Selasa, 04 Februari 2014

Santi, Cinta Satu Malam


Santi



Malam itu aku berangkat ke Bandung dengan kereta eksekutif. Rasanya malas harus pergi malam-malam, tapi karena tugas kantor besok harus bertemu klien di sana, maka akupun berangkat juga. Suasana gerbong malam itu tidak terlalu ramai, memang bukan waktu liburan, jadi tak banyak penumpang. Kusetel tempat dudukku agar aku bisa tiduran. Tetapi baru saja aku mau memejamkan mata, pramugrari mengantarkan makanan kecil dan minuman hangat.
“Mau teh atau kopi, Mas?” tanya pramugari itu.

Aku mengusap wajahku sebelum menjawabnya,”Teh saja.” Sesaat kudongakkan wajahku, seperti kukenali wajah pramugari yang menawarkan kopi itu.

“Maaf, Neng. Apa kita pernah bertemu ya?” tanyaku sebelum ia beranjak ke kursi berikutnya. Ia menatapku lekat-lekat lalu tersenyum riang.
“Ya ampun, Bagas. Apa kabar?”
“Santi, kan?”

“Iya. Sebentar ya, aku selesaikan dulu tugasku.” Tanpa menunggu jawabanku, Santi bergegas menyelesaikan tugasnya. Beberapa menit kemudian ia lewat sambil meletakkan secarik kertas di meja makanku. “Ke gerbong mesin saja, tugasku sudah selesai. Letaknya dua gerbong di depan gerbong ini.” Pesan Santi dalam kertas itu. 

Aku menggeliat sebentar sebelum bangkit dan beranjak dari tempat dudukku. Tak ada yang memperhatikanku. Di samping hanya lampu tidur yang dinyalakan, ternyata beberapa penumpang yang ada di gerbongku sudah terlelap semua. Aku bergegas menuju ke gerbong mesin dengan berhati-hati agar tidak menimbulkan curiga orang lain.

Santi sudah berada di sana, duduk di atas kotak kayu. Gadis itu langsung menghambur dalam pelukanku begitu aku menghampirinya. Aku pun membalasnya dengan pelukan yang erat. Kurasakan buah dadanya yang besar mengganjal di dadaku. Sesaat darah laki-lakiku berdesir. 

“Sudah lama sekali sejak kita lulus SMA ya. Senang rasanya aku bisa bertemu kamu lagi,” kata Santi di telingaku. 
“Aku juga. Kangen deh rasanya sama kamu?”
“Ah, gombal. Kamu memang nggak berubah dari dulu, masih pandai merayu.”

Suara bising mesin membuat kami harus berbicara dekat-dekat telinga. Kesempatan itu kugunakan untuk menggodanya. Aku pura-pura akan membisikinya, tapi bukan itu yang kulakukan, aku malah mengecup pipi gadis itu. 

“Ahhh, Bagas nakal,” gerutunya dengan suara manja.

Bukannya berhenti, aku malah memindahkan bibirku mengecup bibirnya. Kali ini Santi tak bisa berbicara lagi, karena aku telah mengulum bibirnya beberapa saat lamanya. Ia sampai gelagapan dibuatnya. Kulepaskan ciumanku sesaat saja, selanjutnya kembali kupagut bibirnya yang tipis merah merekah itu. Santi membalasku. Gadis itu memelukku erat-erat, terasa sepasang payudaranya mulai mengencang. Aku tahu, dia sedang bergairah.

Kupindahkan mulutku menjelajahi lehernya yang jenjang. Hanya beberapa saat saja di situ. Aku turun lagi sambil membuka kancing kemeja dinasnya. Kujilati pangkal buah dadanya yang masih tertutup BH berwarna putih. Kutarik Bhnya ke bawah sehingga buah dadanya terlihat semakin mengencang. Kujilati putingnya yang mengacung. Santi menggelinjang berkali-kali. Kuremas-remas sepasang daging kenyal itu dengan lembut. Santi mendesah-desah perlahan.

“Ohhh…aahhhh….terusin, sayang…ohhhh….enak sekali….”

Berganti-ganti mulutku mengulumi puting kedua payudaranya. Sesekali kuhisap dan kugigit-gigit lalu kuusap-usap dengan lidahku. Santi merintih lirih. Aku tahu birahi gadis itu semakin meninggi, terlihat dari buah dadanya yang semakin mengeras dan putingnya yang semakin mengacung.

Kuhentikan permainanku di sana. Sepasang buah dada Santi tampak memar dan memerah karena permainanku tadi. Kubopong tubuh dan kududukkan di atas kotak kayu yang tadi ia duduki. Kutarik sebelah kakinya agar berada di atas kotak sedangkan yang satu lagi tetap menjuntai ke bawah. Kusingkapkan rok spannya ke arah perut. Kini selangkangan gadis itu terbuka lebar. Pangkal pahanya masih tertutup celana dalam berwarna merah muda. Aku jongkok di hadapan selangkangannya. Kuremas-remas kemaluannya yang masih tertutup celana dalam dengan ujung-ujung jemariku.

“Oh, ah..” Santi kembali menggelinjang.

Aku semakin tak tahan. Kuperosotkan celana dalam gadis itu, lalu kumasukkan celana dalamnya ke saku celanaku. Kini bisa kunikmati pemandangan yang indah terpampang di hadapanku. Tanganku pun segera beraksi pada pangkal paha gadis itu. Kemaluan Santi tampak bersih dan mulus tanpa sehelai rambut pun yang menghiasi sekitar bibir kemaluannya. Rupanya ia begitu memperhatikan bagian yang sangat pribadi itu. Kusibakkan bibir kemaluannya dengan jemari tangan kiriku. Lalu telunjuk tangan kananku mulai menggelitik klitorisnya.

“Ohhh….Ohhh….Ahhhh…” Santi mendesah lirih. Tubuh gadis itu meliuk-liuk seperti cacing kepanasan. Ia memejamkan matanya sambil menggigit bibir bawahnya. Rupanya Santi sudah tak sanggup lagi menahan gejolak birahinya. Aku semakin bersemangat untuk mempermainkan kemaluannya.

Kugelitik bibir dalam kemaluannya yang lembut dan terasa basah. Kemudian dengan lembut telunjukku menerobos masuk lubang kemaluannya yang basah dan licin oleh lendir birahi gadis itu.

“Ahhhh….Uhhhh….Ssshhhh…” Kembali Santi mendesah-desah kenikmatan ketika telunjukku menekan-nekan G-spot yang ada di dalam kemaluannya. Kurasakan otot-otot seputar lubang kemaluannya berkontraksi menjepit jemariku. 

Aku ingin membuat Santi semakin melayang. Maka mulutku pun tidak tinggal diam. Kukecup bibir kemaluannya dengan lembut diiringi lidahku yang kemudian menari-nari sekitar klitorisnya. Kurasakan jari telunjukku yang masih di dalam lubangnya semakin basah oleh lendirnya yang semakin deras mengalir. Lidahku terus bermain-main di sekitar klitoris dan bibir kecilnya. Sesekali kutekan klitorisnya dengan lidahku dan kurasakan bagian itu semakin menonjol dan mengeras. Yang kubaca di buku, bila wanita sudah begitu, berarti birahinya sudah memuncak.

“Ohhhh….Bagassss…Aku sudah nggak tahan lagi…” bisik Santi dengan suara serak.

Aku belum mau berhenti. Bisikan Santi justru membuatku semakin bersemangat untuk merangsang birahinya. Kini kutarik jari telunjukku dari dalam lubang kemaluannya. Kuhunjamkan mulutku pada kemaluannya. Kuhisap, kugelitik dan kujilati semua yang ada di sana. Santi semakin histeris.

“Ouww!!” pekik Santi tertahan. Gadis itu meremas-remas rambut kepalaku sambil kedua pahanya menjepit kepalaku. Mulutku semakin terbenam dalam kemaluannya dan membuatku sulit bernafas. Aku pun semakin menggila. Kuhisap klitorisnya dengan keras.

“Ouwww!!” Santi menjerit lagi. “Ohhh..Bagas, ayolah…aku sudah nggak kuat lagi..”

Santi melepaskan jepitan pahanya. Aku tahu isyarat itu. Kuangkat kepalaku dari pangkal pahanya. Kusapu mulutku yang basah dengan punggung tanganku. Kupandangi sebentar wajah Santi yang pucat karena menahan birahinya yang semakin memuncak. Aku jadi kasihan melihatnya. Kubuka ikat pinggangku dan kuperosotkan celanaku sebatas lutut berikut celana dalamku. Penisku sudah tegang dan mengacung pertanda siap untuk bertempur.

Santi segera menggenggam kemaluanku, membelai-belainya sebentar, kemudian menariknya dan mengarahkannya pada lubang kemaluannya sendiri. Aku merapatkan ujung kemaluanku pada permukaan lubang kemaluan gadis itu. Setelah tepat, kutekan perlahan sehingga batang penisku menerobos lubang vaginanya perlahan-lahan. Kutekan lebih dalam lagi sampai seluruh kemaluanku amblas dalam lubang kemaluannya.

“Ohhhhhhh…..” Santi mendesah panjang ketika batang kemaluanku menerobos masuk lubang vaginanya.

Santi merebahkan tubuhnya 45 derajat bertumpu pada kedua sikunya. Kutarik kedua kaki gadis itu ke atas pundakku sebelum aku mulai menggerakkan kemaluanku. Dengan posisi itu kemaluanku terasa semakin dalam menembus vaginanya. Itu juga membuatku merasa nikmat. Dengan teratur aku mulai menggerakkan pantatku maju mundur. Kemaluanku pun keluar masuk lubang vaginanya dengan teratur dan berirama. 

“Ohhh…yaaahhh….ayo sayang bergerak makin cepat, aku sudah nggak tahan lagi,” bisik santi diiringi desahan dan desisan nikmat.

Aku pun semakin bersemangat mengocok. Saking bersemangatnya suara kemaluan kami yang beradu sampai mengeluarkan suara berdecak-decak. Tetapi semua teredam oleh bunyi berisik suara mesin kereta. Aku terus memacu menuju ke puncak dan agaknya Santi akan sampai lebih dulu. Kurasakan tubuh Santi semakin menegang. Otot-otot di seputar lubang kemaluannya juga semakin terasa kencang menjepit kemaluanku. Lendir yang ia keluarkan juga semakin deras.

“Ayo Bagasss….aku sudah mau keluar nihh…” kata Santi dengan nafas tak beraturan.

Aku justru menghentikan gerakanku. Kutarik tubuh Santi agar berubah posisi. Kusuruh ia menungging dengan paha terbuka. Kuarahkan penisku pada lubang kemaluannya yang terbuka lebar. Sesaat saja langsung amblas ditelan lubang vaginanya. Sesaat kemudian aku sudah kembali bergerak maju mundur. Kali ini gerakanku semakin tak beraturan.

“Yahhhh….ayooo…terus sayang…aku mau keluar nihh…” kata Santi lagi.

“Sabar, sayang. Aku juga mau keluar. Kita keluarin sama-sama,” sahutku.

Kucengkeram pinggang gadis itu dan kugerakkan kemaluanku semakin cepat. Kurasakan dinding-dinding vagina Santi semakin mengeras dan menjepit kemaluanku. Kurasakan tubuhku juga semakin menegang. Ada sesuatu yang seolah bergerak dari sekujur tubuhku menuju satu titik pada kemaluanku.

Aku menekan dengan hentakan keras. Kupeluk tubuh Santi dari belakang dengan erat, sehingga kemaluan kami berpaut erat sekali. Tubuhku mengejan dan muncratlah berkali-kali air maniku menyembur dalam vagina gadis itu. Kurasakan Santi pun mengejan dan membanjirlah lendirnya menyambut air spermaku.

Sesaat kemudian tubuhku terasa lemas. Kupeluk tubuh Santi dari belakang tanpa melepaskan kemaluanku dari dalam lubang kemaluannya. Kurasakan juga tubuh Santi yang tadi tegang, sekarang sudah kembali normal.

“Ouw!” pekik Santi manakala batang kemaluanku kucabut dari dalam lubang kemaluannya.

Aku duduk di atas kotak itu dan kutarik tubuh Santi ke atas pangkuanku. Kutatap wajahnya yang memerah dengan titik-titik keringat menghiasi dahinya. Kukecup dengan mesra bibirnya yang basah.

“Thanks ya, Bagas,” bisik gadis itu. Aku hanya tersenyum membalasnya.

Kupeluk tubuh gadis itu dengan erat lalu kukecup puting susunya. Ia menggelinjang.

“Ahh, kamu memang nakal. Mau lagi?” tawarnya. Aku hanya mengangguk.

“Sudah satu jam. Nanti aku dicari teman-temanku,” sahut Santi sambil merapikan pakaiannya. Aku seolah menunjukkan wajah kecewa. 

“Jangan marah dong. Nanti kan kita bisa ketemu lagi. Hari ini aku off, besok pagi aku baru kembali ke Jakarta. Kamu nginap dimana?” tanya Santi sambil mengecup pipiku.

Aku pun memberikan alamat Hotel tempat aku akan menginap yang rupanya tak jauh dari mess pegawai kereta api tempat ia menginap. Setelah terlihat rapi, Santi pun meninggalkanku. Aku baru sadar setelah ia tak kelihatan lagi, kalau celana dalamnya masih kukantongi. Aku pun segera merapikan pakaianku lalu kembali ke tempat dudukku. Biarlah celana dalam itu kusimpan sebagai kenangan kalau nanti malam ia tak jadi datang.




Aku gembira sekali karena tender yang kuurus berhasil. Setelah makan malam dengan klienku, aku kembali ke kamar hotelku. Sebenarnya aku ingin menikmati kota Bandung di malam hari, tapi kuurungkan niatku karena masih ada dua hari lagi aku di sana. Setelah menggosok gigi, aku mengenakan kaos oblong dan celana pendek lalu merebahkan diri di atas sofa sambil menonton acara di televisi. Ketika sedang mengganti-ganti channel TV, ponselku berdering. Rupanya Santi yang menelpon. Ia sudah berada di lobi hotel. 

“Naik saja langsung ke kamar 225,” kataku.

“Oke,” sahut Santi.

Tak lama kemudian Santi masuk dan mengunci pintu kamarku. Gadis itu mengenakan kaos putih dan celana jeans warna hitam, tampak serasi dengan tubuhnya yang atletis. Ia membawa soft drink dan makanan ringan kesukaanku, kacang mede. 

“Kirain nggak jadi datang,” kataku.

“Harus dong, kan celana dalamku masih ada sama kamu. Masak aku pulang ke Jakarta nggak pakai celana dalam,” seloroh gadis itu.

“Memangnya cuma bawa satu?”

“He-eh,” jawabnya singkat sambil tersenyum menggoda. Aku tahu ia hanya bergurau. 

Sesaat kemudian kami sudah tenggelam dengan candaan dan gurauan ringan sambil makan kacang mede. Sesekali kami saling menyuapi, berbagi minum lalu main gelitik-gelitikan, persis seperti anak-anak ABG saja. Tapi itu membuatku merasa fresh lagi.

Pukul sembilan malam makanan kecil dan minuman kami sudah habis. Santi pamit ke kamar mandi. Aku mematikan lampu ceiling dan menyalakan lampu baca di meja sebelah tempat tidur. Aku masih menonton televisi. Tiba-tiba Santi duduk di pangkuanku dengan posisi mengangkangiku.

“Masih mau lanjutin yang tadi pagi?” bisiknya di telingaku. Nafasnya terasa panas menyulut gairahku. Belum sempat kujawab, Santi sudah melumat bibirku dengan bernafsu. Aku pun membalasnya dengan penuh nafsu pula. Bibir kami saling mengulum dan lidah kami saling mengait. Sementara kedua tangan Santi memeluk kepalaku, tanganku sudah menerobos masuk ke balik t-shirtnya. 

Aku langsung mencari kancing BH di punggungnya. Sekali tarik saja kancing BH gadis itu sudah terlepas. Tanganku segera berpindah ke depan dan menemukan sepasang bukit kenyal dengan puncaknya yang mungil. Kusingkapkan ke atas t-shirt dan BH-nya, tampaklah sepasang buah dada yang putih montok namun tidak terlalu besar untuk ukuran gadis Indonesia. 

Kuremas-remas dengan lembut onggokan daging mengkal sebesar buah apel Fuji itu dan kupilin-pilin putingnya yang mungil dan kenyal itu. Santi menggelinjang dan mendesah lirih. Secara bergantian kusapukan lidahku di atas buah dada gadis itu, kugelitik putingnya sambil sesekali kuhisap dengan keras. Desahan Santi makin panjang.

“Sshhhhh….aaaahhhh…” seperti desisan kobra Santi mendesis dan mendesah meresapi permainan lidahku di atas payudaranya. Tangannya meremasi rambut kepalaku sambil sesekali menekan kepalaku ke dadanya sehingga membuat wajahku tenggelam di atas buah dadanya yang empuk. Semakin lama kurasakan payudara gadis itu semakin mengeras dan putingnya semakin menonjol. Itu adalah tanda birahi gadis itu mulai naik.

Kutanggalkan t-shirt dan BH Santi, sementara ia juga menarik kaos oblong yang kukenakan. Bagian tubuh atas kami sudah telanjang sekarang. Kini giliran Santi yang agresif. Gadis itu menciumi leherku, menggelitik bagian bawah telingaku, lalu turun menjilati putingku yang kecil dan meremasi dadaku yang lumayan bidang. Bukan membuatku terangsang, malah membuatku geli. Aku tidak tinggal diam. Kuangkat tubuh Santi dan kubarangkan di sofa dengan punggung berada di sandaran sofa.

Kembali mulutku bermain-main di seputar dada gadis itu. Kuremas-remas buah dadanya yang semain lama semakin mengeras. Kupilin-pilin, kujilati dan kuhisap putingnya yang juga semakin mengeras sambil sesekali kugigit-gigit lembut. Santi mendesah-desah dibuatnya.

“Ouhhh…ouhh…aahhh..aahhh…shhhhh..” Tubuh gadis itu meliuk-liuk seperti cacing kepanasan. 

Setelah puas bermain di sana, mulutku turun ke bawah dan menjilati perutnya, kemudian turun menggelitik pusarnya yang bersih. Kembali tubuh Santi meliuk-liuk, entah geli atau semakin terangsang. Kubuka kancing jeans gadis itu. Kutarik resletingnya lalu kutanggalkan segera. Tinggal celana dalam yang kini membungkus tubuh sexy itu. Itu pun tidak bertahan lama karena aku segera menariknya. Dan tampaklah tubuh Santi yang sexy itu polos tanpa sehelai kain menutupinya.

Kuciumi sepasang pahanya yang putih mulus, bersih tanpa ada cacat sedikit pun. Semakin lama mulutku semakin ke atas dan berhenti pada pangkal pahanya. Kutemukan seonggok daging terbelah tanpa bulu yang biasa menghiasi kemaluan orang dewasa.

“Rajin cukur ya?” tanyaku setengah berbisik yang dibalas dengan anggukan kepala oleh Santi disertai senyuman manis dan pasrah.

Kesibakkan sepasang bibir luar atau yang biasa disebut labia mayora yang berwarna kehitaman. Di dalamnya kutemukan sepasang bibir dalam berwarna merah muda yang tipis dan halus dan sedikit basah, sehingga tampak mengkilap di bawah bias sinar lampu. Bagian itu dinamakan labia minora. Di ujung atas ada bagian yang kecil dan menonjol, itulah klitoris atau kelentitnya. Dari buku yang kubaca, bagian itu adalah bagian yang paling gampang terangsang. Maka akupun mendekatkan mulutku ke sana. Kusapukan lidahku pada bibir kecilnya lalu berhenti pada klitorisnya. Dengan ujung lidahku kugelitik bagian itu sambil sesekali kutekan-tekan, terasa semakin lama semakin menonjol. Benar saja, Santi semakin kepayahan dibuatnya.

“Ohhhh…ohhh…ahhhh…ahhhh…” desah Santi kenikmatan. “Terusin sayang…ohhh… enak sekali sayang…”

Pada bagian bawah ada lubang kecil tempat keluar air seni, itu adalah lubang kencing. Lalu di bawahnya ada lubang yang basah dan licin, itu adalah lubang senggama atau biasa disebut vagina. Dari lubang itu melelh air lendir birahi gadis itu. Lidahku berpindah ke sana menjilat cairan bening yang rasanya asin itu, lalu ujung lidahku menerobos masuk dan menggelitik rongga vaginanya.

“Ohhh…ohhh….aahhhhhhhh…” kembali Santi mendesah-desah kenikmatan. 

Tangannya dengan kuat mencengkeram kepalaku dan membuat rambutku berantakan. Sesekali pahanya menjepit kepalaku sehingga mulutku semakin tenggelam dalam kemaluannya. 

“Ohhh, Bagasss Sayanggg…aku sudah nggak tahan nih…” bisik Santi dengan nafas tersengal-sengal. Nampaknya ia sudah tak sanggup menahan gejolak birahinya yang semakin tinggi.

Aku melepaskan mulutku dari kemaluannya. Kuseka mulutku yang penuh lendir dengan punggung tanganku. Kemudian aku merebahkan diri di atas sofa sambil kutarik tubuh Santi untuk bangun. Gadis itu segera membuka celana pendekku berikut celana dalamku. Kini kami sudah sama-sama telanjang bulat. Pakaian kami berserakan di lantai. Kami tidak peduli lagi.

Santi segera menggenggam batang kemaluanku yang tegang mengacung dan berdenyut-denyut. Dengan lidahnya disapunya ujung penisku yang botak dan licin itu, aku menggelinjang dibuatnya. Tangan gadis itu dengan cekatan mengocok-ngocok batang kemaluanku. Sekali-sekali Santi mengulum penisku dalam mulutnya. Rasa hangat dan lembut membuatku semakin terangsang.

“Sudah sayang, yuk kita lanjutin,” bisikku menyudahi permainan itu.

Aku duduk tegak dan punggungku merapat pada sandaran sofa dengan kaki menjuntai ke lantai. Santi berdiri mengangkang di atas kedua pahaku yang merapat. Kutarik pinggangnya perlahan. Santi menurunkan pantatnya perlahan. Kupegangi batang kemaluanku agar mengarah ke lubang vagina gadis itu. Setelah tepat kutarik pinggang Santi dan ia pun menurunkan pantatnya makin rapat ke atas pangkuanku. Maka amblaslah kemaluanku menerobos masuk ke dalam lubang kemaluannya.

Santi mengangkat ke dua kakinya ke atas sofa dan merebahkan tubuhnya ke arahku. Dengan berpegangan pada sandaran kursi dan aku menahan pantatnya dengan kedua tanganku, Santi mulai bergerak naik turun. Kemaluanku dengan sendirinya keluar masuk dengan teratur. Tapi posisi itu tidak berlangsung lama, karena kami jadi tidak leluasa beraksi.

Santi merubah posisi masih tetap di atas, tapi kali ini kami saling berhadapan. Santi mencondongkan tubuhnya ke arahku dan bertumpu pada sandaran sofa. Kembali ia menggerakkan pantatnya naik turun. Sementara aku memegangi pinggangnya sambil sesekali menekan dan menahannya beberapa detik sehingga penisku menerobos semakin dalam.

“Ohhhhh…..” setiap kali aku melakukan itu, Santi mendesah panjang. Ia pasti merasakan batang kemaluanku menembus sampai ke permukaan rahimnya. Dan aku yakin ia merasakan kenikmatan yang luar biasa.

Sepuluh menit sudah berlalu, tapi kami sama-sama belum mau orgasmu. Kuangkat tubuh Santi tanpa melepaskan kemalun kami. Santi memelukku erat sekali saat aku menggendongnya, sehingga kemaluan kami seolah lengket karena berpaut begitu erat.

“Ouw..ouw…ahhhhh” jerit-jerit lirih Santi tertahan ketika aku menggendong dan membawanya ke tempat tidur. Kemaluanku melesak-lesak dalam vagina Santi ketika aku berjalan.

Sesampainya di tempat tidur kurebahkan tubuh Santi dengan pantat tepat berada di tepi ranjang. Dengan posisi Santi tidur dan aku berdiri, aku lebih leluasa beraksi. Santi menarik bantal untuk mengganjal kepalanya. Kubka kedua paha gadis itu sehingga kemaluanku lebih leluasa lagi bergerak keluar masuk. Semakin lama lubang vagina Santi semakin licin oleh lendir birahinya.

“Crett..cruttt…” suara kemaluan kami yang beradu seolah irama yang merdu mengiringi kami menuju ke puncak asmara. Aku terus bergerak dengan teratur. Semakin lama gerakan ku semakin cepat. Tubuh kami sudah bermandikan keringat meskipun kamar itu ber-AC. 

Setengah jam telah berlalu, ketika Santi tiba-tiba memekik. “Ohhhh..aku mau keluar, sayang…”

Segera kudorong tubuh Santi ke tengah ranjang, kami melakukan gaya missionari. Kedua kaki Santi terangkat lalu mengait pinggangku. Aku jadi tidak bisa bergerak. Kini giliran ia yang bergerak berputar-putar. Kemaluanku melesak-lesak dibuatnya. Tak lama akupun mulai merasakan tanda-tanda akan orgasme.

“Ayo sayang, keluarin saja. Aku juga mau keluar,” kataku.

Santi semakin cepat bergoyang. Dan tak lama kemudian ia memelukku erat-erat. Akupun membalasnya. Tubuh kami bagai menyatu. Kemaluan kami seperti lengket. Sesaat tubuh kami sama-sama mengejang. Sedetik kemudian penisku menembakkan air mani berkali-kali yang segera disambut dengan lendir birahi gadis itu. Rongga vagina Santi terasa banjir oleh cairan bahagia kami yang menyatu. 

Kami masih berpelukan erat selama beberapa menit, menikmati sisa-sisa kenikmatan yang baru saja mencapai puncaknya. Sembari mengatur nafas kami yang tidak beraturan. Aku menggulingkan badanku dengan posisi Santi di atas. Kemaluan kami masih menyatu. Tidak kami lepaskan sampai kami tertidur. 




Pukul empat pagi kami terbangun karena kedinginan. Kami kembali sama-sama terangsang. Lalu kami bersenggama lagi sampai kami berkeringat dan kelelahan. Pukul setengah enam pagi Santi mengajakku mandi karena jam sembilan ia harus kembali ke Jakarta.

Setelah mengisi penuh bath tub dengan air hangat dan sabun rendam, aku kembali ke kamar dan membopong tubuh Santi ke sana. Ku turunkan dengan perlahan tubuh gadis itu ke dalam bak mandi lalu aku pun menyusul masuk juga. Kuambil spon lalu kami bergantian saling membersihkan tubuh kami dengan sabun mandi. Setelah bersih, aku membuka tutup lubang bath tub itu sehingga air sabun itu terkuras habis, lalu aku mengganti dengan air yang baru. Lalu kami saling berbilas. Shower kunyalakan sehingga kami seolah mandi di bawah air hujan.

Kami saling berhadapan. Kuambil shower dan kubersihkan sisa-sisa busa sabun di tubuh gadis itu. Lalu gantian Santi menyirami tubuhku. Kami melakukannya dengan bergantian.

Ketika aku membersihkan vaginanya, aku kembali terangsang. Perlahan penisku pun ereksi. Santi yang melihat hal itu langsung membelai-belai kemaluanku.

“Kayaknya dia mau lagi tuh,” godanya.

“Ini juga, kayaknya memanggil-manggil agar ini masuk ke sana,” balasku sambil menunjuk penisku dan vaginanya.

“Kita lakukan spontaneous sex yuk,” ajaknya.

“Oke, siapa takut.”

Spontaneous sex itu seks yang dilakukan dengan spontan dan cepat, tanpa pemanasan. Biasanya karena buru-buru, tapi nggak tahan lagi, padahal harus bernagkat ke kantor. Atau karena di lift, jadi horni nggak bisa tahan lagi, ya sudah main saja. Atau… seperti kami ini, sedang mandi, tiba-tiba terangsang lalu…ayo saja…

Kami sama-sama keluar dari air. Kami berpelukan sebentar, berciuman dengan panas lalu sesaat kemudian Santi segera mengambil posisi. Ia membungkukkan tubuhnya dengan berpegangan pada tepi bak mandi dengan paha terbuka. Aku berada tepat di belakangnya. Kuraba-raba sebentar kemaluan Santi.

“Ternyata sudah basah ya,” kataku sambil ketawa.

“Iya, kayaknya anuku nggak bisa tahan lihat anumu berdiri,” balasnya sambil tertawa.

Kugenggam batang kemaluanku dan kuarahkan pada lubang kemaluan Santi. Ia menundukkan tubuhnya lebih rendah lagi sampai menungging, sehingga lubang vaginanya tampak jelas terbuka dan akupun lebih mudah mengarahkan penisku ke sana. Kutekan perlahan dan kudorong dengan lembut, maka amblaslah kemaluanku ditelan kemaluan Santi.

Kupegang pinggang Santi dan aku mulai bergerak maju mundur dengan teratur dan berirama. Kadangkala Santi pun menggerakkan pantatnya maju mundur, sehingga tubuh kami saling beradu. 

“Ohhh..yaaahhhhh…ayo…sayang….lebih cepat lagi…” bisik Santi sambil mendesah.

“Oh..yaaaahhhh…” balasku dengan nafas memburu.

Gerakanku semakin lama semakin cepat dan tidak beraturan. Aku sengaja agar permainan itu segera selesai. Dan itu memang inti permainan spontaneous sex. Santi melakukan hal yang sama. Dengan jari-jarinya sendiri ia menggelitik klitorisnya. Dan tak sampai sepuluh menit, Santi sudah menjerit.

“Ohh!! Aku mau keluar sayang….!!!”

“Yeeaahhhh…keluarin saja sayang, aku juga mau keluarrrr….”

Aku terus memburu. Gerakanku makin cepat. Kami saling memacu untuk menuju puncak kenikmatan kami. Tubuh Santi sampai terguncang-guncang. Buah dada gadis itu sampai terlempar ke kanan ke kiri. Tak lama kemudian aku menekan penisku dalam-dalam. Kupeluk tubuh Santi dan kucengkeram kedua buah dadanya dari belakang. Santi juga mendorong pantatnya ke belakang. Terasa penisku menancap begitu dalam di lubang vaginanya.

“Ohh yaaa!!!!” jerit Santi ketika ia mencapai orgasme. Aku pun menyusul beberapa detik kemudian dengan ditandai mucratnya air maniku berkali-kali.

“Hehh..hhh…ohh..yaaahhhhh…” desah suara Santi dengan nafas tersengal-sengal. “Ternyata nikmat juga ya main cepat seperti ini. Kamu memang hebat, Bagas sayang.”

“Kamu juga hebat,” bisikku sambil mengecup pipinya.

Aku melepaskan pelukanku. Kami duduk di tepi bak mandi. Kulihat dada Santi turun naik karena nafas yang tidak beraturan. Tubuh gadis itu tampak sensual dengan bintik-bintik air dan keringat menghiasi sekujur tubuhnya, ditambah rambutnya yang basah tergerai, benar-benar wonderful girl.

“Thanks ya, sayang,” bisik Santi sambil mengecup bibirku lembut.

“Thanks juga,” balasku sambil memeluknya.

“Lain kali, boleh nggak aku minta?” tanya Santi berharap.

Aku tersenyum dan menatapnya lembut. “Mau berapa kali?” tanyaku di telinganya.

“Ratusan,” sahut Santi meniru iklan Wafer Tango.

Kami pun segera berbilas. Setelah berpakaian dan sarapan Santi pun berpamitan. Aku menciumnya sekali lagi sebelum dia pergi.

“CD-nya nggak dibawa?” tanyaku mengulurkan celana dalam yang kemarin kukantongi.

“Nggak usah, buat kamu saja. Biar selalu ingat sama aku,” jawabnya sambil tertawa sebelum membuka pintu dan pergi. 

Setelah Santi pergi, aku merebahkan diriku di tempat tidur. Aku mau tidur saja. Tubuhku terasa lelah sekali. Santi benar-benar menguras habis tenagaku. Sebelum tidur aku minum multi vitamin dan STMJ agar nanti bangun tubuhku kembali prima.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar