.


Benar saja, aku menggerakkan tubuhku ke kanan dan telentang pasrah, menunggu sodokan tajam penis ayah mertuaku. Di hadapannya entah kenapa, aku selalu bisa pasrah, mirip boneka yang selalu menuruti perintah pemiliknya.


Dengan perlahan, pak Bakri mengangkat betisku dan meletakkannya di pundaknya.Kali ini ia sepertinya ingin menggunakan posisi misionaris.


Pak Bakri menyetubuhiku dengan kekuatan penuh. Batang penisnya menghujam dengan cepat. Keluar masuk dengan diringi suara kecipak lendir kenikmatanku. Saking cepatnya, ada busa putih yang keluar dari vaginaku seiring keluar masuknya batang penis ayah mertuaku.


“Bapak mau keluar, nduk. Bapak mau ngecrot!” bisik ayah mertuaku dengan tak menghentikan sodokan tajam penisnya.


Tak beberapa lama kemudian, aku merasakan jika tubuh ayah mertuaku mulai bergetar. Nafasnya menderu dan matanya terbalik, putih.


“Keluar dimana, nduk? Keluar dimanaaa?” tanya pak Bakri padaku ketika ia akan mendapatkan gelinjang kepuasannya.


Namun sebelum aku sempat menjawab pertanyaannya, beliau keburu ORGASME.


“OOOOUUUUGGGGHHHHHHH... FARAAAAA!!!” teriak pak Bakri lantang sambil menghujam-hujamkan batang penis besarnya sejauh mungkin ke dalam vaginaku.


Segera saja, aku merasakan 7 kali semprotan air mani panas di dalam dinding vaginaku, dan beberapa detik kemudian orgasmeku pun menyusul.


Orgasme bersama pak Bakri, aku merasakan KLIMAKS yang benar-benar NIKMAT!


Penisnya berkedut dengan hebat, seolah menggelembung dengan besar.


“Bapak puas, nduk. Bapak benar-benar puas.” ucapnya padaku sambil tersenyum. “Makasih ya, nduk, istri baruku…”


“Istri baruku?” aku tak percaya akan ucapan beliau barusan. Apa maksud dari kalimat “istri baruku” itu?


Masih merasa terheran-heran akan perkataan pak Bakri barusan, kembali ia melakukan satu hal yang selama ini tak pernah aku duga-duga. Tiba-tiba pak Bakri memajukan wajahnya dan mencium mulutku. Beliau menciumku dengan bertubi-tubi, seolah tak akan ada lagi hari esok.


Mendapat ciuman dari ayah mertuaku, seketika aku menjadi bangga dan tersanjung karenanya. Pipiku merona dan aku pun mulai memagut mulutnya, membalas ciuman dari ayah mertuaku.


“Istri baruku. Istri baru pak Bakri. Istri baru ayah mertuaku.”


Berulang kali lalimat singkat itu terngiang-ngiang di telingaku. Aku yakin jika sekarang ayah mertuaku sudah jatuh ke dalam dekapanku. Karena dari cara beliau menciumku, aku bisa tahu jika baginya, aku seolah wanita yang benar-benar ia inginkan.


Setelah ejakulasi, pak Bakri menjatuhkan tubuhnya disampingku, tengkurap dengan wajah menghadap kearahku dan tangan yang memeluk perut rampingku. Melihat ayah mertuaku sudah kecapekan, aku hanya bisa kembali pasrah, telentang menghadap langit-langit kamar sambil mencoba mengatur nafas. Kami berdua merasa sangat lelah, namun puas.


Tak henti-hentinya, pak Bakri menciumi tubuh telanjangku sekenanya. Tangan yang semula terdiam di atas perutku mulai ia gerakkan naik untuk menjelajahi payudara besarku. Beliau mulai mengelus dan meremas payudaraku perlahan, mencoba menenangkankan hatiku karena perzinahan yang baru saja kami lakukan.


Kutatap lelaki tua yang ada di samping kananku, kuperhatikan dalam-dalam raut wajah kepuasan yang ia tampilkan. Sambil terseyum pak bakri mulai tertidur. Usapan dan remasan tangannya pada payudaraku mulai terhenti, dan suara dengkuran lirih mulai terdengar.


Kuhirup nafas dalam-dalam sambil membisikkan sesuatu di telinganya.


“Terima kasih, pak Bakri. Terima kasih, ayah mertuaku. Terima kasih, suami baruku…”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar