Kamis, 04 Juli 2013

Lena, Anakku Pengganti Suamiku



Lena


Tommy, 18 tahun kurang, baru saja masuk kuliah. Memang waktu kecil ia masuk sekolah setahun lebih cepat. Dari keluarga yang berkecukupan. Papanya memiliki perusahaan yang lumayan besar. Papanya, Doni, 45 tahun, Mamanya Lena, 37 tahun. Tommy adalah anak tunggal, walau orangtuanya berharap bisa punya 2 atau 3 anak, tapi tak kesampaian. Sebagai anak tunggal, sedikit banyak orangtuanya memanjakan dirinya. Untungnya Tommy tidak tumbuh menjadi anak yang lemah, ia tetap mandiri dan pergaulannya juga luas.



Kurang lebih 4 tahun yang lalu papanya mengalami kecelakaan. Sebagai pengusaha sukses tentu saja ia memiliki supir, namun ada kalanya di hari libur, ia menghabiskan waktu bersama kolega atau relasi bisnisnya secara personal. Saat itu ia dijemput seorang relasinya untuk bermain golf. Saat mobil yang dikendarai relasinya melaju kencang di jalan tol, mereka mengalami kecelakaan, bertabrakan dengan truck di depannya yang mendadak mengerem. Relasinya meninggal di tempat, sedang papanya mengalami cedera berat sekali, pinggang dan kakinya tergencet dashboard mobil. Sungguh keajaiban, akhirnya papanya bisa melewati masa kritis.


Awalnya kaki papanya tak bisa berfungsi, namun berkat terapi dan pengobatan, baik di dalam dan di luar negeri, akhirnya papanya bisa berjalan kembali, hanya kadang suka mudah lelah. Papanya sangat mensyukuri karena bisa lolos dari musibah itu, selain itu juga menyadari, kasih dan perhatian Lena, istrinya serta Tommy anaknya juga berperan memberinya kekuatan untuk sembuh dan melalui semua itu.

Tommy kuliah di sebuah Universitas Swasta. Selain dia juga ada Sandi, 18 tahun, sahabat karibnya, dari SMP mereka sudah satu sekolah. Sudah sangat mengenal satu sama lain. Tumbuh besar dan bandel bersama.


Hari ini belum terlalu siang, masih jam 11 lewat, Sandi asik duduk di sofa di rumah Tommy. Mereka sudah pulang kuliah, tadi ada pengumuman, kuliah siang nanti dosennya berhalangan, ada penggantinya, tapi mereka malas, paling juga asistennya, kasih foto copy-an. Sandi lalu mengajak Tommy buat menemani dia saja, katanya dia ada obyekan kecil di daerah Bogor. Biasa, si Sandi memang dari dulu otak bisnisnya encer, apa saja kalau bisa dia obyekin maka dia akan kerjakan dengan serius. Tommy setuju saja. Berhubung Tommy kuliah mengendarai motor, dan Sandi hari itu bawa mobil, maka mereka pulang dulu ke rumah Tommy sekalian menaruh motor.


Sesampainya di rumah, Tommy mendapatkan rumahnya sepi. Memang mamanya tidak mau pakai pembantu. Katanya cuma Tommy dan papa saja di rumah, tidak perlu pembantulah. Sandi sendiri sudah sering banget ke rumah Tommy, sering nginap, demikian juga Tommy, kedua orangtua mereka juga sudah saling kenal. Sandi sedang asik nonton TV, sambil menghisap rokok dan minum air es. Rencananya mereka pergi jam 1-an. Tommy menelepon mamanya.

”Halo, ma, ada di mana?”

”Mama lagi pergi sama teman mama, kamu di mana, Tom?”

”Di rumah, tuh sama Sandi.”

”Lho, kamu nggak kuliah?”

”Nggak, dosennya berhalangan. Oh ya, ma, Sandi ngajak Tommy ke Bogor siang ini.Pulangnya malaman dikit, boleh ya?”

”Ke Bogor? Ngapain? Naik apa?”

”Katanya dia ada urusan. Dia bawa mobil. Boleh ya, ma?”

”Ya sudah, hati-hati. Bilang Sandi jangan ngebut. Kunci rumah sebelum pergi.”

”Oke. Thanks, ma.”

Tommy mematikan HP-nya. Dia sih tak keberatan menemani sohibnya. Daripada di rumah. Si mama kadang suka reseh, nggak bisa lihat orang santai, ada saja yang disuruh. Sekarang dia asik ngobrol sambil nonton TV sama Sandi. Biasa, ngomongin ceweklah, apa lagi sih bahan omongan yang menarik bagi remaja seusia mereka. Lumayan seru dan cukup lama mereka ngobrol, Sandi memanggil tukang mie yang lewat, lalu mereka makan. HP Sandi bunyi, Sandi melihat peneleponnya, lalu mulai bercakap. Ternyata mengabarkan, siang ini orang tersebut tak bisa bertemu Sandi. Batal deh. Sandi mengakhiri percakapan. Kembali bicara sama Tommy.

’Wah, sorry nih bro, loe dengar kan barusan, batal deh kita pergi.”

”Ya sudahlah, nggak masalah.”

”Gini saja, karena gue sudah bawa boil, kita jalan saja yuk, gimana?”

”Ah, malas deh, San. Loe sendiri saja. Gue mau tidur.”

”Ya sudah kalau begitu. Gue cabut dulu ya, ke tempat si Susi, biasa. Hehehe.”


”Dasar loe ngeres.”

Susi itu pacarnya Sandi. Tommy bukannya malas jalan sama Sandi, tapi tadinya dia setuju nemani Sandi ke Bogor karena buat ganti suasana saja. Enak, udaranya sejuk. Kalau akhirnya batal dan cuma muter-muter di Jakarta juga, dia malas, mendingan di rumah, tidur. Akhirnya Sandi pulang. Tommy merapikan gelas dan asbak. Dia bermalasan. Pikirnya, enakan juga tidur, lebih baik HP juga di silent saja ah. Tommy lalu mengunci pintu dan mencabut kuncinya, mamanya punya kunci sendiri. Dia lalu ke kamarnya, kamarnya terletak berhadapan dangan ruang tamu, dibukanya pintu kamar lalu ia menutup pintunya, tapi tidak sampai rapat benar, biar nanti bisa dengar kalau ada orang. Lampu sengaja ia tidak nyalakan. Kamarnya jadi gelap walau hari masih jam 12 lewat. Tommy mulai merebahkan tubuhnya dan tidur.

***


Tommy membuka matanya perlahan, masih agak mengantuk, ia melihat HP-nya, jam 3 lewat. Tadi ia terbangun karena sepertinya ia mendengar suara-suara. Ditajamkannya telinganya, sepertinya mamanya sudah pulang. Tommy diam sejenak, biasa bermalasan sebentar kalau baru bangun tidur. Kondisinya sudah segar, ngantuknya sudah hilang. Baru saja ia memutuskan untuk turun dan menyapa mamanya. Paling mama akan bertanya kenapa ia tak jadi pergi. Tiba-tiba ada suara HP berbunyi, kaget Tommy. Lupa HP nya sendiri tadi ia silent. Itu HP mamanya yang berbunyi, ia lalu mendengarkan suara mamanya. Tentu hanya suara mamanya saja yang ia dengar, suara lawan bicaranya tidak bisa ia dengar.

”Iya, tadi aku baru pergi sama si Reni, dia minta temani beli baju buat anaknya.”


”...”

”Betul, katanya sih bagus. Kebetulan tadi di mall sekalian aku beli DVD-nya, sekarang aku mau praktekkan, mumpung juga rumah lagi sepi.”

”...”

”Iya, aku dengar sih juga begitu, kabarnya gerakannya bagus buat kesehatan perut, juga punggung, nanti deh kalau memang jeng Tuti mau, aku bikin copynya.”

Oh rupanya mama tadi pergi sama temannya, Tante Reni. Dari yang Tommy dengar juga, mamanya sedang asik bercakap di telepon dengan Tante Tuti, temannya dekat sini. Yang juga suka senam. Sepertinya membahas kaset DVD senam. Mamanya memang rajin merawat tubuhnya, menjaga makannya, olahraga dan senam. Kadang mama suka senam di sanggar senam dekat sini, kadang di rumah saja. Sepertinya mama baru membeli kaset DVD senam baru. Hal yang biasa, untuk praktek senamnya. Tommy jadi mengurungkan niatnya untuk keluar kamar.

Sejujurnya Tommy di usianya yang sekarang ini, bukanlah remaja yang lugu lagi, tentu saja di usianya ia sudah mengenal dan belajar banyak tentang wanita dan juga seks. Medianya banyak, lewat teman, majalah, film juga internet. Bahkan juga ia sudah sering melakukan hubungan seks dengan Yeni, pacarnya. Namun tetap saja ia mengagumi mamanya. Mamanya seringkali menjadi khayalannya. Ia sangat suka dengan mamanya yang di usianya yang ke 37 masih terlihat cantik dan juga memiliki tubuh yang menarik. Namun sejauh ini mamanya hanya menjadi khayalannya saja, tak pernah ia melihat tubuh mamanya secara langsung. Walau mamanya rajin senam di rumah, jangan harap Tommy melihatnya dengan baju senam mini atau seksi, mamanya hanya memakai kaos dan celana pendek saja. Ya, tak apalah, toh tetap saja menarik dilihat. Kali saja ada gerakan yang seru. Lagipula mama juga mengira ia sedang tak di rumah.

Tommy lalu mendekat ke dekat pintu kamarnya yang menyisakan celah sedikit, karena ia tak menutupnya rapat. Sempat ia khawatir mamanya akan melihat pintunya yang tak rapat, lalu merapatkannya. Ruang tamu itu masih kosong. Didengarnya suara dari kamar mamanya, memang di kamar mamanya juga ada TV dan DVD, namun mamanya lebih suka senam di sini, lebih luas dan sejuk. Tak lama dilihatnya mamanya, memakai kaos agak ketat dan celana pendek, sedang menggelar matras kecil yang biasa ia pakai. Setelah itu mamanya kembali ke kamarnya, kembali lagi membawa benda di tangannya, Tommy tak melihatnya secara jelas, ada beberapa kotak film, juga benda berwarna merah jambu, mamanya menaruhnya di sofa, Tommy tak melihat terhalang pinggiran sofa.

Mamanya mendekat ke arah TV, menyalakan TV dan DVD, tak melihat sama sekali ke pintu kamar Tommy. Tak lama terdengar suara TV, agak keras. Tommy mengintip dan melihat mamanya mulai melakukan senam mengikuti gerakan di TV. Dilihatnya sesekali tetek mamanya di balik kaos bergoyang saat mamanya bergerak, pahanya juga putih dan mulus. Walau mamanya memakai kaos yang agak ketat saja, namun Tommy dapat melihat lekuk tubuh mamanya yang seksi dan menarik. Teteknya terlihat besar saja. Saat gerakan berbaring, mamanya mengangkat dan meregangkan kakinya, Tommy jadi berfantasi, membayangkan seperti apakah keindahan di baliknya. Kontolnya rada mengeras. Peluh mulai mengaliri wajah dan tubuh mamanya. Hampir sejam ia sudah melakukan senam.


Tommy sebenarnya sudah memutuskan mengakhiri mengintip, dan mau kembali berbaring di tempat tidur, ketika ia mendengar mamanya bergumam sendirian. ”Duh, gerah banget. Sekalian mandi deh habis ini.”

Sebenarnya tak ada yang istimewa dari ucapan itu. Yang luar biasa dan membuat mata Tommy nyaris melotot adalah sesudah kelar bergumam, mamanya membuka kaosnya dan celana pendeknya, Wow! mamanya hanya mengenakan CD putih saja. Tommy melihat tetek mamanya, besarnya... dihiasi pentil yang menawan. Jantung Tommy berdetak kencang, kontolnya kini berubah, dari yang agak-agak ngaceng saja, sekarang mengeras sepenuhnya. Tentu saja Tommy tak jadi mengakhiri kegiatan ngintipnya, sekarang lagi seru banget situasinya.


Mamanya nampak sedang melakukan gerakan pendinginan. Ya ampun, ketek mamanya ternyata lebat, Tommy sedikit mengernyit, setahunya saat mamanya memakai baju atau kaos yang berlengan pendek, dan ia mengangkat lengannya, biasanya keteknya bersih, tapi itu bukan masalah saat ini. Tommy menyaksikan tetek besar mamanya bergoyang-goyang, perlahan Tommy memelorotkan celananya, mulai asik mengocok kontolnya. Dilihatnya CD mamanya, tampak tebal sekali. Gila! jadi beginilah tubuh mamaku, lebih seksi dari Yeni, pacarnya. Tommy tiba-tiba berpikir, sayang banget melewatkan kesempatan langka ini, belum tentu aku seberuntung dan mendapatkan kesempatan langka ini lagi, harus kuabadikan.


Perlahan ia melangkah mengambil HP-nya, ia segera mengaktifkan mode kamera. Tapi nanti bisa ketahuan dong pantulan cahaya di layarnya. Gampang, tutupi tangan saja. Lalu ia kembali ke tempatnya mengintip tadi. Dengan satu tangan diarahkannya lensa kamera HP-nya, sembari menutupi layarnya. Satu tangannya asik mengocok kontolnya. Mamanya masih melakukan senam pendinginan. Untung, pikir Tommy, kepikiran merekam, karena sebentar kemudian mamanya nampak melemaskan tubuhnya sambil menghembuskan nafas, tanda mengakhiri senamnya. Sedikit kecewa Tommy jadinya. Ia menurunkan HP-nya. Matanya melihat mamanya mendekat ke TV, Tommy lalu agak menjauh, namun ia masih melihat mamanya mengeluarkan kaset senamnya. Setelah mamanya menjauh dari TV, Tommy kembali mengintip, dia tak mau melewatkan moment yang akan segera berakhir ini.

Tadinya Tommy berpikir mamanya akan segera melipat matrasnya seperti biasa kalau ia sudah kelar senam. Tapi kok mama malah mengambil bantal sofa, meletakkannya di matras, lalu astaga mama malah berbaring di atas matras itu. Bantal sofa dijadikan bantal untuk kepalanya. Hanya ber CD saja. Nampaknya kembali menyaksikan TV. Tommy baru sadar TV belum dimatikan, hanya suaranya kecil. Tadinya Tommy tidak terlalu mendengar, namun setelah ia coba mempertegas pendengarannya, sepertinya film barat, dari suara percakapannya. Mamanya dilihatnya asik menonton TV. Tommy tak peduli lagi dengan acara TV itu, matanya fokus menjelajahi tubuh mamanya. Nampak pentil yang mencuat dan menantang. Perlahan sambil mengocok kontolnya, ia merekam kembali dengan HP-nya.

Lama kelamaan Tommy mulai merasa aneh, dilihatnya mamanya mulai gelisah, sesekali tangannya nampak membelai CD putihnya, mula-mula jarang, lalu mulai membelai dan mengelus-ngelus CD-nya. Telinga Tommy mulai menangkap suara desahan dari TV, walau kecil namun terdengar. Astaga! mamanya sedang nonton film bokep. Tak lama tangan mamanya mulai menyusup ke balik CD-nya. Asik memainkan isi di dalamnya. Tommy terpaku memandangnya. Kontolnya keras sekali sudah. Hal berikutnya sangat mengejutkan Tommy, terlalu indah rasanya hari ini, membayangkannya saja rasanya tak mungkin. Seakan tak puas terhalang CD-nya, mama lalu memelorotkan CD-nya. Gila! lebat banget jembut mama, tebal dan hitam. Belahan memeknya nampak agak mekar karena tadi mama memainkannya. Tommy makin berdebar, kocokannya makin cepat. Sementara di ruang tamu, keadaannya juga sama.

Mama mulai memainkan jarinya, membelai belahan memeknya, naik-turun, belahan memek itu lalu nampak makin memekar, dan menampakkan lobangnya yang kemerahan. Mama mulai memainkan jarinya di atas itilnya, membelai dan memilin-milinnya, sesekali terdengar suara desahan mamanya. Sesekali jarinya menusuk dan memainkan lobang memeknya,Tommy benar-benar terangsang menyaksikan adegan yang tak pernah ia bayangkan ini. Ia masih asik merekam, juga tetap mengocok kontolnya. Kocokannya makin cepat, cepat, dan croot, croot, croot, pejunya muncrat membasahi pintu kamar. Namun Tommy tak peduli, kontolnya masih keras, dan pemandangan di luar juga masih berlanjut. Ia tetap mengocok kontolnya.


Di luar sana, mama nampak makin asik memainkan memeknya dengan jarinya, memainkan itil dan lobangnya, sesekali pantatya agak terangkat, desahannya juga terdengar enak sekali. Tak lama berselang, Tommy melihat mamanya makin cepat memainkan jarinya, desahannya juga agak meningkat, dan diiringi desahan yang kuat dan pantat terangkat, Tommy menyaksikan mamanya orgasme, nampak mamanya terdiam lemas.

Namun Dewa keberuntungan sedang suka sekali sama Tommy hari ini. Belum berakhir keberuntungan Tommy hari ini, setelah terdiam sebentar, dan Tommy hanya mendengar suara desahan dari TV saja, mamanya mulai bergerak, agak menaikkan badannya, tangannya nampak menggapai sesuatu, mata Tommy terhalang pegangan sofa, tangan mamanya meraih benda itu, merah jambu cerah. Astaga! itu... itu kan dildo! Kontol imitasi! Mau apa mamanya?


Belum kelar kebingungan Tommy, mamanya mulai beraksi kembali. Tangannya mulai memainkan Dildo itu, mengeluskan ujungnya ke memeknya yang sudah basah dan melebar. Memek itu nampak kemerahan sekali, terlihat jelas bagian dalamnya. Tommy meneguk ludahnya. Puas mengelus-ngelus, mamanya lalu mulai memasukkan kontol imitasi itu ke lobang memeknya, tanganya asik mengeluar masukkan mainan itu, sementara sesekali satu tangannya asik meremas tetek besarnya, memilin pentilnya.


Terdengar desahan mamanya, sangat merangsang, membuat kocokan Tommy pada kontolnya makin cepat saja. Sesekali dilihatnya mamanya memencet tombol di ujung mainan itu, membuat mainan itu bergetar, menggelitik memeknya dan membuatnya mendesah kembali. Gila! pikir Tommy, tak kusangka mama ternyata suka seperti ini. Lena, masih asik memainkan dildo tersebut, mengocokkannya dengan cepat sambil memainkan tombolnya, pantatnya sedikit terangkat sesekali, dan akhirnya ia kembali orgasme, lemas, terkulai, puas, setidaknya saat ini. Tommy juga baru saja ngecret untuk yang kedua kalinya, matanya masih memelototi mamanya yang terbaring lemas setelah orgasme tadi.

Tak lama mamanya, Lena, mulai bangkit, menuju TV, Tommy segera menjauh dari pintu, HP-nya ia turunkan, nampak mamanya mematikan TV dan DVD, membereskan kaset, lalu dilihatnya mamanya merapikan bantal sofa dan matras, tak lama ia mendengar mama membuka pintu kamarnya, mandi, kamar mandi mamanya ada di dalam kamarnya. Tommy masih di kamarnya yang gelap, masih belum sepenuhnya tersadar, sungguh, hal yang baru dilihatnya hari ini sangat-sangat menakjubkan, tak pernah ia bayangkan, bahkan dalam mimpinya yang paling liar sekalipun. Satu hal yang pasti, mamanya pasti mengira rumah benar-benar kosong saat ini.


Dibukanya hasil rekaman HP-nya, sangat bersyukur dapat merekam semuanya, nyaris tak terekam semua, karena dari sisa memorinya sangat minim saat ini. Hanya sekilas ia melihat, lalu mematikannya. Buru-buru ia mencari kaos yang kotor, melap sisa pejunya di pintu kamar dan ubin. Lalu ia memakai celana panjangnya dan kaos, pelan-pelan keluar kamar. Motor tak bisa dibawa. Mamanya mengira ia sedang pergi sama Sandi, maka sebaiknya sekarang ia keluar. Pulangnya nanti agak malam, biar mama tak curiga. Dibukanya pintu rumah perlahan, lalu ia kunci kembali dari luar. Di luar ia berjalan menuju pangkalan ojek, minta antar ke jalan raya di depan. Naik Bus ke kostnya Yeni. Ia benar-benar butuh pelampiasan yang sepadan untuk hari ini. Dan apalagi yang pas kalau bukan Yeni, pacarnya.


***


Sudah dua bulan berlalu sejak saat itu, Tommy telah memindahkan hasil rekaman yang menakjubkan itu ke laptopnya, menyimpannya dalam folder terproteksi. Menghapus rekaman yang di HP. Bukan apa-apa, HP-nya suka dipakai sama Yeni, kadang Sandi suka pinjam, kalau lagi habis pulsa atau mau main game, lebih baik wapada. Sedang dia sendiri, makin terobsesi saja sama mamanya, bila dulu hanya berkhayal atau berfantasi saja membayangkan bagaimana tubuh mamanya, kini ia bisa melihat rekaman tubuh mamanya bahkan saat mamanya sedang bermartubasi.


Sungguh sangat-sangat membuatnya terobsesi, namun tak bisa lebih dari itu, tahu hal itu mustahil dan sulit. Mau nekad? Tommy tak berani. Maka rekaman itu menjadi sarana pelampiasannya saat ber-onani ria. Namun dalam keseharian, Tommy makin sering memperhatikan mamanya, mencuri pandang ke arah teteknya, pantatnya. Terkadang Lena memang menangkap basah mata Tommy sedang menatap ke arah teteknya, dan Tommy buru-buru mengalihkan pandangannya ke arah lain, namun ia tak terlalu menaruh curiga, mungkin kebetulan saja Tommy sedang memandang ke arah situ.

***


Sudah malam saat ini. Doni sedang duduk di ruang tamu, merokok sambil melamun. Baru saja ia membuat kopi untuk menemaninya duduk merokok. Istrinya Lena dan anaknya Tommy sudah tidur. Doni menghembuskan asap rokoknya, pikirannya mengembara. 4 tahun yang berat, berat sekali. Dirinya bersyukur bisa selamat dari kecelakaan maut itu. Butuh waktu lama untuk pulih, namun akhirnya ia pulih, mampu berjalan kembali. Kembali sehat dan juga didukung anak dan istrinya. Bisnisnya juga lancar dan makin maju. Namun jauh di dasar hatinya, Doni tersiksa, bukan hanya untuk dirinya, tapi juga untuk Lena, istrinya.


Sebagai suami, Doni memang sudah melakukan segalanya, bahkan sangat berlebihan. Lena diberinya nafkah lebih dari cukup, sangat besar bahkan. Namun, hanya nafkah materi saja. Tugasnya yang lain terbengkalai atau lebih tepatnya tak mampu ia lakukan. Ya, kecelakaan maut itu ternyata juga ikut mempengaruhi kejantanannya. Kata dokter, saat pinggang dan kakinya tergencet saat kecelakaan dulu, ada beberapa saraf dan urat yang berhubungan pada alat vitalnya yang ikut tergencet dan terputus.


Awalnya memang ia tak menyadari, di awal penyembuhannya, tentu saja ia dan istrinya konsentrasi pada penyembuhan dan pemulihan fisik, tak kepikiran sedikitpun buat melakukan hubungan seks. Setelah melewati itu dan kondisinya membaik, juga karena lumayan lama tak berhubungan, maka ia kembali ingin menyetubuhi istrinya, ternyata kontolnya tak mampu berdiri. Mungkin hanya efek sementara, pikir ia dan istrinya. Berikutnya ternyata sama saja, lalu berikutnya lagi sama juga, maka ia mulai memeriksakan diri, hasilnya ternyata memang ada gangguan pada alatnya dan itu... permanen.


Tak menyerah, ia mencoba berbagai macam cara, tradisional, modern, meminum ramuan tradisional, dalam dan luar negeri. Hasilnya : nihil. Tetap tak mampu. Segala macam kesuksesan seakan tak berarti saat ia menyadari kini ia impotent. Butuh waktu sebelum akhirnya ia menerima dengan pasrah keadaan ini.

Lalu Lena? Sungguh, sangat beruntung ia memilikinya sebagai istri. Sangat pengertian dan amat membantunya. Saat kecelakaan itu, juga saat mengetahui ia sebagai suami tak mampu lagi memuaskan dirinya. Di usianya saat itu, gairah Lena sebagai seorang wanita sedang tinggi, saat ini pun juga, namun ia bisa menerima. Masih ia ingat kehidupan seks mereka sebelum musibah ini terjadi, betapa bergairahnya dan juga menyenangkannya Lena. Memang suatu waktu setelah hal ini, Lena pernah berbicara padanya, meminta ia membeli alat, Dildo, karena Lena malu untuk membelinya sendiri.


Kata Lena saat itu, yang mengatakannya dengan nada amat menyesal, takut melukai hati Doni sebagai suami, ”Maafkan aku, sungguh aku tak mempermasalahkan keadaanmu, tapi sebagai istri terkadamg keinginan itu datang, jadi tolong mengerti, aku butuh itu saja, saat ini hanya itu yang terbaik, aku bisa memenuhi hasratku dengan alat itu, tolong jangan kau marah.”


Marah? Tentu saja tidak. Doni mengerti dan maklum, sekaligus merasa malu atas ketidakmampuannya. Lena sebagai wanita mempunyai hasrat dan memilih menyalurkannya dengan alat bantu. Lena sebagai istri memiliki hasrat dan memilih tidak mengkhianatinya dengan mencari lelaki lain. Sungguh, Doni mengagumi ketabahan dan penerimaannya. Dia tahu betapa menderitanya wanita itu. Dan malam ini, saat ia mengira dirinya tertidur, Doni bisa mengetahui Lena sedang bermartubasi, hatinya sedih dan pedih atas penderitaannya dan juga ketidakmampuannya. Lalu saat istrinya tertidur sekarang ini, Doni keluar dan di sinilah dia, merokok, merenung dan berpikir.


Ada suatu ide. Ide gila atau tidak entahlah, sudah agak lama bermain di pikirannya. Tapi hari ini dia sudah bulatkan hati, Doni akan mengatakannya pada Lena, sudah terlalu lama wanita itu berkorban dan menderita, kini ia harus membalas semua itu. Donipun menghabiskan kopi dan rokoknya, lalu menuju kamar, senyum puas tersungging di bibirnya. Ya, ia bahagia dapat memutuskan hal ini dengan mantap.


***


Jam masih menunjukkan jam 10 lewat. Lena duduk di sofa. Rumah kosong, Tommy sedari pagi sudah pergi kuliah. Suaminya, baru saja ke kantor bersama supir. Matanya nanar menerawang, pikirannya dipenuhi berbagai macam hal, masih memikirkan pembicaraan suaminya tadi sebelum berangkat ke kantor. Pembicaraan di kamar mereka, pembicaraan yang sungguh gila baginya. Ia seperti masih bisa mengingat satu persatu percakapan itu.

”Len, ada yang mau aku bicarakan.” kata sang suami.

”Ada apa, mas Doni?” tanya Lena.

”Len, kamu tahu kondisiku kan?”

”Kondisi apa, mas? Kalau kondisi mas yang itu, lebih baik nggak usah dibahas deh.”

”Memang yang itu, dan harus aku bahas. Sekarang kamu dengarkan, mungkin kamu akan berpikir aku gila, tapi kamu dengarkan saja, nanti mungkin bisa kamu pertimbangkan.”

Lena mulai duduk dengan agak serius. Sekian lama menikah dengan lelaki yang ia cintai ini telah membuatnya mengetahui kalau suaminya sedang serius, berarti memang ada hal penting.

”Ngg, kamu puas hanya dengan alat itu saja buat memenuhi... ngg, kebutuhanmu?”

”Duh, mas ini ada-ada saja deh pertanyaannya.”

”Jawab saja, Len. Jujur, tak usah kau pikirkan perasaanku.”

”Hmm, gimana ya, antara ya dan tidak mas. Tapi, mas, yakinlah aku nggak mempermasalahkan itu, aku tetap bisa menerima keadaanmu ini.”

”Ya-ya, aku tahu itu, dan aku bersyukur dengan pengertianmu. Terus kenapa kamu menjawab antara ya dan tidak tadi, Len?”

”Ya, mas. Maaf ya, sekian lama kita menikah, dan melewati hubungan dengan hubungan seks yang menyenangkan, tentu saja meninggalkan kesan. Sepuasnya memakai alat, tetap ada yang kurang mas. Alat tetaplah alat, tidak ada ’jiwa’ atau kesan yang tertinggal. Tak ada perasaan yang tercurah, murni hanya alat pemuas, tanpa ikatan atau melibatkan emosi.”

”Begitu ya, aku paham.”

Lalu Lena melihat suaminya agak merubah duduknya di ranjang, nampak agak berhati-hati ketika bicara. ”Len, kamu nggak kepikiran buat cari lelaki lain buat memenuhi hasrat kamu itu?”

”ASTAGA, MAS, APA-APAAN ITU?! Mas, apa mas menuduh aku macam-macam sementara mas di kantor? Gila, aku tak serendah itu, mas. Nggak mungkin aku melakukan hal itu.”

”Tenang, tenang dulu, yang. Jangan marah. Aku sudah menduga jawabanmu itu.”

”La-lalu kenapa mas menanyakan hal ini? Sebenarnya juga, apa tujuan semua pertanyaan mas kali ini. Sungguh membingungkan!” Lena menatap suaminya, emosinya sudah mereda. Dilihatnya Doni, menatapnya sejenak, bimbang, lalu suaminya kembali berbicara, suatu hal yang sangat gila yang pernah didengarnya.

”Len, sungguh aku berterimakasih dengan semua pengertian dan pengorbananmu. Dan sungguh, aku tahu kalau kau mau, kau bisa mencari lelaki lain diluar sana... eits, dengar saja dulu omonganku, jangan marah dulu. Dan sejujurnya, aku tak akan pernah bisa menerima atau membayangkan sedikitpun kau melakukan hal ini dengan lelaki lain, sungguh.”

”Mas, kok makin aneh, muter-muter terus nggak jelas arahnya.”

”Sabar, aku sungguh-sungguh paham akan kondisimu yang masih mempunyai gairah, yang tragisnya tak mampu kupenuhi. Setelah lama berpikir, aku merasa aku juga harus mengerti hasratmu, dan juga harus membalas pengertianmu. Kau butuh sesuatu yang NYATA, bukan hanya mainan itu saja untuk memuaskan hasratmu. Tapi aku tak bisa menerima kalau kau melakukannya dengan lelaki lain. Hanya satu saja yang bisa aku terima, aku rela, aku ijinkan. Singkatnya, aku kasih lampu hijau.”

”Ma-maksud mas apa, makin bingung saja aku.”

”Len, kalau kamu mau, silahkan kamu melakukan hubungan dengan... dengan... Tommy.”

”APA?! MAS! MAS SADAR ATAU TIDAK SIH?! MAS SUDAH GILA YA?! OMONGAN MACAM APA INI? DENGAN ANAK KITA KAU SURUH AKU?!! AH, GILA!!!”

”Len, Len, sabar, dengar dulu. Tolong dengarkan. Aku ulangi lagi, aku sudah memikirkan hal ini, memutuskannya secara mantap. Dan benar aku mengijinkan. Gila atau tidak, masuk akal atau tidak, bukanlah masalahnya. Aku paham kebutuhanmu, dan aku rela danmemang bagiku lebih baik begitu, lebih bisa menerima kalau kamu melakukannya dengan Tommy, bukan dengan lelaki lain yang aku tak kenal. Kalau dengan Tommy, aku sangat-sangat serius mengijinkanmu. Tapi ingat, hanya dengan Tommy.”

”Mas, entah apa yang sedang mas pikirkan, tapi aku tak mau dengar lagi, akhiri saja pembicaraan ini. Bagiku pembicaraan ini aku anggap tak pernah ada. Permisi, aku ke dapur dulu.”

”Ya sudah, aku berangkat ke kantor. Ingat, aku serius. Kalau kau sudah bisa tenang, tolong pikirkan.”

Lena kembali tersadar dari lamunan pikirannya, menghela nafas sejenak. Ia memejamkan matanya berpikir. Sungguh ia amat mengagumi, mencintai dan menyayangi suaminya sepenuh hati. Terlebih setelah peristiwa maut itu, ia amat bersyukur suaminya mampu selamat. Lalu memang mereka mendapatkan kenyataan pahit, suaminya impotent. Namun Lena bisa menerima dan mengerti. Bukan mau mereka seperti ini, tapi keadaan yang menyebabkan ini.


Diakuinya, sebagai wanita, hasratnya sangat tinggi di usianya saat ini. Dulu suaminya bisa memenuhinya, walau tak sepenuhnya, tapi ia puas dan bahagia. Kadang saat ia sedang jalan sama beberapa temannya, beberapa adalah istri-istri yang berkecukupan, tak ada kesibukan lagi, suami kerja terus, anak sudah besar dan mandiri, Lena sering mendengar gosipan mereka, yang tanpa malu saling bertukar pengalaman menceritakan aktifitas mereka dengan berondong muda. Bahkan menggodanya untuk mencoba. Lena hanya tersenyum saja tak menanggapi. Baginya konsep memeknya dimasuki sama lelaki muda yang tak ia kenal adalah suatu konsep yang tak masuk akal dan memuakkan.


Mengenai kondisi suaminya, hal iu hanya menjadi rahasia mereka, tak ada yang tahu. Gairahnya tinggi dan seringkali muncul, namun dengan menonton film bokep, bermartubasi, dan juga dengan agak malu ia minta suaminya yang membelikan alat mainan itu, karena ia malu membelinya sendiri, ia sedikit banyak bisa meredam hasratnya. Sungguh ia bisa menerima dan sudah terbiasa dengan kondisi ini. Sampai tadi suaminya mengejutkannya dengan ide paling gila yang pernah ia dengar.

Tommy, anaknya, sebagai remaja 18 tahun, memang Tommy mempunyai daya tarik, tinggi, athletis, juga berwajah ganteng. Lena bangga dengan anaknya. Terkadang kalau mereka sekeluarga sedang jalan keluar, entah makan, atau berbelanja ke mall, sering Lena memperhatikan beberapa anak gadis atau wanita muda melirik sejenak menatap anaknya. Sebagai ibu tentu saja ia bangga. Tapi tak pernah terpikir atau membayangkan hal gila seperti kata suaminya.


Memang belakangan ia sering mendapati Tommy menatap dengan serius dan aneh ke arahnya, memandang teteknya, pantatnya, namun bukan hal yang berlebihan, khas hormon remaja seumuran dia pikir Lena. Sungguh Lena berterimakasih suaminya mau memahami kebutuhannya, tapi Lena memang tak pernah tergoda atau berpikir untuk selingkuh atau mencari kepuasan di luar dengan lelaki lain. Apalagi dengan Tommy. Mustahil. Baginya perkawinannya dilandasi cinta, senang atau susah, harus dijalani dan diterima.


***


Hampir sebulan berlalu, suaminya beberapa kali lagi mengulang ide gilanya itu, juga Lena kembali menolak ide gila itu. Namun kala sendiri, sedikit banyak Lena jadi sering melamun berpikir. Ia bisa melihat kepedulian suaminya, juga mulai bisa menerima konsep gila suaminya. Ia dan suaminya sama-sama tak akan bisa menerima lelaki lain, tapi suaminya bisa menerima dan merestui kalau itu Tommy. Sedikit demi sedikit ia mulai memikirkan Tommy. Tommy sendiri makin sering menatapnya, terkadang suka bermanja, kadang sebelum pergi kuliah Tommy suka memeluknya, tapi terlalu berlebihan, terlalu erat. Juga omongannya mulai suka nyerempet-nyerempet. Lena sering mendapati dirinya mulai membayangkan anaknya, dan dia mulai menyukai hal ini, mulai merasakan gairah dan sering mendapatkan rasa basah di memeknya.

Lena menunggu suaminya berangkat kantor, setelah suaminya rapi berpakaian, ia duduk di tempat tidur, memandang ragu suaminya. Suaminya melihatnya, paham istrinya mau berbicara, Doni duduk siap mendengar, sekian tahun usia perkawinan telah melatih mereka untuk mengerti kalau pasangannya mau membicarakan sesuatu.


Lena mulai berbicara, ”Mas, te-tentang hal itu, kamu serius kan?”

”Astaga, Len, berapa kali aku sudah katakan, aku serius. Tak ada lelaki lain yang lebih baik dan aku rela sepenuh hati selain Tommy, anak kita. Kenapa kamu tanyakan, kamu setuju atau sudah melakukannya?”

”Be-belum, hanya menanyakan keseriusan mas dulu.”

”Lakukanlah, Len, aku rela, kalau kamu bisa menerima dan berkorban dengan kondisiku, maka aku juga tak boleh egois, lakukanlah, aku rela.”

Lena memeluk suaminya, erat, mereka berpelukan lama, saling diam, tak ada kata.

***


Siang itu Tommy pulang kuliah, setelah memarkir motornya, Tommy masuk ke dalam, melihat meja makan. Wah mantap nih, pikirnya. Tommy segera mengambil piring, makan dulu, lapar berat. Mana mama.? Nggak mungkin pergi, pintu rumah nggak dikunci. Tak lama mamanya keluar dari kamarnya, biasa saja, hanya berdaster rumahan.

”Sudah lama pulangnya, Tom?”

”Baru saja, lapar berat, mama habis tidur? Sudah makan?”

”Iya, baru bangun. Tadi sudah makan.”

”Tom, kalau sudah makan, kamu mau istirahat, istirahat dulu, nanti sore ada yang mau mama bicarakan, ketuk saja kamar mama nanti ya, sekarang mama mau ke kamar dulu, nonton TV.”

”Apaan sih, ma, sekarang saja ngomongnya.”

”Sudah, kamu selesaikan makanmu, istirahat dulu, itu bisa menunggu nanti. Jangan lupa kunci pintu sebelum kamu istirahat.”

Mama lalu kembali ke kamarnya, Tommy melanjutkan makannya, sedikit bertanya, kira-kira mamanya mau ngomong apa ya, kok harus menunggu nanti. Tommy kembali berpikir, kali saja ada kesalahan yang ia lakukan belakangan ini. Karena merasa tak ada, Tommy pun berhenti memikirkannya, nanti sore juga tahu. Ia membereskan piring, ganti baju, lalu membersihkan diri di kamar mandi, setelah mengunci pintu, ia pun ke kamarnya beristirahat.

Di kamarnya, Lena mengunci pintu, tidak menyalakan TV, ia kembali berpikir, sudah seminggu semenjak ia mengatakan kemungkinan ia akan mencobanya, namun tetap saja hatinya tak mantap. Tapi desakan kebutuhan biologisnya juga makin menderanya, terlebih belakangan dengan membayangkan kemungkinan yang diajukan suaminya, sedikit banyaknya telah menggetarkan simpul-simpul erotis pada dirinya. Lalu ia berdiri menuju cermin, ia berkaca pada cermin, menatap bayangan tubuhnya.


Ditanggalkannya dasternya, memandang tubuhnya yang hanya ber CD saja. Masih menarikkah dia bagi anak remaja berusia 18an itu. Teteknya nampak besar menggantung, masih kencang dan tinggi, sangat ia banggakan. Ia menaikkan tangannya, nampak bulu keteknya, dahulu ia rajin merawat dan membersihkannya, suaminya tak pernah mengatakan apakah ia suka Lena bersih atau berketek. Kalau baru tumbuh dan belum terlalu banyak ia agal malas mencabutnya, dan suaminya tak komplain. Setelah suaminya mengalami musibah itu, Lena jadi malas mencabuti bulu keteknya saat mulai tumbuh, lagipula akhirnya ia merasa lebih seksi dengan membiarkannya tumbuh. Lalu ia memandang perutnya, masih rata, tak ada lemak yang berarti. Ia melihat CD nya, nampak tebal.


Ia masih bercermin beberapa lama, lalu memakai kembali dasternya, kembali duduk di tempat tidur. Walau suaminya sendiri yang mengusulkan, ia masih saja ragu, merasa seperti mengkhianatinya. Sejenak Lena terhenyak, astaga! nanti ia malah menyuruh Tommy kemari. Tak bisa. Kalaupun akhirnya hal itu terjadi, jangan di ranjang ini, ia tak mau, ia menghormati suaminya. Tidak di tempat tidur ini, tempat tidur ini adalah kenangan baginya dan suaminya. Lena melirik jam, Jam 3 lewat, ia berdiri menuju kamar mandinya, mandi.

Lena baru saja keluar kamarnya, ternyata Tommy baru saja mandi dan keluar kamarnya, mau ke kamarnya. Lena segera berucap. ”Tom, setelah mama pikir, mama bicaranya di kamar kamu saja.”

Masih bertanya-tanya dalam hati, Tommy segera masuk ke kamarnya, Lena menyusul dan menutup pintu. Tommy duduk di tempat tidurnya, Lena duduk di dekatnya. Sekarang Lena nampak bingung, bagaimanapun walau ia sudah memantapkan hati, tetap saja ia grogi juga. Tommy yang akhirnya mulai berbicara. ”Ma, mau ngomong apa sih? Memang Tommy ada buat salah ya belakangan ini yang Tommy nggak sadari?”

”A-apa, Tom? Oh, ng-nggak. Bukan, bukan itu. Baiklah, kamu dengarkan dulu ya, mama mau mulai ngomongin masalah mama.”

”Oke deh, Tommy juga penasaran.”

”Nah, Tom, kamu tahu kan 4 tahun lalu papamu mengalami kecelakaan...”

”Ini berhubungan sama papa ya, ma? Kenapa, kenapa papa, ma?”

”Sudah, kamu dengar dulu dong.” Lena mengambil nafas sejenak. Ia lalu menerangkan kondisi papanya pada Tommy. Tommy nampak terkejut dan terpukul. Sedih hatinyamengetahui kondisi papanya. Mamanya berpesan agar cukup mereka saja yang tahu kondisi ini. Tommy mengangguk. Diam merenungi papanya. Lena memandang Tommy sejenak, Lena nampak bimbang, namun akhirnya ia berbicara kembali.

”Eh, Tom, ada lagi yang mama mau katakan...”

”Ngomong saja, ma. Tommy dengarkan.”

”Eh, karena kondisi papamu itu, maka... maka... eh...”

”Tenang, ma, pelan-pelan saja ngomongnya.”

”I-iya. Singkatnya, anu... kamu pasti tahu kan jadinya papamu tak bisa melakukan... eh, itu, ke mama.”

”Iyalah. Terus maksud mama apa, terus terang Tommy jadi bingung.”

”Eh, sebenarnya ini juga ide papamu, Tom...”

”Iya, ma, ide apa?”

Kalau ada hal yang bisa mengejutkannya di dunia, maka Tommy sangat yakin tak akan bisa menandingi kejutan yang akan didengarnya sebentar lagi. Sangat mengejutkan dan juga... menyenangkan.

”A-anu, Tom, 4 tahun ini mama nggak pernah... eh, kamu tahu... berhubungan seks.”

”Lalu maksud mama?”

”Ka-kamu bisa bantu mama nggak?”

”APA?! Ma-maksud mama bantuin... eh, bantuin mama dengan... eh, itu? Eh, begitu?”

”I-iya, Tom. Sungguh, ide ini awalnya justru dari papamu. Tapi kalau kamu keberatan juga tak apa.”

”KEBERATAN?! GILA! Nggaklah, mana mungkin. Eh, mama sendiri bagaimana?”


”Ju-jujur saja, Tom. Mama gugup.”

”Kalau memang mama tak siap, sudahlah jangan dipaksa.”

Tommy memang msih belum yakin dengan omongan mamanya, takut mamanya tak serius. Mamanya hanya diam sejenak, lalu menatap Tommy. Tommy melihat mamanya berdiri. Dan... dan... tangannya mulai melepaskan dasternya. Tommy terperangah menyaksikannya. Kini mamanya nampak berdiri, hanya mengenakan CD putih. Tommy meneguk ludah. Tubuh mamanya yang sudah sering ia lihat berulang di rekaman yang ia simpan di laptopnya, kini berdiri sangat dekat dengannya.


Selagi Tommy bengong sampai menganga mulutnya saking terpesona, Lena mulai berbicara. ”Lakukanlah, Tom, mama siap.”

Tommy menarik tangan mamanya lembut, mendudukkannya di sampingnya, dengan agak gemetar tangannya mulai memegang tetek besar mamanya. Sangat teramat nyaman dia rasakan di tangannya, besar, lembut, kenyal dan kencang. Perlahan ia mulai meremas lembut lalu seiring nafsunya yang makin meningkat remasannya makin kuat dan kencang, kini tangannya yang satu mulai meremas pula, merasakan pentil mamanya yang makin mengacung. Tak sabar ia segera menghisap dan memainkan pentil kecoklatan yang besar itu, ditarik-tariknya dengan perlahan. Lena sedikit mendesah, tangannya mulai membelai tonjolan di balik celana Tommy, agak terkejut merasakan bahwa tonjolan itu agak besar. Tommy masih asik melampiaskan impiannya pada tetek mamanya. Lena sedikit terkikik karena Tommy amat agresif sekali melumat teteknya.

”Tom, berdiri, buka baju kamu dong.”

Tanpa banyak bicara Tommy segera berdiri, membuka dengan cepat baju dan celananya, Lena menatap dengan sangat bergairah pada kontol Tommy. Besar dan panjang, melebihi perkiraannya. Perlahan ia julurkan tangannya, menggenggam kontol anaknya itu, dibelai dan dielusnya dengan penuh sayang, sesekali dikocoknya ringan. Satu tangannya memainkan dan meremas lembut biji peler Tommy. Lena menyuruh Tommy berbaring. Ia mulai menjilati kepala kontol Tommy dengan sangat erotis, menjilatinya dengan gerakan melingkar, menjilati lobang pipis anaknya.


Sedikit tergelitik untuk bertanya, Lena mendongak ke arah Tommy dan bertanya. ”Tom, kamu sudah pernah melakukan hubungan seks?”

”Ma, jangan marah ya? Tapi, ya, sudah pernah.”

Lena hanya menggelengkan kepalanya, kembali menekuni kegiatannya. Lidahnya mulai menelusuri batang kontol Tommy yang terasa sedikit asin dan gurih. Dia menjilati dengan gerakan yang erotis, menggelitik saraf-saraf kenikmatan anaknya. Tommy mendesah dengan sangat nikmat. Lidah Lena mulai menjilati biji Tommy, merasakan tonjolan besar di kantongnya. Sambil tetap menjilat, mulutnya bergerak naik ke atas kembali ke kepala kontol Tommy, mulutnya mulai membuka memasukkan kepala kontol itu sampai akhirnya batang kontol itu juga masuk ke mulutnya. Lena mulai mengulumnya, menghisap dan mengemutnya, penuh gairah, seakan menjilati es krim batangan saja. Diemutnya dengan kuat kepala kontol Tommy.


Sinting! ini terlalu luar biasa, Tommy membatin.

Akhirnya Lena menyudahi kegiatan menghisapnya. Tommy segera bangkit, sementara lena berbaring, lututnya menekuk dengan posisi kaki mengangkang. Tommy segera menurunkan celana dalam mamanya. Berhenti sejenak mengagumi pesona memek mamanya. Jembutnya, ampuuun! nafsuin banget. Belahannya, gila! melihat dari dekat begini memang jauh lebih nafsuin daripada melihat rekamannya. Apalagi kini ia bebas melakukan apapun semaunya.

Tommy mulai menunduk, membaui aroma harum dan merangsang dari memek itu. Tangannya dengan trampil membelai belahan memek mamanya itu. Perlahan belahan itu makin mekar menampakkan pesona yang jauh lebih indah di baliknya, merah mengundang. Tommy memakai jarinya, melebarkan jalan. Dengan rakus mulutnya menciumi permukaan memek Lena yang mulai basah. Lidahnya menjulur keluar, mulai menjilati lobang memek mamanya, menyodokinya. Lena mendesah dan sesekali menggoyangkan pantatnya. Segera Tommy mencari keasikan baru, mulai menjilati dan menggoyang itil mamanya, tonjolan daging itu pasrah saat lidahnya memainkannya dengan cepat dan penuh nafsu. Lobang memek mamanya segera ia sodok dengan jari tengahnya, memainkannya dengan penuh gairah. Tommy memainkannya dalam waktu lama.

”Tom, duhhh... shhh...” Lena merintih. ”Yes, ughh... ahhhh...” tubuh montoknya menggelinjang. ”Dikit lagi...!!!” jeritnya parau. Pantat mamanya agak terangkat, dengan badan yang mengejang, menyemburkan cairan kenikmatan saat orgasme. Tommy nyengir dan menghentikan kegiatan lidahnya. Bangkit segera menindih tubuh telanjang mempesona itu.

”Lakukan, Tom, seenak mungkin. Mama mau kamu keluar di dalam.” Lena mengijinkan Tommy keluar di dalam memeknya, ia tak memakai KB atau meminum obat. Selama ini juga tak kunjung hamil lagi. Menilik usianya, Lena amat sangat yakin kansnya sangat sangat kecil bisa hamil, makanya ia membiarkan Tommy keluar di dalam. Kalau ia menuntut mendapat kenikmatan, maka anaknya juga harus merasakan kenikmatan yang sebanding.

Walau belahan memeknya sudah mekar, tetap saja butuh 2 atau 3 kali usaha ketika... bless! kontol enak milik anaknya berhasil menerobos lubang memeknya. Tommy sedang menikmati sensasi yang ia rasakan saat menerobos memek mamanya. Sempit, karena lama tak dimasuki. Hangat dan nyaman juga. Tommy mulai bergerak, perlahan saja memompakan kontolnya, terasa lembut sekali saat kontolnya mulai keluar masuk, naik turun. Tommy mencari bibir mamanya, menciumnya dengan penuh birahi, yang dibalas Lena dengan birahi yang sama tingginya. Lidah mereka saling bertautan. Tangan Tommy meremas kuat tetek besar yang bergoyang itu.


Memek mamanya sungguh sempit dan masih terasa mencengkram, membuat Tommy merasakan nikmat yang maksimal. Segera saja ia memperkuat sodokannya, membuat Lena mendesah. Tommy dengan gemas mulai menciumi keteknya, menjilatinya dengan sangat bernafsu sekali. Bergantian kiri dan kanan. Sodokannya makin menggila, Lena kelojotan keenakan jadinya, mendesah kuat, pantatnya ikut bergoyang dan... merasakan semburan hangat memancar dari memeknya. Lena pun orgasme. Benar-benar nikmat terasa setelah sekian lama memendam dahaga dan hanya merasakan kepuasan dari kontol mainan, kini memeknya merasakan sodokan penuh tenaga dan semangat. Kontol anaknya. Kontol asli.

Tommy merasakan mamanya mengalami orgasme, masih melanjutkan memompa sesaat. Ia lalu berhenti dan mencabut kontolnya. Dengan sangat cepat Tommy sudah berbaring sejajar di samping mamanya, ia miringkan tubuh mamanya. Mamanya segera mengangkat satu kakinya ke atas, membuat lobang memeknya terbuka lebar dan dengan lancar kontol Tommy amblas ke dalamnya. Tommy segera menyodok dengan cepat. Sambil tangannya asik meremas dan memainkan pentil Lena. Satu tangannya turun ke selangkangan mamanya, memainkan itilnya, memberikan kenikmatan ganda pada mamanya yang segera mulai mendesah.


Kembali mereka berciuman. Tommy sangat suka dan semakin nafsu melihat tetek besar mamanya yang bergoyang, di matanya sangat erotis sekali. Tangan Tommy melepas remasannya pada tetek mamanya, mulai asik mengelus bulu ketek mamanya. Kontolnya makin lama ia rasakan makin keras saja. Gila! memek mamanya benar-benar membuatnya sangat bergairah. Sudah sangat cepat dan dalam ia menyodok memek mamanya, tapi dia belum merasakan tanda-tanda mau keluar atau lelah. Malah makin semangat, wangi tubuh mamanya yang harum juga makin membakar semangatnya. Dengan agak menurunkan bahunya, ia segera menghisap dan mengulum pentil Lena dengan kuat.


Sungguh nikmat mendapat serangan sekaligus, disodok dengan enak, itilnya juga dimainin sama jari Tommy, belum lagi kini pentilnya yang sudah besar dan mengeras dihisap dengan kuat, membuat Lena kelojotan, terlalu bertubi- tubi kenikmatan menyerbunya. Dan kembali ia orgasme dengan dashyat, sampai ia mendesah kuat sekali. Ekspresi wajahnya sangat letih dan puas, matanya merem melek sambil mulutnya mendesah.


Tommy benar-benar nafsu melihat ekspresi wajah mamanya itu. Makin cepat ia memompakan kontolnya, dan ketika denyutan itu terasa, buru-buru ia memeluk mamanya kuat sekali, tangannya meremas tetek mamanya dengan kuat, melumat bibir Lena dengan ganas. Dan croot, crooot, croott, pejunya memancar kuat dan membuat Lena bergetar, merasakan moment yang lama tak ia rasakan saat peju menghantam seluruh liang-liang dalam memek dan rahimnya. Tommy masih memeluknya erat, sehingga Lena agak sesak, ia menyentuh tangan anaknya, merenggangkannya. Tommy masih diam, menikmati moment yang sangat sukar ia percaya namun kini terjadi. Akhirnya ia mencabut kontolnya.

”Ma, Tommy benar-benar bahagia.”

”Mama juga, Tom. Semua rasa dahaga mama terpuaskan.”

”Ma, ini serius kan?”

”Maksudmu?”

”Papa benar-benar mengijinkan semua ini?”

”Percayalah, Tom, semua ini idenya. Tapi kamu harus ingat, jangan sekalipun kamu menggauli mama di kamar mama. Mama hanya mau melakukannya di tempat tidurmu ini. Mama tak akan pernah sanggup melakukannya di sana. Paham?”

”I-iya, ma, Tommy janji, kalau Tommy sih nggak ada masalah, mau di kasur ini, mau di sofa, mau di meja, yang penting ngerasain memek enaknya mama, hehehe...”


”Dasar, kamu ini.”

***


Dan akhirnya memang Doni diberitahu Lena kalau dia sudah melakukannya. Suaminya itu hanya tersenyum penuh pengertian. Bahkan saat malam kala ia tidur, dan Lena menyelinap ke kamar anaknya untuk mereguk puncak kenikmatan bersama, Doni tidak marah. Sudah 3 bulan kini Lena melalui hal menyenangkan ini. Namun ada satu hal fatal, dia salah perhitungan. Lena hamil! Sekian lama ia menanti untuk hamil lagi, sampai akhirnya menyerah, kini dengan cepatnya dia hamil. Saat Lena bilang ke sang suami, Doni bukannya marah, malah senang.


”Bagus,” katanya, ”Jadi orang makin tak tahu dengan kondisiku,” begitu katanya. ”Jangan takut, itu tetap anakku juga,” katanya lagi. ”Bagus juga untukmu, kau bisa punya momongan lagi.”


”Ah, suamiku, kau sangat baik,” batin Lena.


Tinggal anaknya, si pengganti tugas sang suami. Tommy yang kini menjadi bingung. ”Harus memanggil apa pada anak yang ada di kandungan Mama ini? Anakku atau adikku?” tanyanya.


”Itu nanti saja, Tom.” jawab Lena. ”Sekarang ada hal lebih penting yang harus kita lakukan.” Lena melepas dasternya dan segera membimbing Tommy ke atas tempat tidur. ”Puaskan mama. Mama pengen!” bisiknya


Dan Tommy pun menindih tubuhnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar