Rabu, 23 April 2014

Gaby, Aku Pemuas Tetanggaku


Gaby

Namaku Gaby. Aku adalah istri dari seorang pegawai rendahan bernama Mas Hendra. Secara fisik, penampilanku termasuk di atas rata-rata, tubuhku tidak tinggi namun sintal dengan payudara 36B, rambutku yang sedikit bergelombang biasa kubiarkan terurai hingga dada, Pernikahan kami sudah berjalan selama dua tahun, namun kami masih belum dikaruniai momongan. Itu bukan karena kami sengaja menundanya, melainkan karena Mas Hendra mengalami disfungsi ereksi. Meski demikian, kami menjalani hidup dengan bahagia di sebuah rumah kontrakan sederhana. 



Sebenarnya aku dan Mas Hendra sering bercinta, tapi sepertinya sperma Mas Hendra tidak sampai masuk ke rahimku sehingga aku sulit hamil. Saat penisnya baru masuk setengahnya, ia sudah keluar duluan. Untuk masalah ini, aku harus benar-benar bersabar, sebab gairah seksualku terbilang tinggi. Mas Hendra tidak sanggup mengimbangiku. Meski demikian, aku tetap sayang dan mencintai Mas Hendra apa adanya. Namun ada satu hal yang membuat kebahagiaan kami terusik. Di belakang rumah kami tinggal seorang preman yang suka bersikap semaunya, termasuk kepada kami. Namanya Cakra, tapi orang-orang biasanya memanggilnya Ceker. Usianya mungkin dua tahun di bawahku. Dia belum menikah, dan tinggal bersama neneknya yang sudah tua. Orangtuanya entah ke mana. Mas Hendra sangat takut kepada Ceker. Pernah dulu saat kami sedang jalan berdua, kami berpapasan dengan Ceker. Mas Hendra mencoba bersikap sopan kepadanya. Namun, Ceker malah membentaknya dan bersikap kasar. Dia mengeplak kepala Mas Hendra di depan mataku. Ceker meminta uang (memalak) kami. Mas Hendra buru-buru menyerahkan uang 50 ribu yang ada di kantongnya. Beruntung Ceker segera pergi. Sejak saat itu Ceker sering bersikap semena-mena terhadap Mas Hendra. Sudah terhitung lagi Cakra memalaknya. Mas Hendra tidak berani melawan, ia memang seorang yang lembut dan tidak suka cari ribut. Tubuh Cakra begitu kekar, dan Mas Hendra merasa tidak akan menang melawannya apalagi ia bukan orang yang suka berkelahi. Kabarnya dulu Cakra bekerja di pedalaman Kalimantan selama beberapa tahun. Mungkin itulah yang membuat tubuhnya kekar dan berisi.

Pada suatu pagi, Cakra lagi-lagi berbuat ulah. Saat itu hari libur. Aku dan Mas Hendra sedang asyik bersantai di rumah. Tiba-tiba Cakra masuk, lalu memaksaku untuk ikut dengannya menghadiri acara pernikahan temannya. Katanya ia tidak mau pergi sendiri. Mas Hendra dan aku mencoba menolaknya dengan halus, tapi Cakra malah berkata dengan kasar, bahkan hampir memukul Mas Hendra. Akhirnya aku buru-buru menyanggupinya sebelum Mas Hendra terluka. Aku pun segera masuk ke kamar untuk berganti baju. Ah, sial. Pakaianku banyak yang masih belum kering. Yang tersisa di lemari hanya baju batik terusan tanpa lengan dengan bagian bawah tidak sampai mencapai lutut. Jika tanganku terangkat sedikit, maka ketiakku langsung terlihat. Ah, aku malu, sebab ada bulu-bulu halus di ketiakku. Aku belum sempat mencukurnya lagi. Tapi tidak ada pilihan lain, aku terpaksa memakai baju seksi tersebut. Aku sempat melihat Cakra terperangah melihatku keluar kamar. Mungkin ia terpesona dengan keseksian dan kecantikanku. Belahan dadaku juga terlihat sedikit. Mas Hendra melepas kepergianku sambil mengecup keningku. Ia meminta maaf karena tidak bisa beruat apa-apa. Aku mengatakan tidak masalah, sebab hanya pergi sebentar. Aku berusaha menghiburnya supaya dia tidak terlalu merasa bersalah. Aku membonceng motor RX King milik Cakra dengan posisi mengangkang. Tadinya aku ingin duduk dengan posisi menyamping, tapi hal itu tidak mungkin dilakukan, sebab bentuk jok motornya terlalu menyulitkan. Berkali-kali aku berusaha menutupi paha mulusku yang tersingkap karena rokku terangkat. Tapi percuma saja. Akhirnya aku terpaksa membiarkan para pria hidung belang di jalan melihat pahaku yang putih dan padat itu. Sebagian jalanan yang kami lewati begitu buruk. Aku terpaksa berpegangan pada bahu Cakra supaya tidak terjatuh. Luar biasa, bahunya terasa kokoh sekali. Benar-benar bahu seorang pria sejati. Tapi aku segera menepis kekaguman itu setelah mengingat bahwa Cakra adalah preman yang sering mengganggu kehidupanku dan suamiku. Aku dan Mas Cakra tidak berlama-lama berada di acara pernikahan. Setelah bersalam-salaman dan menikmati hidangan yang ada, kami langsung pulang. Baru setengah jalan, tiba-tiba Cakra berhenti, lalu menelepon seseorang.
“Ndes, kamu di mana? Aku pinjem kontrakanmu, ya? Kuncinya di tempat biasa, kan?” ujar Cakra dengan temannya di ujung telepon sana. 
Setelah itu, ia menutup telepon, lalu melanjutkan perjalanan. Di sebuah persimpangan, ia membelokkan sepeda motor ke arah lain.
“Kita mau ke mana, Mas?” tanyaku dengan jantun.g berdebar-debar.
“Sudah, ikut aja! Nggak usah banyak tanya!” bentak Cakra. Aku langsung terdiam karena takut.

Setelah beberapa lama, kami tiba di rumah sederhana. Kanan-kirinya hanya ada kebun jagung. Cakra mengambil kunci di bawah keset, lalu membuka pintunya. Ia menarik tanganku dan menyuruhku masuk ke dalam. Aku sempat memberontak. Tapi, Cakra terlalu kuat sehingga ia bisa menarikku ke dalam. Rumah itu ternyata hanya sebuah kamar berukuran 5x4 m yang dilengkapi dengan kamar mandi. Di kamar itu ada sebuah kasur tanpa tempat tidur. Aku duduk di situ dengan takut-takut. Setelah menutup pintu, tiba-tiba Cakra membuka bajunya. Sesaat aku terpesona melihat dadanya yang begitu bidang dan perutnya yang kotak-kotak. Cakra memelukku hingga aku terjatuh ke kasur, lalu berbisik, 
“Gaby, ayo layani aku. Jangan teriak!”
Aku tersentak dan berusaha memberontak. Pikiran negatifku terbukti, ia hendak memperkosaku! Tapi, aku tidak berani teriak. Cakra berusaha menciumku, tapi aku menolaknya dengan menggeleng-gelengkan kepala. 
“Jangan Mas...jangan...kumohon!!” aku menghiba dan terisak
Tanpa mempedulikan permohonanku ia terus berusaha menyosor bibirku. Pada sebuah kesempatan, akhirnya ia berhasil melumat bibirku. Tangannya yang kasar itu mulai meraba-raba dadaku. Ia melakukannya dengan tegas khas lelaki yang kuat. Sesekali ia juga melakukannya dengan lembut. Aku benar-benar dibuat belingsatan. Aku mati-matian berusaha menahan nafsu yang mulai melandaku. Tapi, aku tidak bisa menipu diri sendiri. Entah kenapa lama-lama aku mulai membalas ciuman Cakra yang menggairahkan itu. Bahkan ketika Cakra memelorotkan baju batik yang kupakai, aku tidak menolaknya sama sekali! Cakra mengangkat kedua tanganku, lalu ciumannya mengarah ke ketiakku. Ia melepas BH-ku hingga kedua buah dadaku yang padat dan kencang itu tersingkap. Cakra meremas-remas dadaku sambil tetap menjilati ketiakku. Sesekali tangannya juga meraba-raba puting susuku dengan lembut. Oh, rasanya nikmat sekali. Aku menggigigit bibir bawahku karena keenakan.
“Mas Hendra...maaf, aku tidak sanggup lagi” tangisku dalam hati
Aku merasa bersalah sekali. Aku telah membiarkan orang lain yang bukan suamiku menjarah tubuhku, mencumbuiku serta menikmati dadaku. Padahal, selama ini yang bisa melakukannya hanya Mas Hendra, suamiku. Tapi, aku membela diri bahwa aku tidak punya pilihan lain. Jika memberontak, bisa saja Cakra membunuhku di tempat yang sepi itu. Nafsu pun semakin menguasaiku. Aku meremas-remas kepala Cakra sambil mendesah-desah.

Ciuman Cakra terus turun hingga mencapai perutku. Aku mengerang keenakan. Tangannya yang kokoh itu mencoba melepaskan celana dalam warna pink yang kupakai. Bukannya menolaknya, aku malah mengangkat tubuhku supaya celana dalamku mudah dilepas. Kini aku benar-benar telanjang bulat. Cakra membuka kedua pahaku, lalu mengamati vaginaku yang ditumbuhi bulu-bulu yang agak lebat itu. Rupanya vaginaku sudah sangat basah. Aku merasa malu sekali. Cakra adalah orang pertama yang melihat kemaluanku selain suamiku sendiri. Tiba-tiba, kepala Cakra masuk ke pangkal pahaku, lalu mencium dan menjilati vaginaku. 
“Aaakhhh...ssshhh” aku menjerit kecil sambil menggigit bibir.
Baru kali ini aku dioral. Bahkan Mas Hendra pun belum pernah melakukannya sama sekali. Aku serasa terbang di awang-awang. Rasanya sungguh nikmat! Cakra sepertinya tahu di mana titik-titik sensitif seorang wanita. Saat itu aku benar-benar tidak mempedulikan statusku lagi sebagai istri Mas Hendra. Aku di bawa ke langit ketujuh oleh Cakra. Aku mengencangkan kedua pahaku hingga kepala Cakra jadi agak terjepit. Meski demikian, hal itu tidak menganggu aktivitasnya. Ia tetap mengoralku, sementara tangannya meremas-remas dadaku. Aku tidak bisa membayangkan, apa yang terjadi jika Mas Hendra melihatku dalam kondisi seperti ini. Apakah ia akan diam saja atau melawan Cakra? Ah, aku tidak bisa mengira-ngiranya. Beberapa lama kemudian, Cakra berhenti mengoralku. Ia melepas celana panjang dan celana dalamnya dengan cepat. Astaga, penis Cakra besar sekali! Tegak dan benar-benar terlihat kokoh, sangat serasi dengan tubuhnya yang kekar itu. Cakra membangunkanku, lalu memaksaku untuk mengoralnya. Aku pun menuruti kemauannya dengan setengah terpaksa. Lagi-lagi ini adalah pengalaman pertamaku. Aku mencium penis Cakra dengan canggung, lalu mulai mengoralnya. Rasanya asin. Cakra sepertinya suka sekali dengan caraku mengoralnya. Tangannya meremas kepalaku, dan sesekali menyingkirkan rambutku yang panjang itu dari mukaku. Tiba-tiba saja aku merasa hina. Aku adalah seorang istri baik-baik, tapi sekarang malah mengoral seorang preman, bahkan seorang yang sangat kubenci karena sering menindas aku dan suamiku. Cakra menarik penisnya dari mulutku, lalu melumat bibirku. Aku membalas ciumannya itu dengan penuh gairah. Lidahku dan lidahnya saling terpagut. Aku tidak tahu apa yang terjadi denganku, semuanya berjalan begitu saja. Tanganku secara spontan merangkul kedua lehernya. Siapapun yang melihat kami pasti sepakat bahwa adegan itu bukan merupakan sebuah pemerkosaan. Cakra menidurkanku, lalu membuka kedua pahaku yang sintal dan padat berisi itu. Vaginaku pun terbuka lebar. Bulu-bulu hitamnya tampak kontras dengan pahaku yang putih. Aku sudah benar-benar pasrah. Ia menjilati leher dan ketiakku, lalu perlahan-lahan mulai memasukkan penisnya ke vaginaku.

“Jangan… jangan… jangan….” di mulut aku menolak dan tubuhku meronta untuk menghindari disetubuhi olehnya, namun vaginaku terasa gatal sekali. Di satu sisi aku ingin segera menikmati penis besar Cakra yang nampak lebih perkasa dari milik Mas Hendra itu, tapi di sisi lain hati nuraniku berkata untuk menjaga kesucianku sebagai istri Mas Hendra.
“Aaaaaaah….” Aku menjerit kecil saat penis Cakra berhasil masuk ke liang kenikmatanku. 
Aku mendongakkan kepalaku ke atas dan membusungkan dadaku. Nikmatnya sungguh tidak terkatakan! Selanjutnya Cakra mulai menyetubuhiku. Aku mendesah-desah dengan penuh gairah saat Cakra menggenjotku. Tubuhnya bersimbah peluh. Begitu pula dengan tubuhku. Aku meraba-raba dadanya yang bidang dan gagah itu. Saat itu pula aku sudah tidak bisa mendengarkan nuraniku lagi, aku pun larut dalam nikmatnya birahi. Setelah beberapa lama, kami pun berganti posisi. Dia menyuruhku nungging, lalu mulai menggenjotku dari belakang. Tangannya mencengkeram kedua pinggangku. Aaah, Cakra benar-benar pintar bercinta. Desahanku pun semakin keras saja. Aku tidak peduli bila sampai ada orang yang mendengarnya. Tubuhku meliuk-liuk tak beraturan. Setelah beberapa lama, kami berpindah posisi lagi. Kali ini aku kembali berada di bawah, sementara Cakra menggenjotku dari atas sambil mengamati wajahku yang terlihat memerah karena keenakan. Aku merasa malu sekali dipandangi dalam keadaan seperti itu. Tapi, aku sudah tidak peduli lagi. Aku hampir keluar, dan Cakra masih terus menggenjotku.
“Lebih cepat lagi, Mas… lebih cepat lagi….” Ujarku, lirih. “Tolong nanti dikeluarin di luar, Mas.” lanjutku lagi.
Tak disangka, Cakra malah memperlambat genjotannya. Hal ini membuatku belingsatan.
“Ayo Mas, dicepetin lagi….” aku menatap Cakra dengan pandangan sayu sambil memohon kepadanya, sungguh aku benar-benar merendahkan harga diriku sendiri.
“Aku mau ngeluarin di dalem. Boleh, kan? Aku mau menghamili kamu,” kata Cakra sambil menyeringai. 
Aku tersentak kaget. Ucapannya benar-benar kurang ajar. 
“Jangan, Mas! Aku mohon, keluarin di luar aja,” ucapku, sambil berusaha menggoyang-goyangkan pinggulku sendiri, sebab genjotan Cakra menjadi sangat lambat.
Cakra diam saja, lalu benar-benar menghentikan genjotannya.
“Mas, ayo mas… plis….” aku benar-benar memohon kepadanya supaya dia melanjutkan genjotannya. Seperti ada sesuatu yang mau meledak di dalam vaginaku, tapi tertahan sehingga membuatku gelisah.

Cakra masih diam. Aku sudah tidak tahan lagi, lalu berkata dengan lirih dan pasrah kepadanya, “Ya udah Mas, keluarin di dalem.”
“Apanya? Ngomong yang jelas!” seru Cakra.
“Keluarin di dalem aja supaya aku hamil! Mas Cakra boleh menghamiliku! Ayo Mas, hamili aku!” aku setengah berteriak.
Aku kaget mendengar ucapanku sendiri. Rupanya aku benar-benar sudah dikuasai nafsu sehingga mengucapkan kata-kata yang tidak senonoh itu, betapa murahanya aku menyadari diriku menjadi seperti ini. Cakra tersenyum penuh kemenangan, lalu kembali menggenjotku. Aku mendesah-desah tak karuan. Tanganku menggapai-gapai benda apa pun yang bisa kugenggam.
“Sedikit lagi… sedikit lagi… ayoo….” aku terus menyerocos. Aku mulai mendekati puncak kenikmatan. Belum pernah aku merasakan proses yang demikian hebat itu, sebab selama ini Mas Hendra tidak mampu mengimbangiku.
Sepertinya Cakra juga mau keluar. Ia memelukku dari atas, lalu melumat bibirku. Aku membalas ciumannya dengan panas. Aku pun memeluk punggungnya dengan erat. Dadaku menempel dengan erat di dadanya yang kekar. Cakra semakin mempercepat genjotannya. Desahanku semakin keras, tapi tidak terdengar jelas karena bibirku sedang dilumat oleh Cakra. Beberapa detik kemudian….
“AAAaaahhhh!!!” aku menjerit sambil membusungkan dada. 
Tubuhku melengkung ke atas. Pangkal pahaku bergetar hebat. Jari-jari tanganku mencengkeram punggung Cakra dengan kuat. Aku merasakan kenikmatan yang luar biasa. Kenikmatan yang belum pernah aku rasakan. Aku benar-benar terbang ke puncak kenikmatan dunia. Tubuh Cakra juga terasa bergetar. Rupanya kami orgasme bersama-bersama. Sperma milik preman itu memancar dengan kuat dan membanjiri liang kehormatanku. Aku telah membiarkan cairan lelakinya masuk ke dalam vaginaku. Kami sama-sama diam, mungkin masih menghayati sisa-sisa kenikmatan yang ada. Napas kami terengah-engah. Tiba-tiba aku ingat bahwa aku sudah terlalu lama pergi. Mas Hendra pasti mencariku. Aku pun segera bangkit dari kasur, membawa semua pakaianku ke kamar mandi, lalu membersihkan diri. Aku keluar dari kamar mandi setelah selesai berpakaian. Setelah itu gentian Cakra yang membersihkan diri di kamar mandi. Setelah semuanya beres, kami bergegas pulang. Dalam perjalanan, aku hanya diam, sebab masih terpesona dengan kenikmatan luar biasa yang baru saja aku rasakan.

****
“Gaby, makasih, ya,” ujar Cakra sambil menyeringai saat menurunkanku di depan rumahku. 
Aku tidak menjawab apa-apa. Setelah itu ia langsung pergi dengan RX King-nya. Mas Hendra menyambutku dengan riang.
“Kok lama sayang?” tanya Mas Hendra.
“Iya Mas, tadi Mas Cakra ngobrol lama sama teman-temannya,” jawabku, berbohong.
Mas Hendra tersenyum lembut, lalu menyuruhku masuk. Katanya dia sudah menyiapkan teh hangat untukku. Aku terharu, lalu buru-buru masuk ke rumah dan pamit mau mandi. Aku tidak mau melihat Mas Hendra melihatku menitikkan air mata.
“Mas Hendra, seandainya kamu tahu.... Istrimu tercinta ini baru saja dinodai orang. Di dalam rahim istrimu ini ada benih-benih preman yang selama ini sering memalakmu. Maafkan aku, Mas....” aku membatin sambil berusaha menahan tangis

####
Pagi itu aku sedang sibuk di dapur mempersiapkan makanan, ketika sedang membasuh sayuran tiba-tiba kurasakan remasan pada pantatku.
”Eeehh...Mas, pagi-pagi udah genit ya” seruku sedikit kaget
Mas Hendra tertawa dan mendekap tubuhku dari belakang, tangannya meraba buah dadaku dengan lembut.
“Iiihhh...jangan ah...aku kan lagi kerja nih!” kataku menepis tangannya.
“Hahaha...ayo dong say, kan masih cukup waktu, masih sempat kok sebelum ngantor nih.” Mas Hendra menggesekkan selangkangannya yang sudah menegang pada pantatku menggodaku
“Dasar, baru bangun juga udah omes gitu” candaku sambil tertawa. 
Aku pun pasrah meletakkan selada yang sedang kucuci pada wadah untuk menikmati perlakuannya padaku. Tangan Mas Hendra menaikkan rokku dan merabai pahaku naik hingga ke vaginaku yang masih tertutup celana dalam. Mau tidak mau, aku pun mulai hanyut karena sentuhan erotisnya, kurasakan vaginaku mulai basah.
Mas Hendra mengecup telingaku dan berkata, ”Punya istri secantik dirimu, siapa yang akan pernah bosan!” sambil mencium pipiku
Ketika aku menengokkan wajahku, ia langsung melumat bibirku lembut. Aku mengeluarkan lidahku membalas lidahnya yang menjilati bibirku, kulingkarkan tanganku ke lehernya. Karena sudah terbakar nafsu, aku pun tak perlu waktu lebih lama untuk mengimbanginya. Sebentar saja kami sudah beradu lidah dengan liarnya, tanganku yang satu menjulur ke belakang bawah meraba selangakannya yang sudah mengeras. Tangan Mas Hendra dengan cekatan mempreteli kancing gaun tidurku, payudaraku langsung menyembul keluar karena tidak memakai bra. Dengan gemas ia memilin dan meremas puting payudaraku, sambil tangan kanannya merogoh masuk ke dalam celana dalamku. Aku sendiri tidak bersikap pasif seperti patung, tanganku meraih resleting celana Mas Hendra dan menurunkannya, celana panjang yang dikenakannya agak gombrong sehingga tidak sulit bagiku meraih penisnya dari balik celana dalam. 
“Bentar...bentar say...” ia berhenti sejenak meremas payudaraku untuk membuka gesper dan kaitan celananya, “ntar kalo kejepit kan berabe”
Aku tertawa dengan tingkahnya itu, “hihihi...sendirinya yang pengen cepet-cepet, bangun-bangun udah minta gituan”
Celananya pun melorot ke lantai dan ia turunkan celana dalamnya hingga lutut. Tangaku meraih batang penisnya yang sudah menegang dan mulai kukocok perlahan, naik turun dengan begitu lembut. Ia juga meneruskan remasannya pada payudaraku dan mulutnya mengecupi lembut pundak dan leherku. Tangannya yang satunya mengobok-obok di balik celana dalamku.
“Ssshhh...say...” desahku lirih sambil memejamkan mata menikmati sentuhan jarinya pada bibir vaginaku, kurenggangkan pahaku agar tangannya lebih leluasa merambahi wilayah kewanitaanku. Kurasakan jarinya mulai masuk ke dalam, satu jari, lalu disusul satu jari lagi, uuhhh...nikmatnya, aku menyukai gayanya yang lembut ditambah lagi gelora cinta di antara kami berdua.

“Wah, cepet banget basahnya say” kata Mas Hendra sambil tersenyum menatap wajahku yang sudah memerah sayu dari samping belakang.
“Makanya cepetan dong, ntar telat nyalahin gua lagi!” kataku tak sabar.
Mas Hendra langsung mendudukkan tubuhku di tepi meja dapur, tapi bukannya langsung to the point, ia malah mengarahkan mulutnya ke arah payudaraku yang membusung tegak. HAP! Mulutnya pun mencaplok yang kanan. Disedotnya putingku yang sudah menegang kuat-kuat, lidahnya menari lincah di atas sana. 
“Mas...aahhh....eeemmhhh” aku mendesah dan meremasi rambutnya, sensasi geli ini sungguh membuaiku, tapi aku menyukainya. Kubiarkan Mas Hendra terus menyusu dari payudaraku ini.
Tak lama, mulutnya pindah ke yang kiri. Hhhmmm...kali ini hisapannya terasa lebih kuat. Sambil menjilat, beberapa kali giginya ikut bermain dengan menggigit perlahan putingku yang kini semakin mengeras saja.
“Owhh, sssshh!” aku hanya bisa mendesis menerima semua perlakuan itu. “Sekarang dong say...tusuk memekku.” bisikku lirih. “aku sudah kepengen banget nih!”
“Of course say” kata Mas Hendra menganggukkan kepala. 
Ditariknya celana dalamku hingga lepas sehingga vaginaku kini mekangkang ke arahnya. Tangannya masih saja menggerayangi tubuhku, terutama sepasang gunung kembarku yang merupakan anggota tubuhku yang ia sukai. Ia terus memijit dan meremas-remasnya penuh nafsu. Sambil bibir kami tetap berpagutan aku merasakan penis suamiku itu berada tepat gerbang vaginaku, ia menggesek-gesekkan benda itu ke bibir vaginaku yang sudah becek dengan penuh perasaan.
“Ayo cepet, sekarang Mas!” rengekku memelas.
Mengerti akan hasratku yang tak bisa ditahan lagi, dengan perlahan Mas Hendra pun mulai mengarahkan kepala penisnya ke arah vaginaku. Digesek-gesekkannya ujung batang penis itu di luar bibir kemaluan Lucia. Ia berusaha melumasi seluruh batang penisnya dengan cairan vaginaku yang berleleran di sana sebagai pelumas. Setelah dirasa cukup licin Mas Hendra pun siap menusukku.
”Okay say, kumasukin sekarang ya!” bisiknya sambil mengecupku dengan lembut.
Kurasakan kepala penis Mas Hendra melesak masuk dan dijepit oleh dinding vaginaku yang berdenyut-denyut. 
“Ooohhh yaaahh Mas” erangku mengiringi proses penetrasi
Rasanya begitu hangat, kenyal, namun keras saat batang penis suamiku memenuhi liang senggamaku. Sambil tetap meremas-remas payudara kiriku, Mas Hendra mendorong batang penisnya hingga benda itu menancap seluruhnya. Kedua alat kelamin kami pun akhirnya menyatu dan saling mengisi satu sama lain.

“Uhh,” aku mendesah pelan sambil memejamkan matanya rapat-rapat. 
Walau sudah terbiasa dengan ukuran penis Mas Hendra, namun tetap saja, ada sedikit rasa nyeri yang timbul. Namun aku berusaha mengabaikannya, rasa nyeri itu akan segera berubah menjadi rasa nikmat kalau Mas Hendra sudah menggenjotku. Ia menggeser-geser posisi tubuhnya, berusaha mencari posisi yang paling nikmat dalam persetubuhan kami pagi itu. Perlahan, batang penisnya mulai ia gerakkan maju-mundur. Denyut-denyut kejantanan Mas Hendra dapat kurasakan sehingga membuat organ kewanitaanku semakin membanjir, sebagian cairan kewanitaanku bahkan mulai meleleh membasahi bibir meja dari bahan marmer ini saking banjirnya. Tak peduli dengan semua itu, Mas Hendra terus menggerakkan pinggulnya maju mundur, bahkan ia terlihat begitu menikmatinya. Malah semakin lama, tusukannya menjadi kian cepat dan dalam hingga terdengar bunyi berdecak akibat tumbukan alat kelamin kami ditambah beceknya vaginaku.
“Enak gak sayang?” tanya Mas Hendra sambil terus menggenjot vaginaku.
Saking enaknya, aku hanya bisa menggigit bibir bawahnya. Aku tersenyum mendesis sambil berusaha menganggukkan kepala. Aku hanya bisa melenguh keenakan saat gelombang kenikmatan itu perlahan datang, membuat jantungnya berdetak semakin cepat dan nafasnya menderu tak kalah berat.
“Shhhh, aku mau keluar, Sayang. Ayo, tusuk memekku lebih dalam.” desahku menyemangati suamiku.
Tanpa harus disuruh lagi, Mas Hendra semakin mempercepat sodokan penisnya. Begitu cepatnya hingga tubuhku jadi terhentak-hentak karenanya.
“Aaahhh...aahhhh...terusss...mas terusss...enak gitu!!” mulutku makin menceracau tak karuan
‘Trang!’ panci yang akan kupakai untuk merebus sayuran yang sudah kuisi air sepertiganya itu tersenggol olehku hingga jatuh dan airnya pun tumpah membasahi lantai.
“Shhh... oughh... dikit lagi! Sshh... arghhh iya terus!” aku terus mengerang tanpa mempedulikan panci yang terjatuh itu.
Dinding vaginaku semakin berkedut-kedut hingga akhirnya cairan kental membanjir dari dalam sana. Mas Hendra mengimbangi dengan semakin mempercepat goyangannya, dan tak lama kemudian...
“Uuuhhh...gggrrhh” ia melenguh dengan mata membelakak, penisnya ia tekan sedalam mungkin ke vaginaku.
Sesaat kemudian cairan hangat menyemprot beberapa kali dari ujung batang penisnya mengisi vaginaku. Akhirnya pagi ini aku berhasil merengkuh kenikmatan bersama pria yang kucintai. Kinerja Mas Hendra dalam hubungan seksual memang naik turun, kadang ia mudah lelah sehingga keluar duluan di saat aku belum puas, dan ini yang sering terjadi, tapi di kala kondisinya prima kami mampu meraih kepuasan maksimal seperti pagi ini. Sebagai istri aku mengerti tenaga dan pikirannya banyak tercurah di kantor sehingga kadang stress dan tentunya berpengaruh pada performanya, namun sebagai wanita aku pun menginginkan kepuasan dalam bercinta dan jujur saja seringkali aku kecewa kalau Mas Hendra ejakulasi duluan dan meninggalkanku dalam kondisi nanggung. Terus terang aku meraih kepuasan lebih ketika bercinta dengan Cakra tempo hari lalu. Ooohhh...tidak, mengapa aku berpikir begitu? Preman itu memaksaku kenapa aku sampai berpikir seperti itu, sungguh dilema bagiku.
“Ahhh...aku sayang banget sama kamu!” ucapnya sambil mengecup bibirku, penisnya masih menancap di vaginaku dengan semprotan makin lemah, benda itu juga mulai menyusut di antara himpitan dinding vaginaku
“Sama Mas, aku juga!” jawabku lalu balas memberikan ciuman ringan di bibirnya.
Setelah merasa lebih segar kami pun mulai berbenah diri. Aku mengancingkan kembali gaun tidurku dan memakai celana dalamku lagi, demikian juga Mas Hendra. Kami menikmati sarapan sambil mengobrol ringan.
“Sampai nanti yah sayang!” Mas Hendra mendekapku dan mengecup dahiku setelah menyelesaikan makannya.
Aku mengantar kepergiannya hingga ke gerbang rumah kami. Setelah sosoknya tidak terlihat lagi aku pun kembali ke dalam.

Hari itu sudah empat hari sejak “perkosaan” itu terjadi. Selama itu pula Cakra tidak terlihat di rumahnya yang berada tepat di belakang rumahku, hanya dipisahkan oleh pekarangan tak bertuan sejauh 20 meter. Kabarnya ia sedang berada di luar kota. Ada yang bilang bahwa ia merupakan anggota penjahat bajing loncat. Karena itulah ia sering pergi ke luar kota untuk “bertugas”. Entah kenapa aku merasa seperti ada yang kurang selama 4 hari itu. Apakah aku berharap bisa bertemu dengan Cakra? Ah, aku buru-buru menepis anggapan itu. Cakra adalah preman, dan ia telah memperkosaku. Sungguh aneh bila aku merindukannya. Tapi, harus kuakui bahwa jauh di dalam lubuk hatiku yang paling dalam, aku sangat mengharapkan kenikmatan yang dulu kudapat saat disetubuhi Cakra. Aku tidak bisa mendapatkannya dari Mas Hendra. Karena itulah, ketika mandi sore itu aku tanpa sadar melakukan masturbasi di bawah shower membayangkan kokohnya dada Cakra yang bidang, perutnya yang sixpack, dan penisnya yang keras. Membayangkan diriku disetubuhi lagi olehnya. Pada hari kelima di siang hari, aku sedang sibuk menyapu rumah. Mas Hendra seperti biasa sedang sibuk di kantor. Tadi dia sempat SMS mengatakan kalau nanti akan pulang malam karena harus menyelesaikan lembur di kantor. Tiba-tiba, ponselku berbunyi. Sebuah nomor asing tertera di layar ponselku.
“Halo...,” aku menyapa seseorang di ujung telepon sana.
“Gaby, ini aku, Cakra,” ujarnya, singkat. Seketika jantungku langsung berdebar-debar.
“Iya mas, ada apa?” tanyaku, agak gemetar.
“Nanti malam jam satu, datanglah ke rumahku lewat belakang. Datanglah tanpa pakaian. Saat aku melihatmu keluar dari pintu belakang rumahmu, kamu harus sudah telanjang. Awas kalau kamu tidak melakukannya. Aku akan menculik suamimu dan membunuhnya!” ancam Cakra, lalu langsung menutup teleponnya.

Aku ternganga. Aku harus berjalan menyeberang pekarangan belakang rumah sejauh 20 meter malam-malam tanpa pakaian satu pun? Preman ini benar-benar gila! Aku benar-benar takut dengan ancaman Cakra. Ia punya banyak teman sesama preman yang sewaktu-waktu bisa menyakiti Mas Hendra. Aku tidak mau terjadi karena aku yakin Mas Hendra tidak akan menang melawan mereka. Mau tak mau aku harus menuruti kemauan Cakra. Aku berdebar-debar saat membayangkan diri pergi ke rumah Cakra malam-malam tanpa pakaian sehelai pun. Bagaimana jika ada yang melihatku? Apa yang hendak Cakra lakukan kepadaku? Saat sedang merenung itu, tiba-tiba aku sadar bahwa vaginaku sudah basah, aku menginginkan hal itu terjadi lagi padaku mengingat tadi pagi ketika bercinta dengan Mas Hendra di kamar mandi aku gagal meraih kepuasan, Mas Hendra keluar duluan seperti biasanya, aku ingin menyelesaikan birahiku yang belum tuntas ini....

Selepas petang, aku melamun sendirian di ruang tamu. Aku bimbang. Aku berencana untuk memenuhi keinginan busuk Cakra, demi keselamatan Mas Hendra. Tapi, aku juga belum siap. Aku tidak rela Cakra menyetubuhiku lagi. Lagipula aku juga tidak berani pergi ke rumahnya malam-malam tanpa pakaian. Itu adalah hal gila yang sungguh tidak layak dilakukan oleh perempuan baik-baik sepertiku. Aku coba meminta kepada Cakra untuk membatalkan niatnya itu. Barangkali ia masih punya hati untuk mendengar permintaanku. Segera aku raih ponselku, lalu meneleponnya. Setelah beberapa kali terdengar nada sambung, teleponku diangkat.
“Halo,” kata Cakra di ujung telepon sana.
“Halo Mas Cakra, ini aku, Gaby,” ucapku, dengan nada agak gemetar. “Mas, aku tidak bisa menuruti kemauan Mas Cakra. Tapi aku mohon dengan sangat, Mas, jangan celakakan Mas Hendra....”
“Ketentuanku sudah jelas! Kalau kamu nggak mau, tanggung sendiri akibatnya!” bentak Cakra. Seketika rasa takut mendera hatiku.
“Aku mohon, Mas. Aku nggak bisa melakukan hal itu. Tolong, Mas...,” aku mulai terisak.
“Masa bodoh! Besok pagi saat Hendra berangkat kerja, aku dan teman-temanku akan menculiknya! Kamu siap-siap saja mendengar kabar duka tentang Hendra,” kata Cakra, tajam.
Aku menutup mulutku, tidak sanggup membayangkan hal-hal buruk yang bakalan menimpa Mas Hendra jika aku tidak mau memenuhi keinginan Cakra. Tubuhku lemas. Pikiranku pun kacau.
Tiba-tiba, Cakra menutup teleponnya. Aku panik, lalu segera meneleponnya lagi.
“Mas... Mas... baiklah, nanti malam aku akan datang ke rumah Mas Cakra. Tapi tolong, izinkan aku memakai pakaian. Kali ini tolong kabulkan permintaanku, Mas. Aku akan melakukan apa pun yang Mas Cakra mau. Apa pun. Tapi aku mohon biarkan aku memakai pakaian saat ke rumah Mas Cakra nanti,” aku berucap dengan hati-hati supaya Cakra tidak kehilangan kesabaran.
“Kemauanku sudah jelas. Nggak bisa ditawar lagi,” Cakra berkata dengan singkat, lalu menutup teleponnya. Aku langsung terduduk lemas.

****
Mas Hendra baru pulang pada jam 9 malam. Ia kelihatan sangat lelah. Aku merasa kasihan sekali. Ia telah bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan kami, dan tentu saja menabung. Kami bermimpi untuk membeli rumah sehingga tidak perlu mengontrak lagi.
“Mas, langsung mandi, ya. Aku akan memanaskan makanan, lalu kita makan bersama-sama,” kataku kepada Mas Hendra.
“Lho, kamu belum makan?”
“Belum, Mas. Aku sengaja menunggu Mas Hendra,” ujarku, lembut. Mas Hendra tersenyum, lalu bergegas ke kamar mandi.
Mas Hendra terlihat lebih segar setelah mandi. Kami pun segera makan malam. Mas Hendra makan dengan lahap. Rupanya ia benar-benar kelaparan. Tenaganya terkuras untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaannya yang menumpuk. Setelah makan, kami langsung masuk ke kamar.
“Sayang, aku capek banget. Aku tidur duluan, ya,” ujar Mas Hendra, lantas memejamkan matanya. Aku tersenyum, lalu mengecup keningnya. Tidak berapa lama kemudian, ia tampak tertidur dengan pulas, sementara aku masih terjaga karena gelisah.

Sebenarnya aku bersyukur Mas Hendra pulang dalam keadaan lelah. Kalau sudah begitu, biasanya ia akan tidur sampai pagi tanpa terbangun sama sekali. Jadi sepertinya nanti aku bisa pergi ke rumah Cakra dengan tenang. Aku mencoba tidur, dan sudah memasang alarm pukul setengah satu dini hari. Lumayan jika aku bisa tidur selama satu atau dua jam. Tapi, mataku tidak kunjung terpejam. Aku terlalu gelisah. Aku sudah coba membaca buku, tapi tetap saja rasa rasa kantuk tidak kunjung datang. Hingga akhirnya tanpa terasa waktu yang ditentukan telah tiba. Jam dinding di kamarku sudah menunjukkan pukul satu kurang lima belas menit. Aku beranjak dari tempat tidur dengan perlahan, lalu keluar kamar. Sesaat sebelum menutup pintu, aku memandang Mas Hendra yang sedang tidur nyenyak.

“Mas, maafkan aku...,”ujarku, lirih, nyaris terisak. Untuk berjaga-jaga, aku mengunci pintu kamar dari luar.

Aku berpindah ke kamar tidur tamu, berdiri di depan cermin besar di sana. Aku mulai melucuti dasterku hingga tinggal mengenakan pakaian dalam saja. Aku merapikan rambutku, lalu menjepitnya dengan jepitan rambut. Saat lenganku terangkat, tampak ketiakku yang halus dan mulus. Tadi siang aku memang baru saja mencukurnya. Aku melepas BH-ku perlahan hingga tersingkaplah dadaku yang bulat dan indah. Kemudian aku melepas celana dalam. Aku memandang tubuhku dari depan cermin. Daerah kewanitaanku tampak memesona dengan bulu-bulu hitam yang tercukur rapi, kontras dengan pahaku yang putih dan berisi. Dalam hati, aku kagum pada tubuhku sendiri, begitu sintal dan mulus. Padahal, aku tidak pernah melakukan perawatan tubuh secara khusus. Aku segera menuju pintu belakang. Tak kusangka, rupanya Cakra sudah menunggu di pintu belakang rumahnya sambil merokok. Aku memandang sekeliling dengan berdebar-debar, takut ada orang yang melihatku.

Setelah menarik napas, aku langsung melangkah menuju rumah Cakra. Ya, tanpa pakaian sehelaipun! Benar-benar telanjang!

Aku berjalan dengan napas memburu. Aku sangat takut bila sampai ketahuan orang. Aku langsung menghampiri Cakra. Ia tampak terpukau sejenak, melihat tubuhku dari atas ke bawah dengan pandangan penuh kekaguman. Aku merasa risih, lalu memaksa masuk ke dalam rumahnya. Cakra membawaku ke kamarnya. Aku langsung duduk di tempat tidurnya sambil berusaha menutupi dada dan kemaluanku, sementara ia keluar sebentar untuk menutup pintu belakang. Setelah masuk kamar, ia langsung mengunci pintunya, lalu membuka kausnya. Lagi-lagi aku terpesona dengan dadanya yang bidang dan perutnya yang sixpack, tubuh yang menjadi objek khayalanku saat aku bermasturbasi beberapa hari yang lalu.
“Gaby, terima kasih sudah datang,” ujarnya sambil terkekeh. 
Aku hanya membuang mukaku, sembari menanti apa yang akan terjadi selanjutnya.
Cakra menghampiriku, lalu berusaha menciumku. “Ayo Gaby, layaniku aku lagi,” ujarnya. 
Kata-katanya benar-benar kurang ajar, seolah-olah aku adalah pelacur yang bisa dinikmatinya kapan saja. Aku berusaha menghindar. Namun, upayaku kalah oleh tangan Cakra yang kekar. Ia berhasil menarik wajahku, lalu mencium bibirku dengan penuh nafsu. Aku gelagapan menerima ciumannya. Lidahnya bermain-main di dalam mulutku, sementara tangannya meremas-remas dadaku. Aku benci mengakuinya, tapi gairahku perlahan mulai bangkit. Tanpa aku sadari, aku membalas ciuman Cakra tidak kalah panasnya. Kami berciuman selama beberapa saat. Kemudian, Cakra menurunkan ciumannya ke arah leherku, lantas turun lagi hingga dadaku. Ia menjilat-jilat payudaraku, dan sesekali mencupangnya. Aku hanya bisa pasrah menerima cumbuan yang begitu nikmat itu. Gairahku semakin terbakar saat Cakra mengangkat tanganku, lalu melumat ketiakku.
“Ssshhh... ssshhh...,” aku melenguh keenakan.
Cakra berhenti sejenak, lalu mengambil tali di samping tempat tidur. Sepertinya ia sudah menyiapkan tali tersebut.
“Mau buat apa, Mas?” tanyaku dengan napas tertahan, takut Cakra akan bertindak macam-macam.
“Sudah, kamu diam saja. Sini tanganmu!” bentak Cakra. 
Aku tidak berkata apa-apa lagi, lalu menyerahkan kedua tanganku kepadanya, pasrah. Dia mengikat tanganku dengan erat, lalu mengangkatnya dan mengikatnya ke tiang tempat tidur. Kini tubuhku telentang dengan kedua tangan terangkat dan terikat.

Cakra terkekeh, lalu mulai menjilati dan mencupang dadaku. Aku mendesah-desah tak karuan. Kemudian, Cakra membuka pahaku. Tanpa banyak kata, ia langsung menjilat vaginaku. Aku semakin belingsatan. Aku menahan gairah dengan merapatkan pahaku hingga kepala Cakra tertekan. Cakra memainkan lidahnya di liang vaginaku pintarnya. Desahanku semakin keras. Namun, aku berusaha menahannya ketika teringat bahwa di rumah itu juga ada nenek Cakra. Aku tidak mau dia tiba-tiba terbangun, lalu melihatku sedang digauli oleh Cakra di rumahnya. Mau taruh di mana mukaku? Kenikmatan yang aku rasakan semakin hebat seiring dengan jilatan Cakra yang semakin cepat. Lidahnya benar-benar lincah. Aku dibuatnya melayang. Tubuhku menggeliat-geliat, namun tanganku tidak bisa apa-apa karena terikat kuat. Setelah puas mengoralku, Cakra melepaskan ikatanku. Ia membuka celananya dengan cepat, lalu menyodorkan penisnya yang sudah tegak itu ke mukaku.

Aku tidak kuasa menolaknya, lalu langsung mengulumnya dengan perlahan. Penis Cakra berbau anyir, namun entah kenapa bau tersebut malah semakin meningkatkan nafsuku. Kini sudah tidak ada lagi Gaby sang istri setia. Yang ada hanya Gaby yang sedang diperbudak nafsunya sendiri. Cakra melenguh keenakan sambil memejamkan matanya. Ia tampak begitu menghayati kulumanku. Ia meremas-remas kepalaku, menimbulkan sensasi tersendiri dalam diriku. Aku pun semakin semangat mengoral penis Cakra yang semakin lama semakin keras itu. Penis Cakra membuatku terkagum-kagum. Sangat keras, tegak, dan perkasa. Aaah, aku ingin kembali merasakan penis yang luar biasa itu....Seolah-olah bisa membaca pikiranku, Cakra menghentikan kulumanku, lalu merebahkanku. Aku memandangnya dengan pandangan sayu karena nafsu. Dadaku turun naik seiring dengan napasku yang memburu. Cakra menaikkan kedua kakiku, lalu menggesek-gesekkan penisnya di vaginaku.
“Aaah... Aaah...,” aku hanya bisa mendesah, menahan rasa gatal yang luar biasa di vaginaku.
“Mas... jangan, Mas...” ujarku, lirih. 
Tanganku menahan perut Cakra yang kotak-kotak itu, bermaksud mencegahnya. Meskipun aku sangat menginginkan penis Cakra, namun rupanya sebagian diriku masih ingat bahwa aku adalah istri orang. Istri Mas Hendra, pria baik hati dan pekerja keras. Cakra tidak peduli dengan upayaku yang sia-sia itu. Pelan-pelan ia mulai memasukkan penisnya.
“Jangan, Mas... Ooouuuuuh...,” aku melenguh panjang saat penis Cakra masuk dengan leluasa ke dalam liang kenikmatanku yang sudah basah itu. 
Lantas Cakra mulai menyetubuhiku. Ia menggenjotku hingga ranjang yang menjadi saksi kenikmatan kami berdua berderit-derit.
“Bagaimana rasanya, Gaby... enak, kan... enak, kan...,” ujar Cakra sambil menyeringai. 
Sungguh sebuah pertanyaan yang kurang ajar. Namun, aku benar-benar telah dikuasai nafsu. Aku malah menjawab, 
“Iya, Mas... terus, Mas... terus....”
Desahanku sepertinya membuat nafsu Cakra semakin memuncak. Ia memegang kepalaku, lalu melumat bibirku dengan ganasnya, sambil tetap menggenjot dengan kuat. Setelah beberapa lama, dia berhenti menggenjot, lalu menyuruhku menungging. Aku menuruti kemauannya dengan pasrah.
Cakra meremas belahan pantatku yang padat itu. Sepertinya ia sangat gemas. Ia menjilat-jilatnya, dan bahkan menggigit-gigitnya. Ia tidak peduli meskipun aku mengaduh kesakitan. Ia tetap memainkan bongkahan pantatku itu dengan kasar. Setelah puas, Cakra lantas memasukkan penisnya. Mataku langsung terpejam merasakan sensasi saat penis Cakra yang keras itu masuk ke vaginaku. Cakra mulai menggenjot lagi sambil mencengkeram belahan pantatku dengan kuatnya.

“Plok... plok... plok...,” begitu suara yang muncul saat paha Cakra beradu dengan pantatku. Oooh, nikmat sekali rasanya.
“Terus, Mas... setubuhiku aku... perlakukan aku semaumu... terus, Mas...,” aku mulai meracau tak jelas. 
Tanganku memegang tiang tempat tidur dengan erat. Aku benar-benar telah diperbudak oleh nafsu. Vaginaku pasti sudah basah sekali. Saat penghuni rumah yang lain tertidur lelap, aku dan Cakra memadu kasih dengan panasnya. Seorang istri yang cantik namun tak berdaya, digauli oleh seorang preman bertubuh kekar. Preman itu telah memberiku kenikmatan yang tidak aku dapatkan dari suami yang sangat aku cintai. Tidak lama kemudian, Cakra berhenti menggenjot. Ia berpindah posisi ke bawahku. Rupanya ia menginginkan posisi woman on top. Aku secara spontan naik ke atas tubuhnya, lalu mengarahkan vaginaku ke penis Cakra. Perlahan-lahan kuturunkan tubuhku hingga penis Cakra melesak masuk memenuhi rongga senggamaku. Aku menggigit bibir sambil mendesah. Pada posisi itu, Cakra tidak menggenjot sama sekali. Terpaksa aku menaik-turunkan tubuhku untuk mendapatkan kenikmatan kembali. Kali ini aku yang bergerak aktif. Tanganku meraba-raba dada Cakra yang bidang. Aku menggoyang-goyangkan pinggul dengan mata terpejam sambil mengahayati rasa nikmat yang mendera tubuhku. Saat aku membuka mata, aku lihat Cakra sedang memandangiku sambil terkekeh. Tangannya berada di belakang, menyangka kepalanya dengan santai. Aku merasa malu sekali. Aku seperti seorang pelacur binal yang sedang mendaki puncak kenikmatan bersama seorang berandal. Tiba-tiba, Cakra merengkuh tubuhku, lalu melumat bibirku. Salah satu tangannya memainkan dadaku yang putih dan padat itu dengan kasar. Aku membalas ciumannya dengan tidak kalah ganas pula. Aku mengisap-isap lidah Cakra, lalu menelan ludahnya yang masuk ke dalam mulutku. Sementara itu, Cakra menggenjotku dalam gerakan yang cepat.
“Oouh... ouhh... aku mau keluar, Mas,” kataku di sela-sela ciuman panas yang kami lakukan. 
Cakra membalas ucapanku dengan mempercepat gerakannya. Vaginaku terasa seperti mau meledak.
Tubuhku menegang kuat. Kedua tanganku memeluk Cakra dengan erat, seolah tidak mau lepas. Aku sudah benar-benar lupa bahwa dia adalah preman yang kerap berlaku kasar kepada suamiku.
Tidak lama kemudian....
“AAAaaaaaah...,” aku menjerit tertahan. Kepalaku mendongak ke atas, dan mataku sayu. Aku serasa terbang ke awang-awang. Waktu seolah-olah berhenti. Aku telah mencapai orgasme dalam posisi woman on top. Aku telah meraih kenikmatan yang luar biasa!
Cakra terlihat memperlambat genjotannya. Sepertinya ia memberiku kesempatan untuk menikmati orgasme tersebut. Setelah beberapa detik, aku langsung mencium bibir Cakra dan memeluknya dengan erat, seperti
berterima kasih kepadanya karena telah memberiku kenikmatan yang sulit digambarkan dengan kata-kata. 

Cakra hendak menuntaskan semuanya. Ia kembali menggenjot dengan cepat sambil mencengkeram pantatku. Napasnya terasa memburu. Kali ini aku membantunya dengan memainkan kedua putingnya dan mengulum telinganya. Aku melakukannya secara spontan. Aku benar-benar sudah seperti seorang pelacur.
Leher Cakra terlihat tegang, dan kemudian... “Aaaaaah... Aahh....” ia telah mencapai orgasmenya.
Aku merasakan spermanya menyembur di dalam vaginaku. Untuk kedua kalinya, rahimku terisi oleh cairan kelelakiannya. Setelah itu kami terdiam, tetap dalam posisi semula. Napas kami tersengal-sengal. Peluh menghiasi tubuhku dan tubuh Cakra. Aku merasa lemas sekali, juga mengantuk. Kalau saja itu adalah rumahku, maka aku akan langsung tertidur. Tapi, aku harus pulang. Aku segera beranjak dari tempat tidur, melepas penis Cakra dari vaginaku.
“Mas, aku pamit pulang. Keburu pagi,” ujarku sambil merapikan rambut.
Cakra masih terbaring lemas di ranjang. Ia hanya menyahut singkat. “Ya, pulanglah. Terima kasih untuk malam ini.”
“Rupanya preman begundal ini bisa juga berterima kasih,” batinku, heran. 
Aku teringat, dulu ia juga pernah berterima kasih kepadaku saat menurunkanku di depan rumah setelah aku melayaninya. Sepertinya ia merasa puas sekali hingga bisa berucap terima kasih seperti itu. Aku segera keluar dari kamarnya, menuju pintu belakang. Setelah celingak-celinguk dan memastikan tidak ada orang di sekitar sana, aku langsung melangkah dengan cepat menuju rumah, tentu saja masih dalam keadaan telanjang. Namun, sekarang kondisiku lebih kacau. Rambut acak-acakan, tubuh berkeringat, dan vagina terasa lengket. Setelah tiba di dalam rumah, aku bergegas mengunci pintu, lalu membersihkan diri sekenanya di kamar mandi. Aku sangat lelah dan mengantuk. Seusai mengenakan pakaian, aku masuk ke dalam kamar. Aku lihat Mas Hendra masih tertidur dengan pulas. Ia tidak tahu kejadian apa yang baru saja dialami oleh istrinya. Aku merapikan selimut yang tersingkap dari tubuh Mas Hendra, lalu mengecup kening suamiku itu. Lagi-lagi aku sedih saat teringat bahwa aku mau saja melayani nafsu bejat Cakra, dan bahkan turut menikmatinya. Aku benar-benar merasa bersalah.
“Mas Hendra, mohon maafkan aku...,” ucapku dalam hati. 
Tak terasa, air mataku mengalir. Meskipun sedih, namun tubuhku terasa nyaman dan lega setelah meraih puncak kenikmatan bersama Cakra tadi. Tidak lama kemudian, aku pun tertidur saking lelahnya. 

-------------------------------
Tak terasa, seminggu sudah sejak peristiwa gila itu terjadi. Sudah seminggu ini pula Cakra tidak terlihat di rumahnya. Mungkin ia sedang “bertugas” bersama teman-temannya, membajak truk-truk yang melewati daerah kekuasaan mereka. Peristiwa malam itu benar-benar membuatku geleng-geleng kepala. Aku hampir tidak percaya telah melakukannya, meninggalkan suamiku pada tengah malam buta, lalu berjalan ke rumah Cakra dalam keadaan telanjang bulat. Kejadian itu masih saja terbayang-bayang. Sensasinya begitu luar biasa. Oooh... mengingatnya membuatku bergairah. Jantungku berdebar-debar. Harus aku akui, nafsu seksku rasanya semakin meningkat saja. Namun, sayang seribu sayang, Mas Hendra tidak bisa mengimbanginya. Aku sudah sering memancing-mancingnya, tapi ia seperti tidak paham sama sekali. Akhirnya aku pun memilih untuk bermasturbasi demi memuaskan hasratku yang semakin tinggi ini. Sensasi yang aku rasakan ketika berjalan ke rumah Cakra tanpa sehelai benang pun sungguh tak terlupakan. Kadang aku ingin mengulang lagi sensasi itu. Seperti yang aku lakukan dua hari yang lalu. Saat itu aku sudah tidak kuat lagi menahan nafsuku. Setelah suamiku tidur, aku berjalan kaki ke sawah di dekat rumah dengan mengenakan daster dan membawa senter. Sesampainya di sana, aku nekat melepaskan seluruh pakaianku. Kemudian aku bermasturbasi di sana, duduk di pinggir sungai di bawah langit malam yang begitu cerah. Aku meremas-remas payudaraku sendiri serta menggesek-gesekkan vaginaku. Ah, rasanya nikmat sekali. Sensasi bertelanjang bulat di ruang terbuka meningkatkan gairahku. Saat itu tidak tebersit sedikitpun dalam pikiranku bahwa bisa saja ada orang yang melewati sawah itu. Aku sudah tidak peduli. Yang aku cari hanyalah kenikmatan. Seiring gairah yang semakin meninggi, aku membaringkan tubuhku di tanah sambil terus memainkan vaginaku. Tentu saja tubuhku menjadi kotor, namun aku tidak peduli. Aku terus bermasturbasi, sambil membayangkan diri diperkosa oleh Cakra. Aku melenguh menahan kenikmatan yang semakin lama semakin naik ke ubun-ubun. Suara desahanku berpadu dengan suara gemericik sungai. Lama-kelamaan vaginaku seperti mau meledak. Aku berusaha menahannya sekuat mungkin. Kedua belahan pahaku merapat, menekan tanganku yang sedang memainkan vaginaku. Aku tahan... aku tahan... aku tahan... hingga akhirnya...Oooohhh.... tiba-tiba saja sejumlah air bening memancar kuat dari vaginaku. Aku mendesah panjang. Mataku terpejam. Tangan kananku meremas daun-daun yang berserakan di tanah. Tubuhku bergetar hebat. Aku benar-benar terbang ke awang-awang. Aaah, rasanya sungguh tiada tara. Baru kali ini aku bermasturbasi sampai “muncrat” seperti itu. Malam itu aku berhasil mencapai puncak kenikmatan yang begitu luar biasa, sendirian tanpa pasangan. Kemudian aku segera memakai kembali pakaianku. Sekadarnya saja tanpa celana dalam, sebab tubuhku kotor terkena debu. Sesampai di rumah, aku pun segera mandi, lalu tidur nyenyak sekali.

****
Pagi ini entah kenapa gairahku meningkat lagi. Padahal aku harus segera berangkat ke pasar dan berbelanja. Tiba-tiba, sebuah ide gila tebersit di kepalaku, yakni pergi ke pasar dengan pakaian yang minim tanpa mengenakan celana dalam. Aku kaget sendiri kenapa bisa sampai mendapatkan ide seperti itu. Tentu saja aku tidak mau melakukannya. Pagi-pagi seperti ini banyak juga tetanggaku yang datang ke pasar, dan aku tidak mau mereka melihatku tampil seksi di tempat umum. Meskipun aku sudah mati-matian menolak ide gila itu, tapi entah kenapa aku tidak bisa berhenti memikirkannya. Aku seperti menantang diri sendiri untuk melakukannya. Aku benar-benar dibuat frustasi. Hingga akhirnya aku pun memutuskan untuk mengikuti kata hatiku. Memutuskan untuk melakukan hal gila tersebut....

****
Aku berkaca di kamar. Aku terlihat begitu seksi, hanya memakai baju terusan mini yang biasa aku pakai untuk tidur. Baju itu memperlihatkan pundak dan sedikit belahan dadaku. Panjang roknya satu jengkal di atas lututku sehingga pahaku yang padat dan putih mulus itu bisa terlihat jelas. Aku merasa semakin seksi saat setelah mengikat rambut panjangku ke atas hingga tengkukku yang bersih dan mulus tersingkap. Aku memutuskan untuk pergi ke pasar yang agak jauh supaya tidak bertemu dengan tetanggaku. Butuh waktu setengah menuju ke sana. Aku harus ke terminal dahulu dengan angkot, lalu naik bus besar sampai di depan pasar yang aku maksud. Aku berangkat dari rumah dengan memakai jaket untuk menutupi bagian atasku. Bagaimanapun aku harus tetap berpakaian dengan sopan saat masih berada di sekitar rumahku. Syukurlah perjalanan cukup lancar. Hingga tidak terasa sampailah aku di tempat tujuan, sebuah pasar tradisional yang cukup besar. Setelah turun dari bus, aku langsung menuju toilet dengan langkah cepat. Jantungku berdebar-debar. Di dalam toilet, aku mengatur napasku sejenak. Aku berusaha meyakinkan diriku bahwa aku siap untuk melakukan hal ini.
Aku mulai melepas jaket sambil menarik napas. Kemudian aku melepas BH-ku perlahan-lahan. Samar-samar puting susuku tampak dari balik baju. Kemudian aku pun menanggalkan celana dalamku. Kini tubuh sintalku hanya terbungkus selembar baju terusan yang relatif mini. Sementara jaket, BH, dan celana dalam segera aku masukkan ke dalam tas. Sesaat aku sempat ragu, apakah aku akan tetap meneruskan rencanaku ini, berkeliling pasar tradisional dengan hanya memakain baju seksi tanpa celana dalam. Tapi aku berpikir, semuanya sudah terjadi sampai sejauh ini. Jika dibatalkan, maka pasti aku akan menyesal. Aku membuka pintu toilet dengan hati mantap, kemudian menuju kotak pembayaran kebersihan yang dijaga oleh seorang lelaki muda. Ia sedang membaca koran. Setelah aku memasukkan uang ke dalam kotak, aku mengucapkan terima kasih kepada lelaki tersebut.
Ia mendongakkan kepalanya untuk membalas ucapanku itu. Aku lihat ia terperangah saat melihatku yang tampak begitu seksi. Entah apa reaksi apa yang bakal ditunjukkannya bila ia tahu bahwa aku tidak mengenakan pakaian dalam sama sekali. Aku mulai berkeliling. Dadaku berdesir merasakan sensasi yang luar biasa ini. Pertama-tama aku menghampiri lapak buah yang dijaga oleh seorang pria paruh baya. Aku pura-pura melihat-lihat buah yang ada di sana, padahal sebenarnya hendak memperlihatkan keseksian tubuhku kepada pria tersebut. Aku sengaja memeriksa buah pisang yang menggantung di atas dengan mengangkat lenganku. Ketiakku yang mulus pun terlihat jelas. Tak hanya itu, payudaraku juga tampak lebih menantang. Baju terusan yang aku pakai juga terangkat (bagian roknya) sehingga pahaku yang putih mulus itu tersingkap. Sekilas aku melirik kepada si pedagang buah. Ada sensasi yang luar biasa ketika melihat pedagang buah itu terpaku melihatku, menikmati setiap lekuk tubuhku dengan matanya. Saat melakukan hal tersebut, jantungku benar-benar berdegup kencang. Malah tanganku agak gemetar. Mungkin saking gugupnya. Atau mungkin saking bergairahnya. Dalam hati aku mengutuk Cakra yang telah membuatku menjadi perempuan yang punya pikiran aneh-aneh seperti ini. Puas melihat-lihat aneka buah di lapak tersebut —lebih tepatnya puas memamerkan keindahan tubuhku kepada si pedagang buah, lantas aku beranjak dari situ. Aku berjalan menyusuri pasar.

Dengan baju yang relatif mini dan seksi seperti itu, aku pun menjadi pusat perhatian para lelaki di sana. Ada yang terang-terangan memandangku, ada pula yang malu-malu. Sesekali memandangku, lalu beberapa detik kemudian berpaling ke arah lain. Dalam hati aku bertanya-tanya, apakah mereka tahu bahwa aku tidak memakai BH dan celana dalam? Memikirkan hal itu, tubuhku terasa dialiri listrik. Gairahku meninggi. Sepertinya vaginaku mulai basah....Selama di pasar, aku tidak hanya berjalan-jalan saja, tapi juga berbelanja beberapa kebutuhan, seperti beras, telur, sayur-sayuran, dan beberapa mi instan. Setelah tidak ada lagi yang ingin kubeli, aku pun memutuskan untuk pulang.
Bila saat awal datang tadi aku hanya membawa tas kecil, maka kini aku harus membawa sebuah plastik besar berisi barang belanjaan. Sebelum pergi dari pasar, sebenarnya aku berencana pergi ke toilet lagi untuk memakai BH dan celana dalamku kembali, sekaligus memakai jaket yang aku simpan di dalam tas. Tapi, lagi-lagi sebuah ide gila terbetik di benakku. Aku menantang diri untuk pulang ke rumah tetap dalam keadaan seperti itu —tidak memakai jaket, dan tidak memakai BH serta celana dalam! Entah apa yang terjadi dengan diriku ini. Tidak henti-hentinya aku menantang diri sendiri untuk melakukan hal-hal yang tidak semestinya dilakukan oleh seorang perempuan baik-baik. Yang lebih tidak aku mengerti lagi, aku mau melakukan ide konyol itu! Akhirnya aku pun tidak jadi pergi ke toilet. Aku langsung menuju ke halte bus depan pasar. Aku menunggu selama beberapa lama, sebab bus jurusanku tidak kunjung datang. Saat itu angin berembus kencang. Aku berusaha keras menahan rokku yang agak lebar itu supaya tidak beterbangan ke mana-mana. Bagaimanapun aku tidak mau orang-orang tahu bahwa aku tidak memakai celana dalam. Namun sekeras apa pun aku menahan rok, tetap saja aku tidak bisa mengalahkan angin. Terpaksa aku merelakan sebagian paha mulusku yang tersingkap dipandangi oleh beberapa pedagang asongan dan pedagang koran yang sedang berada di sekitar situ. Beruntung bus yang aku tunggu segera datang. Jadi, aku bisa menyelamatkan diri dari pandangan mesum para pedagang asongan itu. Namun, lagi-lagi masalah menghampiriku. Bus itu penuh sekali. Aku harus berpikir cepat, mau tetap naik bus tersebut atau menunggu bus lagi. Kernet bus terburu-buru mengajakku masuk, sebab bus jurusan lain di belakangnya juga sudah menunggu untuk mengambil penumpang di halte. Akhirnya tanpa berpikir lagi aku langsung masuk ke dalam bus tersebut. Di dalam bus, aku harus berdiri dan berdesakan dengan orang lain yang kebanyakan pria. Tangan kananku berpegangan pada bagian atap bus supaya tidak terjatuh, sementara tangan kiriku memegang kantong belanjaan. Kedua tanganku sama-sama sibuk. Berhubung tubuhku tidak terlalu tinggi, maka aku harus mengangkat tanganku tinggi-tinggi supaya bisa menggapai pegangan di atap bus. Kontan saja ketiakku terpapar dengan jelas. Untung saja akhir-akhir ini aku merawatnya sehingga terlihat bersih, putih, dan mulus. Jadi, aku tidak terlalu malu.
Meskipun demikian, tetap saja aku merasa risih. Para lelaki di bus itu melirik-lirikku. Bahkan seorang bapak separuh baya yang tepat berada di sebelah kananku, entah kenapa seperti sengaja mengarahkan mukanya ke lenganku yang terangkat, sambil memandang ketiakku, dan sesekali mengintip belahan dadaku dari atas. Mungkinkah dia tahu bahwa aku tidak memakai BH? Bisa jadi, sebab puting susuku terlihat samar dan menonjol dari balik baju terusanku.

Ingin rasanya aku menurunkan lengan. Tapi, itu tidak mungkin, sebab nanti aku bisa terjatuh. Yah, tidak ada lagi yang bisa aku lakukan. Terpaksa aku biarkan bapak kurang ajar itu memandangi tubuhku. Setelah beberapa menit perjalanan, tiba-tiba aku merasa ada sebuah tonjolan keras yang menekah pantatku. Aku benar-benar kaget. Aku melirik ke belakang, dan di sana ada seorang pemuda berwajah kasar. Tonjolan itu menggesek-gesek pantatku. Astaga, tampaknya itu adalah penis si pemuda tersebut! Aku bingung dan tak tahu harus berbuat apa untuk menghindari pelecehan tersebut. Bapak di sebelah kananku masih terus memandangi ketiakku, dan sesekali mengintip ke belahan dadaku. Bahkan kini aksinya semakin berani, yakni mencium-cium lenganku. Sementara pemuda di belakangku tak henti-hentinya menggesek-gesekkan penisnya ke belahan pantatku. Aku sadar bahwa aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi selain pasrah dan menerima perlakuan itu. Ya sudah, aku biarkan saja kedua orang itu berbuat semau mereka. Dalam hati aku terus berdoa supaya aku segera sampai.
Kejadian berikutnya benar-benar membuatku tersentak. Pemuda di belakangku menyusup ke balik rok, lantas meraba-raba pahaku! Bukannya marah, aku malah semakin bergairah. Aku benar-benar mengutuk diriku sendiri yang mau saja diraba-raba seperti itu oleh orang yang tidak dikenal. Gawatnya, tangan si pemuda semakin lama semakin naik ke atas. Oh, tidak. Apa yang aku takutkan terjadi. Tangan si pemuda telah sampai di bagian tubuhku yang paling sensitif. Aku mendengar suara sentakan dari mulut si pemuda. Sepertinya ia kaget saat mengetahui aku tidak memakai celana dalam.
Aku rasakan bulu-bulu kemaluanku ditarik-tarik oleh si pemuda. Ia juga mencium-cium tengkukku. Aku hanya bisa menggigit-gigit bibirku. Vaginaku semakin basah. Aku melenguh pelan saat si pemuda memainkan vaginaku. Aku berharap para penumpang di sekitarku tidak mendengarnya, meskipun itu agak mustahil. Aku merapatkan pahaku, menahan gairah yang mulai mendekapku. 
Semakin lama gesekan-gesekan penis si pemuda di pantatku semakin cepat. Begitu pula dengan tangannya yang memainkan vaginaku, gerakannya lebih cepat daripada sebelumnya. Hal ini membuatku belingsatan. Aku berusaha menunduk, menyembunyikan kepalaku agar orang-orang tidak melihat wajahku yang memerah karena menahan gairah. Pemuda itu pintar sekali memainkan vaginaku. Ia tahu titik-titik sensitif di liang kehormatanku itu. Aku semakin menundukkan kepala. Dalam keadaan seperti itu, bapak separuh baya di sebelahku malah semakin bertindak kurang ajar. Ia berani meraba-raba dadaku dan melingkarkan jari-jarinya di putingku. Aku semakin tidak karuan menerima serangan-serangan itu. Lagi-lagi aku merasakannya lagi. Seperti ada sesuatu yang mau meledak dari vaginaku. Rasanya seperti ingin pipis, tapi yang ini sangat nikmat. Aku berusaha menahannya sekuat tenaga. Tapi permainan tangan si pemuda dan rabaan si bapak menggagalkan upayaku itu. Susah payah aku menahan diri, tapi akhirnya menyerah juga. Aku telah sampai di puncak kenikmatan. Sejumlah cairan bening tumpah dari vaginaku, membasahi tangan si pemuda. Aku memekik tertahan. Aku berharap suara mesin bus yang berisik itu bisa mengaburkan suara pekikanku.
Oooh... begitu nikmat rasanya “keluar” dalam keadaan berdiri seperti itu. Aku mempererat peganganku pada bagian atas bus supaya tidak ambruk, sebab aku agak lunglai. Si pemuda masih menggesek-gesekkan penisnya. Dan tidak lama kemudian ia berhenti sambil menekan penisnya. Aku merasakan kedutan-kedutan pada penis yang keras itu. Rupanya ia telah “keluar”.

Sementara itu, si bapak masih saja meraba-raba dadaku. Beruntung aku sudah hampir tiba di halte tujuan. Aku pun segera meminta kernet menghentikan bus. Aku cepat-cepat turun, sambil menundukkan wajah karena malu. Aku khawatir para penumpang tahu bahwa aku baru saja digarap oleh si bapak dan pemuda. Setelah turun dari bus, aku buru-buru memakai jaket. Aku tidak mau tampil seksi di daerah rumahku, takut ketahuan para tetangga. Tidak lama kemudian, angkot yang aku tunggu datang, dan aku segera menaikinya. Aku termenung di dalam angkot, memikirkan hal yang baru saja terjadi pada pagi itu. Setengah diriku mengutuk diriku sendiri karena mau saja dilecehkan oleh orang yang tidak dikenal. Tapi, setengah diriku yang lain merasa sangat puas karena aku berhasil melakukan tantangan yang aku buat sendiri, serta mendapatkan kepuasan atas pelecehan itu. Ah, aku benar-benar bingung. Sesampainya di rumah, aku segera mandi, lalu masak, mengolah bahan-bahan yang aku beli di pasar tadi. Memasak untuk orang yang aku sayangi, suamiku Mas Hendra.
Ya, saat ini dialah orang yang aku cintai, meskipun mungkin aku telah mengkhianatinya....

****
Malam ini Mas Hendra pulang sekitar jam tujuh malam. Aku sudah memasak makanan yang istimewa untuknya, makanan kesukaannya. Omong-omong, sudah 7 hari ini kami tidak bersetubuh, dan aku rasa hal ini tidak baik untuk tubuh dan jiwa Mas Hendra. Selama ini aku meyakini bahwa seks merupakan sarana ampuh untuk menyeimbangkan hidup, menghilangkan stres, dan menenangkan pikiran. Aku yakin Mas Hendra sedang sangat membutuhkan seks. Karena itulah malam ini aku ingin memanjakankannya. Saat menunggu kepulangan Mas Hendra, aku memakai lingerie yang sudah lama sekali tidak aku pakai. Lingerie ini membuatku terlihat sangat seksi. Bagian dadanya longgar, dan bagian roknya sangat pendek. Jika aku membungkuk, maka dadaku akan terlihat jelas. Kalau dilihat dari belakang, maka celana dalamku akan tampak, sebab roknya terangkat. Aku harap lingerie ini bisa memancing gairah Mas Hendra. Malam ini aku akan berusaha memuaskannya. Saat sedang melamun itu, tiba-tiba aku mendengar suara Mas Hendra mengucapkan salam dan mengetuk pintu. Aha, dia sudah pulang! Aku berdebar-debar membayangkan tanggapan Mas Hendra saat melihatku berpenampilan seperti ini. Dengan hati riang, aku pun segera membuka pintu. Aku tersenyum lebar kepadanya. Namun, senyum lebarku langsung berhenti seketika saat melihat Cakra berada di belakang Mas Hendra. Aku lihat Mas Hendra dan Cakra sama-sama terperangah saat memandangku dengan pakaian yang sangat seksi. Menyadari ada Cakra −orang yang tidak berhak melihatku dalam keadaan seperti itu, aku buru-buru berlindung di balik pintu. Tapi, sepertinya semuanya sudah terlambat. Cakra nyengir, lalu langsung masuk ke dalam rumah, dan duduk di ruang tamu. Aku memandang Mas Hendra, meminta penjelasan atas semua ini.
“Sayang, tadi aku berpapasan sama Mas Cakra,” kata Mas Hendra, mulai menjelaskan. “Katanya ia mau ke warung makan untuk makan malam. Aku menawarinya makan di rumah kita. Tentunya masakanmu lebih enak daripada masakan di warung makan,” lanjut Mas Hendra, sambil tersenyum lembut tanpa dosa.
Dalam hati aku mengutuk keras perbuatan Mas Hendra itu. Untuk apa ia mengundang bajingan seperti Cakra untuk makan malam? Kalau Mas Hendra tahu bahwa istrinya ini sudah pernah disetubuhi dan “dibuahi” oleh preman itu, pasti ia tidak akan sudi mengundangnya! Namun, memang begitulah Mas Hendra. Kalau sudah takut dengan seseorang, ia akan bersikap baik kepada orang itu, bahkan terkadang berlebihan. Ia tidak berani membalas setiap tekanan, pelecehan, dan kekerasan dari orang yang ia takuti. Sebaliknya, ia malah menunjukkan sikap yang baik kepadanya. Entah karena ia memang baik atau karena tidak berdaya menghadapinya. Aku benar-benar kecewa, sebab sepertinya rencanaku untuk memanjakan Mas Hendra gagal total. Ya sudah, aku ikuti saja kondisi itu.
“Kalau begitu Mas Hendra dan Mas Cakra langsung ke meja makan saja, ya,” ujarku, berusaha lembut meskipun sedang kecewa berat. “Aku sudah menyiapkan semua makanan di meja. Kalian makan duluan saja, aku mau ke kamar dulu.”
“Ngapain kamu ke kamar? Ayo kita makan bareng-bareng!” ujar Cakra sambil memandangiku. Aku merasa risih dipandangi seperti itu.
“Iya Mas, aku ikut makan kok. Tapi, aku mau ganti baju dulu sebentar,” kataku sambil menahan malu. Aku perhatikan Mas Hendra diam saja.
“Sudah, nggak perlu ganti! Ayo makan, aku sudah lapar!” seru Cakra, lantas menggamit lenganku dan menarikku menuju meja makan.
“Ta... tapi, Mas...,” aku tidak sanggup melanjutkan ucapanku, tidak tahu harus berkata apa. Akhirnya terpaksa aku mengikuti tarikan Cakra, sementara Mas Hendra mengikuti dari belakang.

Aku memakan makanan di meja makan dengan canggung dalam diam. Maklumlah, saat itu aku sedang memakai lingerie yang sangat seksi, padahal ada orang lain di situ, yakni Cakra. Bagaimanapun aku tetap memikirkan perasaan Mas Hendra. Aku tidak mau ia sakit hati. Dalam hati aku memaki-maki kenapa kejadiannya bisa seperti ini. Mas Hendra dan Cakra mengobrol-obrol. Cara berbicara Mas Hendra kepada Cakra seperti seorang pelayan saja. Sepertinya ia benar-benar tidak ingin mengecewakan atau membuat Cakra tersinggung, mungkin karena takut. Aku buru-buru menghabiskan makananku yang porsinya hanya sedikit itu. Kalau makan malam sudah selesai, aku harap Cakra segera pulang.
“Aaaah... kenyang... enak sekali masakanmu, Gab,” puji Cakra. Aku hanya tersenyum kaku. “Badanku pegal-pegal, nih. Tolong pijitin aku ya, Gab. Ayo pindah ke kamarmu.”
Bagai mendengar suara petir di siang bolong, permintaan Cakra benar-benar membuatku tersentak. Berani-beraninya ia memintaku untuk memijatnya di kamarku dan Mas Hendra. Baru saja aku hendak menolak, tapi Cakra memelototiku. Aku pun merunduk, takut.
“Hendra, pergilah ke pos ronda, gantikan aku ronda sebentar sampai aku selesai dipijit,” perintah Cakra. “Nanti kalau sudah selesai, aku akan langsung ke pos ronda. Tapi ingat, sebelum aku datang, kamu nggak boleh pulang!” serunya dengan nada tinggi.
Aku lihat Mas Hendra seperti hendak menyampaikan sesuatu, tapi tidak jadi. Akhirnya ia hanya berucap, “Baik Mas Cakra, aku pergi sekarang,” ia pun melangkah ke pintu.
“Tunggu Mas Hendra!” aku berseru. “Ganti baju dulu, Mas! Mas Hendra masih pakai baju kantor!”
“Nggak apa-apa, Sayang. Nggak masalah. Ya sudah, aku pergi dulu, ya,” ujarnya sambil tersenyum lembut. 
Aku langsung lemas seketika. Aku tidak sanggup membayangkan apa yang akan terjadi berikutnya.
Selepas Mas Hendra pergi, Cakra menutup dan mengunci pintu, lalu menutup korden.
“Ayo Gaby...,” ujar Cakra sambil tersenyum lebar, lantas berjalan menuju kamarku dan Mas Hendra. Seperti dihipnotis, aku pun mengikuti langkahnya dari belakang dengan takut-takut....

Setelah melepas kaus, Cakra berbaring di tempat tidur. Ia memintaku untuk naik ke atas tubuhnya dan memijatnya. Aku sempat menolak. Aku lebih memilih memijat punggungnya saja. Namun, ia terus mengancam sehingga akhirnya aku terpaksa melakukannya. Aku naik ke atas tubuh Cakra sambil berusaha menahan rokku agar tidak terlalu tersingkap. Tapi hal itu sia-sia saja, sebab rok lingerieku terlalu pendek sehingga pahaku yang mulus tetap tersingkap. Aku memijat dada Cakra dengan lembut dan perlahan. Posisi itu membuatku sedikit membungkuk sehingga belahan buah dadaku terlihat jelas oleh Cakra. Rambutku yang panjang menutupi sebagian mukaku sehingga diriku terlihat sangat binal.
Cakra tampak begitu menikmati pijatanku. Lama-kelamaan tangannya mulai nakal. Jari-jarinya bermain-main di sekitar pahaku, mengelus-elusnya. Bahkan kemudian salah satu tangannya meremas-remas dadaku. Aku sudah mencoba menepis tangannya. Namun percuma saja, sebab tenaga Cakra terlalu kuat, tidak sebanding denganku. Perlahan-lahan aku mulai terangsang oleh remasan dan rabaan Cakra di bagian-bagian sensitif tubuhku. Aku sudah tidak konsentrasi lagi memijatnya. Aku menggigit-gigit bibirku, menahan rasa merinding yang menyelimuti tubuhku. Tiba-tiba Cakra menarik kepalaku, lalu mencium bibirku. Kali itu aku tidak menolaknya sama sekali, dan bahkan langsung membalas ciumannya. Rupanya gairahku sudah terpancing. Lidahku dan lidah Cakra saling terpagut. Kami berciuman dengan panas. Cakra meremas-remas buah dadaku, dan tanpa sadar jari-jariku juga memainkan puting dada Cakra.
Dalam satu kali kesempatan, Cakra membalikkan tubuhku dengan tenaganya yang besar itu. Kini posisiku di bawah, sementara ia di atas. Cakra mengangkat tanganku tinggi-tinggi dan memegangnya dengan erat. Kedua ketiakku yang putih dan mulus itu pun tersingkap jelas. Sore sebelumnya aku sengaja mencukur bulu ketiakku untuk memancing gairah Mas Hendra. Tapi aku tidak menyangka bahwa malam itu Cakralah yang akan menikmati kesintalan tubuhku, bukan Mas Hendra. Cakra mengendus-endus ketiakku, dan kemudian mulai menjilatinya. Aaaaah... aku menggeliat-geliat kegelian. Cakra menarik tanganku secara menyilang ke punggungku, lalu menekannya. Aku merasa kesakitan, namun tidak bisa apa-apa. Mungkin Cakra melakukannya supaya bisa mendapat akses yang bebas untuk menikmati ketiakku. Benar saja, setelah itu Cakra pun menjilat ketiakku dengan ganas dan sedikit kasar.
“Oooh... Ahhh....” aku mendesah-desah. 
Entah kenapa rangsangan Cakra di ketiakku terasa begitu nikmat. Awalnya aku merasa risih dan malu, namun lama-kelamaan aku malah menikmatinya. Setelah puas, Cakra membebaskan tanganku. Ia mendudukkanku, dan kemudian melepas lingerieku. Aku duduk dengan malu-malu di hadapannya, hanya mengenakan BH kecil dan celana dalam mini. Dengan satu gerakan cepat, Cakra melepas penutup dadaku. Cakra kemudian melumat buah dadaku. Kedua tangannya sibuk meraba-raba bagian tubuhku lainnya. Aku hanya bisa pasrah, membiarkannya menikmati setiap lekuk tubuhku. Dalam hati aku berdoa semoga Mas Hendra tidak datang dan melihatku dalam keadaan seperti itu.

Setelah puas bergerilya di bagian dadaku, ciuman Cakra turun ke arah perut. Kemudian ia melepas celana dalamku dengan kasar, lantas membuangnya ke sudut kamar. Ia mengangkat kakiku, dan kemudian menjilat-jilat jempol kakiku. Jilatannya itu berpindah ke betis, paha, dan akhirnya berlabuh di vaginaku.
“Oooouuuh... aaaaah....” aku mendesah kuat saat bibir Cakra mulai melumat bibir vaginaku.
Aku meringis sambil melihat aktivitas Cakra. Mulutnya sesekali menarik-narik bulu-bulu kemaluanku. Tubuhku menggeliat-geliat menahan geli. Perlahan-lahan cairan kewanitaanku meleleh, keluar dari dalam vaginaku yang terus dirangsang oleh Cakra. Cukup lama juga Cakra memainkan kemaluanku. Kemudian, ia membalikkan tubuhku dan memaksaku untuk menungging. Ia mengeluarkan penisnya dengan cepat, lalu menempelkannya ke bongkahan pantatku. Penisnya terasa begitu keras.
“Apa mungkin ia mau penetrasi sekarang?” aku membatin, bingung. 
Aku merasa heran, sebab biasanya Cakra akan memintaku untuk mengoralnya terlebih dahulu sebelum kemudian lanjut penetrasi. Tapi entah kenapa kali ini ia tidak memintanya. Mungkin ia sudah tidak sabar.
Dugaanku benar. Cakra menempatkan penisnya di pintu masuk liang kenikmatanku, dan kemudian mendorongnya dengan cepat. Aku tersentak kaget. Rupanya Cakra benar-benar sudah tidak tahan. Sepertinya malam itu ia sedang sangat bergairah. Aku sangat bersyukur, sebab itu berarti permainan ini akan cepat selesai. Aku tidak berani berlama-lama, sebab ada Mas Hendra yang sedang menunggu di pos kamling sana. Cakra mulai menggenjot dengan cepat. Penisnya yang sangat keras itu mengaduk-aduk lubang kehormatanku. 
“Aiiiih... Oooh...,” aku mendesah-desah. 
Vaginaku terasa sangat gatal. Cakra sesekali menampar-nampar pantatku. Benar-benar kurang ajar. Ia telah memperlakukanku seperti pelacur. Tapi aku juga tidak bisa menyangkal bahwa ia telah memberikanku kenikmatan yang sungguh tidak terkatakan. Semakin lama genjotan Cakra semakin cepat. Aku sempat menduga bahwa ia mau keluar. Sebuah hal yang cukup aneh, sebab kami baru bermain dalam satu posisi. Tapi Cakra sudah mulai mendesah, dan biasanya hal itu menandakan bahwa ia mau keluar. Genjotan Cakra membuat vaginaku terasa mau meledak, dan itu tandanya aku juga hampir meraih puncak. Benar saja, tidak lama kemudian tubuhku menegang. Pantatku terangkat, dan dadaku turun menyentuh permukaan kasur. Tanganku berusaha menggapai-gapai apa saja yang bisa aku raih. Namun aku hanya meraih seprai, dan kemudian menarik-nariknya dengan belingsatan. Tubuhku semakin menegang... terus menegang... semakin menegang... hingga akhirnya....
“OOOUUUUHHHH.... AAAAAHhhhh....” aku menjerit tertahan, berusaha agar suaraku tidak terlalu kencang sehingga tidak terdengar sampai keluar kamar. 
Aku telah mencapai puncak! Cakra melepaskan penisnya sejenak dan membiarkan cairan kewanitaanku menyemprot ke mana-mana. Aaaah... rasanya nikmat sekali. Aku benar-benar melayang. Kesadaranku seperti hilang saat berhasil meraih puncak kenikmatan itu. Cakra kembali memasukkan penisnya ke vaginaku yang basah kuyup itu. Ia menggenjot dengan sangat cepat. Di akhir genjotannya, ia menyentakkan penisnya dalam-dalam ke vaginaku. Aku tahu bahwa ia telah keluar. Aku merasakan semprotan-semprotan spermanya membanjiri liangku yang paling berharga itu. Aah, lagi-lagi aku membiarkan dirinya membuahiku dengan seenak hatinya. Kami berdua kemudian sama-sama terjerambab di atas kasur, lemas. Kami sama-sama diam. Kesadaranku seperti belum pulih benar. Aku masih tenggelam dalam kenikmatan yang aku raih tadi. Beberapa menit kemudian, Cakra beranjak dari tempat tidur, lalu berpakaian. Setelah meremas-remas payudaraku dengan kurang ajarnya, dia pun pergi begitu saja. Aku memandang kepergiannya dengan kesal. Aku merasa sangat lelah dan rasanya ingin langsung tidur. Tapi kemudian aku segera sadar bahwa mungkin sebentar lagi Mas Hendra akan pulang. Maka aku pun bergegas bersih-bersih dan mengganti seprai. Aku tidak mau Mas Hendra mendapatiku berbaring tak berdaya dalam keadaan telanjang bulat karena baru saja disetubuhi.

****
Siang itu begitu cerah. Aku baru saja selesai mandi sehingga suasana terasa begitu menyegarkan. Aku hanya mengenakan daster tipis dengan bawahan di atas lutut supaya terasa adem. Aku tidak khawatir mengenakan pakaian seksi seperti itu, sebab toh aku sedang di rumah sendirian. Mas Hendra seperti biasanya sedang bekerja.
Aku menyalakan televisi untuk bersantai-santai. Belum ada satu menit aku duduk di depan televisi, tiba-tiba saja terdengar ketukan pintu.
“Siapa yang bertamu siang-siang begini?” batinku, heran. Aku berpikir mungkin itu adalah Cakra. Jantungku pun langsung berdebar kencang.
“Apa dia mau minta jatah lagi? Bukankah tadi malam sudah?”
Aku segera mengenakan kaus untuk menutupi bagian atas tubuhku, dan kemudian berjalan ke depan. Sebelum membuka pintu, aku menyempatkan diri untuk mengintip lewat jendela.
“Lho, Alfian?” aku membatin. Di depan rumahku ada seorang remaja yang tampak culun dan pendiam. Dia adalah Alfian, tetanggaku yang rumahnya tidak jauh dari rumah kontrakanku. Aku pun segera membuka pintu.
“Selamat siang, Kak,” sapa Alfian sambil tersenyum.
“Selamat siang, Alfian,” balasku, ramah. “Mau cari Mas Hendra, ya? Wah, kebetulan Mas Hendra lagi kerja,” jelasku. Tumben sekali Alfian bertamu ke rumah. Hal ini membuatku heran. Aku pun menebak bahwa ia sedang mencari Mas Hendra.
“A... aku nggak lagi cari Mas Hendra, Kak. Aku ada perlu sama Kak Gaby,” ujar Alfian dengan muka tertunduk. Ia terlihat gugup, dan seperti tidak berani menatapku. Ia memang terkenal sebagai anak yang pendiam dan pemalu.
“Sama Kakak?”
“Iya, Kak. Boleh aku masuk?”
“Oh iya, silakan,” ujarku. Aku pun segera mempersilakan Alfian masuk.
“Mau minum apa, Alfian?” tanyaku, ramah.
“Oh, nggak usah, Kak. Nggak usah repot-repot. Aku cuma mau menyampaikan sesuatu.”
Aku termangu, dan kemudian duduk di hadapan Alfian di ruang tamu.
“Ada perlu apa, ya? Kok sepertinya serius banget.”
“Begini, Kak Gaby. Lusa aku mau pindah ke Kalimantan. Ayah dan ibuku mau transmigrasi ke sana, dan aku ikut. Kebetulan aku baru saja lulus SMA.”
“Oh ya? Waaah... jauh banget ya pindahnya.”
“Iya, Kak. Nah, sebelum pindah, aku mau minta tolong sesuatu ke Kak Gaby untuk terakhir kalinya. Sebutlah ini sebagai tanda perpisahan.”
“Haha... ada-ada aja kamu,” aku tertawa geli. “Memangnya mau minta tolong apa? Selama aku bisa bantu, pasti aku bantu.”
“Begini, Kak. Tapi Kakak jangan marah, ya?” 
“Ah, kamu bikin penasaran aja. Memangnya apa, sih?”
“Mmm.... anu, Kak.... Terus terang, aku ngefans banget sama Kak Gaby. Setiap kali Kakak lagi ngobrol-ngobrol sama tetangga, aku selalu memperhatikan Kak Gaby.”
Aku semakin merasa geli. Ini benar-benar konyol. Jangan-jangan ABG ini mau menyatakan cinta kepadaku. Aku hanya tersenyum simpul membayangkan hal itu.
“Nah... Selama ini kan aku sering nonton film porno, Kak. Aku jadi penasaran. Aku pengeeeennnn banget nyoba jilat buah dada dan kemaluan perempuan, kayak di film-film itu. Kalau boleh, aku pengen nyoba hal itu ke Kakak.”
Bagai disambar geledek, seketika emosiku tersulut. Aku tidak menyangka cowok sepolos Alfian bisa mengatakan hal tidak senonoh seperti itu.
“Heh, Alfian! Jaga omongan kamu!” aku berdiri dengan penuh emosi. “Berani-beraninya kamu ngomong kayak gitu ke aku! Memangnya kamu kira aku ini pelacur?”
“A... aku mohon maaf, Kak. Aku suka banget sama Kak Gaby, tapi selama ini aku cuma bisa membayangkan Kakak. Lusa aku udah mau pindah, jadi apa salahnya Kakak bantuin aku.”
“Kamu benar-benar kurang ajar! Bisa-bisanya kamu berpikir aku mau menyanggupi permintaan kotormu itu!! Sekarang lebih baik kamu pulang!!”

“Ta... tapi... Mas Cakra aja bisa, kenapa aku nggak? Lagi pula aku cuma minta sekali ini aja.”
Lagi-lagi aku seperti tersambar geledek. “Apa maksud kamu?”
“Ini, Kak.” ujar Alfian seraya menyerahkan handphonenya. Ada sebuah video di layar. Aku pun langsung menyetelnya.
“A... apaaaa??” hampir saja handphone itu lepas dari genggamanku. 
Di video itu tampak diriku yang sedang telanjang bulat, sedang jalan dengan cepat dari rumahku menuju rumah Cakra. Ah, tiba-tiba aku merasa pusing. Aku tak menyangka bahwa ternyata ada yang memergokiku saat sedang ke rumah Cakra malam-malam. Dan orang itu adalah Alfian. Tubuhku pun lemas seketika.
“Aku mohon, Kak. Aku benar-benar tergila-gila sama Kak Gaby. Selama ini aku sering masturbasi sambil membayangkan Kak Gaby. Terlebih sejak aku melihat Kak Gaby telanjang bulat, aku semakin sering masturbasi. Kak, aku sayang sama Kakak. Dan sebelum aku pindah, aku pengen banget nyoba yang kayak di film-film itu. Aku mohon, cuma sekali ini aja.”
“Nggak! Lebih baik sekarang kamu pergi dari sini sebelum aku teriak!”
“Ya udah, Kak. Aku pergi. Tapi maaf, jangan salahkan aku kalau video itu tersebar,” ujar Alfian, sambil beranjak dari kursi.
Aku ternganga. Rupanya Alfian hendak menjadikan video itu untuk mengancamku.
“Alfian, tunggu!”secara spontan aku mencegah kepergian Alfian. Aku takut sekali jika video itu tersebar. Bagaimana kalau nanti Mas Hendra tahu? Oh, aku tidak bisa membayangkannya.
“Ada apa, Kak?”
“Tolong hapus video itu, Alfian,” ujarku dengan memelas. “Jangan disebarkan. Aku mohon....” 
“Aku pasti akan hapus video ini, Kak. Tapi aku juga minta Kakak bantuin aku. Supaya aku nggak penasaran lagi, dan bisa tinggal di Kalimantan dengan tenang. Aku udah lama memimpikan Kak Gaby. Aku suka Kak Gaby.”
“Terima kasih karena kamu sudah menyukaiku. Tapi, aku nggak bisa melakukan itu, Alfian. Aku ini istri orang.”
“Tapi kenapa kalau sama Mas Cakra mau? Padahal aku juga nggak minta macam-macam. Cuma mau yang tadi aku bilang.”
Aku diam, tidak tahu harus berkata apa lagi. Aku hanya bisa menggigit bibir bawahku, panik.
“Ya sudah, Kak. Aku pulang dulu, ya.” Alfian berbalik, hendak keluar rumah. Aku pun buru-buru menarik tangannya.
“Tunggu... tunggu... tolong jangan pergi,” ujarku, sambil menahan tangis. “Oke Alfian, oke! Aku turuti kemauan kamu.”
“Kakak serius?”
“Iya. Tapi tolong sebelumnya hapus dulu video tadi.”
“Nggak, Kak. Aku baru akan menghapusnya setelah Kakak menepati janji Kakak.”
Aku menahan geram. “Oke! Tapi kamu harus janji, kamu hanya menjilat dadaku dan kemaluanku.”
“Setuju, Kak. Aku janji,” ujar Alfian dengan muka berbinar. “Jadi kapan kita bisa mulai?”
“Ayo ikut aku,” ujarku. 

Aku mengunci pintu rumah, menutup gorden jendela, lalu berjalan dengan lunglai menuju kamarku dan Mas Hendra. Alfian mengikuti dari belakang. Sesampainya di kamar, aku menyuruh Alfian duduk di ranjang. Aku mengunci pintu kamar, dan kemudian melepas kausku. Daster seksi yang aku kenakan membuat buah dadaku begitu menantang. Aku naik ke ranjang, lalu berbaring di sana. Dengan tangan gemetar, aku mulai melepas tali daster di pundakku dengan perlahan, namun tetap menahan daster agar tetap menutup buah dadaku. Jantungku berdebar-debar membayangkan apa yang akan Alfian lakukan terhadapku sebentar lagi.
“Ini, silakan dimulai. Tapi ingat kesepakatan kita tadi,” ujarku sambil memandang Alfian lekat-lekat.
“Iya, Kak.”
Perlahan Alfian naik ke atas tubuhku. Aku memejamkan mata ketika tangan Alfian mulai menurunkan dasterku yang talinya sudah tidak terkait di pundakku itu. Kulit dadaku merasakan hangatnya tangan Alfian yang terasa gemetar. Sepertinya ia gugup. Dan kami sama-sama gugup.
Perlahan-lahan buah dadaku pun mulai tersingkap. Aku membuka mata sedikit, dan aku melihat mata Alfian tampak berbinar-binar.
“Ooohhh... akhirnya mimpiku terwujud....” ujar Alfian, setengah berbisik. “Terima kasih banyak Kak Gaby. Aku sayang Kakak....”
Setelah mengucapkan itu, Alfian langsung melumat dadaku seperti orang kesetanan. Ia mencupang kedua bukit kembarku dengan kasar.
“Pelan-pelan, Alfian. Pelan-pelan....” aku mencoba mengingatkan, sebab aku merasa risih jika ia tidak bisa mengendalikan diri seperti itu.
“Oh iya, Kak. Maaf.... Baru pertama kali ini aku melihat buah dada perempuan dewasa secara langsung, dan baru kali ini pula aku bisa menciumnya. Apalagi ini milik Kak Gaby, orang yang selalu aku hadir dalam mimpiku.
Aku agak tersipu mendengar omongan Alfian. Aku tidak menyangka bahwa bocah itu benar-benar menyukaiku. Tidak lama kemudian, lidah Alfian mulai memainkan puting susuku. Lidahnya melingkar-lingkar dengan lincah. Permainannya begitu luar biasa. Entah dari mana ia mempelajari kemampuan itu. Mungkin dari film-film porno yang sering ia tonton. Tanpa sadar, aku memegang kepala Alfian sambil mendesah-desah. Aku rasakan kedua puting susuku mulai mengeras. Oh tidak, rupanya aku mulai terangsang. Ini yang aku takutkan sedari tadi.
“Eggh...,” aku mengerang saat Alfian perlahan-lahan menggigit-gigit puting susuku. 
Ini enak sekali. Aku tak menyangka bocah itu pandai memberikan rangsangan. Bisa dibilang kemampuannya tidak kalah dibanding Cakra. Tubuhku menggeliat-geliat menahan hasrat yang semakin lama semakin naik. 
“Oooh..., kamu hebat Alfian,” batinku.
Aku mengintip aktivitas Alfian. Ia masih terus semangat melumat dadaku. Aku perhatikan payudaraku yang putih, kenyal, dan menantang itu memerah. Aku biarkan diriku dicupang oleh Alfian. Aku pasrah saja supaya video itu bisa dihapus sehingga masalah ini bisa segera beres. Beberapa lama kemudian, Alfian menghentikan aktivitasnya. Ia menarik dasterku dengan tangkas, dan kemudian menurunkannya. Rupanya ia sudah ingin menikmati bagian bawahku. Aku sama sekali tidak melawan ketika ia melepas dasterku. Bahkan ketika ia menurunkan celana dalamku, aku menaikkan sedikit pantatku untuk memudahkannya. Kini aku sudah telanjang bulat, berbaring di hadapan Alfian. Aku menutup buah dadaku dengan tangan kanan, dan merapatkan kedua belah pahaku sambil menutupi kemaluanku dengan tangan kiri. Aku memandang Alfian, menantikan apa yang akan ia lakukan berikutnya terhadap tubuhku. 

“Oooh... Kak Gaby,” desah Alfian sambil menggosok-gosok sesuatu yang menonjol di balik celananya. Kemudian ia mengelus-elus pahaku sejenak, lalu membukanya perlahan-lahan. Kini vaginaku pun terpampang dengan jelas di hadapannya. Bulu-bulu kemaluan yang tercukur rapi tampak kontras dengan kedua pahaku yang putih, mulus, dan padat itu. Rupanya vaginaku sudah agak basah. Aku merasa malu kepada bocah itu sehingga kedua pipiku memerah.
“Kak Gaby... aku hampir nggak percaya bisa dapet kesempatan ini. Ya ampun, vagina Kak Gaby indah banget... Ooh... sebentar lagi apa yang aku impi-impikan akhirnya tercapai....”
Alfian mendekatkan wajahnya ke selangkanganku. Aku memperhatikan aktivitasnya dengan saksama. Ketika bibirnya mulai menyentuh bibir kemaluanku, aku langsung mendesah.
“Oouuh....”
Bocah itu menyedot-nyedot cairan kemaluanku, lalu menelannya. Ia juga memainkan lidahnya, menjelajahi vaginaku dengan leluasa. Tubuhku menggeliat-geliat menahan gairah yang mulai menguasaiku.
“Aaaaah... Alfian sayang... terus... pelan-pelan....” tanpa sadar aku memanggil Alfian dengan panggilan sayang. 
Permainan Alfian semakin ganas. Lidahnya mengaduk-aduk liang senggamaku tanpa ampun. Desahanku pun semakin keras. Vaginaku seperti mau meledak. Aku merapatkan kedua pahaku hingga kepala Alfian terjepit. Kedua tanganku meremas-remas buah dadaku sendiri. Kepalaku bergerak-gerak tidak karuan. Dadaku membusung. Napasku terengah-engah. Aiiiihhh....
Tiba-tiba, Alfian menghentikan aktivitasnya, lalu bangkit dari tempat tidur. Tangan kirinya terlihat sibuk menggosok-gosokkan penisnya yang masih berada di dalam celana.
“Ooh, aku udah nggak kuat lagi, Kak. Aku udah mau keluar. Aku pinjam kamar mandinya, Kak. Ada di mana?” tanya Alfian sambil meringis.
“Itu, keluar dari kamar ini, terus belok kanan. Kamu mau masturbasi?”
“Iya, Kak. Sebentar, ya,” ujar Alfian, lalu buru-buru pergi menuju pintu.
Aku tercenung. Bocah itu begitu polos, dan setahuku ia merupakan anak yang baik. Lusa ia akan pindah ke Kalimantan, dan mungkin kami berdua tidak akan pernah bertemu lagi. Kemudian terlintas sebuah pikiran gila dalam kepalaku, bagaimana jika aku memberi “hadiah” kepadanya? Hitung-hitung sebagai ucapan terima kasih karena dia telah menyukaiku. Juga sebagai tanda perpisahan. Yang aku maksud hadiah di sini tentu saja bukan membolehkannya menyetubuhiku. Bagaimanapun aku tidak mau, sebab aku merasa masih sebagai seorang perempuan terhormat. Aku rasa mengoralnya sudah cukup membuat dia puas dan bahagia. Dan aku juga tidak mengalami kerugian apa-apa.
“Alfian, tunggu,” aku berseru kepada Alfian yang masih berusaha membuka kunci pintu kamar. Pintu itu memang agak bermasalah. Hanya aku dan Mas Hendra yang bisa membukanya dengan lancar.
“Iya, Kak? Aduh, tolong bukain pintunya, dong, Kak,” ujar Alfian dengan muka memelas. Sepertinya ia sudah benar-benar tidak tahan.
“Itu memang agak rusak. Ya udah, keluarin di sini aja. Sini Kakak bantu,” tawarku.
“Ma... maksud Kakak?”

Aku beranjak dari kasur, kemudian menghampiri Alfian. Bocah itu hanya bisa ternganga melihatku berjalan ke arahnya dalam keadaan telanjang bulat.
“Alfian, Kakak akan bantu. Tapi ini hanya sekali aja. Setelah ini kamu harus menghapus video itu, lalu pulang dan jangan kembali lagi ke sini,” ujarku dengan nada tegas.
“I... iya, Kak.... Aku janji...,” jawab Alfian, terlihat begitu gugup.
“Kalau begitu sekarang lepas celanamu,”
Tanpa perlu disuruh dua kali, Alfian buru-buru melepaskan celana panjang dan celana dalamnya. Mataku langsung tertuju pada penisnya yang ramping, panjang, keras, dan tegak. Kemaluan tersebut dihiasi oleh bulu-bulu yang belum terlalu lebat. Aku berlutut di depan Alfian. Perlahan-lahan kusentuh penisnya yang basah itu, dan kemudian kumainkan dengan lidahku.
“Uuuh... Kak...,” Alfian mengerang. Tangannya meremas-remas kepalaku sambil merem melek. Ia terlihat begitu keenakan. Aku pun semakin semangat untuk mengoralnya.
Penis Alfian memang tidak terlalu besar, tapi benar-benar keras. Mungkin karena baru pertama kali ini ia mendapat rangsangan seperti itu sehingga ereksinya bisa benar-benar maksimal. Aku mengulum penis Alfian dengan tekun. Entah kenapa aku begitu menyukai wangi penisnya. Aromanya membuatku semakin terangsang. Aku melirik ke arah cermin di sampingku. Astaga, aku melihat sebuah pemandangan yang begitu menggetarkan. Aku terlihat begitu rendah. Di cermin itu, aku yang sintal dan dan cantik jelita sedang berlutut dalam keadaan telanjang bulat di depan remaja berwajah ndeso, mengulum penisnya.
“Oooh... maafkan aku, Mas Hendra. Aku tidak tahu kenapa aku sampai melakukan hal yang sangat rendah ini....”
Tiba-tiba, cengkeraman Alfian di kepalaku semakin kencang. Aku juga merasakan penis Alfian semakin keras.
“Aduuuuh... aku mau keluar, Kak! Aku mau keluar! Ouuuuh....”
Mendengar itu, aku semakin mempercepat kulumanku. Tidak lama kemudian....
“Aaaaaaah.... Oooooh.... Kakaaaaak....” Alfian melolong. Tubuhnya bergetar hebat. Kepalanya mendongak ke atas. Matanya memejam, dan mulutnya menganga. Sepertinya ia telah mendapatkan kenikmatan yang begitu luar biasa.
Aku juga merasakan penis Alfian berdenyut-denyut. Semprotan spermanya langsung mengisi mulutku. Entah kenapa aku sama sekali tidak mual. Aku membiarkan penis Alfian berada di dalam mulutku selama beberapa detik, sampai ia selesai menumpahkan semua spermanya.
“Aduuuh... Kak Gaby, maaf... Aku... aku tadi udah nggak kuat. Aku nggak bermaksud ngeluarin di mulut Kak Gaby,” ujar Alfian, seraya buru-buru melepas penisnya dari dalam mulutku.
Aku menggeleng sebagai syarat bahwa aku tidak apa-apa. Aku langsung mengambil tisu, lalu menumpahkan semua sperma di dalam mulutku ke dalam tisu itu hingga benar-benar bersih.
“Kak Gaby, aku minta maaf...,” ujar Alfian, prihatin melihatku dalam kondisi seperti itu.
“Nggak apa-apa, Alfian,” ujarku, lembut. “Kini semuanya sudah selesai. Sekarang tolong tepati janji kamu.”
“Iya, Kak,” jawab Alfian. Lantas ia mengambil hpnya, lalu menghapus videoku di depanku. Kemudian, aku pun segera mengenakan dasterku lagi.
“Sekarang kamu pulanglah. Aku mau bersih-bersih. Oh iya, tolong jangan kembali ke sini lagi. Tepati janji kamu,” ucapku dengan nada tegas.
Alfian menatapku sambil tersenyum lembut. “Iya, Kak. Aku pasti menepati janjiku. Aku benar-benar berterima kasih sama Kak Gaby. Ini semua benar-benar lebih dari harapanku. Terima kasih ya, Kak. Aku pamit dulu,” Alfian memelukku dengan erat.
Aku membalas pelukannya sambil mengelus-elus punggungnya, layaknya seorang kakak yang sedang menenangkan adiknya. Kemudian Alfian pun pulang dengan keadaan puas sekali.
Berhubung aku belum terpuaskan, maka aku pun langsung bermasturbasi di kamar mandi. Membayangkan sedang disetubuhi pria yang selama ini selalu memuaskanku, Cakra....

****
Aku mulai terbiasa menjalani hidup yang aneh ini. Aku berstatus sebagai istri Mas Hendra, namun aku harus selalu siap sedia jika Cakra sedang minta dilayani. Ia benar-benar seperti pengantin baru. Dalam seminggu, ia bisa minta jatah sebanyak 6 kali. Dan dalam satu kali kesempatan, kami bisa bersetubuh hingga tiga ronde. Biasanya kami melakukannya malam-malam, selepas Mas Hendra tidur. Cakra sudah tidak pernah memintaku berjalan dalam keadaan telanjang bulat ke rumahnya. Tapi, malah aku yang sering melakukannya sendiri, khususnya ketika aku sedang sangat bergairah. Kadang-kadang juga Cakra datang siang-siang ke rumahku, lalu menyetubuhiku di mana saja, seperti di ruang tamu, ruang keluarga, kamar tidur, dan dapur. Bahkan suatu kali pernah, ia memaksaku melayaninya di samping Mas Hendra yang sedang tidur! Untunglah Mas Hendra tidak sampai terbangun karena aku sempat memasukkan obat tidur ke dalam minumannya menjelang ia tidur. Pada suatu malam, aku sedang asyik menonton televisi. Sudah dua hari ini Cakra tidak datang ke rumah atau minta jatah. Sepertinya ia sedang “bertugas” di luar kota, merampok truk-truk yang melintas di jalan raya. Untunglah gairahku sedang tidak terlalu tinggi. Kalau tidak, pasti aku akan bingung dan gelisah, sebab tidak ada yang memuaskanku, mengingat sampai sekarang Mas Hendra sama sekali tidak berdaya di ranjang.
“Tok... tok... tok...,” terdengar ketukan pintu yang sepertinya diketuk dengan terburu-buru. “Sayaaang... bukain pintunya, dongg!”
Oh, itu suara Mas Hendra. “Iya, Mas! Tunggu sebentar!”
“Buruan!” Aku dapat kabar baik, nih!” seru Mas Hendra, sementara aku sedang mengambil kunci pintu di dalam kamar.
“Kabar baik apa sih, Mas?” tanyaku ketika sudah membuka pintu. “Kok kayaknya seneng banget.”
Mas Hendra hanya cengar-cengir mendengar pertanyaanku. Setelah menutup pintu, kemudian ia mulai bercerita.
“Aku naik jabatan, Sayang!” seru Mas Hendra. Aku sumringah mendengar kabar baik itu.
“Oh ya?” tanyaku, dengan wajah nyaris tidak percaya. “Wah, berarti gaji Mas Hendra naik, dong! Asyiiikk...!!”
“Iya, Sayang! Dan berita baiknya lagi, aku akan bertugas di kantor pusat. Dan itu berarti kita akan pindah dari sini! Lusa kita sudah harus pindah, sebab Senin aku sudah mulai bekerja di sana. Kamu pasti senang, kan?”
Perlahan-lahan senyumku memudar. Seharusnya aku senang, sebab itu berarti aku bisa lepas dari cengkeraman Cakra. Dia tidak bisa lagi seenaknya memaksaku untuk melayaninya. Ya, seharusnya aku senang. Tapi, entah kenapa sebagian diriku seperti tidak rela. Entah kenapa aku seperti tidak sanggup membayangkan hidup tanpa Cakra. Apakah aku telah jatuh cinta kepada preman keparat itu?
“Sayang? Kamu kenapa?” ucapan Mas Hendra membuyarkan lamunanku.
“Oh, nggak apa-apa, Mas. Jadi lusa kita pindah?”
“Iya, Sayang! Yeaah... kita akan memulai hidup baru di sana!” seru Mas Hendra, girang. “Aku sudah telepon jasa angkutan untuk memindahkan barang-barang kita. Lusa mereka akan datang, dan kemudian kita langsung pindah.”
Aku termangu. Untunglah Mas Hendra tidak terlalu memperhatikan perubahan raut mukaku. Ia langsung pergi dari ruang tamu untuk mandi. Ia berjalan sambil bersiul-siul senang. Malam itu aku tidak bisa tidur. Aku gelisah. Aku bingung harus bagaimana. Di satu sisi aku ingin pindah bersama Mas Hendra. Tapi, di sisi lain aku tidak ingin jauh-jauh dari Cakra. Aahh... aku benci sekali dengan kenyataan ini.

****
Truk yang akan mengangkut barang-barang kami sudah datang. Sebelumnya kami sudah mengepak semua barang berukuran kecil ke dalam kardus. Para kuli angkut pun satu per satu sudah mulai memindahkan barang-barang dari dalam rumah ke atas truk. Aku duduk di sudut ruangan sambil menatap aktvitas mereka dengan gelisah. Aku bingung. Aku benar-benar tidak ingin pindah dari sini. Tapi bagaimana cara melakukannya? Aku begitu panik dan sangat kalut. Dan kemudian aku pun mulai terisak....
“Lho, sayang... kamu kenapa?” tanya Mas Hendra saat melihatku menangis.
Ia langsung menghampiriku dan membelai-belai rambutku. Aku pun langsung memeluknya dengan erat. Tangisanku semakin keras.
“Kamu kenapa, Sayang? Apa ada yang mengganggu pikiranmu?”
Aku hanya menangis tanpa berkata apa-apa. Pelukan dari Mas Hendra sedikit menenangkanku. Perlahan-lahan pikiranku pun mulai tenang.
“Sayang...,” ujar Mas Hendra, lembut. “Ceritalah kalau ada masalah... nanti sama-sama kita cari solusinya....”
Mendengar kata-kata Mas Hendra yang begitu teduh, aku pun mulai berani membuka mulut. “Mas... aku... aku minta maaf....”
“Lho, minta maaf kenapa?”
“Aku nggak bisa pindah dari sini, Mas.... Aku pengen tetap di sini....” ujarku. Air mataku pun semakin tumpah, sebab dengan berkata seperti itu, berarti aku lebih memilih menjadi budak pelampiasan Cakra.
“Lho... lho... kenapa?” Mas Hendra melepaskan pelukannya. “Bukankah dulu kamu pernah bilang pengen pindah dari sini?”
“Iya, Mas... tapi itu dulu.... Sekarang aku benar-benar nggak pengen pindah... tolong aku, Mas....”
“Tapi....” Mas Hendra tidak meneruskan ucapannya. Ia terlihat sangat terkejut.
“Tolong, Mas...,” aku kembali terisak.
“Tapi aku nggak mungkin membatalkan kepindahanku ke kantor baru, Sayang....”
“Mungkin Mas Hendra saja yang pindah, sementara aku tetap di sini. Nanti Mas Hendra bisa pulang ke sini seminggu atau dua minggu sekali...,” aku memberi ide.
Mas Hendra menjauh dariku, dan kemudian terduduk lemas sambil memijat-mijat keningnya. Aku jadi kasihan kepadanya. Aku segera mendekatinya, dan kemudian memeluknya sambil terisak. Kami berpelukan seperti itu dalam waktu yang cukup lama. Akhirnya Mas Hendra mulai bicara. Ia meminta alasan yang logis kenapa aku tidak ingin pindah. Aku hanya bilang bahwa aku sudah sangat betah di kampung itu. Aku tidak mungkin memberitahukan alasan yang sebenarnya kepada Mas Hendra, sebab hal itu bisa sangat menghancurkan hatinya. Mas Hendra sulit menerima alasanku, namun ia tidak sampai hati memaksaku untuk ikut pindah. Pada akhirnya hatinya pun luluh. Ia menyetujui ideku, bahwa hanya dia saja yang pindah, sementara aku tetap di sini. Ia pun langsung meminta para kuli angkut untuk menurunkan kembali barang-barang yang sudah diangkut. Mas Hendra harus membayar sekian rupiah sebagai konsekuensi karena membatalkan pengangkutan barang. Namun, ia membayarnya dengan ikhlas demi istri tercintanya in.
****

Setahun sudah aku tinggal berjauhan dengan Mas Hendra. Pada awal-awal kepindahannya, suamiku itu pulang seminggu sekali. Namun demi menghemat pengeluaran, ia pulang dua minggu sekali, dan kami sudah menyepakati hal ini. Cakra semakin sering datang ke rumah sejak Mas Hendra pindah. Bahkan hampir setiap hari ia tidur di rumahku, tentunya saat Mas Hendra sedang tidak ada. Kami benar-benar seperti sepasang suami istri. Kami tidur berdua dalam satu kamar. Bercinta dengan panas dari malam sampai pagi. Ketika aku bangun, aku mendapati Cakra sedang tertidur pulas di sampingku sambil memelukku. Kami sama-sama telanjang. Setelah bersih-bersih, aku membuatkannya sarapan, dan kemudian kami sarapan bersama-sama. Ia ibarat suami keduaku. Aku tidak menyangka bahwa ternyata hubunganku dengan Cakra bakalan seperti ini. Padahal, dulu aku teramat membencinya. Tapi kini dialah orang yang selalu memberiku kehangatan. Memuaskan hasrat seksualku yang tinggi ini. Aku pun kini menjadi perempuan yang binal. Aku selalu memakai pakaian yang seksi. Tidak hanya di rumah, tapi juga di luar rumah. Saat pergi ke pasar, sering kali aku hanya mengenakan daster pendek satu tali. Pakaian itu memperlihatkan lekuk-lekuk tubuhku dengan jelas, seperti belahan dada, ketiak, dan kedua pahaku. Bahkan sesekali aku nekat tidak mengenakan pakaian dalam. Tidak ada satu pun tetangga yang memprotes atau menggangguku. Mungkin karena mereka takut dengan Cakra.

****
Saat menyetubuhiku, Cakra selalu menumpahkan spermanya ke dalam rahimku. Aku selalu memintanya untuk mengeluarkannya di luar, tapi ia tidak pernah mau. Hal yang aku takutkan pada akhirnya terjadi. Aku hamil, dan usia kandunganku sudah satu bulan. Beruntung satu bulan sebelumnya aku juga bercinta dengan Mas Hendra. Jadi begitu mengetahui aku hamil, Mas Hendra senang bukan kepalang.
“Benarkah??? Aaaaah!! Akhirnya aku akan menjadi seorang, Ayah!” jerit Mas Hendra ketika aku mengabarkan kehamilanku lewat telepon. “Sayang, kamu nggak boleh beraktivitas terlalu banyak. Setelah ini aku akan menambah uang kiriman untuk beli susu kehamilan. Kamu harus banyak-banyak minum susu supaya pertumbuhan janin anak kita berlangsung dengan baik.” 
Kasihan Mas Hendra. Ia percaya bahwa anak dalam kandunganku ini adalah anaknya. Padahal, saat kami bercinta malam itu, spermanya tidak sampai masuk ke liang kenikamatanku, sebab penisnya tidak bisa berdiri. Malamnya, aku menanti kedatangan Cakra. Sudah seminggu lebih ini ia belum pulang. Nomor hpnya juga tidak aktif. Aku merasa kangen. Aku gelisah menanti kepulangannya. Meskipun sedang hamil, namun gairahku tetap tinggi. Setiap malam aku memakai lingerie yang sangat seksi. Jadi kalau Cakra pulang, kami bisa langsung bercinta. Setiap hari pula aku mencukur bulu ketiakku, menjaganya selalu bersih dan mulus. Khusus untuk Cakra, sebab ia sangat menyukai bagian tubuhku yang satu itu.
“Mas Cakra, kamu ke mana?” aku bertanya dengan masgyul. 
Pada malam kesepuluh, Cakra masih belum pulang juga. Keesokan harinya, sebuah ambulans datang ke depan rumah Cakra. Astaga, ternyata ambulans itu membawa jenazah Cakra! Dari para tetangga, aku mendengar kabar bahwa Cakra terjatuh dari truk saat hendak merampok hingga tewas seketika. 
“Astaga... Mas Cakra....”
Aku tidak ikut melayat atau menguburkan jenazah Cakra. Aku hanya menangis di rumah. Menangisi kepergian Cakra. Ayah dari anak yang ada dalam rahimku ini.

****
Kepergian Cakra benar-benar membuatku terguncang. Aku pun sadar bahwa selama ini aku telah berbuat sesuatu yang sangat tidak patut. Selanjutnya aku memutuskan untuk bertobat. Aku berjanji untuk lebih mengendalikan nafsuku. Aku berjanji tidak akan membiarkan seorang pria pun yang menikmati tubuhku lagi selain suamiku. Jika suatu hari nanti aku tidak bisa menahan hasratku, maka aku lebih memilih untuk bermasturbasi. Beberapa hari setelah kepergian Cakra, aku menelepon Mas Hendra.
“Mas, sekarang kan aku lagi hamil. Bagaimana kalau aku pindah saja ke sana?” tanyaku. “Jadi nanti kita bisa sama-sama menjaga calon anak kita.
Mas Hendra senang bukan kepalang mendengar ideku itu. Langsung saja ia mengurus kepindahanku. Dan dalam waktu beberapa hari saja, aku sudah resmi pindah. Kami tinggal di sebuah rumah sederhana yang baru saja dibeli Mas Hendra dengan cara mencicil. Kini aku pun memulai hidup baru. Di tempat yang baru, dan dengan semangat yang baru. Namun aku harus menjalaninya dengan menyimpan sebuah rahasia besar. Rahasia yang sama sekali tidak boleh diketahui oleh suamiku, Mas Hendra.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar