Jumat, 23 Mei 2014

Sumini, Aku Dinikahi Anak Kandungku



Sumini

Ini adalah cerita kehidupanku yang kutitipkan pada Mbak Din untuk dituliskan, perkenalkan nama saya Sumini, saya lahir dari percampuran darah Malaysia dengan Indonesia. Tepatnya ayahku berasal dari Kedah sedang ibuku dari suku Jawa yang tinggal di Kalimantan. Setelah menikah akhirnya mereka tinggal di kota ************, sebuah kota kecil di perbatasan.


Sebagaimana biasanya penduduk kota kecil, maka masyarakat disana pada umumnya terhitung miskin dan kurang beruntung hidupnya. Begitu juga ayahku yang memiliki darah campuran melayu india. Untungnya aku sendiri dikaruniai wajah yang cantik dan tubuh yang menawan.


Karena kemiskinan pula aku terpaksa menikah diusia 14 tahun dengan seorang laki-laki yang pantas menjadi ayahku, sebut saja nama suamiku dengan Datuk Hamid. Seorang teman lama ayahku saat masih tinggal di Kedah.


Pernikahanku dengan Datuk Hamid, tidak bisa dikatakan tidak bahagia pada awalnya, karena aku masih ingat bagaimana malam pertama kami melakukan hubungan suami istri. Hari itu adalah hari kedua, tepatnya malam ketiga kami menjadi suami istri, barulah kami sempat melakukan hubungan badan.

Kejadiannya berawal setelah kami mengatar handai taulan terakhir yang pulang, setelah merayakan hari pernikahanku, kuingat malam itu Datuk Hamid duduk di sofa sambil menunggu aku yang menyiapkan minuman. Yang mengejutkan, adalah setelah aku menghidangkan minuman dia tiba tiba berdiri dan memegang pundakku dengan tangan kanannya dan menuntun aku menuju kamar kami.

Dengan tersenyum agak malu aku menurutinya. Setelah sampai didalam kamar dia membalikkan tubuhku, hingga kami saling berhadapan dan dia memegang kedua pundakku dan berkata"Sum kamu benar-benar wanita yang sempurna. Aku tidak akan menyia-nyiakanmu malam ini. Aku akan memberikan nafkah batin yang kau butuhkan, sebagai layaknya seorang suami".

Lalu Datuk Hamid mengecup keningku. aku hanya menutup mata dengan menahan gejolak nafsu yang sebenarnya dari tadi aku sudah terangsang berat. Datuk Hamid menciumi kedua mataku sementara kedua tangannya memegang pipiku, hidungku yang mancung dan bibirku dengan lembut namun pasti Datuk Hamid melumat bibir dan lidahku yang membuat aku tak kuasa menahannya hingga aku kesusahan unutk bernafas sampai terengah-engah.

"ahh......ahh.....ahhh...ohh..nghhh. peluk aku mas..ohhhh puaskan aku malam ini".pintaku tanpa malu-malu lagi karena mulai terdorong oleh nafsu. 

"Sabar sayang kita akan lalui malam yang indah ini dengan penuh sejuta kenikmatan yang tak terbayangkan olehmu" jawabnya sambil terus mencumbuku.

Sambil menciumi leherku dia meremas susu kiriku. Kepalaku terangkat ke atas menikmati permainannya sambil mendesah tiada hentinya.

"ohh..ahhhh....ahhh..ahhh...nghhhhhhh...nghhhh ".
 


Sesaat kemudian dia melepaskan dasterku hingga jatuh ke lantai, dan terlihatlah buah dadaku yang sudah mengeras dan kencang. Tanpa basa-basi lagi dia dengan tangan kananya dia memegang daguku dan mencium bibirku dengan lembutnya, sedangkan tangan kirinya berusaha melepas tali pengait BH-ku yang berukurun 36D itu. Setelah terlepas dia mulai mencium leher, lalu turun ke kedua bukit kembarku secara bergantian. Aku hanya bisa mendesah saja.
"ohh.....nghh....nghhhhhh.....ahhhh". Lalu kedua tanganya meremas kedua susuku sementara ciumannya turun ke perut.dan akupun meremas rambutnya dengan kedua tanganku. Lalu sesaat kemudian dia kembali berdiri dan mancium bibirku dan membopongku ke tempat tidur.
Kini yang tersisa tinggal CD (celana dalamku) saja, sementara Datuk Hamid masih berpakaian lengkap. Aku direbahkan ditempat tidur yang sekaligus merupakan ranjang pengantin kami.
Kini dia melepaskan semua pakaian dan celananya, kemudian menghampiriku yang sudah pasrah untuk disetubuhi. Kembali dia mencium bibirku dan meremas susu kiriku, perut dan turun ke selangkanganku serta mengobok-obok vaginaku yang sudah basah dari tadi. "Ayo mas...aku sud...dah tidak ta..han lagiii". "Baiklah sayang. Tahan yaa", jawabnya.
Kemudian dia membuka pahaku lebar-lebar dan terlihatlah gundukkan vaginaku yang ditumbuhi bulu-bulu lebat disekitarnya. Sambil menyibakkan bulu-bulu vaginaku, aku bantu menuntun kejantanannya ke vaginaku, dan blesss......amblaslas penis Datuk Hamid ke dalam vaginaku.
“Aww....” pekikku yang merasa perih sekaligus sedikit kesakitan saat batang kem aluan Datuk Hamid menerobos lubang vagina ku sekaligus merobek selaput keperawananku. “Tahan sayang, sakitnya hanya sebentar kok, lalu setelah itu kamu pasti akan merasakan nikmatnya surga dunia” desis Datuk Hamid ditelingaku.
Benar katanya, tidak lama kemudian perasaan perih dan sakit mulai menghilang digantikan rasa gatal, geli dan nikmat di vaginaku, aah sungguh susah menceritakan kenikmatan yang kurasakan saat itu.
Sambil memegangi punggungku dia mulai memaju mundurkan kejantanannya sehingga berbunyi clep... clep... clep... (Kami melakukan dengan gaya konvensional). Lalu dia mulai menciumi kedua susuku dan leher, serta bibirku.
Sekitar lima menit lamanya kami dalam posisi itu aku sudah tidak kuasa lagi untuk berejakulasi, dan kulingkarkan kedua tanganku ke lehernya, sementara kedua kakiku kulingkarkan kepantatnya sambil mendesah, meracau tak karuan.. ehhhm... nghhhh... nghhhh.. ohhh... ohh.. ehmmm... nghhkk... ohhh... ehk... lalu aku orgasme, mungkin karena aku sudah sangat bernafsu bukan saja sejak mulai percumbuan, tapi sejak hari kami diresmikan jadi suami istri, aku sudah menghayalkan apa yang sering dipergunjingkan kawan-kawan perempuanku dengan diam-diam.Namun Datuk Hamid belum juga orgasme, hingga akhirnya kami merubah posisi kami dengan dia di posisi bawah dan aku ganti berada di atas dengan penis masih menancap di vaginaku. Pergantian posisi itu terjadi atas suruhan Datuk Hamid yang memamng sudah sangat berpengalaman karena dia merupakan seorang duda sebelum menikah dengan aku.
Aku muali naik turun memompa dengan sisa-sisa tenaga yang masih ada, sementara Datuk Hamid memegangi pahaku, lalu kedua susuku yang bergelantungan dengan bebasnya. Kusibakkan rambutku ke belakang dan kedua tanganku ikut membantu meremas susuku bersama dengan tangannya. ohhh... oahk.... eghhhmm.. enghhhh... ahhhh... ahhhhh... enghhh... enghh..... oughhhhhhhhh
Lenguhanku mengumandang dengan kerasnya. sudah hampir sepuluh menit kami dalam posisi ini dan akupun akan orgasme untuk yang kedua kalinya. Namun sebelum itu terjadi Datuk Hamid bangkit dan memelukku erat sambil menciumi kedua susuku, leher, telinga, leher hingga kepalaku mendongak keatas sambil terus memompa. Dan akhirnya aku orgasme Ahhhhhhhh......Ohh..enghhhh..enghhhh.....oh...
Kini aku direbahkan kembali untuk ganti posisi doggie style dengan penis masih tetap menancap di vaginaku. Datuk Hamid memompa maju mundur dengan hebatnya sambil memegangi kedua pantatku, sementara susuku bergelantungan. Kusibakkan rambutku yang panjang ke kiri agar aku dapat melihat apa yang sedang dilakukannya. Lalu dia memegangi kedua susuku dan minciumi punggungku sambil terus memompanya.
Sepuluh menit kemudian dia mengubah posisinya dengan merebahkan tubuhku yang sudah mandi keringat dan meletakkan kedua kakiku di atas kedua pahanya sambil memegangi pundakku, sementara aku meremas sendiri susuku. Akhirnya setelah lima belas menit kembali aku orgasme, tapi Datuk Hamid menyuruhku untuk menahannya karena dia juga akan orgasme untuk yang pertama kali.
Dan akhirnya kami melenguh, lenguhan terakhir kami.... ahhhhhhhhh....... ehhhhmmmmm... ohhhhhhhhh..... yesssssss....... ahhhhhhhhhhh....... ehmmmmmmm.... nghhhhhhh... nghhhhhh.... nghhhhhh. sekitar beberapa kali spermanya menyembur kevaginaku hingga keluar tak tertampung lagi..crooot...crott....crooootttttt.
"oh sungguh nikmat sekali. kamu luar biasa Sum. Dasar perawan punyamu begitu sempit dan legit, aku menyukainya". pujiannya kepadaku. "ahhh Datuk Hamid juga hebat" jawabku.
Kami rebah diranjang dengan kepalaku di atas dadanya dengan keringat di sekujur tubuh kami. Kami benar-benar lemas tiada tenaga lagi yang tersisa, dan kembali Datuk Hamid mengecup keningku dan membelai rambutku yang terurai.
Tapi hari-hari berikutnya, dalam dua puluh empat tahun pernikahan kami Datuk Hamid tidaklah seperkasa seperti malam pertama itu, karena aku kadang mengalami orgasme dalam persetubuhan, kadang bahkan tidak, sementara frekwensi hubungan badan pun tidak sesering yang kuinginkan

Mulanya seminggu sekali, lalu semakin jarang dan semakin jarang, sampai akhirnya empat bulan sebelum kematiannya, adalah terakhir aku disetubuhinya.
Tapi sebagai seorang istri aku tidak dapat menuntut lebih dari itu, toh hanya nafkah batin yang tersendat, tapi nafkah lahir tetap berjalan lancar, dengan standar hidup jauh diatas saat aku masih tinggal dengan kedua orang tuaku.
Setelah menikah akupun ikut suamiku tinggal di Kedah, dan setahun setelah pernikahan kami, akupun melahirkan seorang anak laki laki, yang kami beri nama Roni.
Dan karena Datuk Hamid tidak ingin memiliki anak lagi mengingat usianya. Jadilah Roni menjadi satu-satunya anak kami. Kamipun berusaha sedapat-dapatnya untuk membesarkan Roni, boleh dibilang kami telah memberikan semua hidup kami untuk membesarkan Roni.
Roni sendiri adalah seorang anak yang sangat cerdas, banyak tingkatan sekolah yang dia lompati dan pada usia dua puluh tahun dia telah mendapatkan gelar masternya untuk rekayasa komputer dan teknik informasi.
Empat tahun lalu setelah meraih gelar masternya, dia langsung pergi ke AS untuk bekerja sekaligus berusaha meraih gelar Phd nya dan dia tinggal disana tanpa pernah sekalipun pulang, bahkan dia telah memiliki Green Card untuk tinggal menetap disana. Baru satu tahun yang lalu dia pulang karena suamiku Datuk Hamid meninggal dunia, karena serangan jantung.
Itu adalah kepulangan Roni yang pertama kalinya setelah bertahun-tahun kami berpisah, karena sejak masuk universitas, dia telah terpisah dari kami. Kepulangannya cukup memberi kekuatan bagiku untuk melalui masa berkabung karena meninggalnya suamiku.
Sebuah masa yang sulit bagiku, bahkan rasa-rasanya aku tidak mampu hidup untuk menjalaninya, tapi kepulangan Roni membuat ku mampu bertahan dan bahkan mengubah hidup serta jalan hidupku untuk selama-lamanya.
Oh ya aku lupa mengatakan bahwa saat Roni pulang, dia sudah berhasil meraih gelar Phd nya dan selain bekerja untuk sebuah perusahaan internasional, dia juga membuka usaha sendiri, dibidang rekayasa komputer sesuai bidang keahliannya

Setelah seluruh prosesi pemakaman suamiku selesai, Roni masih tetap tinggal denganku. Kami kemudian menjual semua aset di Kedah dan pergi ke kota ************ untuk tinggal dengan ayah saya.
Sampai saatnya aku kembali tinggal dirumah ayahku, Roni masih tetap menemani saya, meskipun berulang kali kukatakan padanya bahwa aku baik-baik saja dan dia harus kembali ke AS tempat dia menjalani kehidupannya, tetapi dia tidak pernah menuruti kata-kataku. “Sudahlah aku ingin menjalani hidup ini dengan ibu” begitu jawabnya sambil tersenyum setiap kali aku mendesaknya untuk kembali ke AS.



Sebulan setelah ayahnya meninggal dunia, hubungan kami yang telah terpisah lama menjadi semakin dekat, kemana-mana kami selalu bersama, ketempat kursus menjahit yang kuikuti untuk menyibukkan diri, ke salon, belanja kepasar, yang pasti kemanapun kami selalu berdua.
Sikap Roni pun menjadi lebih akrab, dan bahkan intim dengan saya, dia seringkali menyentuh dan memeluk saya, dan selalu ada disekitar saya, nyaris kecuali mandi dan tidur, dia selalu ada didekatku.
Aku sendiri tidak terlalu banyak mengambil perhatian atas sikapnya, apalagi berpikir terlalu jauh, selain bahwa itu adalah caranya untuk memperhatikan dan menunjukkan rasa sayangnya pada saya. Bukanlah merupakan suatu kesalahan kalau seorang anak memeluk ibunya.
Tapi semua anggapan itu kemudian berubah, ketika pada suatu pagi enam minggu setelah kematian suamiku, ayahku memanggilku untuk berbincang-bincang.
“Sum yang lalu telah berlalu, sudah tidak perlu lagi dipikirkan. Suamimu telah meninggal dan kamu yang hidup harus memasuki babak baru dalam kehidupanmu sebagai seorang janda. Karena itu kamu harus mulai memikirkan masa depan kamu selanjutnya”, kata ayah padaku.
“Ayah benar, aku sekarang adalah seorang janda, karena itu tugasku selanjutnya adalah merawat ayah dan Roni anakku, itulah masa depanku” jawabku ringan.
“Tentu tidak Sum, kamu harus memikirkan anakmu, karena itu kamu harus menikah lagi” kata ayah kepadaku, yang langsung kujawab “Tidak ayah, aku tidak ingin menikah lagi dengan siapapun juga setelah kematian suamiku, tolong jangan mengungkap masalah ini lagi”.
Anganku kembali melayang pada masa yang jauh silam, saat aku masih ingin sekolah dan bermain dengan teman-teman, ayahku telah memaksa aku untuk menikah. Meskipun akhirnya aku menerima pernikahan itu karena sikap suamiku yang baik, tapi sungguh selama pernikahanku aku tidak pernah mengenyam getar rasa cinta yang menggelora, seperti yang pernah diperbincangkan teman-temanku secara diam-diam, semasa gadisku dulu.
Anganku terputus saat kulihat ayahku tersenyum menenangkanku, sambil berkata dengan nada lembut, “Kalau kamu ingin terus bisa mengurus anakmu, maka kamu harus mau menikah lagi”.
“Kenapa begitu ayah?, lagipula belum tentu Roni ingin melihat saya menikah lagi”, kataku sambil memikirkan Roni, satu-satunya anakku. “Sudah tentu anakmu pasti akan setuju” jawab ayah sambil kembali tersenyum.
Aku menjadi tertarik dengan kata-kata ayah yang terakhir, “ darimana ayah bisa memastikan Roni setuju dengan pernikahanku kembali” tanyaku pada ayah.

Senyum dibibir ayah semakin lebar, “anakmu bukan hanya setuju, bahkan dialah yang mengusulkan agar kamu menikah kembali” jawab ayah dengan nada santai. Aku tertegun mendengar jawaban ayah, dan saya sedikit terkejut mendengar bahwa anak saya menyarankan saya untuk menikah lagi.
Apa yang terbayangkan dibenak saat itu adalah ‘mungkin Roni berpikir saya adalah beban bagi dia dan rencananya dalam menjali kehidupan selanjutnya’. “Sungguhkah Roni yang mengusulkan agar aku menikah lagi?” tanyaku pada ayah sambil memandang dengan tajam, untuk memastikan jawabannya.
Ayahku mengangguk dengan pasti, tapi dia tidak mengucapkan sepatah katapun lagi. Lama aku terdiam, dan dengan perasaan sedikit terluka karena bayangan yang ada dibenakku ‘bahwa anakku tidak mau terbebani ibunya’ akhirnya aku menjawab, “jika Roni memang menyetujui dan bahkan menghendaki aku menikah lagi, baiklah aku setuju tapi itupun harus menunggu selesai suatu masa seorang perempuan yang ditinggal mati atau dicerai suaminya”.
“Itukan menurut anutan hidup suamimu, ingat ayahmu berbeda anutan hidup dengannya, meskipun kami bersahabat sejak kami masih kecil” jawab ayahku sambil tersenyum. Aku tidak mau dipusingkan dengan anutan hidup tersebut, karena terus terang aku sendiri tidak tahu apa anutan hidupku, karena itu aku bertanya pada ayah “dimana Roni sekarang?”.

“Oh dia sedang pergi ke pasar untuk membeli beberapa macam kebutuhan kita” jawab ayah dengan wajah sumringah, kulihat jelas kegembiraan dan rasa bahagia dimuka ayahku.
“Jadi aku harus mulai berdandan dan berhias kembali untuk menjadikan aku pantas menarik perhatian laki-laki sehingga ada yang tertarik dan melamarku menjadi istrinya?” tanyaku pada ayah.
“Oh tidak, berdandan dan berhias iya, tapi aku sudah memilih seorang calon yang akan menjadi suamimu, dan.... kamu pasti akan menyukainya” jawab ayah.
Aku terdiam sejenak karena sedikit terkejut, akankah terulang lagi aku menikah dengan seorang laki-laki yang bukan pilihanku sendiri, demikian anganku berkecamuk.
“Percayalah, kamu pasti menyukai dia” lanjut ayahku yang rupanya mengerti kesangsianku. Dengan ragu aku bertanya “siapa ?, Roni kenal dengan orang itu?”. “Tentu saja” jawab ayahku dengan nada pasti.
Beberapa lamanya terjadi keheningan, aku tidak mampu berkata apa-apa karena benakku terasa sangat kusut, mengingat pada semua rancangan yang dilakukan secara diam-diam oleh Roni dan ayah, untuk menjadikan aku segera menikah lagi. ‘Sungguh tak kusangka aku telah sedemikian membebani mereka, sehingga mereka ingin segera melihat aku menikah lagi’ begitu perasaanku saat itu.Setelah beberapa lama ayah membiarkanku bergulat dengan perasaan dan fikiranku sendiri, aku kembali bertanya pada ayah, “siapa calon suamiku itu Yah? Katakanlah, aku ingin tahu siapa calon suamiku itu?” desakku.
“Tenanglah, kau tidak akan menikah dengan orang yang tidak kau kenal, kau sudah mengenalnya, jadi apa lagi yang harus kuceritakan” jawab ayah.
Pikiranku berputar mengingat-ingat semua laki-laki yang kukenal, khususnya yang tidak memiliki istri, entah dia perjaka ataupun duda, tapi sungguh tidak terbayangkan olehku siapa orangnya.
“Jangan berputar kayun Yah, katakan siapa sih orangnya” desakku pada ayah dengan sedikit kesal. “Orang itu adalah Roni” Jawab ayah dengan santai.
“Roni.... Roni yang mana ?” tanyaku kembali dengan sedikit bingung. “Memangnya berapa banyak Roni yang kau kenal?” ayah balik bertanya padaku. Aku terdiam mengingat-ingat orang yang bernama Roni.
“Satu-satunya Roni yang kukenal adalah Roni anakku sendiri” jawabku masih setengah kebingungan. “Ya dialah calon suamimu” jawab ayah masih dengan nada santai.
Aku terbelalak bahna kaget, “ Jangan melantur Yah” pekikku menukas kata-katanya. “Jangan bermain-main dengan aku, katakan siapa calon suamiku itu?” tanyaku setengah marah, karena merasa dipermainkan oleh ayah. “Aku tidak bercanda! Roni adalah calon suamimu” jawab ayah dengan tegas sambil memandang tajam kepadaku.
“Apa?” teriakku sambil terlonjak kaget. “Ya Tuhan... Roni.... Roni itu anakku Yah” lanjutku sambil memandang ayah dengan mata terbelak.
“Dia sekarang sudah menjadi laki-laki dewasa Sumini” jawab ayah masih tetap dengan sikap tenangnya. “Tapi.... tapi dia adalah darah dagingku sendiri... bagaimana bisa.... bagaimana bisa dia jadi suamiku?” jawabku tergagap karena emosi dan kejutan yang kualami .
Seluruh dunia terasa berputar dengan cepatnya di mataku, kepalaku terasa pusing mendengar semua itu, sungguh aku tidak pernah menyangka akan hal ini, bahkan dalam mimpi pun tidak, ini sungguh merupakan khayalan brutal dan terburuk yang pernah kudengar dan kualami.
“Dia sendiri yang melamarmu pada ayah... dan dia pantas untuk menikahimu” jawab ayah dengan tegas. “Roni sendiri yang melamarku pada ayah? Dia... dia meminta pada kakeknya agar bisa menikahi ibunya?” tanyaku setengah histeris.
“Ya! Pada awalnya aku pikir dia sedang bercanda, tapi dengan berjalannya waktu, kulihat kesungguhan niatnya, dan kupikir dia layak untuk menikahimu....”. “Apa? Bagaimana dengan nilai moral dan hukumnya menikahi ibu kandungnya sendiri” potongku sambil memandang ayahku dengan tajam.

“Ingat aku berbeda anutan dengan suamimu yang telah meninggal, dalam kitab anutanku dijelaskan bahwa :
* Dewa Krishna menjalani hidup inses dengan saudarinya Subadra, serta berbagi subadra dengan saudaranya Baladewa [Mah.wh.153],
* Pushan Veda adalah kekasih dari adiknya [Rg Ved VI.55.4],
* Dewa Agni adalah kekasih adiknya sendiri [Rg Ved X.3.3],
* Ashvins disebut sebagai anak-anak Savitar dan Ushas yang merupakan adik dan kakak [Apte 11].
* Ashvisns menikah Surya dan Savitri yang adik [RV I.116.19] mereka.
* Saraswati, yang menjadi istri ayahnya sendiri, dan dia adalah adalah putri dewa Brahma. Ada 2 cerita tentang asal usul nya `Saraswati ' di Purana, Salah satunya adalah bahwa Brahma menciptakan putri cantik Saraswati langsung dari `kekuatan vitalnya 'atau cairan mani. Yang lainnya adalah bahwa Brahma mengumpulkan air mani dalam pot setiap kali dia masturbasi untuk memperbaiki mata jasmaninya pada keindahan Urvasi surgawi. semen Brahma dalam pot melahirkan sage Agastya, dan Agastya pada gilirannya melahirkan Saraswati. Jadi, Saraswati tidak memiliki ibu. Ketika Brahma melihat kecantikan Saraswati ia langsung jatuh cinta. Untuk melarikan diri dari pendekatan gairah ayahnya Saraswati lari ke keempat penjuru dunia, tetapi dia tidak bisa melarikan diri dari ayahnya. Dan ahirnya Saraswati menyerah pada keinginan Brahma. Brahma dan putrinya Saraswati hidup sebagai suami dan istri serta terlibat dalam inses selama 100 tahun. Mereka memiliki seorang putra dan seorang putri Swayambhumaru Satarupa", Ayahku berhenti sejenak setelah berbicara begitu panjang. “Sudah kukatakan anutan hidupku berbeda dengan suamimu, tapi kau juga tidak menganut apa yang dianut suamimu, itu aku tahu” lanjut ayah.
“Secara Moral mungkin amoral, Sumini anakku sayang, tapi secara hukum, menurut hukum dia bisa menikahimu, karena engkau adalah seorang janda” ayah melanjutkan uraiannya, sambil menatap balik kepadaku dengan pandangan tajam, sesuatu di dalam matanya membuat aku sedikit gentar, mengingat selama ini aku mengenal dia sebagai seorang ayah yang otoriter, dan dari pengalaman, aku yang jadi anaknya mau tidak mau harus menuruti kemauannya.
“Tapi dia adalah anak ku sendiri, bagaimana mungkin ayah menerima lamarannya? Bahkan jika ayah menerimanya... tapi aku tidak bisa” jawabku sambil mengalihkan pandangan kearah jendela.
Terlambat untuk semua itu Sumini anakku sayang!, ayah sudah menanda tangani perjanjian dengannya” jawab Ayahku sambil terus memandangku dengan tajam. “Perjanjian?... perjanjian apa?” tanyaku.
“Bahwa aku akan menikahkanmu dengan Roni” jawab ayah. “Tapi bagaimana bisa ayah melakukan semua ini?” bantahku sambil menahan tangis. “Aku adalah ibunya dan merupakan anakmu, sedang dia adalah anak saya” lanjutku sambil sedikit tersedan.
“Dia tidak melamarmu padaku sebagai sebagai cucuku, dia melamarmu kepadaku sebagai seorang ayah dari perempuan yang dia cintai” jawab ayah bersikukuh.

“Dan ayah kemudian menandatangani perjanjian! Apa isi perjanjian itu? Apa yang dia janjikan sebagai imbalan bagi memperistri ibunya?” tanyaku sambil mulai terisak.
“Ya dia memberikan imbalan” jawab ayah pendek. “Apa imbalannya?” tanyaku kembali mendesak. Ayah terdiam dan tidak menjawab. “Uang?” desakku dengan emosi. “Uang yah, jadi ayah sekarang menjualku, ayah menjual anak perempuannya dengan harga berapa? murah atau mahal?” kataku semakin emosi.
“Berapa nilainya Ayah, berapa hargaku?” pekikku disela air mata yang tanpa kuasa lagi meluncur dipipiku. “ lima ratus ribu ringgit” gumam ayah menjawab pertanyaanku.
Aku terkejut, sampai isakku terhenti, sungguh aku tidak percaya dengan apa yang aku dengar, jumlah itu sangat besar sekali bagi kami, karena itu aku bertanya sekali lagi kepada ayah untuk meyakinkannya, ayah kembali menjawab bahwa imbalan baginya untuk menikahkan Roni dengan aku adalah lima ratus ribu ringgit. “Roni bahkan mengatakan bahwa dia siap memberi lebih dari itu” lanjut ayah dengan nada tegas dan tidak mau dibantah.
Aku sungguh kaget mendengar itu, tapi entah kenapa disudut hatiku muncul rasa bangga, karena ternyata hargaku tidaklah murah. “Ayah akan meminta lebih banyak... kalau ayah bisa? Sebagai imbalan menjual anakmu kepada cucumu?” tanyaku setengah berbisik.
Dengan nada marah ayah menjawab “Dengarlah apa yang salah dengan semua itu, anakmu menawari aku sejumlah uang untuk bantuanku agar dia bisa menikahimu, sementara itu kau adalah seorang janda, jadi apa salahnya? Selain itu kau toh telah mengenalnya dengan sangat baik dan mencintainya dengan demikian kau akan selalu bersamanya, dan aku tidak menikahkan kamu dengan orang asing”.
Dari nada bicaranya dan sikapnya, aku hapal dari pengalaman bahwa ayah pasti akan memaksakan kehendaknya, dan dia sama sekali tidak mau dibantah. Meskipun demikian aku masih menjawab, “karena itu ayah akan menikahkanku dengan anakku sendiri!”.
“Apa salahnya menikah dengan anakmu!, kau toh sudah mencintainya, sekarang cintailah dia bukan sebagai anak tapi sebagai seorang suami” tandas ayah sambil memandangku dengan tajam.
Dengan menahan tangis yang hampir meledak, aku menjawab “kau sungguh seorang ayah yang sangat egois, sangat memaksakan keinginan sendiri” kataku sambil berlari kekamarku, airmata tanpa dapat ditahan lagi mengalir deras dipipiku.
Aku telungkup diatas ranjang dan menangis sejadi-jadinya sampai ahirnya tertidur karena kelelahan. Entah berapa lama aku menangis dan ahirnya tertidur, saat aku sadar kemabli, jam telah menunjukan pukul lima sore, perutku terasa lapar dan aku segera bangkit berjalan kedapur untuk membuat makan malam.
Setelah sekedar mengisi perut dan kubuat secangkir kopi, aku memeriksa sekeliling rumah, ayah sedang tidak ada, tapi kutemukan Roni ada di dalam kamarnya. 

Segera kubuat secangkir kopi lagi dan membawanya kekamarnya. Terpikir olehku bahwa ini saatnya aku berbicara dan menasehati Roni bahwa tindakannya salah.


Kuketuk pintu dan melangkah masuk, terlihat Roni sedang duduk diatas ranjangnya sambil membaca sesuatu. Sekilas dia menatapku, lalu kembali mengalihkan perhatiannya kepada bacaannya.
“Ini kopi untukmu” kataku sambil menyodorkan cangkir kopi. “Terima kasih” sahut Roni sambil mengambil cangkir kopi. Aku segera duduk disampingnya ranpa berbicara apa-apa.


Beberapa saat kami saling berdiam diri tanpa saling memandang satu sama lain. Sungguh aku tidak tahu bagaimana perasaanku saat itu juga tidak tahu bagaimana aku harus bersikap, membencinya atau mencintainya, entalah.
“Kamu ingin membeli aku?, ibu kamu sendiri” kataku ahirnya memecahkan kesunyian. “Aku mencintai ibu” jawabnya sambil tetap memperhatikan buku yang dipegangnya. “Apa ini cara kamu memperlihatkan cinta kamu? Dengan membeli ibumu sendiri?” lanjutku.
“Aku ingin lebih dekat dengan ibu” jawabnya. “Lebih dekat? Maksudmu seperti sepasang kekasih?” desakku kepada Roni. “Ya” jawab Roni tegas sambil tetap memperhatikan bukunya.
“Ya Tuhan... aku ibumu Roni! Bagaimana mungkin kamu bisa berpikir seperti itu?”. “Karena aku mencintaimu” jawabnya tegas tapi sambil tetap tidak melihat padaku.
Ketegasan dalam suaranya membuat aku bingung, kemarahan dalam hatiku mulai sedikit cair, dan aku kehilangan kata-kata untuk berbicara padanya lebih lanjut, karena itu aku terdiam sejenak.
“Tapi kenapa kamu tega berlaku seperti ini?” tanyaku lagi setelah menyeruput kopi dalam cangkir. Roni terdiam beberapa saat, lalu ahirnya dia menjawab “aku tahu ibu tidak punya teman hidup lagi, dan ibu juga tidak punya teman laki-laki yang intim, sedangkan aku... aku selalu ingin dekat dengan ibu”.
“Tapi kamu bisa tetap dekat denganku sebagai seorang anak!” sergahku padanya. “Iya aku bisa, tapi pada suatu saat, ibu juga pasti akan menyuruhku menikah” jawanya. “Apa salahnya? Kamu menikah dan kita semua bisa berkumpul bersama-sama, kamu akan punya anak dan aku bisa menghjabiskan sisa umurku dengan anak istrimu” jawabku lagi
“Iya , tapi saya ingin menikah dengan ibu dan punya anak dari ibu” kembali Roni menjawab. “Tutup mulutmu Roni! aku ibumu” bentakku kepadanya. “Apapun juga tetap saja aku ingin menikahi ibu” balas Roni dengan tegas.
“Oh... jadi sekarang kau ingin mengatakan kau naksir aku! Bahwa kau terangsang olehku dan karenanya memiliki nafsu syahwat kepadaku, begitu!” sergahku kembali sambil menahan gelora emosi didadaku.Roni terdiam beberapa saat, lalu dia berkata “ya, dan itu sudah kurasakan sejak lama”. Aku terhenyak mendengar jawaban itu karenanya aku juga terdiam beberapa saat. “Sudah berapa lama ? apa sejak sebelum ayahmu meninggal;kan kita untuk selama-lamanya?” tanyaku ahirnya.
“Jauh sebelum itu” jawabnya kembali. “Berapa lama setahun, dua tahun?” desakku kepada Roni. “Hampir enam tahun yang lalu aku mulai merasakan perasaan ini” jawab Roni.
Cangkir kopi yang kupegang nyaris jatuh bahna kaget mendengar jawaban Roni, ‘Ya Tuhan, anakku memendam nafsu birahi kepadaku selama itu, hampir enam tahun’ batinku, lalu dengan pikiran yang kalut, aku berkata lagi, “Kau menjijikkan aku Roni, bagaimana mungkin sampai kau terbit birahi pada ibumu sendiri”. “Karena aku mencintaimu” jawabnya tegas. “Tutup mulutmu” bentakku yang semakin kebingungan. Roni menyeruput kopi nya sampai habis lalu mengembalikannya cangkirnya padaku tanpa berkata sepatah katapun lagi.
Kuangkir cangkir kopinya yang telah kosong, lalu melangkah pergi meninggalkannya sendiri dikamarnya juga tanpa berkata sepatah katapun.
Sisa malam itu kami lalui dengan saling mendiamkan diri, sehingga menciptakan kesunyian yang panjang, sampai saatnya ayahku kembali. Seperti biasa, kami makan malam bersama lalu pergi kekamar masing-masing dengan tanpa berkata-kata. Kami tetap saling mendiamkan satu sama lain.

Malam itu adalah malam yang sangat meresahkan bagiku, sungguh aku tidak menyangka semuanya akan terjadi seperti ini, aku tidak tahu bagaimana dan mengapa sampai aku bisa terperosok kedalam situasi yang kacau dan sulit ini.
Aku terus memikirkan hal ini sepanjang malam, dan semakin aku menganalisanya, aku mulai dapat mengurai masalahnya satu persatu. Satu-satunya hal yang tetap terasa berat adalah bahwa Roni memendam nafsu birahi kepadaku, ibunya sendiri.
Sekarang setelah ayahnya meninggal, dan aku menjadi janda maka dia menjalankan rencananya untuk melampiaskan nafsu birahinya kepadaku. Sungguh ini merupakan suatu hal yang tidak dapat kuterima. Inilah berita buruknya.
Berita baiknya, adalah paling tidak dalam usaha memenuhi keinginan nafsunya itu dia berniat menikahi aku secara resmi, bukan dengan cara pemaksaan dan pemerkosaan atau cara-cara lain yang mengerikan.
Dia sadar aku pasti akan menolaknya, jika dia langsung menyatakan perasaan dan lamarannya kepadaku. Itulah sebabnya dia mendekati ayahku dulu dengan jalan menyuapnya, agar bisa menikahi aku. Aku sadar Roni pasti tahu bagaimana otoriter dan tidak mau dibantahnya ayahku oleh keluarganya.

Sedangkan ayahku sendiri adalah seorang miskin yang selama hidupnya bergelimang dengan kesulitan hidup, apa dayanya ? ayah sangat memerlukan uang, lalu datang tawaran mendapatkan uang yang sangat banyak, pasti ayah tidak mampu menolaknya.
Dengan uang sebanyak yang ditawarkan Roni, dia akan menjadi orang kaya dan dapat menjalani sisa hdupnya dengan tenang dan mewah, tanpa perlu memikirkan uang lagi. Disamping itu diapun tidak perlu dipusingkan oleh aku sebagai anak perempuannya yang telah menjadi janda akan membebani hidupnya.
Ayah juga pasti yakin, bahwa dengan menerima tawaran Roni maka aku anak perempuannya pasti akan dapat menjalani hidup selanjutnya dengan baik dan terjamin, mengingat kalau untuk ayah sendiri disiapkan uang sebesar itu, maka Roni pasti akan dapat menafkahiku dengan sangat baik.
Semakin dipikir untung ruginya, semakin terlihat sisi keuntungannya, rasanya tidak terlalu jelek bagiku. Aku masih bisa hidup dengan Roni dan aku tidak perlu melepas dia pada seorang gadis yang akan jadi menantuku. Roni akan mutlak jadi milikku, dan hidupku pasti akan terjamin dari segi nafkah.
Hanya saja aku harus tidur dengannya sebagai istrinya, Roni akan memiliki hak kebahagian tubuhku yang paling rahasia dan terlarang baginya. Roni akan memiliki hak untuk membuka pakaianku, baju dalam, BH dan celana dalamku, serta melampiaskan gairah birahinya.
Memikirkan gairah birahi terpendam Roni kepadaku selama bertahun-tahun, serta kemungkinan dia melampiaskan gairah birahinya kepadaku, rupanya telah membangkitkan hormon tertentu dalam tubuhku, kurasakan dadaku tiba-tiba menghangat, dan rasa gatal yang basah tiba-tiba timbul di selangkanganku.
Akh... rupanya aku terangsang memikirkan semua itu, sungguh aku tidak percaya vagina bisa basah memikirkan anakku sendiri. Kupikir perasaan dan pikiranku telah mulai berubah, dan semakin berubah. Entah mungkin karena hampir enam bulan aku tidak disentuh laki-laki padahal diusiaku yang menginjak tiga puluh tujuh tahun lebih ini hasratku sebagai wanita normal masih menggebu-gebu, tapi yang jelas rangsangan itu semakin menjadi-jadi.
Tak tahan dengan semua itu aku mulai melucuti pakaianku sendiri, sehingga ahirnya aku telanjang bulat, rasa heran akan gairah nafsu anakku pada diriku membuat aku memeriksa tubuhku di cermin lemari.
Nampaklah seluruh bagian tubuhku yang ramping dan sexy, dengan tinggi seratus tujuh puluh centimeter, kulit kuning langsat, serta lekuk tubuh yang sempurna, pinggang ramping, ditambah buah dadaku yang sedang besarnya tampak masih tegak menantang bentuknya padat, puting susuku dan sekitarnya masih tampak ranum berwarna sedikit merah muda kecoklatan, pantatku montok dan berisi, bagian depannya di bawah pusarku ditumbuhi bulu-bulu kemaluan yang halus cukup lebat, tumbuhnya rata rapi dan tidak terlalu panjang karena menempel di bawah pusarku menyeruak ke atas. Bulu-bulu kemaluanku hanya tumbuh di bagian atas kemaluanku, di sekitar vaginaku tetap bersih dan mulus.

Aku menahan napas ketika terbayang olehku tubuh ini digeluti anakku. Tak tahan lagi aku segera membaringkan diri di pembaringan, sebelah tanganku mulai mengelus-elus belahan vaginaku yang telah basah.
Tanganku yang satu lagi mengelus tubuhku bagian lain, kuelus-elus buah dadaku dengan lembut hingga terus terang menimbulkan rangsangan tersendiri bagiku. Libidoku naik dengan cepat dan hasratku jadi memuncak saat membayangkan yang mengelus-elus ini adalah Roni, mataku yang lentik pun mulai sayu merem melek merasakan nikmatnya usapan tanganku sendiri hingga tanpa kusadari jariku yang tadinya bermain di belahan vagina, kumasukkan ke dalam bibirku.
Kuhisap telunjukku dan kukulum dengan mulutku yang mungil dan berbibir tipis, ada rasa lendir yang sedikit asin di lidahku hingga segera kuturunkan lagi jari-jariku ke bagian buah dadaku. Kali ini bukan lagi belaian yang kulakukan, tapi aku sudah mulai melakukan remasan ke payudara ku.
Kupilin-pilin puting payudaraku dengan menggunakan ibu jari dan jari telunjukku. Nikmat sekali rasanya, terlebih saat tanganku yang satu lagi kuturunkan untuk mengelus-elus selangkanganku. Saat jari-jariku mengenai bibir-bibir vaginaku, aku pun merasakan darah yang mengalir di tubuhku seakan mengalir lebih cepat daripada biasanya.
Aku sudah terangsang sekali, liang vaginaku sudah sangat banjiri oleh lendir yang keluar dari dalam rahimku. Dapat kurasakan ada cairan lain di bibir vaginaku. Lalu jari-jariku kuarahkan ke klitorisku. Kutempelkan dan kugesek-gesek klitoris vaginaku dengan jariku sendiri hingga aku pun tak kuasa membendung gejolak dan hasratku yang semakin menggebu.
Badanku meliuk bagaikan penari erotis yang biasa kulihat di film blue, yang dulu sering ditonton suamiku untuk menaikan gairahnya, kukangkangkan pahaku dengan meletakkan kedua telapak kakiku di samping kiri dan kanan tempat aku berbaring. Jari tengah dan telunjuk tangan kiriku kupakai untuk menyibak bibir vaginaku sambil menggesek-geseknya.
Sementara jari tengah dan telunjuk tangan kananku aktif menggosok-gosok klitorisku sekujur tubuhku mulai mengkilat oleh keringat yang mulai mengalir keluar, dinginnya angin malam yang masuk dari lubang udara kamar tidurku seakan tidak mampu menembus kehangatan yang kurasakan.
Kualihkan jari tangan kananku ke arah lipatan vaginaku. Ujung jariku mengarah ke pintu masuk liang kenikmatanku, kusorongkan sedikit masuk ke dalam. Awalnya memang sedikit agak sulit masuk namun karena aku memang sudah benar-benar horny sehingga lubang vaginaku juga sudah benar-benar basah oleh lendir yang licin hingga berikutnya jari-jariku dengan mudahnya menyeruak masuk ke dalam liang vaginaku. Kini jari tangan kiriku sudah tidak perlu lagi menyingkap bibir kemaluanku lagi hingga kualihkan tugasnya untuk menggesek-gesek klitorisku. 


Kukocokkan jari tangan kananku keluar masuk liang vaginaku.
Jari-jariku menyentuh dan menggesek-gesek dinding vaginaku bagian dalam, ujung-ujung jariku menyentuh benjolan sebesar ibu jari yang ada dan tumbuh di dalam liang vaginaku dan menghadap keluar.
Kuangkat sedikit benjolan tadi dari bawah dengan jariku dan kugesekkan bagian bawahnya, punggung dan kepalaku jadi terdorong menekan pembaringan, seakan hendak pingsan rasanya. Aku sudah benar-banar mencapai puncaknya untuk menuju klimaks saat ada sesuatu yang rasanya akan meledak keluar dari dalam rahimku, ini pertanda aku akan segera mencapai orgasme.
Gesekan jari tangan kiri di klitorisku makin kupercepat lagi, demikian pula kocokan jari tangan kanan dalam vaginaku pun makin kupercepat pula. Untuk menyongsong orgasmeku yang segera tiba, pantatku bergetar hebat, kurasakan kedutan bibir vaginaku yang tiba-tiba mengencang menjepit jari-jariku yang masih berada di dalam liang senggamaku.
Bersamaan dengan itu aku merasakan sesekali ada semburan dari dalam yang keluar membasahi dinding vaginaku. Aku serasa sedang kencing namun yang mengalir keluar lebih kental berlendir, itulah cairan cintaku yang mengalir deras.

Malam itu aku bermasturbasi sambil menghayalkan Roni yang menyetubuhiku, dan ketika semua selesai, terpikir suatu hal yang mengejutkanku, bahwa aku tidak merasa bersalah memikirkan bercinta dengan anakku hanya enam minggu setelah suamiku meninggal.
Keesokan harinya setelah mandi aku masih duduk tercenung sendiri diatas pembaringan sambil memikirkan apa yang telah terjadi tadi malam, berulangkali aku menanyakan pada diriku sendiri kenapa aku tidak merasa bersalah atas apa yang kulakukan tadi malam, tapi hati ini tetap demikian adanya.
Lalu kupikirkan lagi analisa ku tadi malam atas pinangan Roni, satu-satunya yang memberatkan adalah aku harus bersetubuh dengannya kalau aku menerima pinangannya karena aku pasti akan merasa bersalah, tapi dengan apa yang telah kulakukan tadi malam, jelas perasaan bersalah itu tidak muncul.
Jadi apa lagi yang memberatkan, semua hal tampak sangat menguntungkan bagiku, karena itu aku segera mengambil keputusan dalam hatiku. Kubenahi pakaianku dan segera keluar dari kamar dan menemui ayahku. Sejenak aku tertegun ‘apa idak malu aku menanyakannya langsung?’ tanyaku dalam hati. Tapi sebuah pikiran muncul dan sambil tersenyum aku melanjutkan langkahku menemui ayahku.
“Kalau ayah sudah menerima pinangan Roni, jadi kapan pernikahannya akan dilangsungkan?” kataku sambil menyiapkan makan pagi, aku berusaha bersikap tidak acuh saat bertanya begitu kepada ayah, kulakukan seolah semuanya hanya sambil lalu.

Dengan sudut mataku kulihat tiba-tiba wajah ayah menjadi cerah, “aku senang mendengar akhirnya kau menyetujui rencana pernikahan itu anakku” katanya. “Apa ada kemungkinan ayah bisa dibantah?” kataku sambil tetap bersikap acuh tidak acuh.
Sebagai ganti jawabannya ayah hanya tersenyum lebar, “Ayah akan segera menemui guru pendeta di kuil, untuk memastikan tanggal pernikahanmu” kata ayah sambil mulai bersantap pagi.
Kami bersantap berdua karena Roni tidak kulihat batang hidungnya dan aku malu untuk bertanya kepada ayah. Selesai sarapan ayah langsung pergi “ayah kekuil dulu Sum” begitu pamitnya kepadaku.
Tengah hari ayah baru pulang, dan dia langsung berkata padaku “Tadi aku telah menemui guru, dan dia bersedia menikahkanmu enam minggu lagi dari sekarang, tepatnya tanggal 1 Oktober, itulah hari yang bagus menurut pilihan Guru”.
Aku tersentak sedikit, dan diluar sadarku aku bertanya “Begitu lama?”. “He...he...he... rupanya kau sudah tidak sabar ya Sum” goda ayah sambil tertawa. “Bukan itu..” kataku terputus mengingat semakin banyak bicara maka mungkin akan semakin terlihat belangku, karena itu aku berusaha menampilkan sikap acuh tak acuh kembali.
Aku terus memperlihatkan sikap itu pada Roni, aku tidak mau Roni merasa menang karena dia sudah tahu ahirnya aku menyetujui pernikahan kami dan bahkan tanggal pernikahannya telah ditetapkan.
Sengaja aku terus memberi kesan kepada Roni, bahwa aku sebenarnya enggan, dan kalau aku menyetujuinya maka itu adalah suatu hal yang terpaksa karena desakan ayahku, yang juga merupakan kakeknya.
Tapi jauh didalam hatiku, aku merasa seperti gadis perawan lagi yang akan menikah untuk pertama kalinya, bahkan ada kebahagian lebih dalam diri ini dibanding seorang perawan yang akan menikah, karena aku sadar bahwa yang akan menjadi suamiku adalah seorang pria muda yang sangat tampan, yang keluar dari rahimku dua puluh tiga tahun lalu, tepatnya anak kandungku sendiri.
Sejak saat ayah menetapkan tanggal pernikahan, aku memutuskan untuk mulai menggoda Roni, karena itu saat kami bersantap malam bersama, sengaja kugunakan baju daster yang rendah potongan dadanya, saat makan kurasakan seringnya Roni mencuri lihat pada dadaku, diam-diam aku tersenyum dalam hati, rupanya Roni memang benar-benar tertarik padaku, bukan hanya sekedar sikap pura-pura.
Selesai makan malam, Roni mengajakku keluar esok harinya, barangkali ini adalah kencan pertama kami. Dengan sikap sedikit enggan aku menyetujuinya, padahal dalam hati aku sudah punya rencana untuk mulai menggodanya dengan bersikap sebagai teman wanita dan bukan ibunya, sekaligus untuk mengajuk isi hati Roni yang sebenarnya.

Pagi hari yang kutunggu ahirnya tiba setelah tadi malam aku sedikit resah memikirkan rencana yang akan kulakukan untuk menggoda Roni, kupakai baju yang ketat membalut tubuhku, dengan belahan dada yang rendah, sehingga pangkal buah dadaku terlihat, menyajikan awal bukit kembar yang membusung, mengapit lembah ditengahnya.
Roni terlihat menatap belahan buah dadaku dengan mata nanar sambil menelan ludah, saat dia bertanya apakah aku sudah siap, kuanggukkan kepala dan kamipun berangkat dengan menggunakan bus menuju tempat wisata, sebuah pantai yang cukup indah.
Disana kami bermain persis seperti sepasang remaja yang tengah mekar, bermain ombak, saling sembur dengan air, berlari dipantai sambil tertawa dan lainnya. Aku benar-benar mencoba tidak bersikap seperti seorang ibu kepadanya, tapi tingkahku lebih mirip teman wanitanya.
Puas bermain air kami melanjutkan perjalanan ke sebuah kota besar, siang itu kami bersantap disebuah restauran terkenal, lalu berbelanja disebuah butik. Roni memaksaku untuk belanja baju-baju bermerk yang selama ini tidak pernah terbeli oleh ku. Dipilihkannya baju-baju yang seksi dan menonjolkan keindahan tubuhku. Roni bahkan membelikan dua baju bikini karena aku sempat berkata kepadanya bahwa aku tidak punya punya bikini untuk berenang saat dipantai tadi. Sudah tentu bikini yang seksi.
Menjelang gelap kami baru selesai belanja, dengan bergandengan tangan dia mengajakku masuk sebuah restauran dan kami bersantap dengan hanya diterangi cahaya lilin serta diringi musik klasik. Kami bersantap sambil berbincang kian kemari, sementara tangannya acap kali memegang tanganku dan meremasnya pelan-pelan.
Aku benar-benar terbuai dengan sikapnya, perasaanku melambung tinggi kelangit ketujuh, sebuah gelora yang hangat melanda hatiku dan nyaris menenggelamkan akal warasku. Sikap Ronilah yang menyebabkan semua itu, kemesraan dan keromantisannya kepadaku begitu menyanjungku.
Ini adalah suatu hal yang tidak pernah kudapatkan dari suamiku sejak awal pernikahan kami sampai saatnya dia meninggal. Sebuah perasaan asing tapi begitu menggelora melanda hatiku, dan membuat aku yang tadinya berpura-pura berlaku seperti teman wanitanya, menjadi benar-benar hanyut dan kehilangan naluri keibuanku, aku kehilangan bentuk pura-pura tapi berubah menjadi kenyataan. Aku bahkan berharap benar-benar dia tidak lahir dari rahimku.
Selesai makan aku berkata kepadanya “Sudah malam Ron! Kita pulang yuk” ajakku kepadanya, “Sebentar bu, tadi kulihat ada film yang bagus, kita nonton dulu ya” jawab Roni sambil meremas pelan jemariku dan menatapku dengan mesra, aku sedikit tersipu melihat tatapannya, dan hanya bisa mengangguk menyetujui ajakannya.

Kami kemudian menonton film, sebuah film drama yang banyak adegan mesranya, tempat kami duduk dibelakang, dan tidak banyak penonton yang datang, mungkin karena harga tiketnya yang cukup tinggi. Atau karena ini merupakan pertengahan bulan, sehingga orang-orang sudah mulai berhemat seperti juga aku dulu? Entahlah, tapi yang pasti dalam gedung pertunjukkan suasananya cukup sepi.
Saat film berjalan, kulihat Roni melingkarkan tangannya dibahuku, dan aku membiarkannya, ‘mungkin tangannya pegal karena membawa barang belanjaan kami sejak tadi’ pikirku, dan bahkan tanpa sadar, badanku jadi sedikit doyong kearah tubuhnya.
Berikutnya perhatianku mulai terampas dari adegan romantis dan mesra difilm, karena kurasakan tangan Roni mulai menangkup buah dadaku yang sebelah kiri. Terus terang aku bingung apakah ini suatu hal yang disengaja atau tidak, tapi yang jelas dadaku mulai bergemuruh, perasaan hangat yang menggelora muncul dengan tiba-tiba.
Perhatianku dari film benar-benar teralih waktu kurasakan tangan Roni meremas pelan buah dadaku, pelan sekali caranya meremas bahkan boleh dibilang setengah mengelus, gairah nafsu kembali muncul dengan kuatnya dalam hatiku, kurasakan vaginaku mulai terasa gatal dan basah. Sejenak aku terdiam sambil terus berpura-pura menonton. Sementara dalam hatiku berperang antara naluri keibuanku dengan naluri kewanitaanku, yang telah lama tidak merasakan kehangatan laki-laki.
Kubiarkan beberapa saat tangan Roni yang nakal meremas buah dadaku, tapi saat tangannya mencoba menerobos masuk lewat bagian atas bajuku, segera kupegang tangannya, tapi aku tidak menepiskan atau menjauhkannya dari buah dadaku. Aku hanya memegangnya agar dia tidak memasukkan tangannya kedalam belahan bajuku dan tidak meremas buah dadaku lagi.
Udara didalam gedung pertunjukkan yang tadinya dingin karena semburan air conditioner ditubuhku terasa mulai terasa menghangat karena gejolak didalam diriku, tenggorokan ku terasa kering, aku melepaskan pegangan tanganku untuk mengambil gelas minuman yang ada dalam pangkuanku.
Roni mempergunakan kesempatan itu untuk meremas kembali buah dadaku, dan aku membiarkannya sambil pura-pura asik menyedot minuman, tapi saat tangannya kembali ingin masuk kedalam baju, cepat-cepat kupegang kembali tangannya yang nakal itu.
Aku benar-benar sudah tidak memperhatikan film lagi aku bahkan tidak tahu bagaimana jalan ceritanya, yang kurasakan adalah tubuhku yang semakin memanas, dan kehangatan liar menjalar didalam tubuhku, seperti sejuta aliran listrik menyelusuri tubuhku terutama dicelah selangkanganku. Kehangatan yang nikmat dan menyebabkan nafasku terasa sesak, tubuhku bergetar dan sekaligus menyebabkan vagina ku semakin basah.


Byar... tiba-tiba lampu di gedung pertunjukkan menyala, dengan cepat aku menepiskan tangan Roni dari dadaku, jantungku berdentang dengan cepat mataku liar mengelilingi seluruh ruangan, takut dan malu kalau ada yang menyaksikan ulah Roni padaku.
Tapi semuanya tampak aman, penonton perlahan mulai bubar dan berjalan dilorong sebelahku. Akupun bangkit berdiri sekilas kulihat selangkangan Roni menonjol keluar, aku segera berpaling sambil tersipu, dan tidak berani memandang lagi.
Kami saling berdiam diri saat keluar dari gedung pertunjukkan, aku berjalan didepan menuju terminal bus dan Roni mengikuti dibelakangku. Sambil berjalan perasaanku diaduk rasa malu, takut, menyesal tapi juga sekaligus bergairah, tapi ahirnya naluri kewanitaanku yang menang, konon lagi aku juga tidak merasa bersalah.
Itu sebabnya saat melewati toko herbal yang menjual macam-macam jamu dan ramuan dan dekat dengan tertminal, aku berhenti “belilah tiket bus, aku menunggu disini” kataku pada Roni. Roni mengangguk dan berjalan meninggalkan aku. Kutunggu sejenak setelah Roni agak jauh, aku segera masuk kedalam toko itu.
Kuingat cerita ibu-ibu saat arisan dulu, bahwa seorang perempuan yang makan ramuan tertentu akan menyebabkan vaginanya seret, serta mengempot keras bak gadis perawan. Aku bahkan pernah sekali mempraktekkannya, dan hasilnya ayah Roni langsung knock out saat memasuki diriku, “Duh Sum vaginamu betul-betul seret dan meremasku dengan kuat, hingga aku tidak tahan merasakannya” begitu keluh suamiku saat itu. Padahal aku hanya mencobanya sekali.
Kuhitung jarak hari pernikahan kami, lalu kupesan paket ramuan untuk dua bulan lamanya dan dengan cepat membayarnya, kusembunyikan belanjaanku ini diantara tumpukan baju yang Roni belikan untukku. Untunglah saat semuanya selesai Roni baru datang, sehingga dia tidak tahu ulahku.
Mari Bu, tiketnya sudah ada dan busnya akan berangkat lima menit lagi kata Roni sambil mengambil barang belanjaan kami, aku mengikutinya dan naik kedalam bus. Tidak lama kemudian bus mulai berjalan menyusuri gelap malam. Setelah keluar dari kota lampu dalam bus dimatikan, sehingga keadaan dalam bus remang-remang.
Kulirik jam tangan yang dipakai Roni, ternyata sudah hampir jam sepuluh, sebagian besar penumpang mulai memejamkan mata mengingat perjalanan akan memakan waktu hampir tiga jam.
Akupun bersandar didinding bus sambil memperhatikan jendela, melihat gelapnya malam yang sekali-sekali diterangi lampu kendaraan dari arah yang berlawanan. Benakku dipenuhi kenangan dari yang kami lakukan sepanjang hari tadi. Rupanya karena lelah, tanpa terasa mataku terpejam dan tertidurlah aku.

Entah berapa lama aku tertidur, yang jelas aku terbangun oleh benturan kepalaku dengan dinding bus, aku tersentak kaget mataku meliar memperhatikan sekitar, tapi rupanya para penumpang bus hampir seluruhnya tertidur. Mereka hanya sejenak terbangun oleh guncangan bus yang melintasi lubang dijalan, tapi kemudian tertidur lagi.
“Jam berapa sekarang” tanyaku pada Roni, suaraku bergetar, dan tubuhku sedikit menggigil oleh dinginnya air conditioner dalam bus. “Jam sebelas seperempat” sahut Roni yang masih terjaga. “Ibu kedinginan?” tanyanya sambil melepas jaket yang dipakainya. Aku mengangguk, sambil merapat pada tubuhnya.
Roni menutupkan jaketnya pada bagian depan tubuhku, “tidur lagi saja, masih lama kok perjalanannya” desisnya sambil menarik tubuhku sehingga aku menyender pada tubuhnya. Aku mengangguk sambil mulai memejamkan mataku kembali, dan membiarkan Roni melingkarkan tangannya di bahuku.
Aku kembali terlena entah berapa lamanya sampai kurasakan ada tangan yang meremas lembut buah dadaku yang kanan. Aku terbangun tapi sebuah pesona seperti yang kualami di dalam gedung pertunjukkan kembali melanda diriku.
Sebuah aliran hangat menjelajah liar didalam tubuhku, terutama diselangkanganku dan menyebabkan vaginaku kembali basah, puting susuku yang dielus Roni dari luar bajuku terasa mengeras. Kembali naluri keibuanku dan naluri kewanitaanku berperang, tapi hanya sebentar, dengan hasil naluri kewanitaanku yang tampil sebagai pemenang.
Sambil tetap berpura-pura tidur, kubiarkan dan bahkan kunikmati remasan lembut tangan Roni dibuah dadaku, aksinya ini tertutup jaket yang menutup tubuh bagian depanku. Jantungku berdetak dengan cepat dan napasku mulai terasa memburu, tapi kucoba tetap menenangkan napasku agar tampak tetap seperti orang yang tidur.
Kurasakan tanganku yang terdampar di paha Roni dekat selangkangan menyentuh benda yang menonjol dan keras, tapi kubiarkan saja karena semuanya membuat aku semakin dilanda gelora napsu kewanitaanku.
Ketika kurasakan tangan nakal itu mencoba memasuki bajuku dari belahan dadaku, tanpa terasa aku menggeliat. Dan tangan itu langsung diam, tapi karena aku tetap berpura-pura tidur, tak lama kemudian tangan itu meneruskan aksinya dan mulai memasuki bajuku, lalu kurasakan tangan itu meremas kembali buah dadaku diluar BH ku dan mengelus putingnya yang semakin mengeras.
Ingin aku melenguh melontarkan gelora perasaanku yang semakin menyesakan napas. Tapi kutahan sedapat mungkin. Aku tetap berpura pura tidur. 

Dan ahirnya kurasakan tangan itu mulai masuk kedalam BH ku, kini kurasakan tangan nya yang panas menangkup buah dadaku tanpa ada penghalang lagi, tangan itu mulai meremas-remas dengan lembut buah dadaku, diselingi dengan mengelus-elus putingnya yang tegak mengeras.
Tak tahan lagi aku melenguh sambil sedikit tergeliat, tapi kusamarkan semua itu seolah-olah gerakan orang tidur saja, tapi akibat pergerakkan itu tanpa sadar pergelangan tanganku jadi menyentuh batang keras yang menonjol diselangkangan Roni.
Kini giliran Roni yang tergeliat sambil menggeram pelan “ehm..”, tangannya meremas agak kuat buah dadaku, tapi kembali dia mengelus dan meremas lembut buah dada ku yang diselingi dengan mengelus dan menjepi putingnya dengan jari tangannya.
Akal warasku semakin hilang, kuikuti guncangan bus dengan menyentuh batang keras dan menonjol diselangkangannya, dengan pergelangan tanganku. Kudengar napas Roni menjadi semakin berat dan memburu, seperti baru berolah raga berat.
Aku baru tersentak saat kudengar penumpang didepanku berkata pada penumpang disebelahnya, “Ugh... nyenyak sekali tidurku, sudah sampai mana kita?”. Lalu kudengar jawaban dengan suara setengah tidur, “entah aku juga tidak tahu”.
Hawatir penumpang didepan membalikkan badannya dan menemukan aksi Roni akupun menggeliat seperti orang yang mau bangun tidur. Kurasakan tangan Roni cepat keluar dari bajuku, dan seolah tidak terjadi apa-apa tangan itu menclok di bahuku.
“ehm... ugh... nyenyak sekali tidurku, jam berapa sekarang” tanyaku meniru ulah penumpang didepanku, “lewat tengah malam, sebentar lagi kita sampai” jawab Roni hampir berbisik. Pergerakkan bangunku rupanya menyebabkan telapak tanganku hampi menyentuh batang keras diselangkangannya yang masih saja keras, taipi sengaja kubiarkan seakan-akan aku tidak sadar.
Kuperhatikan penumpang didepanku, ternyata mereka kembali tertidur, “aku ingin mengajak ibu rekreasi lagi” kudengar Roni berbisik ditelingaku. “Ih... baru saja mau pulang sudah mengajak main lagi, belum puas ya mainnya” jawabku dengan suara pelan.
“Kudengar tempat wisata *********** sangat indah panoramanya, bagaimana kalau kita main kesana” ajak Roni kepadaku, “tempat wisata sih banyak yang indah, kau sich lebih memilih tinggal di Amerika, padahal di tanah air ini banyak sekali tempat yang indah, tak terhitung malah” jawabku.
“Kapan kau akan kembali ke Amerika dan meninggalkanku?’ tanyaku sambil mengajuk hatinya. “Aku tidak akan pernah meninggalkan ibu... tidak sama sekali, kemanapun aku pergi ibu harus ikut” jawabnya tegas. “Kenapa harus? Tidak malu memang kamu selalu membawa perempuan tua seperti aku?” kembali aku mengajuk hatinya. Roni menggerakkan tangannnya yang memegang bahuku, sehingga aku berpaling kepadanya.

“Kenapa... karena aku mencintai ibu, dan jangan membuat aku tertawa, ibu tidak terlihat tua tapi masih seperti gadis diusia dua puluhan... aku berkata sungguh-sungguh” katanya sambil menatapku.
“Aku mencintai ibu” desisnya, “sungguh...” katanya lagi sambil tiba-tiba mencium pipiku, mula-mula pipi kiri lalu pipi kanan. “aku akan membuktikannya...” katanya dan tiba-tiba saja bibirnya telah menyentuh bibirku lalu mengulumnya.
Aku tersentak dan terlena, tanpa sadar tanganku jadi mencengkram batang keras diselangkangan Roni. Kurasakan Roni terus mengulum bibirku, dan lidahnya terasa menerjang gigiku mencari jalan masuk. Lidah itu begitu gigih mencari jalan masuk, sampai ahirnya aku menyerah dan membuka sedikit mulutku.
Kini sepasang lidah jadi bergumul, bertukar air liur, cukup lama kami berciuman sampai ahirnya kami terlepas dengan napas yang terengah-engah, tapi hanya sebentar saja bibir kami terlepas, hanya cukup untuk menarik napas, selanjutnya kami kembali berciuman.
Sampai ahirnya pikiran warasku kembali, dengan tersentak aku melepaskan diri sambil mendorong badannya, saat itu aku baru sadar kalau dari tadi tanganku meremas batang kemaluannya.
Aku menarik diri dan bersandar ke dinding bus sambil melihat keluar jendela. Sampai ahirnya kami tiba dikota tempat kami tinggal, tidak sepatah katapun kami berbicara. Malam itu tak tertahankan lagi kembali aku melakukan masturbasi, aku berusaha memuaskan diri dengan jari-jari tanganku, sampai ahirnya keluhan tertahan keluar dari mulutku saat aku mengalami orgasme “aaakhhh...”.
Besoknya akupun mengurung diri didalam kamar, dan hanya keluar saat harus menyiapkan makan. Ada rasa sesal dalam hati kenapa aku terlalu cepat hanyut sehingga melupakan niatku untuk berpura-pura terpaksa menikah dengannya.
Hari itu aku sama sekali tidak berbicara kepada Roni, sampai saatnya makan malam tiba. “Bagaimana kalau besok kita ke kota *********** untuk menyambangi beberapa kerabat kita” ajak ayah membuka kebisuan kami. “Boleh saja kalau itu yang dikehendaki” kudengar Roni menjawab ajakan ayah.
“Bagaimana kamu Sum?” tanya ayah padaku, “kesana tidak ada bus” jawabku pendek. Ayah mengerutkan keningnya sambil berpaling pada Roni “Bagaimana Ron?” tanyanya. “Kita bisa menyewa kendaraan kalau mau toh tidak harus pakai bus bukan?” jawab Roni sambil tersenyum.
Jadilah besoknya kami pergi memakai kendaraan sewaan, sepanjang jalan dan selama dirumah kerabat kami, aku sadar Roni selalu memperhatikan segala tingkah lakuku dengan tajamnya. Hanya saat dia harus berbicara dengan ayah dan beberapa kerabat saja dia tampak serius, dan tidak sempat memperhatikanku. Tapi itu hanya dalam waktu yang pendek.


Saat itulah giliranku yang memperhatikannya, karena itu aku tahu sewaktu Roni mengeluarkan check dan menulis disana yang kemudian diberikan kepada kerabat-kerabat itu. Aku sendiri tidak tahu apa yang mereka bicarakan, karena mereka berbicara dengan suara perlahan.
Yang pasti saat kami pamitan pulang, kurasakan beberapa kerabat tersenyum dengan cara yang menggelitik hatiku meskipun aku tidak tahu maknanya. Diperjalanan pulang Roni menerima telephon di HP nya, beberapa saat dia bicara sambil tertawa dan kudengar dia menyanggupi sesuatu.
Selesai menerima telephon Roni berkata padaku, “Bu kawanku di Universitas rupanya ada yang tahu aku lagi disini dan dia mengundangku untuk makan malam besok, ibu bersedia ikut denganku? Tanyanya padaku. “Siapa orang itu?” tanyaku pendek. “Linda teman di universitas dulu” jawab Roni.
Entah kenapa tiba-tiba saja aku dilanda rasa cemburu, karena teman gadisnya mengundang Roni makan malam, karena itu setelah terdiam sejenak, aku menganggukkan kepala tanda menyetujui ajakannya.
Besoknya aku pergi dengan Roni mengendarai mobil sewaan yang sama dengan yang kemarin. Sengaja kukenakan gaun yang baru dibelikan Roni kemarin, sebuah gaun dengan punggung terbuka, dan belahan sisi yang hampir sampai di pertengahan paha.
Kulihat Roni menatapku dengan kagum melihat penampilanku, dan sepanjang perjalanan matanya terus menerus melirik kearah pahaku, yang memang sering tersingkap karena belahannya yang sampai pertengahan paha.
Cukup jauh juga perjalanannya, tapi menjelang senja kami tiba juga di tujuan. Tidak ada yang istimewa dengan makan malamnya, selain tangan Roni yang kadang-kadang singgah dipahaku meskipun tidak terang-terangan.
Kecurigaan dan kecemburuanku juga tidak beralasan, karena Linda menyambut kami dengan suaminya, dan aku tidak perlu hawatir sama sekali, karena meskipun Linda jauh lebih muda dariku, tapi aku merasa aku jauh lebih cantik darinya. Bahkan seringkali kutangkap mata suaminya yang memandangku dengan pandangan kagum.
Tapi akibat dari perjalanan itu kebekuan antara Roni dan aku mulai mencair, aku mulai membalas percakapan yang dilontarkan olehnya sepanjang jalan pulang, dan malam itu Roni benar-benar berlaku galant kepadaku, seolah-olah aku ini seorang putri.
Karena itu aku tidak menolak ajakannya untuk pergi berwisata besoknya, kesebuah pantai. Pantai yang dipilih merupakan rekomendasi Linda, “sangat indah tapi masih sepi pengunjung” begitu rekomendasinya.

Besok paginya pikiran jail kembali mengusikku, aku kembali ingin menggoda Roni, karena itu kubawa bikini yang dibeli Roni, dan aku berniat untuk berenang dipantai, agar aku bisa memamerkan tubuh indahku, dengan janji pada diri sendiri bahwa aku tidak boleh terbuai suasana, aku ingin melihat Roni belingsatan melihatku. Dan dipantai itu aku menjalankan rencanaku, setelah ganti baju dengan bikini, aku berjemur sambil berbaring dipantai beralaskan tikar dan berpayungkan payung raksasa yang bisa disewa, kebetulan matahari tertutup awan jadi udara tidak terlalu panas meskipun kami sampai disana menjelang tengah hari. Kupejamkan mata seakan tidur, tapi dibalik bulu mataku aku mengintip solah Roni yang duduk disampingku, tampak olehku mata Roni seakan melotot melihat seluruh pahaku yang terbuka sampai pangkal paha. Sementara selangkangannya tampak menonjol mkeras karena dia hanya memakai celana renang.
Beberapa lama dia bersikap demikian lalu setelah mengedarkan matanya melihat pantai yang relatif sepi dia berkata “Bu... kurasa lebih baik ibu memakai krim tabir surya” tawarnya padaku. Dengan tingkah menggiurkan kubuka mataku, aku tahu Roni tengah mencari-cari alasan untuk bisa menyentuh tubuhku, karenanya kujawab “Enggak usah mataharinya enggak terik kok, lagian aku mau berenang sekarang” kataku sambil bangkit dan berlari dan masuk kedalam air.
Roni ikut berlari dan menyusul aku masuk kedalam air, diair kurasakan Roni selalu berusaha mendekatiku, tapi akulah yang selalu menjauh sambil tertawa menyemburkan air kearahnya. Terus terang melihat tubuhnya yang atletis dan tonjolan di selangkangannya, sebenarnya telah membuat gairah birahiku naik, apalagi meskipun aku selalu berusaha mengelak, toh tetap saja pada beberapa kesempatan tuh kami sempat bersentuhan. Tapi aku berusaha sekuat tenaga untuk menahan semua itu agar permainanku berhasil.
Sampai ahirnya aku mengajak berganti baju dan pulang Roni tidak berhasil menyentuh tubuhku, tapi kulihat selangkangannya tetap menonjol meskipun kami lama bermain di air. Bahkan sampai saatnya kami pulang tonjolan itu masih tampak, tanda batang yang ada didalamnya masih keras.
‘Ya Tuhan apakah batang itu tidak pernah layu’ pikirku dengan darah berdesir keras karena saat sampai kerumahpun kulihat tonjolan itu tidak sekalipun mengecil. Pikiran itu benar-benar menggodaku dan membuat aku yang tengah menggoda Roni nyaris terseret kembali kedalam buaian gairah birahi.
Malam itu kulewatkan dengan gelisah, aku benar-benar terbakar napsu birahi, tapi aku mencoba untuk bertahan, karena itu aku tidak bisa tidur, menjelang tengah malam aku yang masih terjaga kebelet pingin pipis, dengan perlahan aku keluar dari kamarku dan menuju kamar mandi.
Saat lewat kamar Roni telingaku sempat mendengar keluhannya, kupikir Roni pasti tidurnya gelisah, tapi semua berubah saat aku kembali dari kamar mandi, kudengar Roni mengerang “Sum....okh...sum ...nikmat sekali...”.
Aku tersentak, dengan hati-hati aku mengintip kekamarnya, untunglah kamar itu tidak tertutup rapat, karena nya kudorong pintunya dengan pelan-pelan dan hati-hati. Dan... kontan napasku serasa terhenti melihat pemandangan yang ada.


Kulihat Roni berbaring terlentang di tempat tidur, matanya terpejam dan mulutnya menceracau menyebut-nyebut namaku, tapi yang membuat mataku terbelak adalah bagian tubuh bawahnya yang bugil terlihat batang kemaluannya yang besar dan panjang tengah dikocoknya dengan keras menggunakan tangannya.
Roni tengah bermasturbasi, itu aku tahu tapi ya Tuhan betapa besar dan panjangnya batang penisnya, jauh lebih besar dan lebih panjang dari yang dimiliki ayahnya, kututup mulutku dengan tanganku menahan pekikan yang akan keluar.
“Aakkhhh.... aku tidak tahan Sum...” dan croot... crooot... tiba-tiba batang itu mengeluarkan cairan putih, rupanya Roni mengalami orgasme, tapi yang membuat aku semakin terpana adalah betapa kerasnya cairan itu menembak, sampai tinggi sekali hampir menyentuh atap internit kamarnya, sebagian yang mengarah kesamping saat Roni menekuk batang penisnya, nyaris mengenai daun pintu tempat aku mengintip.
Aku segera berlalu menuju kamarku ketika kulihat Roni mau membuka matanya. Kali ini aku tidak mampu bertahan, aku pun bermasturbasi dengan mengesek-gesek klitorisku, aku tidak bisa memasukkan jariku kedalam lubang nikmatku, karena hawatir melunturkan khasiat ramuan yang kuminum.
Tapi meskipun begitu orgasme itu kudapatkan dengan cepat sekali dan sangat nikmat, mungkin paduan antara gairah birahi yang sejak tadi kutahan dengan hayalan batang penis Roni yang besar dan panjang memasuki lubuk nikmatku yang membuat aku begitu cepat menggapai orgasme yang sangat nikmat sampai badanku bergetar-getar menahan kenikmatannya, “Oookkhhh.... Roniiiii.... akhh...” lenguhku saat aku mengalami orgasme tersebut.
Lalu akupun tergolek dengan lunglainya, dan langsung tertidur sampai esok harinya. Aku bangun agak kesiangan, untunglah masih belum siang benar, kudengar ayah keluar rumah seperti biasa menjelang matahari terbit untuk berjalan-jalan. Biasanya saat ayah keluar rumah aku sudah mandi dan tengah menyiapkan makanan di dapur.
Sejenak aku terdiam memikirkan rencana hari ini, diam-diam kuintip kamar Roni, masih tertutup rapat, aku tersenyum sendiri memikirkan rencanaku. Sengaja aku membuat suara gaduh saat lewat pintu kamarnya menuju kamar mandi.
Sambil mandi aku mempertajam pendengaranku, kudengar suara pintu dibuka, ‘pasti Roni terbangun’ pikirku sambil tersenyum sendiri. Sengaja aku sedikit berlama-lama dikamar mandi. Tidak seperti biasanya kalau selesai mandi aku sudah mengenakan sebagian besar bajuku, kali ini aku hanya melilitkan handuk besar yang menutupi pertengahan buah dada sampai pertengahan paha

Dengan berharap agar timingnya tepat agar rencanaku berhasil aku membuka pintu kamar mandi, dan hatiku bersorak melihat Roni tengah berdiri hanya dengan handuk melilit tubuhnya dari pinggang kebawah.
“Oh... kau... mau mandi? Sok aku sudah selesai kataku acuh tak acuh, dengan sudut mataku kulihat mata Roni terbelak melihat tubuhku, dan ya ampun... bagian handuk di selangkangannya tiba-tiba terdorong keluar nyaris handuk itu lepas kalau tangan Roni tidak cepat memegangi ujungnya yang melilit pinggang.
Keadaan itu memberi ide lanjutan untukku, karena itu akupun segera berpura-pura terpeleset hingga lilitan handuk yang memmang tidak kuat itu terbuka membuat tubuh telanjangku terlihat olehnya meskipun hanya sekejap, karena aku segera membenahi handuk itu.
Kulihat napas Roni tiba-tiba memburu, dan dia langsung masuk gang yang menuju kamar mandi, ‘mundur dulu aku mau lewat” kataku, karena gang itu hanya pas untuk satu orang. “Silahkan lewat” katanya sambil tersenyum nakal dia berdiri menyamping hingga batang penisnya terlihat semakin panjang dilihat dari sisi kiri tubuhnya.
Aku kini melayani kenakalannya aku pun lewat sambil memiringkan tubuhku sehingga kami berhadapan dengan rapatnya, karena dibatasi gang yang sempit.
Tepat sebelum aku sampai dihadapannya kulihat Roni menekuk kakinya hingga tubuhnya yang jangkung menjadi sama tingginya denganku, akibatnya batang penisnya yang tegak dengan perkasanya kurasakan langsung menyentuh vaginaku. Meskipun terhalang oleh dua lapis handuk, tetap saja membuat tubuh kami sama-sama gemetaran.
Lalu dia menegakkan kakinya akibatnya batang keras itu terasa menggesek vaginaku, dan membuat napas kami sampai tertahan didada. “Habis keramas yah?” katanya seperti sambil lalu sambil memandang dadaku yang sekarang berhimpitan dengan bagian bawah dadanya.
Aku sendiri tidak mau kalah, karenanya aku berkata “iya... kamu juga harus mandi yang bersih biar kotoran dipantai kemarin hilang” jawabku seolah tak acuh, tapi pantatku diam-diam kugoyangkan kekiri dan kekanan, terasa alat vital kami kembali bergesekan, kututupi gerakan pantatku itu dengan sikap mau melangkah pergi.
Desah napasnya tiba-tiba mengeras kurasakan dia mau memelukku, karenanya aku segera meloloskan diri dan berjalan kekamarku, dan seolah tak sengaja, tanganku menyentuh batang kemaluannya dari balik handuk.
Semuanya kulakukan dengan cepat sehingga dia tidak sempat merengkuhku, “itu apa enggak pegal?” tanyaku tidak keruan sambil melangkah cepat-cepat menuju kamarku. Menjelang masuk kamar, kulirik Roni tampak wajahnya menapilkan raut kecewa. Aku melemparkan senyum padanya dan masuk kedalam kamarku.


Sejak hari itu aku semakin berani menggoda Roni, kulakukan semuanya dengan cara seperti tidak sengaja, seperti memakai pakaian yang longgar dengan belahan dada rendah lalu membungkuk didepannya saat memberikan cangkir kopi atau justru saat mengambil sesuatu dari depannya. Ini adalah taktik yang paling sering kulakukan.
Atau memakai pakaian transparant sehingga tubuhku membayang di timpa cahaya. Dua tiga kali aku seolah-olah lupa menutup pintu kamar saat berganti baju, dan dia ada didekat situ. Macam-macam cara yang kulakukan untuk menggodanya.
Roni pun membalas, seringkali dia menggesekkan batang kemaluannya yang tegang pada bagian-bagian tubuhku, pinggulku, pantatku, dan kini aku sadar Roni selalu mencari kesempatan bertindak seperti insiden di dekat kamar mandi, begitu aku menyebutnya, tapi aku tidak memberi kesempatan lagi padanya.
Hari-hari kami lalui dengan saling menggoda seperti itu, berulang kali Roni mengajakku kencan, tapi selalu kutolak, sampai ahirnya suatu hari dia menawariku kekota besar untuk perawatan tubuh dan wajah, aku yang memang sudah lama tidak mendapat perawatan wajah dan tubuh ahirnya menyetujuinya.
Dipusat perawatan tubuh dan wajah, aku benar-benar dimanjakan sekali, beragam jenis perawatan kujalani, termasuk berendam dalam bak dengan aromatherapy, sampai dengan pijat urut, tak heran setelah selesai semua, aku sendiri merasa terkejut dengan hasilnya, karena bukan saja seluruh badanku terasa segar, tapi wajahku terlihat cerlang gemilang, semakin menonjolkan kecantikan ku, kulitku tampak bersinar.
Kunikmati pandangan dan siulan kagum Roni, kulihat gairahnya naik dengan cepatnya, aku tahu yang dia inginkan, karena itu aku menolak ajakan dia ketempat-tempat lainnya, agar aku tidak terlena oleh oleh gairah cintanya.
Dengan kecewa ahirnya Roni terpaksa menuruti keinginanku untuk pulang. Tapi dirumah kucoba sedikit mengobati kekecewaannya, saat mau masuk rumah aku berbalik dan dengan cepat bibirku mengecup bibirnya sambil mengatakan rasa terima kasihku.
Roni sedikit terpana dia berusaha merengkuhku, tapi aku sudah membuka pintu dan menghambur masuk, ahirnya dia tertegun dan memandangi langkahku, menjelang naik tangga menuju kamarku, aku berbalik sambil tersenyum manis kepadanya, “kok masih berdiri disitu? Nunggu apa?” godaku sambil kembali tersenyum semanis mungkin.
Tapi akibatnya sejak itu setiap dia mau pergi keluar selalu dia pamit padaku, dan jika orang lain pamit kepada ibunya dengan mencium tangan, maka Roni selalu mengecup bibirku meskipun hanya sekilas, karena aku selalu mengelak tindakannya yang lebih jauh.
Begitu juga kalau dia baru datang, hal yang sama selalu dilakukannya. Sudah tentu dia mencari kesempatan dibelakang ayahku. Tapi itulah yang selalu dilakukannya.Waktu berjalan dengan cepat seminggu sebelum pernikahanku, Roni bilang akan membalas mengundang Linda dan suaminya untuk makan malam, kukatakan padanya kondisi rumah tidak memungkinkan untuk itu, tapi dia menjawab jamuan makan malam akan dilakukan direstaurant. Jadi hanya aku saja yang diperlukan untuk mendampinginya.
Untuk jamuan makan malam itu kembali kugunakan sebuah gaun yang tak kalah seksinya dengan yang terdahulu, gaun yang dibelikan Roni juga, sebuah gaun mini, yang akan memperlihatkan pahaku.
Diperjalanan menuju kota besar tempat dia akan menjamu, kulihat setiap kali Roni selalu melirik pahaku, dan itu menimbulkan getar gairah tersendiri kepadaku. Ditempat jamuan makan malam Roni duduk disebelah kananku sedang di depanku duduk Linda.
Saat makan malam berlangsung tangan kiri Roni tiba-tiba kurasakan hinggap di pahaku, mengelus-elus pahaku, sambil dia tetap melakukan makan malamnya dan berbincang baik dengan Linda dan suaminya. Aku tersentak, tak pernah terpikirkan olehku kalau Roni akan senekad itu.
Hawatir tingkah Roni akan diketahui Linda, mau tidak mau aku terpaksa membiarkannya, tapi elusan tangan Roni semakin naik dan semakin naik hingga hampir sampai di pangkal pahaku, menimbulkan rangsangan birahi ditubuhku.
Gairah yang membuncah seperti biasa membuat vaginaku basah, dan aku duduk dengan resahnya, makan malampun sudah tidak bisa kunikmati. Tapi aku harus tetap duduk, dan berpura-pura tidak terjadi apa-apa, ikut berkelakar dan tertawa bersama.
Ketika kurasa tangan Roni mulai mengelus selangkanganku, aku segera bangkit dengan berpura-pura mau ke toilet, dan aku memang pergi ke toilet, dikamar mandi itulah aku harus masturbasi untuk meredakan napsu birahi yang sudah sangat memuncak akibat elusan tangan Roni di paha dan vaginaku.
Kembali jariku mempermainkan klitorisku, untunglah karena terangsang sejak tadi maka aku tidak lama kemudian aku meraih orgasmeku. Kututup mulutku rapat-rapat agar tidak menimbulkan suara, hanya dengus napasku yang terdengar, sementara jauh dalam lubuk hatiku aku meneriakan nama Roni.
Diperjalanan pulang kembali Roni berulah, tangan kirinya setiap kali berganti gigi pasti hinggap beberapa saat di pahaku, mencuri kesempatan mengelus. Jengkel dengan tingkahnya, terpikir olehku untuk membalas, maka saat mobil sedikit oleng, dan aku tersorong mendekati Roni, sengaja tanganku kuulurkan seolah mencari pegangan, sudah tentu yang kupegang adalah batang diselangkangan Roni yang dari tadi terlihat tegang.
“Uh... hati-hati dong nyopirnya” kataku sambil menarik tanganku, tapi sebelum tangan itu kutarik, aku menyempatkan diri meremas batangnya yang tegang dan keras. Roni tampak tergeliat kaget oleh ulahku

Aku melakukan semua itu seakan tidak sengaja, sambil membenahi dudukku, aku bergeser menjauh dan menutupkan tas tanganku pada pahaku, untuk menghindari kenakalannya yang lebih jauh.
“Makanya jangan nakal, hampir saja celaka, nyopir yang benar” sungutku sambil melirik nakal pada Roni, yang hanya bisa nyengir dan kecewa. Sesampainya dirumah hari sudah larut dan ayah pasti sudah tidur.
“Bu tunggu sebentar... ini ada hadiah buat ibu” panggil Roni ketika aku mau berjalan kekamarku. “Apa?” tanyaku sambil berbalik melihat Roni dengan pandangan bertanya. “Ulurkan tangan ibu dan pejamkan matanya” kata Roni sambil tersenyum.
Kuturuti kata-kata Roni, kurasakan tanganku dipegangnya dan sesuatu dimasukkan kedalam jari, “nah sekarang bukalah matanya” kudengar Roni berkata. Kubuka mataku dan kupandang cincin bermata berlian yang melingkar ditanganku.
“Wooow....”seruku tak mampu menahan rasa kejut melihat keindahan cincin itu. “ini....ini untukku? “ tanyaku tidak percaya, Roni hanya mengangguk. Setelah tertegun sejenak, aku mengucapkan terima kasih sambil berniat mengecup bibirnya sekilas.
Tidak kusadari itulah yang ditunggu Roni saat aku mendekatinya untuk mencium bibirnya, tangannya telah merengkuh pinggangku dan ciuman sekilas itu berubah menjadi ciuman dan lumatan yang lama. Bibirkulah yang dikulumnya dengan ganasnya sementara lidahnya mencoba masuk.
Aku langsung terlena dan membiarkan lidah itu menerobos mencari lawan. Kurasakan lidah Roni menjilati bagian dalam mulutku dan aku menyerah lidah kami yang kemudian bergulat dengan serunya. Sampai aku ahirnya sadar dan mendorong tubuhnya ketika kurasakan tang Roni mulai meremas buah dadaku.
Dengan napas terengah dan tubuh gemetar oleh kuatnya napsu yang timbul, aku berdesis “terima kasih” lalu secepatnya aku berbalik dan berjalan kekamarku. Kutuntaskan birahiku dikamar seperti biasa dengan jariku mempermainkan klitorisku sendiri, dan aku meraih orgasme yang nikmat.
Besoknya Roni pamit untuk pergi bagi satu keperluan, seperti biasa dia pamit, aku sudah siap untuk kecupan ringan dibibirku seeperti biasanya, tapi kali ini Roni tidak hanya mengecup, tapi dia mengulum bibirku dan menyapu bibir itu dengan lidah. Lalu meninggalkanku yang sempat terpana. ‘kurang ajar anak itu semakin berani dia’ makiku dalam hati tapi tanpa kemarahan.
“Hari pernikahan kalian tinggal lima hari lagi, seperti petunjuk Guru, tiga hari menjelang pernikahan, kedua pengantin dilarang bertemu, karena itu Ron, bukan aku mengusirmu tapi lusa kamu terpaksa harus pergi dari rumah ini dan menginap di hotel” kata Ayah saat kami makan malam.

Roni menganguk “baiklah kalau itu memang keharusannya” jawabnya datar.
“Tapi sebelum hari pernikahan aku ingin mendapatkan perawatan tubuh dan wajah seperti waktu kemarin itu” protesku kepada ayah. Roni tersenyum “Hari terahir kita boleh ketemu adalah besok, maka kita akan pergi besok untuk perawatan wajah dan tubuh” jawabnya. Aku mengangguk “ya sudah kita tetapkan saja acaranya begitu” jawabku.
Keesokan ahrinya kami pergi ke kota besar, berlainan dengan waktu itu yang langsung ketempat tujuan, kali ini Roni mengajakku mampir dahulu kesebuah butik, disana dipilihkannya beberapa gaun yang seksi, beberapa baju tidur yang transparan, dan pettycoat yang tidak kurang seksi. Dia membelikan semua itu tanpa menghiraukan protesku.
“Siapa yang mau pakai baju kaya gitu” bantahku kepadanya, “istriku” jawab Roni dengan tegas sambil memandangku dengan mesra. Aku tersipu dan tidak lagi membantah kehendaknya.
Sesampainya di tempat perawatan tubuh dan wajah, tidak seperti yang lalu, dimana Roni terus menungguiku, kali ini dia berkata akan meninggalkanku untuk sebuah keperluan yang lain, dan nanti akan kembali menjemputku. Aku mengaguk mengingat perawatan seperti itu memakan waktu setengah harian.
Kembali aku mengalami perawatan seperti dulu, dan mendekati ahir perawatan aku kembali berbaring ditempat tidur khusus yang berlobang diarah mukaku, sehingga saat aku telungkup dan dipijat, napasku tidak terganggu.
Telanjang bulat aku berbaring baru kemudian sebuah handuk besar dihamparkan menutup tubuhku mulailah aku dipijat. Menjelang ahir pijatan, kurasa pelayannya berhenti sebentar, ‘mungkin untuk mengambil minyak pelicin’ pikirku tanpa curiga.
Benar saja tak lama kemudian kurasakan sepasang tangan memijat dan mengurut kakiku dari arah betis sampai keatas. Tapi pijatannya tidak sekuat yang lalu, yang ini lebih banyak mengelus dan mengusapnya, semakin lama semakin keatas.
Kini paha belakan dan dalam yang menjadi bahan elusannya. Napasku mulai terasa memburu, karena pijatan itu mulai memancing timbulnya gairah napsuku, apalagi saat paha dalamku yang dipijatnya, semakin lama semakin keatas, sampai ahirnya ujung jarinya menyentuh-nyentuh, vaginaku.
“Aoughh...” lenguhku pelan, tak tahan oleh elusan tangan tersebut, vaginaku dengan segera menjadi basah. Tapi tangan itu tetap beraksi bahkan semakin tetap menyundul-nyundul vaginaku. Dalam deraan napsu yang berkobar sempat juga aku berpikir, kenapa dulu tidak begini perawatannya.
Kucoba mengangkat kepalaku melihat untuk melihat pemijatku, niatanku mau bertanya, karena terus terang aku juga merasa malu mengingat vaginaku yang semakin basah, pasti terasa diujung jarinya.


Tapi baru juga aku mau mengangkat kepala, tangan itu kini dengan tegas mengelus-elus belahan vaginaku. Dan melilir klitorisku, napsuku segera meledak kepala tidak jadi terangkat, tapi pantatku yang mulai bergoyang, merasakan nikmatnya rabaan tangan di klitorisku, “Ooough.... “ kembali sebuah keluhan panjang keluar dari mulutku yang hampir mencapai orgasme.
Dengan lunglai aku mengangkat kepalaku terlihat lah olehku Roni yang tersenyum mesra padaku, “Roni....! kenapa jadi kamu, mana pemijatnya...? tanyaku dengan muka merah padam bahna malu sambil menghentakkan tubuhku, dan Roni juga menarik tangannya dari balik handuk.
Dengan tenang Roni menjawab “kusuruh mengambil sejumlah kosmetik dan rempah-rempah yang biasa di pakai disini, agar bisa jadi contoh untuk dipakai nanti dirumah” katanya dengan tenang.
Kulirik badanku, untunglah handuk masih tetap menutupi tubuhku, tapi tangan Roni telah menyentuh bagian paling rahasia ditubuhku, meskipun dia tidak melihatnya. “Keluar aku mau berpakaian” sungut dengan muka semakin merah. Terus terang aku tidak merasa marah, yang ada hanya rasa malu.
Untunglah sebelum insiden itu berlanjut, gadis pemijatnya yang asli datang sambil membawa sejumlah bahan-bahan yang tadi di pakai oleh tubuhku. “Ini tuan, yang tuan minta” katanya dengan sopan. “Bagus, terima kasih” jawab Roni sambil mengedipkan sebelah matanya padaku sebelum dia keluar ruang pemijatan.
“Mari bu kita teruskan acara pijatannya” kata gadis pemijat sambil mulai memijati tubuhku kembali, pijatan selanjutnya tidak dapat kunikmati seperti yang seharusnya, karena hati dan badanku telah diamuk dengan api birahi yang dahsyat.
“Bu kenapa badannya menjadi tegang begini? Cobalah ibu melakukan relaksasi biar hasil pijatannya maksimal” kata gadis pemijat kepadaku, aku mencoba menenangkan diriku dan melakukan instruksi yang diberikan gadis pemijat, perlahan aku dapat menenangkan badanku, tapi jauh dilubuk hatiku terdapat rasa kecewa maklumlah orgasme yang hampir kuraih terputus ditengah jalan.
Keluar dari tempat perawatan tubuh dan wajah, hari sudah malam karena itu aku tidak membantah saat Roni mengajakku makan malam, tapi aku selalu berusaha menjaga jarak agar Roni tidak memiliki kesempatan berbuat macam-macam.
Begitu juga dalam perjalanan pulang, aku selalu menjauh sampai ahirnya tiba di rumah yang telah sepi, kupikir ayah sudah tertidur karenanya aku berniat segera berlalu masuk kekamar, tapi kembali Roni memanggilku “Bu tunggu sebentar ada yang mau kuberikan”. Sejenak aku bimbang kuingat kejadian yang lalu .

‘Paling juga aku harus merelakan frensh kiss lagi seperti itu’ pikirku, karenanya aku segera berbalik memandang Roni, “apa lagi Ron, aku sudah lelah” kataku, “pejamkan dulu dong matanya!” pinta Roni padaku. Aku menurut dan kurasakan tangan Toni menarik kedua tanganku serta menengadahkannya, lalu kurasa ada sebuah kotak yang diletakan ditanganku.
“Sekarang bukalah matanya” aku menurut dan seperti sebelumnya, mataku segera silau menatap seperangkat perhiasan bermata berlian didalam kotak. “Aku ingin ibu memakai ini saat pernikahan kita” katanya saat aku memandangnya dengan pandangan tanya.
“Wooow... indah sekali Ron...” sejenak aku tertegun mengamati perhiasan itu sebuah kalung berlian dengan mata kalung berlian besar, sebuah cincin, sepasang anting, sebuah gelang semuanya bermata berlian. Semuanya merupakan perhiasan yang tidak mungkin kudapatkan dimasa lampau, tapi kini jadi milikku.
“Ini untukku?” tanyaku meyakinkan, Roni menganguk tegas sambil memandangku mesra dan tetap dalam sikapnya itu. Aku maklum apa yang ditunggu Roni karena itu aku mendekat dan membiarkan pinggangku direngkuh Roni aku sendiri langsung mencium bibirnya.
Kami saling berkuluman bibir dan kali ini lidahku yang mulai menyambar lidahnya, Kami benar-benar bagai kelaparan, sebuah ciuman disusul dengan ciuman yang lain, entah berapa banyak air liurku yang direguk Roni seperti halnya air liur Roni yang kureguk juga.
Akhirnya saat aku merasa gejolak birahi dalam diriku seakan meledak segera kudorong tubuhnya, ‘gawat... bisa-bisa kami bersetubuh malam ini’ pikirku. “Sudahlah tidurlah, aku juga mau tidur” kataku. Roni dengan enggan melepaskan rangkulannya.
“Kau tidak ingin mencobanya?” tanya Roni mengejutkan aku yang sedang memperhatikan perhiasan, sejenak aku bimbang, “cobalah!” desak Roni, aku mengangguk. Roni kemudian mengambil kotak perhiasan dan menuntunku untuk duduk di ruang dalam.
Kami duduk bersebelahan dengan rapat, ketika aku mengambil cincin untuk dipasangkan di jariku, kulihat cincin kawin dari ayahnya masih melingkar di jari manisku. “Kau seharusnya sudah tidak memakai cincin itu” desis Roni, aku menganguk kulepas cincin yang ada dan kuletakan diatas meja serta berniat memasang cincin yang baru di jari manisku.
“Itu bukan cincin kawin, cincin yang satu itu baru aku berikan pada saat pernikahan kita” desis Roni, “mari aku pasangkan” katanya sambil mengambil cincin dan memasangkannya dijari tengah bersebelahan dengan cincin yang telah dipasangkannya. Satu persatu perhiasan itu dikenakan ditubuhku.
Terakhir yang dikenakan Roni adalah kalung, untuk memasangkannya aku harus sedikit membalikkan badan, kurasakan dengus napas Roni di kudukku, membuat seluruh bulu ditubuhku meriding, apalagi Roni kemudian bukan hanya mengenakan kalung, tapi dia juga mencium kuduk dan belakang telingaku


Kuduk dan belakang telinga adalah kelemahanku, karena itu api birahi yang belum padam sejak tadi tiba-tiba berkobar dengan dahsyatnya, aku membalikan tubuh menghadapnya, sebelah tanganku melingkar dilehernya, gerakkanku menyebabkan bibir Roni bergeser dari belakang telingamenjadi dileher.
Aku tergelinjang hebat karena pergeseran itu sementara Roni sendiri langsung memanfaatkannya untuk menggigit mesra leherku, yang membuat aku tergelinjang lebih hebat lagi “oughh...” desahku tak tertahankan. Kutarik kepala Roni dan kucium bibirnya sepenuh napsu.
Kurasakan sebelah tangan Roni bergerak-gerak, tapi napsu yang ada menyebabkan aku tidak menghiraukannya,, bahkan saat Roni mulai meremas-remas buah dadaku, aku juga membiarkannya, bahkan terasa semakin mengobarkan api birahiku. Sebelah tanganku sendiri melingkari lehernya, dan yang satu lagi memegang bahunya.
Kami terus bercumbu, sebelah tangannya yang melingkari tubuhku meremas-remas buah dadaku, sementara tangannya yang lain menarik sebelah kakiku untuk ditumpangkannya kekakinya, sehingga aku duduk dengan terkangkang.
Kurasakan tangan Roni setelah menarik kakiku mencoba masuk kedalam celana dalamku, dengan lemah aku berdesis “jangan... jangan dimasukkan kedalam” cegahku dengan lemahnya. Roni menurut tapi tangan itu mulai mengguit-guit belahan vaginaku yang masih tertutup celana dalam.
Aku tersentak, “aakhhh...” desahku yang semakin dibuai napsu. Beberapa saat kami bercumbu, kurasakan vaginaku sudah sangat basah oleh air nikmat yang keluar dari vagina yang terus mendapat rangsangan Roni. Aku benar-benar sudah tidak berdaya karenanya ketika tangan Roni yang mengguit-guit vaginaku menuntun tanganku yang ada di bahunya dan meletakan tanganku diselangkangannya aku menurut saja.
Aku tersentak karena memegang batang kemaluannya yang sudah tidak di tutupi selembar benangpun, rupanya saat tangan Roni tadi bergerak adalah untuk melepaskan batang kemaluannya dari kungkungan celana dan celana dalamnya. Ada niatanku untuk melepaskan batang kemaluan itu, tapi tangannya kembali mengguit vaginaku, dan menimbulkan gelenjar sejuta watt listrik di tubuhku.
“Akkhhhh... “ desahku kembali sambil tanpa sadar mulai meremas-remas batang kemaluan Roni yang mencumbuku semakin ganas, saat bibir kami terpisahkan, Roni selalu memanfaatkannya untuk mencium belakan telinga serta leherku, yang membuat aku semakin melambung oleh desakkan napsu.
Ketegangan yang semakin memuncak akibat desakan birahi benar-benar membuat aku dengan cepatnya meraih orgasme, ketika jarinya seperti memutar-mutar klitorisku meskipun teraling celana dalam, aku benar-benar tidak tahan.


“Oughh.... aaaakhhhh... Roniiiiiiiiiiiiiiiiii .... “ diiringi erangan yang panjang aku mencapai orgasme, tubuhku tersentak-sentak, sementara lubang nikmatklu mengemut dengan kuatnya. Kulepaskan bibirku dari kuluman Roni, kucupang lehernya. Sementara tanganku yang dari tadi meremas-remas kini berubahn jadi mengocok dengan kuat.
“Aaakhhh....” erang Roni ketika kupadukan kocokanku dengan remasan lembut pada batang kemaluannya. Kurasakan tangan Roni mengangkat mukaku, dan kembali bibirku menjadi sasarannya. Aku yang masih terbuai oleh sisa orgasme melayaninya. Tapi ketika badanku telah mulai normal dari pesona orgasme, pikiran warasku kembali muncul, dan rasa malu tiba-tiba saja menyeruak dalam hatiku, karena itu kutarik mukaku dan kususupkan dileher Roni.
Aku tidak mendorong tubuh Roni, karena aku sadar Roni berada dititik tanpa balik, jika aku mencoba menjauhinya mungkin justru akan membuat Roni bertindak lebih jauh lagi, karena itu aku justru memusatkan perhatianku pada tangan yang tengah mengocok batang kemaluan milik Roni sambil berharap agar Roni segera memuntahkan spermanya.
Harapanku terkabul dengan diiringi geraman dahsyat dari Roni, batang itu tiba-tiba mengedut-edut. “Hehmmm....... croottt... crooot.....crooot....” tujuh kali Roni memuntahkan lahar panasnya, dan dengan sudut mataku aku melihat jarak tembaknya yang sangat jauh hampir tiga meter, barulah jatuh kelantai.
Kutunggu sampai tubuh Roni melemas, lalu akupun bangkit sambil berkata “ kau sungguh tega...” kataku sambil terus berlari kekamar. Aku sebenarnya tidak marah ataupun menyesal, tapi rasa malu lah yang menyebabkan aku berlari.
Dalam kamar aku mencoba menenangkan diri, jantungku masih berdentang dengan kerasnya mengingat pengalaman yang barusan, kadang aku tersenyum sendiri, kadang aku juga menutup muka karena rasa malu. Itulah sebabnya baru dinihari aku bisa tidur.
Besoknya aku terbangun kesiangan, dengan tergesa-gesa aku menuju kamar mandi, begitu tergesanya sampai aku tersandung dan menabrak kamar mandi sehingga menimbulkan suara ribut. Kucoba mandi dengan cepat, saat selesai baru aku sadar aku tidak membawa baju ganti.
“Uh... benar-benar pikun...” gerutuku pada diri sendiri, karena itu kulilitkan handuk besar ditubuhku, sementara baju kotor kumasukan kedalam keranjang cucian yang ada dikamar mandi. Akupun keluar dari kamar mandi dan tertegun melihat Roni sudah ada dilorong menuju kamar mandi dengan hanya memakai handuk yang telilit dipinggangnya.
Roni tersenyum sambil berkata “sudah mandi ya... silahkan” katanya sambil memiringkan tubuhnya. Aku tidak dapat berbuat lain selain lewat didepannya sambil memiringkan tubuh juga. Saat mulai melangkah terlihat olehku handuk yang dipakai Roni bagai tersibak dan terdorong keluar oleh batang yang ada didalamnya, tapi aku sudah terlanjur melangkah.


Kejadian dulu terulang lagi, hanya saja kini Roni langsung menjulurkan tangannya sehingga aku tidak dapat langsung lewat, tubuhnyapun bahkan langsung didoyongkan kedepan sehingga menghimpit tubuhku. “Aku mau tanya apa yang dimaksud engga pegal waktu itu?” katanya sambil meluruskan kakinya sehingga terasa sebuah batang menggesek vaginaku.
Mukaku segera memerah, tanpa menjawab aku segera berkata “sudah ah.. lepaskan aku Roni”. “Baru keramas yah, mandi besar, hemm... wangi benar rambutnya” kata Roni sambil mencium rambutku yang basah. Mukaku semakin merah, malu bukan main.
Tapi aku sadar kalau hanya diam hanya akan semakin di permainkan Roni, “Sudah Ron aku mau lewat” kataku sambil mendorong tangannya. “ya... jawab dulu dong pertanyaannya” pintanya sambil tersenyum. “Sudah Ron, aku mau masak, mau makan apa kamu pagi ini?” kataku mencoba mengalihkan perhatian. Sementara itu kurasakan Roni kembali menurunkan kakinya dan batang kemaluannya menggesek vaginaku.
“Serabi ibu” katanya sambil tersenyum nakal. Kue serabi adalah makanan yang terbuat dari tepung beras, tapi pada saat yang bersamaan memiliki arti miring juga sebagai kemaluan wanita, seperti juga buah pisang yang memiliki arti miring kemaluan laki-laki.
Aku berpikir cepat untuk mengatasi gangguan Roni, ketika kakinya ditegakkan kembali sehingga kemaluannya menggesek vaginaku, segera kudorong pantatku dengan kuat kedepan, lalu segera kugoyang kekiri dan kekanan, akibatnya kemaluan Roni terbentur agak keras dan sedikit tertekuk.
“Aww..” pekiknya sedangkan tangannya secara refleks bergerak menuju selangkangannya. Kesempatan itu yang kutunggu, aku segera lolos dari cegahan tangan Roni, dan dengan cepat keluar dari lorong yang memang hanya pendek saja. Sekeluarnya dari lorong aku segera membalik menghadap Roni. “Yang pegal itu ya otot kamu yang selalu tegang, mandi cepat sana dan bersihkan ototnya dengan baik, jangan mencoba macam-macam dengannya” kataku sambil membuat muka setan. Kulihat Roni masih meringis.
Kubalikan badanku sambil berjalan menuju kamar, tapi baru selangkah kupalingkan mukaku melihat Roni “Serabi sih ada, tinggal dikasih air manis dari pisang, tapi tidak sekarang” kataku sambil menahan tawa dan langsung berjalan kekamar, meninggalkan Roni yang masih tertegun.
Selagi aku berpakaian, kudengar ayah datang dari jalan-jalan paginya. Cepat-cepat kuselesaikan berpakaian, dan merias diri sedikit, lalu aku keluar kamar dan menyiapkan sarapan pagi. Saat menghidangkan makan pagi itulah Roni muncul dari kamarnya sambil membawa tas kecil, kuduga ganti bajunya untuk beberapa hari ini.
Kami makan dengan saling berdiam diri, selesai makan ayah berkata “Ron mulai hari ini kamu harus tinggal terpisah sampai hari perkawinan tiba”, Roni mengangguk patuh sambil menjawab “Ya Ayah aku akan segera pergi”.

Aku terbeliak mendengarnya “Ayah?... kakek!” protesku. Roni cuma nyengir ayah lah yang menyahut “setelah menikahimu, dia memang berhak menyebutku ayah”.
“Cis...” kataku sambil membereskan sisa makanan dan membawanya kedapur. Didapur sempat kudengar ayah dan Roni berbincang, tapi karena suaranya tidak keras aku tidak tahu apa yang mereka perbincangkan, hanya saat keluar dari dapur kulihat Roni kembali menyerahkan sehelai checq kepada ayah.
Kuikuti langkah Roni yang berjalan keruang depan, “kau pergi sekarang?” tanyaku, Roni mengangguk dan tiba-tiba saja dia memeluk ku dengan erat lalu menciumku, bukan sekedar ciuman sekilas, tapi ciuman penuh napsu yang memabukkan, tanpa menghiraukan ayah yang ada di ruang dalam dan hanya terpisah sebuah dinding.
Kulayani ciumannya, dan kami berciuman cukup lama, sampai ahirnya aku mendorong tubuhnya dengan tanganku, “pergilah...” kataku dengan napas terengah-engah. Kulihat Roni pun sama terengah-engah. Sambil tersenyum dia berkata “aku pergi sekarang, jangan lupa pakai perhiasannya” katanya sambil melangkah keluar rumah.
Saat aku masuk keruang dalam kudengar ayah berkata “bukan main... kuat juga napas kalian, lebih dari lima menit kalian berciuman, haa...haaa. ha... dasar anak muda sekarang tidak sabaran” katanya. Mukaku memerah kubuat muka setan dan tanpa berkata apa-apa aku lari kekamar.
Menjelang siangnya beberapa kerabat mulai datang, mereka membantu ayah menghias rumah kami, rupanya ayah memilih kamarnya yang akan digunakan sebagai kamar pengantin, “biar kalian tidak perlu keluar kamar, kalau mau ke air” katanya, memang hanya kamar ayah lah yang memiliki kamar mandi di dalamnya.
Meskipun mukaku memerah mendengar kata-kata itu, tapi kubantu juga ayah memindahkan semua barang-barangnya kedalam kamar bekas Roni, sedangkan barang-barang Roni dipindahkan kedalam kamar pengantin, begitu juga barang-barangku meskipun semula aku protes, tap tetap saja dipindahkan.


Hari Pernikahan tiba, pernikahan berlangsung sore hari pukul 4 sore di sebuah kuil dekat rumah kami. Ada beberapa orang yang hadir dan aku tidak mendengar gunjingan apapun dari mereka, meskipun mereka semua mengenal kami dengan sangat baik. Belakangan baru saya tahu bahwa Roni membayar mereka denagn mahal juga!

Aku mengenakan gaun pengantin sutra yang baru dibeli Roni, gaun yang mirip seperti yang kupakai dulu saat menikah dengan ayahnya. Roni sendiri mengenakan setelan jas seperti dulu ayahnya menikah denganku, hanya saja berbeda warna. Dalam pakaian itu Roni jelas tampak sangat mirip dengan ayahnya. 


Karena ayah memiliki darah keturunan india maka adat pernikahan yang dilakukan juga seperti umumnya di India, setelah seorang brahmana mengucapkan semua mantra, saya dan Roni melakukan sembahyang dan akhirnya Roni mengikatklan mangalsutra di leherku, serbagai tanda aku wanita bersuami.
Itu adalah adegan yang mengesankan bagiku karena anakku sendiri yang mengikat sutra di sekitar leher saya sebagai tanda bahwa dia telah menikahi aku. Kemudian dia duduk di sampingku untuk menyelesaikan serangkaian acara lain, dan terahir dia memasangkan sebuah cincin bermata berlian merah di jariku, adat pemakaian cincin ini memang tidak lajim diindia, tapi ayah tidak berkeberatan kami melakukannya.
Setelah semua dijalani, barulah kami resmi menjadi suami istri, ayah yang bertindak sebagai waliku, sedangkan kakakku menjadi wali bagi Roni. Pernikahan baru selesai jam setengah enam sore, lalu semua orang mendatangi rumah kami untuk makan malam. Saat makan malam itu mereka mendudukkan aku dan Roni di kursi khusus bagi pengantin.

Mereka memberi kami makanan dalam satu piring sehingga kami dapat berbagi, Roni memngambil beberapa jenis makanan dan kemudian menyuapi saya. Sejenak pikiranku melayang pada masa lalu, dulu akulah yang menyuapi Roni saat dia masih kecil. Sekarang karena Roni menikahi aku, ibunya sendiri, maka dialah yang menyuapi saya.
Saat kami makan itulah saudaraku menghampiri kami dan berkata “aku tidak tahu bagaimana harus memanggil kalian berdua? Adik?, saudara ipar?, keponakan?, atau anak?” katanya sambil tersenyum menggoda. Kerabat kami semuanya tertawa, hanya aku sendiri yang tersipu.
Ronilah yang kemudian menjawab “tunggu sampai kami memiliki anak-anak, kalian harus memutuskan memanggil mereka keponakan atau cucu!”. Tanpa dapat ditolong lagi mukaku terasa panas pasti merah padam karena malu mendengar kata-kata Roni, yang berarti dia berencana memiliki anak-anak dengan ibunya sendiri.


Malam pertama

Setelah semua ritual pernikahan berakhir sebagian besar kerabat kami pulang, ini adalah malam pertama, tapi bukan malam pertama bagiku melainkan malam pengantin saya dengan Roni. Sulit bagiku membayangkan anak yang lahir dari rahimku, dan mereguk air susu dari buah dadaku, sekarang memasuki kamarku sebagai seorang suami di malam pengantin kami.
Setelah selesai ritual terahir, kerabat yang tersisa segera mengantarkan Roni kedalam kamar pengantin. Beberapa menit kemudian ayah memberi segelas susu dan membimbing saya keruang tengah. Kerabat yang tersisa tertawa menyaksikan semua itu

Dia kemudian mencium BH diantara payudaraku, ciumannya menyusur kebawah sampai keperutku yang telanjang, semakin kebawah dan ciumannya mampir dipusarku, dan tiba-tiba dia menempelkan wajahnya diselangkanganku, dicium dan dibauinya selangkanganku dari balik celana dalam dengan hirupan yang sangat dalam berkali-kali.
Aku sungguh-sungguh merasa malu diperlakukan begitu. “Aku sudah bertahun-tahun bermimpi untuk melakukan ini kepada ibuku”. Aku terdiam tidak mampu mengatakan apa-apa. “Kau memiliki bau vagina yang harum, persis seperti yang kuharapkan” lanjutnya sambil mulai berusaha melepas celana dalamku.

Sesak napasku dibuatnya, batinku berperang antara naluri keibuanku yang menyuruh aku untuk menahannya agar tidak membuka celana dalamku, dengan naluri kewanitaanku yang sudah sangat kehausan dibelai kehangatan laki-laki. Lalu kesadaranku tumbuh bahwa kini aku sudah menikah dengannya, walaupun dia adalah anakku, karenanya dia memiliki hak penuh pada tubuhku ini.

Sebelum peperangan di batinku selesai, celana dalam itu telah jatuh dikakiku, dan tangannya meremas pinggul telanjangku, remasan yang diselingi elusan. Rasa malu membuat mataku tetap tertutup sementara aku menikmati cumbuannya.
Tangannya bergerak kesana kemari mengelus-elus dan meremas tubuhku yang telanjang, Roni kemudian menyentuh rambut kemaluanku dengan hidungnya dan membauinya dengan tarikan napas yang panjang, selesai itu dia berkata “Terima kasih telah menunjukkan kepadaku, kuil mu ini bu, kuil kelahiranku”. Aku menjawabnya dalam hati ‘selamat datang anakku’ meskipun aku hanya berkata dalam hati, tapi tak urung rasa malu semakin menggelepar didalam dada, malu yang bercampur dengan hasrat birahi.
Dia kemudian bangkit dengan cepat untuk membuka kaitan BH ku. Setiap satu kait terbuka membawa saya ke tingkat ekstasi seksual yang lebih tinggi. Ahirnya BH itu terlepas, dan aku telanjang bulat penuh rasa malu dihadapannya, dihadapan anakku, suami baruku. Akh… rasa malu dan gairah semakin membuncah.

“Terima kasih bu… untuk melihat buah dada ibu, dimana aku diberi makan dan dibesarkan” bisiknya. Gairah yang meledak dalam diriku membuat aku tidak mampu berkata apapun, meskipun hatiku berteriak ‘diamlah jangan banyak bicara, hisaplah segera puting buah dada ibumu ini yang sudah sangat tergang kekasih ibu’.

Seolah olah Roni mendengar teriakan hatiku, dia segera memasukan puting buah dadaku kemulutnya. Ketika itu aku telah berpikir menjadi istrinya, tiba-tiba dia menghisap putingku dengan cara yang sama seperti dulu, mulut yang menghisap adalah mulut yang sama, dulu dia menghisap untuk makan, sekarang dia menghisap untuk kesenangan, dulu yang menghisap anakku, sekarang suamiku. 

Setelah beberapa saat menghisap dan membelai, Roni menghentikan segala cumbuannya dan berdiri di depanku. Perlahan aku membuka mata ku untuk melihat anakku-suamiku melepaskan pakaiannya. Aku bisa melihat kemaluannya yang berontak ingin keluar dari kungkungannya.
Tak lama batang kemaluannya yang besar dan panjang, jauh melebihi besar dan panjang milik ayahnya, walaupun aku merasa sangat malu tapi aku tidak bisa mengalihkan pandanganku dari batang penis yang tampak sangat perkasa itu, sampai ahirnya dia bergerak dan memelukku.

Kami berpelukan pertama kali dalam keadaan telanjang. Terakhir kali saya memeluknya dalam keadaan telanjang adalah ketika Roni berusia enam tahun. Pelukan ini tidak akan pernah seperti memeluk anakku dulu.
Batang penisnya menekan selangkangan ku dan dadanya menghimpit payudaraku. Dia kemudian menuntun aku ke tempat tidur sambil mencium bibirku.

Jantungku berdebar dengan kencang saat Roni membaringkan tubuhku perlahan ke tempat tidur dan menindih diatas badanku. Aku perlahan-lahan menyesuaikan letak tubuhku di atas pembaringan bersamaan dengan kedua tangannya yang bergerak mengelus sepanjang lekuk tubuh ku.

'Ini dia, semuanya akan segera terjadi' pikirku.

Sementara di atas ranjang, Roni mulai mengelus payudaraku sambil menciumi bibir dan seluruh wajah,leher dan buah dadaku. Perelahan mataku kembali terpejam bukan saja karena malu tapi juga karena meresapi cumbuannya.
Roni kemudian merenggangkan kakiku sehingga aku terkangkang, dan memposisikan dirinya diantara kedua kakiku, kurasakan batang kemaluannya menyentuh celah selangkanganku lalu dia melakukan gerakan untuk menyesuaikan batang penisnya agar tepat terarah ke lubuk nikmatku..

Roni kemudian mengangkat selangkangannya, sementara tangan kanannya mengarahkan batang penisnya, maka dua jari tangan kirinya mulai mentibakkan bibir vaginaku. Sebuah sentakan listrik sejuta watt terasa mengaliri tubuhku saat dia menyibakan bibir vagina itu, lebih lagi saat batang penisnya mulai menyentuh bibir vagina.
Tak akan pernah kulupakan seumur hidup saat kurasakan pertama kalinya kepala penisnya mulai menyentuh lubang vaginaku, serasa seperti aku sedang diperawani, kepala penis anakku sendiri menyentuh lubang vagina ibunya, ingatan ini menjadikan sensasi kenikmatan yang kurasakan melambung semakin tinggi.
Segera setelah kepala penisnya menyentuh lubang vaginaku, Roni mulai mendorong dirinya jauh kedalam vaginaku, mula-mula terasa sangat seret, membuat aku tak tahan untuk mengerang saat batang penisnya mulai amblas “aaakkhhhh...pelannnnnnn ron sakittttttttt


“Ughhhh.... vaginamu benar-benar seret seperti perawan...” suara Roni terdengan bergetar, dia berkata sambil sedikit menarik batang penisnya, lalu mulai mendorongnya lagi. Bless... kepala penisnya mulai masuk, kugoyangkan pantatku sedikit agar vaginaku semakin lebar terbuka. Dengan sedikit susah, ahirnya kali ketiga Roni mendorong, maka bless... penis itu sudah masuk seluruhnya, aku tergeliat merasakan ujung kepala penis Roni menyentuh cincin puranaku, “aaaakkkhhhh...” erangku tak tahan keluar tanpa terkendali lagi. 

Tubuh Roni sendiri sepenuhnya menindih tubuhku, di diam beberapa saat, sama sekali tidak bergerak. Seluruh batang penisnya kini benar-benar telah berada dalam diriku. Kurasakan batang kejantanannya ditelan dinding vaginaku, dan aku menunggu kelanjutan aksinya. Rambut kemaluan Roni terasa menyentuh vaginaku, begitu juga bola kembarnya telah menyentuh bibir vagina ku 

Saat itu kurasakan sebuah siklus antara aku dan Roni telah selesai. Dua puluh tiga tahun yang lalu aku membawanya kedunia ini melalui lubang yang sama, dengan posisi yang hampir sama, kaki terkangkang bertelekanan telapak kaki di pembaringan, lalu dua puluh tiga tahun kemudian, yaitu sekarang, anak yang keluar dari lubang vaginaku, telah menjadi seorang laki-laki yang memasukkan kejantanannya kedalam lubang yang sama dengan posisi yang nyaris sama. 

Setelah terdiam beberapa saat Roni mulai mengeluar masukkan batang kemaluannya dalam lubang vaginaku. Ahirnya dia mulai menyetubuhi ibunya sendiri, dengan siapa dia menikah, dan kali ini dia melakukannya pada malam pengantin kami. 

Perlahan Roni mulai meningkatkan kecepatan pompaannya, aku sedikit heran dengan kemahirannya bersetubuh, rasanya seperti orang yang telah berpengalaman, memompa perlahan, kemudian tiba-tiba pompaannya menjadi cepat, lalu perlahan lagi, betul-betul penuh variasi. 

Tapi segala keheranan itu bahkan seluruh pikiran dan perasaanku dengan cepatnya menghilang dilanda kenikmatan yang tidak tertahankan, lima menit dia menyetubuhiku, tak tahan lagi aku meraih orgasmeku yang pertama. 

“Aaakhhh... oughhh...” rengekku sambil memegang pantatnya dan menariknya kedalam diriku, sementara kakiku melingkari pantatnya. Pantatku sendiri naik memapak batang kemaluannya. Orgasme itu datang dengan dahsyatnya membuat kemaluanku berdenyut dengan kerasnya. “Oughh....” lenguh Roni, saat dia merasakan kemutan vaginaku. Dia diam sejenak seperti sedang menahan sesuatu. 

Ketika tubuhku sudah mulai tenang Roni berbisik “bukan main vaginamu bu, benar-benar nikmat” katanya sambil kembali memompaku. Gelenjar rasa nikmat kembali meliputi tubuhku, aku benar-benar terangsang bukan saja oleh persetubuhan kami, tapi ingatan bahwa anakku sendiri yang menyetubuhiku benar-benar menaikkan gairahku 





Hanya tujuh delapan menit kemudian kembali aku terkapar dalam orgasme yang sangat nikmat, sementara Roni sendiri dengan perkasanya masih terus memompaku, ‘aakhhh... Ronnnnn.... ough... nikmatttt... sekaliiii..” ceracauku saat aku meraih orgasme yang kedua tanpa malu-malu lagi. 

Kembali Roni terdiam saat merasakan kemutan orgasmeku, tapi segera melanjutkan pompaannya dengan sangat perkasa aku mulai kewalahan menghadapi keperkasaan Roni, karena itu segera kukeluarkan jurus rahasiahku, kuputar-putar pantatku meyambut pompaan Roni. 

“Aakhh...” lenguh Roni saat merasakan aksiku, kini kami sama-sama berjuang untuk secepatnya memuaskan pasangan bersetubuh kami, putaran dan geolan pantatku menggila mencoba meremas batang kemaluannya agar cepat mnyemburkan air maninya, begitu juga Roni semakin banyak variasinya dalam memompaku, kadang kurasakan seperti setengan memutar berlawanan arah dengan arah putaran pantatku. 

“Ouhhggghhh.... aaakhhh...” lenguhanku semakin lama semakin sering keluar dari mulutku merasakan kenikmatan yang sangat dari persetubuhan ini. Kali ini aku tidak tahu berapa lama kami saling menumpahkan kemampuan untuk saling memuaskan, yang pasti aku kalah lagi. 

“Heghh... aaakh..... oughhh.....Roniiiiii....aakhhh...” erangan yang semakin keras keluar dari mulutku, saat aku mengalami orgasme yang ketiga kalinya. Kemutan vagina ku terasa semakin kuat, sampai Roni yang seperti biasa berdiam diri, tubuhnya menjadii gemetar menahan kenikmatan dari kemutan vaginaku. Dengan tubuh mengkilat karena keringat kami yang berpadu, kupagut lehernya dan kucupangsaat merasakan nikmatnya orgasme ini. 

Belum lagi tubuhku tenang, Roni kembali memompaku dengan menggila, dan ajaibnya aku yang baru mengalami orgasme, bahkan belum selesai menikmati orgasme itu kembali merasakkan gelombang kenikmatan orgasme, “aaakkkkhhh... oughhhhh....” erangku, vaginaku seolah tidak sempat berhenti mengemut, belum selesai satu periode, sekarang langsung mengemut lagi. 

Kali ini Roni terdiam dengan mata terpejam menahan kenikmatan yang diberikan oleh kemutan vaginaku, bahkan setelah gelombang orgasme ku berlalu dia masih terdiam dengan tubuh tegang. 

“Bukan main nikmatnya vaginamu Sumini, ibuku..” katanya sambil mulai memompaku kembali. Kami kembali saling berlaga, dengan tidak menghiraukan rasa pegal ditubuhku, aku memutar dan mengoyangkan pantatku sejadi-jadinya untuk mengimbangi keperkasaan anakku sendiri yang tengah menyetubuhiku. 

Kali ini pun aku tidak tahu berapa lama kami berlaga, yang jelas gesekan batang kemaluannya dengan dinding vaginaku, ditambah rambut kemaluannya yang menekan-nekan klitorisku, benar-benar membuat aku melambung dalam surga tingkat tujuh. 

Keringat ditubuh kami bercucuran dengan derasnya tanda lama dan kerasnya perjuangan kami dalam bersetubuh, mereguk samudra kenikmatan bersama. Kini aku hapal dari pengalaman, bahwa saat ternikmat bagi Roni adalah saat vaginaku mengemut batang kejantanannya.
Karena itu ketika aku mengalami orgasme lagi kutarik pantat Roni kuat kuat, dan kuangkat pantatku tinggi tinggi, dengan bertumpu pada kakiku kuputar sekuat tenaga pantatku, oughhh.... Ronnn.... aku.....akhh... nikmat” aku mengalami orgasme ku yang keempat, tapi kali ini sambil menikamti orgasmeku, aku terus memutar pantatku, tak kubiarkan batang kemaluan Roni beristirahat.
“Hegg... Hemmmm....” Roni menggeram, tubuhnya mengejang kaku, tapi dengan kuatnya dia menarik pantatnya sedikit karena aku memegannya kuat-kuat, lalu langsung menekannya lagi sehingga vagina ku kembali dipompanya.
Dua tiga kali dia melakukannya, dan aku yang sedang terbadai oleh orgasme yang pertama tersentak keajaiban seperti tadi kembali terjadi lagi, aku memekik “Roooonn... okh... ak...akhh..” saat itulah kurasakan tembakjan yang kuat menyentuh rahimku, sehingga seakan terpukul oleh semburan air mani Roni.
Kini bukan hanya aku yang menarik pantatnya kuat-kuat, tapi tangan Ronipun menarik pantatku kearahnya. Kami sama-sama menikmati gelonmabang orgasme yang seakan-akan tidak ada putus-putusnya. Lalu ahirnya Roni roboh menindih tubuhku.
Aku tidak tahu berapa kali aku mengalami orgasme, dalam persetubuhan pertama kami ini, yang jelas ingatan kotor bahwa yang tengah menyetubuhiku adalah anakku sendiri merupakan salah satu kontributor bagi orgasme yang kuraih.
Sekarang seluruh siklus telah lengkap, air mani anakku telah tumpah kedalam rahim yang sama dengan saat dia dikandung, rahimku telah menjadi tempat penampungan air mani dua generasi laki-laki dalam hidupku, suamiku yang pertama dan anak kandungku sendiri. Aku sendiri melakukannya tanpa rasa bersalah atau menyesal. Yang ada hanya keletihan saja.
Selebihnya dari perbuatan kami adalah telah sempurnanya pernikahan kami yang ditandai dengan bersetubuhnya kami. Sejak kini aku bukan ibunya yang normal. Saya sekarang adalah seorang wanita, seorang istri. Roni telah menyatukan perbedaan antara seorang istri dan seorang ibu.
Seorang istri akan melakukan segalanya bagi seorang laki-laki (yang jadi suaminya) seperti halnya seorang ibu akan melakukan segalanya bagi seorang laki-laki (yang jadi anknya) bedanya seorang ibu tidak akan memberikan vaginanya untuk dinikmati dan sekaligus menjadi sarana berkembang biak bagi laki-laki yang jadi anaknya.

Tapi hari ini sang anak telah menyetubuhi ibunya, dan ibunya mau tidak mau jadi istrinya, menikah ataupun tidak menikah. Aku beruntung karena aku menjadi istrinya yang dinikahinya.
Itu sebabnya aku menghormati Roni, karena dia membuat saya, ibunya, menjadi istrinya lewat upacara pernikahn yang resmi sebelum menikmati vaginaku. Jika dia hanya sekedar ingin menikmati vaginaku, dia bisa mengimingimingi aku uang sehingga aku jadi pelacur bagi anakku, atau dia memperkosaku, cara lainnya adalah dia menggodaku sehingga aku menyerah disetubuhinya tanpa menikahi aku.
Jadi sekarang kami syah bersetubuh, karena aku adalah istrinya. Dengan pikiran-pikiran itu aku tergolek lemas akibat persetubuhan pertama kami dimalam pengantin ini. Roni bangkit dari posisinya menindihku sehingga batang penisnya yang lemas keluar dari vaginaku, keluar dari ikatn incest kami.
Kurasakan Roni berbaring miring menghadapku disebelah kananku dan bertanya “apa ibu menyukai persetubuhan kita?”. Aku tertegun, apa yang bisa kukatakan?, anak kandungku sendiri menyetubuhiku atas nama pernikahan kami, lalu kini dia bertanya apakah aku menyukai persetubuhan kami.
Aku tidak tahu apakah aku harus jadi istrinya sepenuhnya, kalau aku jadi istrinya sepenuhnya maka aku pasti akan menjawab “iya”, atau aku harus mengesankan pada Roni bahwa aku masih tetap ibunya, sehingga aku tidak menjawab apa-apa.
Walaupun kami telah bersetubuh, dan melanggar hubungan antara ibu dan anak, namun naluri keibuan saya masih tetap tidak menerimanya sebagai suamiku, aku mungkin telah menerima Roni sebagai kekasihku, seorang kekasih ibu, tapi bukan sebagai suami ibu.
Karena itu aku tidak menjawab karena rasa malu dari naluri keibuanku, tapi mengikuti naluri kewanitaanku maka aku memiringkan tubuhku sehingga kami saling berhadapan, lalu dengan serta merta mencium bibirnya sekilas dan kemudian menyurukkan wajahku didadanya, sambil mengeluarkan suara aleman “hemm... kamu...”.
Walaupun aku merasa bimbang harus berbuat atau berkata bagaimana, tapi satu fakta tidak terbantahkan bahwa aku mengalami orgasme berkali-kali, sedangkan air mani anakku yang berpadu dengan air nikmatku telah menetes dari baginaku menyusuri sepanjang pahaku.
Dalam keadaan air nikmat kami yang berpadu dan menetes dipahaku itulah aku tertidur kelelahan, semtara air kenikmatan itu mulai mengalir kebawah diantar kedua kakiku. Aku tidur dengan sebuah senyum diwajahku, senyum kepuasan.
Entah berapa lama aku tertidur, aku terbangun karena rasa nikmat di vaginaku, sekilas aku melihat jam didinding, waktu menunjukkan pukul tiga, pasti dinihari, tapi selanjutnya gelenjar kenikmatan yang sangat melanda tubuhku kurasakan klitorisku dijilati dan disedot-sedot oleh bibir, ‘pasti bibir Roni’ pikirku, dan aku kembali menghanyutkan diri dalam kenikmatan malam pengantin.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar